Sambil menikmati kopi dan rokok, aku tak bisa tenang. Terus memikirkan siapa pemuda itu, apa yang dia lakukan di kamar Ning Sabila. Aku pun terus di lobi hotel, menunggu pemuda itu keluar. Karena di hotel ini, setiap tamu yang keluar-masuk, akan tetap melewati lobi. Begitupun ketika hendak ke tempat parkir.
Sudah 2 jam lebih aku menunggu di lobi. Kenapa pemuda itu tak turun-turun, apa dia menginap di kamar Ning Sabila? Ah, aku jadi terus kepikiran dan penasaran.
Namun akhirnya, setelah hampir 3 jam aku menunggu, kulihat pria itu keluar dari lift, lalu berjalan di lobi dan mau keluar. Kubuntuti dia, tapi berusaha jangan sampai dia tahu atau curiga.
Di berjalan ke arah parkir mobil. Aku di belakangnya dan dia tidak mengetahui keberadaanku. Sampai akhirnya dia mendekati Mobil Honda Jazz. Sepertinya itu mobil miliknya. Aku mendekatinya.
Saat dia membuka pintu mobil dan hendak masuk, langsung dengan sigap kutarik bajunya. Dia menoleh ke arahku.
“Kamu siapa? Aku sopirnya Ning Sabila, kenapa kamu masuk ke kamarnya?” kutanya dia dengan nada keras dan wajah garam, dan kukepalkan tangan kananku. Sementara tangan kiriku masih memegangi bajunya.
Meskipun badan dia lebih besar dariku, entah aku jadi pemberani malam ini. Sontak dia kaget dengan apa yang kulakukan.
“Eh, eh, maaf bang!” Dia malah jadi ketakutan. Aku bersyukur, dia tidak melawan. Aku pun tetap bergaya garang.
“Saya ditugasi untuk menjaganya, kenapa kamu masuk ke kamarnya?” tanyaku lagi dengan nada tinggi. Dia tambah ketakutan.
“Maaf bang, dia yang memanggil saya, dia yang booking saya,” jawabnya.
“Ha? Maksudnya, booking gimana?” tanyaku.
“Saya cowok panggilan bang, saya gigolo bang! Maafin saya bang!” jawab dia sambil ketakutan.
Aku pun kaget dengan jawaban dia.
“Apa kamu sudah kenal lama dengan Ning Sabila? Kamu sudah berkali-kali berarti begini? Kok bisa Ning Sabila langsung menghubungi kamu?” tanyaku lagi.
“Enggak bang, baru kali ini, baru sekali ini. Aku tidak pernah ketemu dia sebelumnya,” jawabnya, makin ketakutan saat kugertak.
“Terus, kok bisa dia manggil kamu ke kamarnya?” tanyaku, samakin garang.
“Dia memesan saya lewat MiChat bang,” jawabnya. Aku tambah kaget dengan jawabannya.
“Terus ngapain aja tadi di kamar, ML sama dia gak? Jawab yang jujur, kalau gak jawab jujur, jangan pulang,” tanyaku, semakin garang.
“I… iya bang,” jawab pemuda itu. Deg! jantungku rasanya nyesak, tak menyangka Ning Sabila melakukan ini. Padahal dia punya suami. Ditambah dia adalah tokoh atau publik figur yang jadi panutan orang-orang.
Kulepas tanganku dari bajunya. Kuhela nafas sejenak. Kupelankan nada bicaraku padanya saat ini.
“Ya sudah, kamu pulang, tapi jangan bilang ke dia, kalau aku nemui kamu. Biar tidak panjang urusannya,” ucapku.
“I… ya bang. Terimakasih,” jawabnya.
Dia pun masuk ke mobil lalu pulang.
Aku kemudian berjalan ke arah lobi lagi, sambil memikirkan apa yang terjadi barusan. Aku tak menyangka Ning Sabila berbuat itu. Baru kali ini, aku tahu Ning Sabila menyewa cowok panggilan.
Sebelumnya, selama aku mengantar dia keluar kota, tak pernah aku tahu dia melakukan ini. Apakah Ning Sabila sudah lama melakukan ini, apa baru sekali ini? Rasa penasaranku pun muncul lagi.
Saat di lobi hotel, ku-Wa Ustadzah Winda.
“Sudah tidur ustadzah?” tanyaku.
Cukup lama dia tak membalas, sepertinya sudah tidur. Kulihat jam, memang sudah pukul 1 dini hari lebih.
