Chapter 4
Setiap kali aku dan Haris berhubungan intim, aku merasakan kehampaan yang sulit dijelaskan. Bukan karena Haris tidak perhatian atau kasar—justru sebaliknya, dia selalu berusaha membuatku nyaman. Tapi, entah mengapa, aku tidak bisa merasakan keintiman yang seharusnya ada antara suami dan istri. Aku melakukannya hanya sebagai kewajiban, sebagai bagian dari peran yang harus aku jalani sebagai istri. Bukan karena keinginan atau hasrat yang muncul dari dalam diriku.
Malam itu, seperti biasa, Haris mendekatiku setelah kami berbaring di tempat tidur. Dia mencium keningku dengan lembut, lalu perlahan merangkul tubuhku. Aku tahu dia ingin melakukan kewajibannya sebagai suami. Aku membiarkannya, mencoba untuk merespons dengan cara yang dia harapkan. Tapi, di dalam hatiku, ada jarak yang tidak bisa kututupi. Aku merasa seperti sedang memainkan peran dalam sebuah drama, bukan menjalani kehidupan nyata.
Haris melepas celana dan celana dalamnya. Dia masih menyisakan kaosnya karena di berprinsip tidak boleh telanjang bulat saat berhubungan suami istri. Dia menyingkap dasterku ke atas menyusupkan tangannya ke dalam BH dan meremas payudaraku. Setelah itu dia mencium dan mengisap puting aku. Tangannya menurunkan celana dalam aku setelah itu dia memasukan kontolnya yang tidak begitu besar dan agak kesulitan karena memek aku belum basah.
Tapi karena kontolnya yang kecil maka akhirnya bisa masuk juga. Karena memek aku juga sudah mulai basah. Setelah memompa sekian menit Haris suamiku menyemburkan spermanya di dalam rahimku. Selesai sudah kewajiban aku melayani Haris suamiku.
“Dek, kamu baik-baik saja?” tanya Haris tiba-tiba, memecah keheningan. Matanya menatapku dengan penuh perhatian, seolah-olah dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Aku mengangguk, mencoba tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Kenapa Mas?”
Dia menghela napas, lalu duduk di sampingku. “Aku merasa akhir-akhir ini kamu… berbeda. Seperti ada yang mengganggu pikiranmu. Apa kamu mau bicara?”
Aku menunduk, tidak bisa menatap matanya. Aku tahu Haris adalah suami yang baik, orang yang selalu berusaha memahami dan mendukungku. Tapi, bagaimana aku bisa menjelaskan padanya bahwa kehampaan yang aku rasakan bukan karena dia, tapi karena diriku sendiri? Bagaimana aku bisa mengungkapkan bahwa hatiku masih terbelenggu oleh kenangan masa lalu, oleh cinta yang tidak pernah benar-benar hilang?
“Aku… aku hanya merasa bosan akhir-akhir ini. Mungkin butuh refresing.” jawabku akhirnya.
Haris mengangguk, tapi aku bisa melihat keraguan di matanya. “Kalau begitu, mungkin kita perlu merencanakan buat liburan.”
Aku tersenyum kecil, merasa bersalah karena bukan itu yang aku butuhkan. “Iya itu ide yang baik Mas.”
Dia membelai rambutku dengan lembut, lalu mencium keningku sekali lagi sebelum berbaring di sampingku. Aku menatap langit-langit kamar, merasakan beban yang semakin berat di dadaku. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa terus menjalani kehidupan pernikahan yang terasa begitu hambar, sementara hatiku masih terikat pada masa lalu.
Setelah Haris tertidur karena kelelahan, pikiranku kembali melayang ke Bram. Aku ingat bagaimana kami dulu begitu dekat, sampai-sampai sering melakukan hubungan suami istri. Aku teringat kembali bagaimana setiap sentuhan dan ciumannya bisa membuatku merasa melayang dan pasrah untuk disetubuhi bahkan aku menjadi liar dan binal saat melayani Bram. Dia benar-benar memberi aku kepuasan yang luar biasa yang selama tiga tahun ini tak aku dapatkan dari Haris suamiku.
Aku ingat bagaimana aku dan Bram saling beradu birahi dengan begitu bernafsu. Semua itu akhirnya tak bisa berlanjut. Kami harus berpisah karena perbedaan yang tidak bisa kami atasi. Tapi, kenangan-kenangan itu masih begitu jelas di benakku, seolah-olah waktu tidak pernah benar-benar menghapusnya.
