Masih bingung dengan apa yang dimaksudkan Nina, gadis itu mengajaknya pergi ke taman yang ada di sebelah Mall Rancah—masih satu bagian dari mall tersebut.
Atas ajakan Nina, mereka duduk di kursi di bawah pohon rindang. Sebuah pohon yang Bayu yakin akan menyeramkan ketika malam hari.
Sebelum mulai menjelaskan, Nina menyempatkan diri untuk menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Jadi, gini."
Bayu mendengarkan penuh perhatian. Tak bisa dipungkiri, sesekali matanya tertuju pada leher putih dan lekukan bibir indah itu. Tak jarang pula dengan liar menelusuri dada Nina ke bawah. Namun, Nina sepertinya tak sadar karena dia bercerita tanpa memandang Bayu.
"Orang tadi itu namanya Feri. Dia mantanku. Udah putus, sih, sejak seminggu lalu. Sorry kalo orangnya emang rese." Ia menghentikan sejenak ucapannya, melirik Bayu yang cepat-cepat mengalihkan muka. "Selama ini aku dikejar-kejar mulu sama dia, makanya aku bilang aku udah punya pacar. Tapi, dia tetep gak percaya karena gak liat sendiri. Makanya aku minta tolong sama kamu, seharian ini aja, temenin aku."
"Emangnya Feri itu ngikutin kamu terus?"
Nina mengangguk samar. "Coba deh kamu lirik ke kanan. Tuh di dekat orang jualan pentol, ada dia, kan?"
Bayu mengikuti apa yang Nina katakan. Benar saja, di sana terlihat seorang lelaki gondrong yang ikut dalam kerumunan antrean pentol, tapi dia terus memandang ke arah mereka.
"Itu dia ikutin terus kamu?"
Nina mengangguk.
"Sejak kapan?"
"Sejak aku mutusin dia."
"Dia gak ganggu?"
Nina menggeleng. "Dia baru ambil tindakan kemarin. Tapi tetep aja aku ngerasa risih, kayak kurang bebas gitu."
Bayu pun tanpa sadar membayangkan seberapa sulitnya hidup Nina jika terus-terusan diikuti seperti itu. Pasti sangat tidak menyenangkan.
"Jadi kamu minta aku bantuin biar dia gak ikutin kamu terus?"
"Iya, sehari aja cukup, kok."
Sekali lagi Bayu memandang Feri di kejauhan. "Gimana caranya?"
Wajah Nina sedikit memerah. Dia memalingkan muka. "Sebelum itu, kamu harus jujur. Kamu udah punya pacar belum? Kalau udah, kamu harus nolak. Aku gak mau rusak hubungan kalian karena kamu mau berbaik hati sama aku."
Bayu melebarkan mata. Orang wibu sepertinya jangankan punya pacar, dekat dengan wanita saja agak susah. "Belum, belum punya." Bayu menggeleng.
Nina menampakkan ekspresi senang. "Bagus, kalo gitu ayo ikut aku."
"Eh, ke mana?"
"Ayok ikut!" Nina menarik tangan Bayu. "Kalo kamu bawa motor, ikutin motor aku."
"Gak kok, aku gak bawa motor."
"Nah, pas banget." Nina tertawa.
Wajahnya manis sekali. Tanpa sadar Bayu terperangah.
Mereka menuju tempat parkir, Nina menghampiri motor matic yang tidak mahal. Bayu menghela napas, dia tidak perlu merasa terlalu insecure.
"Bisa naii motor?"
Bayu mengangguk.
Nina tersenyum senang seraya menyerahkan kunci. "Kamu yang bawa, ya. Sekalian pake helm." Sesaat kemudian, dia menarik kembali kuncinya. "Bentar, wig ku masukkin ke jok aja."
Setelah selesai melakukannya, Bayu memakai helm gadis tersebut yang baunya luar biasa wangi. Tanpa sadar ia senyum-senyum sendiri.
Dia merasakan Nina sudah naik saat motor itu sedikit bergoyang. "Mau ke mana?"
"Pujasera, tempat yang pas buat kencan."
Kencan, ulang Bayu dalam hati. Tak disangka dia yang tak pernag berdekatan dengan wanita akan melakukan kencan bersama seorang gadis super cantik, seorang cosplayer pula.
"Pujasera dekat Rumah Ayam itu?"
"Iya, situ yang paling deket." Nina bahkan melingkarkan lengan ke pinggang Bayu. Benar-benar tampak seperti orang pacaran.