“Tidur mas, tapi ini kebangun gara-gara dengan hape bunyi. Ada apa mas?” tanya dia.
“Tolong turun ke lobi bentar ya, ada yang perlu kuomongkan,” balasku.
“Ngapain mas? besok pagi aja ya, aku ngantuk,” jawabnya, menolak.
“Aku yang ke kamar ustadzah, atau ustadzah yang ke sini. Ada yang mau kuomongkan, penting!” balasku lagi.
“Iya, iya, aku saja yang ke sana mas,” jawabnya.
Sepertinya Ustadzah Winda takut, jika aku yang ke kamarnya. Takut aku berbuat aneh-aneh nampaknya. Dia yang memilih untuk turun.
Sekitar 15 menit kemudian, Ustadzah Winda akhirnya turun ke lobi. Kami duduk di kursi paling jauh dari resepsionis, karena yang kubicarakan ini sangat rahasia.
Kulihat Ustadzah Winda memakai baju semacam daster tapi tanpa motif dan berwarna abu-abu. Ia memakai kerudung warna putih. Sepertinya buru-buru dan memakai baju seadanya saat menemuiku.
Saat Ustadzah Winda duduk di hadapanku, dengan bisik-bisik kuceritakan apa yang terjadi ketika aku melihat Ning Sabila memasukan laki-laki ke kamarnya.
Ustadzah Winda pun kaget mendengar ceritaku. “Masa mas, gak bohong kan?” tanyanya.
“Sumpah! Ngapain aku bohong. Dia gak cerita ke kamu?” tanyaku.
“Enggak bang, setelah tadi WA mau ngantar titipan dari panitia itu, aku tidak chat-an lagi sama beliau,” jawabnya. Kulihat Ustadzah Winda jadi terheran-heran mendengar ceritaku.
Aku kemudian mendesak Ustadzah Winda, bercerita sisi lain Ning Sabila yang aku tidak tahu.
“Apa ustadzah pernah dengar atau tahu, Ning Sabila juga ada hubungan sama cowok lain selain suaminya?” tanyaku dengan nada sedikit mengancam.
“Tidak mas, tidak pernah tahu,” jawabnya, sedikit ketakutan.
“Tapi kok bisa ya, dia begini? aku tidak nyangka,” jawabku.
Kami sama-sama terdiam sejenak.
“Mungkin gara-gara beliau belakangan ini ada masalah sama suaminya,” ucap Ustadzah Winda. Aku kaget mendengarnya, aku belum tahu soal itu.
“Mungkin gara-gara Ning Sabila pisah ranjang dengan suaminya untuk sementara gara-gara ada masalah,” katanya.
“Masalah apa?” tanyaku, penasaran.
“Mas Mas Azka tidak dengar kah isu yang beredar di pondok?” tanya balik, Ustadzah Winda.
“Tidak, aku kan jarang ada di pondok. Baru kalau ada urusan untuk mengantar kyai atau keluarga, baru akau ke sana,” jawabku.
“Tapi jangan bilang ke Ning Sabila ya kalau aku yang cerita ke Mas Azka,” ucapnya.
“Iya, iya, tenang aja. Apa masalahnya? Kenapa sampai Ning Sabila pisah ranjang sama suaminya?” tanyaku, makin penasaran.
“Eeeehhh….. beneran ya, jangan bilang-bilang. Jadi isu yang beredar, suami Ning Sabila itu ketahuan selingkuh dengan Ustdazah Umira,” jawabnya.
Deg… jantungku seperti mau copot mendengarnya. Banyak kejutan malam hari ini dari Ning Sabila.
“Ha? Serius?” tanyaku, tak percaya.
Ustadzah Winda menganggukan kepala.
“Aku dengernya begitu mas. Tapi gak tahu cerita pastinya. Kemudian aku sama nyai disuruh gantiin dia, untuk menemani Ning Sabila,” katanya.
Kupegang kepalaku, tak percaya dengan semua cerita ini.
“Ya sudah, ustadzah balik saja ke kamar. Maaf ya ganggu istirahatnya. Tapi jangan bilang ke Ning Sabila, jika aku melihat dia memasukan laki-laki ke kamarnya ya,” kataku.
“Iya mas,” ucapnya singkat, lalu beranjak dari kursi itu.
“Eh bentar ustadzah, butuh teman tidur apa enggak?” tanyaku, bercanda.
Ustadzah Winda hanya tersenyum cuek, lalu berjalan ke arah lift, menuju ke kamarnya. ***
1212Please respect copyright.PENANAistRnfMFrv