Aku menutup mata, mencoba untuk tidur. Tapi, rasa kantuk tidak kunjung datang. Pikiranku terus berputar-putar, memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang tidak pasti. Aku tahu aku harus membuat keputusan, tapi setiap kali aku mencoba memikirkannya, kepalaku terasa penuh dan hatiku semakin sakit.
Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan ke jendela. Malam itu begitu tenang, tapi hatiku tidak bisa merasakan kedamaian yang sama. Aku memandang langit yang dipenuhi bintang, mencoba untuk menemukan jawaban yang tidak kunjung datang.
“Apa yang harus aku lakukan?” bisikku pada diri sendiri, merasakan air mata mulai menggenang di mataku.
Aku tahu aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku harus jujur pada diriku sendiri, dan mungkin juga pada Haris. Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa mengungkapkan rahasia yang selama ini aku sembunyikan? Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa hatiku masih terbelenggu oleh cinta yang tidak pernah benar-benar hilang? Bagaimana dengan perasaan Haris yang aku yakin dia begitu mencintaiku. Dia akan merasa dibohongi selama tiga tahun pernikahan kami.
Aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus menemukan jalan keluar, meskipun itu berarti aku harus menghadapi konsekuensi yang mungkin akan menyakitkan.
230Please respect copyright.PENANAb1Q5ShZZDx
Aku bangkit dari tempat tidur dengan hati yang berat. Malam semakin larut, dan Haris sudah terlelap di sampingku, napasnya teratur dan tenang. Aku memandangnya sebentar, merasakan campuran rasa bersalah dan kebingungan yang semakin menggerogoti hatiku. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa terus menjalani kehidupan pernikahan yang terasa begitu hambar, sementara hatiku masih terikat pada masa lalu. Aku perlu jawaban, petunjuk, sesuatu yang bisa membimbingku keluar dari labirin kebingungan ini.
Dengan langkah pelan, aku meninggalkan kamar dan menuju ruang kecil di rumah yang biasa kugunakan untuk sholat. Ruangan itu sederhana, tapi selalu memberiku ketenangan. Aku menyalakan lampu kecil, lalu mengambil air wudhu. Air dingin yang mengalir di kulitku seolah membawa sedikit kejernihan dalam pikiranku yang kacau. Aku berusaha fokus, berusaha mengingat bahwa hanya kepada-Nya aku bisa memohon petunjuk.
Aku berdiri menghadap kiblat, melipat tangan di depan dada, dan memulai sholat istikharah. Setiap gerakan, setiap bacaan, aku lakukan dengan penuh kesadaran. Aku memohon dengan rendah hati, meminta petunjuk dari Yang Maha Mengetahui.
“Ya Allah, jika urusan ini baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir urusanku, maka takdirkanlah untukku dan mudahkanlah bagiku. Namun, jika urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir urusanku, maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Takdirkanlah kebaikan untukku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian ridhailah aku dengannya.”
Aku mengulang doa itu dalam hati, berusaha meresapi setiap kata. Air mata mulai mengalir di pipiku, tapi aku tidak berusaha menghentikannya. Aku merasa seperti sedang melepaskan beban yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Aku memohon dengan sepenuh hati, meminta petunjuk yang jelas, sesuatu yang bisa membantuku membuat keputusan.
Setelah selesai sholat, aku duduk bersila di atas sajadah, masih merasakan getaran doa yang baru saja kupanjatkan. Aku memandang lilin kecil yang kenyala di sudut ruangan, nyalanya berkedip-kedip, seolah mencerminkan keraguan dan harapan yang ada di dalam hatiku. Aku merenung, mencoba mendengarkan suara hati yang selama ini terpendam.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Zahira?” tanya suara kecil di dalam hatiku.
Aku menutup mata, mencoba menjawab pertanyaan itu dengan jujur. Aku tahu aku masih mencintai Bram. Cinta itu tidak pernah benar-benar hilang, meskipun aku sudah mencoba untuk melupakannya. Tapi, di sisi lain, aku juga tidak ingin menyakiti Haris. Dia adalah suami yang baik, orang yang selalu berusaha membuatku bahagia. Aku tidak ingin mengkhianati kepercayaannya.
Tapi, apakah aku bisa terus hidup seperti ini? Apakah aku bisa terus menjalani pernikahan yang terasa begitu hambar, sementara hatiku masih terbelenggu oleh kenangan masa lalu? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku harus membuat keputusan, meskipun itu berarti aku harus menghadapi konsekuensi yang mungkin akan menyakitkan.