Tentu saja, Bayu tak keberatan.
Saat mereka mulai masuk jalan raya, Bayu melihat spion untuk menemukan Rafi yang buru-buru naik motornya. Motor bertangki besar seperti milik Rossi atau Lorenzo.
Setelah pertigaan besar belok kanan, di kiri jalan, ada rumah makan bernama Rumah Ayam. Kurang lebih lima puluh meter ke depan, ada sekumpulan orang jualan makanan atau biasa disebut pujasera.
Siluman muncul, bapak-bapak tukang parkir. Karena suasana hati yang penuh bunga, Bayu tak memikirkannya. Dia memarkirkan motor sesuai arahan tukang parkir.
"Ke mana dulu?" tanya Bayu.
Nina melirik ke belakang, Rafi duduk di atas motornya sedikit jauh, di depan ruko yang sudah tutup sore ini. Dia kembali memandang Bayu. "Terserah, deh kamu mau apa. Aku ngikut."
"Emm ...."
"Bayar sendiri-sendiri."
Bayu tersenyum lega. Kalau suruh mentraktir, dia merasa kurang yakin walau ada uang.
Bayu menghampiri seorang lelaki yang menjual pisang coklat. Setelah itu mereka menikmati jajanan tersebut di meja panjang yang terdapat di sana pula.
Sembari memandangi keindahan kota di sore hari, mereka mengobrolkan banyak hal. Dari sinilah Bayu mulai sedikit mengenal Nina.
Dia adalah anak keluarga yang tak terlalu kaya tapi juga tidak terlalu miskin. Dia ingin berkarya menggunakan tenaganya sendiri, tidak menggantungkan hidup kepada orang tua.
Dalam pikiran Bayu, ia menganggap Nina ini adalah seorang gadis yang berusaha mandiri.
"Cuma sekali, kok."
"Kamu dibiayai segala kebutuhan buat cosplay cuma sekali?" Bayu hampir tak percaya. "Seriusan?"
Nina memakan potongan terakhir pisang coklat sambil mengangguk. "Seriusan. Aku ngecosplay dapet duit dari donasi-donasi gitu."
"Langsung terkenal?"
Ia meringis. "Yah ... enggak sih. Aku dibantu temenku."
Bayu mengangguk-angguk, kini jadi masuk akal.
Mereka sepakat membeli minum berupa kopi hangat. Setelah kopi itu habis, hari sudah petang, matahari telah lenyap.
"Jadi, ke mana lagi?" Bayu bertanya setelah memastikan Feri masih setia mengamati dari tempat semula. Hanya saja sekarang dia duduk di bawah sambil memainkan HP nya.
Nina berpikir sejenak. "Ke taman aja, yuk?"
"Ngapain?"
"Yah ... pokoknya ke sana ajalah." Nina menoleh ke belakang, melihat Feri masih di sana. "Jujur aku udah capek, Yu. Aku pengen balik, makanya kita harus cepet selesaiin?"
Bayu paham maksudnya, sekaligus tak paham. "Selesaiin?"
Nina tak menjawab, tapi sekilas Bayu dapat melihat semburat merah yang tiba-tiba memenuhi pipi sampai telinga.
"Udah ayok cepetan, deket kok."
Mereka kembali naik motor matic Nina. Nina menunjukkan jalan yang kecil—yang kalau simpangan dua mobil sudah mepet, menuju arah belakang pujasera.
Mereka bergerak lurus terus, melewati deretan rumah lalu tiba di sebuah taman sepi.
Di sana ada ayunan, plorotan, pasir buatan serta macam-macam permainan anak. Namun, catnya sudah pudar bahkan beberapa ada yang mengelupas atau retak. Sepertinya tempat ini tidak cukup terawat.
"Kok agak horor gini, Na?" tanya Bayu memastikan.
"Jangan bilang kamu takut?" ejek Nina sambil turun dari motor. "Gak apa-apa, kok, gak ada setan juga."
Bayu menoleh ke kanan kiri, tempat itu cukup sepi, agak jauh dari rumah-rumah penduduk. Juga taman ini dikelilingi tembok gambar hewan-hewan laut yang cukup tinggi,
"Emang kita di sini mau ngapain?" tanya Bayu yang belum mengerti.
Nina sudah melangkah masuk ke taman setengah bagian. "Masukkin aja motornya, taruh dekat ayunan itu."
Bayu menurut. "Kita mau ngapain?"
