Sekitar pukul 7 malam, kami tiba di kota tujuan dan langsung menuju hotel bintang lima yang disediakan oleh panitia acara besok. Sepengelamanku, ketika panitia menyiapkan hotel bintang lima, berarti acara besok pagi ini sangat besar.
Ning Sabila belakangan ini memang sangat sering diundang dalam pengajian atau acara-acara besar untuk berceramah.
Ning Sabila yang terbilang masih muda, usianya masih 26 tahunan sudah boleh dibilang sangat sukses menjadi penceramah dan sangat terkenal.
Ning Sabila meneruskan jalan ayahnya yang juga seorang penceramah terkenal di daerah kami. Kyai Nawawi punya 3 orang anak, semuanya perempuan. Ning Sabila adalah anak kedua.
Kenapa Ning Sabila cepat dikenal luas, karena selain muda, menurutku dia adalah perempuan yang punya kharismatik, cantik, dan gaya ceramahnya yang khas. Dia ceramah dengan blak-blakan dan menghibur.
Sehingga Ning Sabila pun punya banyak penggemar dari kalangan Gen Z hingga orang tua. Ning Sabila tambah dikenal sangat luas, setelah potongan ceramahnya viral di media sosial.
Oh ya, Ning Sabila ini sudah menikah. Orang-orang memanggil suaminya, Gus Zaid. Tapi hingga saat ini keduanya masih belum dikaruniai anak.
Sampai di hotel, Ning Sabila disediakan kamar tipe suite oleh panitia. Sementara aku dan Ustadzah Winda di kamar tipe standar. Tapi di kamar berbeda ya, jangan berpikir aneh-aneh dulu.
Setelah beristirahat sebentar dan mandi, kami makan malam di restoran hotel. Aku datang lebih dulu di restoran dan segera memesan makanan, karena sudah lapar. Sementara Ning Sabila dan Ustadzah Winda belum turun.
Tak lama berselang, kulihat hanya Ustadzah Winda saja yang turun ke restoran.
“Mana Ning Sabila, ustadzah?” tanyaku.
“Barusan sudah ku-WA, kutanya, katanya nanti saja makannya. Kayaknya lagi capek Ning Sabila. Biar nanti pesan dan dikirim ke kamarnya,” jawab Ustadzah Winda.
Ustadzah Winda lalu duduk di meja terpisah denganku. Aku berinisiatif saja ke arahnya dan duduk semeja dengannya. Kulihat dia jadi sedikit canggung saat aku mendatanginya. Dia memang orangnya terlihat pemalu.
Langsung saja kuajak dia mengobrol, biar kami cepat akrab. Karena kedepan, kayaknya dia akan sering diajak Ning Sabila keluar kota.
“Terimakasih ya ustadzah, sudah mengajari anak saya banyak hal. Dia jadi bisa mengaji, membaca, berhitung, dan hafalan doa-doa juga,” ucapku, memulai percakapan. Tapi dia masih fokus dengan ponselnya.
“Iya mas, memang anaknya pintar dan aktif kok, jadi lebih mudah ketika diajari,” jawabnya sambil tersenyum. Kulihat sangat manis senyumnya.
Ustadzah Winda meletakan ponselnya di atas meja. Dia menghormat obrolan ini, tanpa memainkan ponsel.
Kami pun banyak membahas perkembangan anakku di sekolah. Dia banyak cerita hal tentang anakku di sekolah, yang sebelumnya aku tidak tahu.
Lama-lama, kami nyambung dalam obrolan ini. Ustadzah Winda juga terlihat mulai hilang canggung dan malu-malunya. Kami terus mengobrol hingga makanan yang kami pesan datang.
“Oh ya, Ustadzah Umira sudah tidak menemani Ning Sabilah lagi kalau lagi ceramah? Mulai kapan ustadzah gantiin dia?” tanyaku.
“Sudah hampir sebulan ini saya menemani Ning Sabila kalau lagi ada undangan ceramah,” jawabnya.
“Kenapa dia tidak menemani Ning Sabila lagi?” tanyaku lagi, masih penasaran. Karena sudah sebelumnya sudah lama, Ustadzah Umira dipercaya menjadi asisten Ning Sabila.
Kulihat Ustadzah Winda jadi diam. Seperti bingung mau jawab apa. Dia kini lebih fokus ke makanannya.
Tapi beberapa saat kemudian, setelah mengunyah makanannya, dia menjawab pertanyaanku.
“Hmmm…. gak tahu ya mas, saya cuma diminta oleh nyai untuk barengi Ning Sabila, gitu saja. Saya tidak tahu kenapa bukan Ustadzah Umira lagi,” jawabnya.
Aku belum puas dengan jawaban Ustadzah Winda. Pasti ada alasannya. Tapi kulihat dia tidak nyaman dengan pertanyaanku. Akhirnya aku tak menanyakan lagi.
“Oh ya, kenapa ustadzah tidak tidur bareng Ning Sabila? Biasanya dulu Ustadzah Umira selalu sekamar dengan Ning Sabila kalau di hotel?” tanyaku.
“Ning Sabila mintanya begitu, saya hanya nurut saja mas. Ning Sabila minta tidur sendiri,” jawabnya.
“Oh, ya udah, nanti malam ustadzah mau saya temani tidurnya? Haha,” candaku.
Ustadzah Sabila hanya tersenyum malu dengan celetukanku. Ia tak merespon candaku itu.
Sekilas tentang Ustadzah Winda, dia adalah guru muda yang lumayan manis dan cantik. Umurnya kira-kira masih 21 tahun. Perawakannya kecil. Tingginya kira-kira tidak sampai 160 cm, badannya ramping, mungkin beratnya tidak sampai 50 kg.
Saat tersenyum, ada lesung di pipinya. Itu yang bikin tiba-tiba aku jadi terpesona ke dia. Haha.
Selesai makan malam, Ustadzah Winda bilang ke kamarnya, dia mau istirahat.
“Jadi aku temenin apa gak ustadzah?” candaku lagi.
Lagi-lagi, dia hanya tersenyum malu. Tak menjawab. Lalu pergi ke arah lift.
Sementara aku, ke lobi dulu, mau merokok. Karena aku dapat kamar yang no smoking. ***
1306Please respect copyright.PENANA9Avook10fQ