Aku bangkit dari sajadah, merasa sedikit lebih tenang setelah sholat istikharah. Aku tahu jawaban tidak akan datang seketika, tapi aku berharap bahwa dengan memohon petunjuk dari-Nya, aku akan menemukan jalan yang benar.
Aku kembali ke kamar, melihat Haris yang masih terlelap. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandang wajahnya yang tenang. Dia adalah suami yang baik, dan aku tahu dia pantas mendapatkan istri yang mencintainya sepenuh hati. Tapi, apakah aku bisa menjadi istri yang dia butuhkan? Apakah aku bisa mencintainya dengan tulus, tanpa bayangan Bram terus menghantuiku?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus membuat keputusan, meskipun itu berarti aku harus menghadapi ketidakpastian dan rasa sakit yang mungkin akan datang.
Aku berbaring di samping Haris, menutup mata dan mencoba untuk tidur. Tapi, tidur tidak kunjung datang. Pikiranku terus berputar-putar, memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang tidak pasti. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan jawaban yang tepat. Tapi, untuk saat ini, aku hanya bisa terus berjalan, mencoba untuk tidak tenggelam dalam kebingungan dan kesedihan yang mengikutiku.
Aku berdoa dalam hati, memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Aku tahu jalan ini tidak akan mudah, tapi aku percaya bahwa dengan pertolongan-Nya, aku akan menemukan jawaban yang benar. Dan, pada akhirnya, aku hanya bisa berharap bahwa apapun keputusan yang aku buat, itu akan membawa kebahagiaan dan kedamaian untuk semua orang yang terlibat.
230Please respect copyright.PENANAgTKTblKNdZ
***
Aku memutuskan untuk tidak lagi menanggapi pesan WA atau telepon Bram. Apalagi menuruti keinginan mantan kekasihku itu untuk bertemu. Aku harus menolak dengan tegas dan bersikap dingin kalau semisal bertemu di mana saja tanpa sengaja. Bahkan aku akan tegas meminta dia untuk tidak lagi menghubungiku.
Setelah sholat istikharah dan merenung panjang, aku merasa itu adalah keputusan yang tepat. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa aku harus fokus pada pernikahanku, pada Haris, dan pada tanggung jawab yang telah aku pilih. Tapi, keputusan itu ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Aku berharap Bram akan menghormati keputusanku dan berhenti menghubungiku.
Tapi kenyataannya Bram belum mengirim pesan atau menelepon aku hingga saat ini. Awalnya, aku merasa lega. Aku pikir, mungkin dia akhirnya mengerti dan memilih untuk mundur. Tapi, semakin hari, justru aku yang merasa ada yang hilang. Aku mulai merindukannya. Rindu yang sebenarnya tidak pernah benar-benar pergi. Aku terbayang-bayang wajahnya, senyumannya, dan bagaimana dia dulu bisa membuatku merasa begitu spesial.
Yang paling membuatku terganggu adalah kenangan-kenangan intim yang pernah kami bagi. Bram selalu tahu bagaimana membuatku merasa diinginkan, bagaimana memuaskan aku saat bersetubuh. Aku tak bisa melupakan saat kontol berkulupnya merenggut keperawananku. Membuat aku histeris dan mencakar punggung Bram. Setelah itu kontol Bram membuat aku ketagihan. Aku tak bisa melupakan saat memek aku dibuat orgasme oleh kontol Bram hingga membuat aku kejang-kejang karena nikmat yang luar biasa. Hal itu tidak aku dapatkan saat bersetubuh dengan Haris. Apalagi kontol Bram jauh lebih besar dan panjang dari milik Haris. Bahkan kontol Bram saat belum ereksi saja masih lebih besar dari kontol Haris saat sedang ereksi.
Selama tiga tahun pernikahan kami, Haris tidak pernah benar-benar memberiku kepuasan yang aku cari. Memang sebagai suami dia tampan dan hatinya baik, lembut, serta penuh perhatian, tapi hubungan intim kami terasa begitu hambar. Aku mencoba untuk tidak membandingkan, tapi semakin aku berusaha melupakan Bram, semakin jelas pula perbedaan itu. Aku merasa seperti sedang menjalankan kewajiban, bukan menikmati momen bersama suamiku.
Bersambung
ns 15.158.61.16da2