"Sini." Bukannya menjawab, Nina melambaikan tangan, mengisyaratkan agar Bayu mendekat.
Mereka kini berdiri saling berhadapan di sebelah prosotan yang terdapat terowongan di bawahnya. Dengan lirikan mata, mereka dapat pula melihat Rafi di kejauhan yang duduk di motor, di bawah pohon. Cukup jauh di seberang jalan.
"Apa dia gak sadar kalau sejak tadi kita tahu dia ikutin kita?" Bayu merasa heran sejak tadi akan hal itu.
"Dia memang goblok." Nina menyisir rambutnya dengan tangan kanan.
Entah mengapa, tertimpa cahaya lampu taman, Bayu melihat wajahnya sedikit merah.
"Terus, kita mau ngapain?" dia memandang permainan pelorotan di sebelahnya. Jalan raya dan tempat mereka berdiri terhalang pelorotan itu. Hanya saja karena tak berdiri tepat di tengah, sehingga dari jauh masih terlihat sosok mereka melalui badan pelorotan yang miring.
Nina memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya. "Ngentot."
Bayu melongo. "Apa?"
Gadis itu berdecak lidah. "Cuma pake mulut, ih."
"T-tapi ...." Seperti petir di siang bolong, Bayu benar-benar tak mengerti dengan perkembangan kencan ini. Napasnya berhenti selama beberapa tarikan, tapi jantungnya berpacu makin cepat.
"Ya biar si Rafi pergi." Nina menghentakkan kaki kanannya. "Cepet, ih, sebelum aku berubah pikiran. Katanya mau nolong aku?"
"Ta-tapi Nina, ngen—" Wajah Bayu memerah pula. Ucapannya terhenti karena Nina tiba-tiba sudah berlutut. "Eh, Nina?"
"Cepet buka resletingnya," katanya mencoba sedatar mungkin tapi jelas menunjukkan perasaan gugup. "Cepetan gak usah malu, di sini gak bakal ada orang lewat."
"Rafi liatin."
"Gak bakal kelihatan punyamu, kok. Ini kan ketutupan pelorotan. Yang penting kelihatan aku nyepongin kamu." Sepertinya Nina mulai tak sabar. "Cepetan!" Ia menarik-narik celana Bayu.
Akan tetapi, Bayu masih terguncang. Dia hanya memandang Nina dengan bengong tanpa melakukan apa pun.
Sampai beberapa saat mereka hanya saling diam, hingga pada akhirnya Nina merasa tak sabar. "Sini." Dia berinisiatif membuka sabuk Bayu, menarik resleting, dan menurunkannya paksa.
Bayu panik sendiri. "Eh, bentar Nina."
"Keburu malem." Celana itu dengan cepat melorot sampai lutut.
Sejenak, Nina menelan ludah. Kini tampak jelas celana dalam Bayu di depan matanya dan perlahan mulai membesar. Isi dari celana dalam itu memberontak.
Nina melirik muka Bayu yang memerah, pemuda itu berusaha menutup selangkangan. "Sange?"
Bayu terperanjat. "Eh? ... eh ...."
Nina terkekeh. "Kalo gak sange mana bisa keluar." Lantas gadis itu membuka resleting jaketnya sendiri. "Liatin, ya." Dia melirik payudaranya dengan lirikan mata menggoda.
"Eh ...." Bayu masih kebingungan.
Memang nafsunya bangkit, siapa yang tidak bangkit melihat wajah cantik, kulti putih bersih, rambut sepundak, yang kini sedang berlutut dan siap melakukan hal-hal mesum?
Di sisi lain, Bayu tak pernah menyangka kalau seorang cosplayer punya sisi nakal seperti ini.
"N-Nina, kamu serius?"
Nina mengangguk mantap. "Tolong bantuin aku, aku serius, Yu. Aku merasa gak nyaman banget. Cuman ini satu-satunya cara."
Bayu meneguk ludah. "Gak apa-apa, kan?"
Nina mengangguk, mencoba tersenyum. "Aku gak nyalahin kamu, kok. Mungkin kita baru ketemu, tapi yakinlah kamu bakal bantu aku banget. Apa jangan-jangan kamu gak suka cewek?" canda Nina mencoba mencairkan kecanggungan ini.
Bayu melirik Rafi di kejauhan, meneguk ludah. "Buat nolong kamu." Dia kini menurunkan sendiri celana dalamnya.
Nina terbelalak.
ns 15.158.61.55da2