Aku duduk di lobi hotel sambil merokok dan memesan secangkir kopi. Tapi belum habis sebatang, ada notif di ponselku: WA dari Ustadzah Winda.
“Mas Azka, tolong ke kamarku ya,” tulisnya.
Jantungku langsung dag dig dug saat membaca pesan tersebut. Tadi kayaknya Ustadzah Winda sepertinya malu-malu, sekarang dia kok malah nyuruh aku ke kamarnya.
Padahal aku tadi bercanda. Tidak nyangka diriku, dia merespon dengan serius. Mungkin dia takut tidur sendiri dan butuh teman.
“Iya ustadzah, tunggu,” jawabnya singkat. Langsung kumatikan rokokku dan menuju ke lift.
Di dalam lift, aku sudah membayangkan hal aneh-aneh tentang Ustadzah Winda. Dia kan masih perawan, apa dia mau perawannya hilang di tanganku? Pikiranku kotorku terus berkecamuk.
Sampai di depan kamarnya, kuketuk pintunya. Jantungku makin berdetak kencang. Mumpung aku jauh dari anak istri, tak boleh kusia-siakan kesempatan ini: Tidur dengan Ustadzah Winda.
Ustadzah Winda dengan cepat membuka pintunya. Kulihat dia masih memakai kerudung dan gamis lengkap, yang dipakainya tadi saat makan malam.
“Mas, tolong antar ini ke kamar Ning Sabila ya. Berat soalnya,” ucapnya, sambil menunjukan sekotak kardus di dekat pintu.
Ekspetasiku langsung patah. Aku terlalu percaya diri dan kejauhan membayangkan. Ternyata dia mau menyuruhku. Sial!
“Apa ini ustadzah?” tanyaku.
“Ini kue khas sini dari panitia, barusan dititipkan ke aku, suruh ngasihkan ke Ning Sabila,” jawabnya.
“Kirain ustadzah butuh teman tidur,” jawabku sambil menggaruk kepala dan tertawa.
“Apa sih Mas Asza ini,” ucapnya, kemudian tertawa kecil.
“Masak ini dibawa ke sana semua? Banyak ini,” tanyaku.
“Ini amanah dari panitia mas, nanti kalau suruh bawah ke sini lagi sama Ning Sabila, ya bawa aja lagi mas, hehe,” ucap Ustadzah Winda, sambil tersenyum manis.
“Haduh, capek dong aku ustadzah. Apa Ning Sabila belum tidur?” tanyaku.
“Belum, barusan ku-Wa beliau. Sudah kubilang Mas Azka mau ke sana untuk ngantar titipan dari panitia,” jawabnya.
“Oke deh,” jawabku singkat. Tanpa basa-basi lagi, kuangkat kardus itu dan kubawa ke kamar Ning Sabila yang berada di lantai atas. Biar aku bisa segera ngopi dan merokok lagi di lobi.
Kuketuk pintu kamar Ning Sabila, tak lama ia membukanya, sambil merapikan kerudungnya. Wow, betapa kagetnya aku melihat Ning Sabila yang memakai baju yang tak biasanya aku lihat. Dia memakai pakaian santai. Baju lengan panjang dan celana panjang satu stel berwarna biru muda semacam baju tidur, tapi cukup ketat. Sehingga lebih terlihat jelas lekuk tubuhnya. Karena selama ini, aku tahunya dia saat memakai gamis.
Dengan pakaian itu, kini tonjolan payudaranya yang berukuran lumayan besar jadi terlihat. Baru tahu aku, jika payudara Ning Sabila sebesar ini. Juga bokongnya, jadi terlihat bulat, padat, dan besar. Sampai-sampai CD yang dipakainya terlihat nyeplak.
Ah, kenapa malam ini Ning Sabila jadi lebih menggoda. Ditambah dengan riasan di wajahnya. Dia jadi terlihat lebih cantik dari biasanya. Apalagi pakai lipstik yang lebih cerah dan aroma minyak wanginya semerbak. Padahal tidak kemana-mana dan mau tidur.
“Taruh di sini aja mas,” ucapnya.
Kutaruh kardus berisi makanan itu di atas meja, sesuai petunjuknya. Beruntunglah, dia tak menyuruhku membawa kardus itu lagi ke bawah.
“Aku mau istirahat dulu ya mas, besok bangunnya jangan kesiangan, jangan sampai telat,” ucapnya, menyindirku.
“Haha, tenang aja ning. Gak bakalan kesiangan besok,” jawabku.
Aku pun segera pergi dari kamar itu, karena Ning Sabila bilang mau istirahat. Dia menutup pintunya, aku berjalan ke arah lift lagi.
Di lorong hotel itu, aku berpapasan dengan seorang pemuda yang baru keluar dari lift dengan gestur yang sedikit mencurigakan. Dia berjalan sambil melihat nomor kamar. Sepertinya dia mencari kamar seseorang.
Awalnya aku biasa saja, tak menaruh curiga. Tapi kemudian dia berhenti di depan kamar Ning Sabila. Aku pun jadi penasaran. Dia mengetuk pintu kamar itu. Segera aku bersembunyi dan mengendap di balik tembok sebelum ke lift. Agar dia tidak mengetahui keberadaanku.
Kulihat pemuda itu menoleh ke kanan kiri, melihat kondisi sekitar. Tak berselang lama, Ning Sabila membuka pintu kamarnya dan pemuda itu masuk ke dalam.
Lalu Ning Sabila mengeluarkan kepalanya, melihat ke kanan kiri. Dia sudah tidak memakai kerudung: rambutnya hitam, lurus, panjang. Baru tahu aku Ning Sabila tak pakai kerudung, benar-benar tambah terlihat cantik dan menggoda dia.
Ning Sabila seperti memastikan kondisi sekitar aman dan tidak ada yang melihat pemuda itu masuk ke kamarnya. Aku berusaha agar tak terlihat olehnya. Setelah merasa aman, Ning Sabila menutup kamarnya.
Aku pun jadi penasaran siapa pemuda itu. Dia pria yang masih mudah, ganteng, dan tubuhnya lumayan atletis. Rambutnya klimis. Siapa dia? Kok bisa masuk ke kamar Ning Sabila?
Sambil menaruh curiga dan penasaran, aku pun turun, kembali ke lobi. Kulanjutkan minum kopi dan merokok. ***
1380Please respect copyright.PENANAfDqlrGUm3Y