Ujian akhir SMA telah usai di bulan Mei. Siti dan siswa lainnya hanya tinggal menunggu hasil kelulusannya. Ada yang telah mendapatkan tempat untuk kuliah. ada yang mulai melamar kerja. Namun, Siti berfirasat tak ingin mendaftar kerja. Ia hanya ingin kuliah kini tapi jalur apa pun selalu kekeh ditolak ayahnya.
Pertengahan Juni, Eka dan Nur telah janjian dengan keluarga Siti. Malam sebelum pertemuan itu, Ibu Siti mengetuk dan masuk ke kamar Siti. Siti tengah membaca novel di atas kasurnya. Ibunya menatap erat dan amat emosional melihat anak gadisnya itu.
“Ada apa Bu?” tanya Siti. “Anak Siti ku, kamu telah selesai SMA. Kamu sudah besar, sudah baliq. Ibu punya kabar yang mungkin akan mengejutkanmu,” ujar sang Ibu.
Siti menduga-duga apa kabar itu, apakah ia dibolehkan kuliah atau kah ...
“Beberapa minggu lalu seorang lelaki datang kerumah ini, ia seorang yang baik akhlak dan budinya,” belum tuntas tapi Siti tlah tahu maksud Ibunya, ya, soal jodohnya.
“Kamu mungkin tahu seorang yang sangat dekat dengan laki-laki itu. Bapak dan Ibu sudah merestuinya untuk menjadi suamimu, tinggal kamu yang menerimanya. Ia seorang dosen, masa depanmu dengannya Ibu rasa akan sangat baik.”
Siti tak menduga, kenalan Ibu Bapaknya dari mana ini? Seorang dosen? Aku kenal orang dekatnya? Siti menahan air matanya, tak menyangka secepat ini dirinya akan dipersunting.
“Bu..., memangnya siapa dia Bu?” tanya Siti. “Nak, Ibu rasa kamu berhak tahu bila kamu akan dipersunting untuk menjadi istri kedua Anak,” Ibunya peralahan merangkul anaknya itu. Siti menatap erat Ibunya.
“Ia ialah suami dari gurumu, Bu Nur. Mereka akan datang besok. Kamu besok akan dilamar Nak,” Siti tak mampu menahan air matanya dan menyenderkan kepalanya kepundak Ibunya.
“Bu, Ibu Bapak Siti rasa tahu apa yang terbaik untuk Siti. Siti semoga bisa menerima takdir ini. Bu Nur orang yang baik. Siti rasa suaminya juga baik,” pelukan Ibunya makin hangat malam itu. Waktu bagi Siti malam itu seakan terhenti.
“Malam ini Ibu tidur bersamamu ya Nak. Kalau kamu ingin bertanya atau bercerita malam ini Ibu akan dengarkan,” tawaran sang ibu hanya dijawab anggukan oleh Siti. Sang Ibu sebenarnya tahu tanpa Siti bercerita bagaimana isi hati dan pikiran anaknya itu.
Keesokan harinya, Siti telah berbesih diri. Wajahnya tampak murung. Ini sungguh sangat membuatnya syok. Ibunya selalu berada disampingnya. Kabarnya Eka dan Nur akan datang siang hari. Pagi itu rumah Siti telah amat bersih dan rapi, itu dilakukan ayah Siti untuk anaknya.
Menjelang siang, Siti di dalam kamar bersama Ibunya. “Nak, sudah siap bertemu calon suamimu? Siap ya Siti, yang kuat,” ucap sang Ibu, Siti hanya mengangguk. Pakaian gamis terbagusnya telah tergeletak di kasurnya siap dikenakan.
Ibunya pun membantu Siti memakai pakaian terbaik itu. Selembar jilbab pun dibantu terpasang dengan rapi di kepala Siti. Ibunya pun membantu Siti berias diri. Tak terlalu menor, tapi menambah aura untuk usianya.
“Bu...” Siti memeluk ibunya tanpa kata lanjutan. Siti pun tanpa menjelaskan Ibunya tahu apa isi hati anaknya itu.965Please respect copyright.PENANAn8YFlZF2M1
Ucapan salam terdengar di ambang pintu. Siapa lagi kalau bukan Eka dan Nur. Merekaa disambut oleh Bapak Siti dengan ramah. Mereka telah duduk dan mengobrol 15 menit. Siti dan Ibunya masih di dalam kamar.
Sang Ibu keluar dan meninggalkan Siti di dalam kamar. Ia menyambut tamunya. Obrolan mereka berlanjut ke hal yang serius.
“Seperti yang pernah kami sampaikan, kedatangan kali ini, Saya, Eka, ingin mengenal putri Bapak Ibu, Siti. Bila pun berlanjut, mungkin pula akan langsung saya pinang anak Bapak Ibu,” ucap Eka yang ditemani Nur. Nur hanya tertunduk mendengar suaminya. Ia telah siap mendengar ini dan siap menerima dimadu karena ini ialah keinginannya sendiri.
“Tentu saja kami menerima kedatangan Saudara Eka untuk berkenalan dengan anak kami, Siti untuk hubungan yang serius,” ucap sang Ayah Siti.
Siti mendengar itu. Ia masih tak menyangka bila benar-benar Suami Bu Nur yang datang untuk meminangnya. Bu Nur pun menemani suaminya untuk mempersunting Siti. Tarikan dan hembusan napas Siti ditarik dan dihembuskan perlahan berkali-kali perlahan.
Pukul dua siang, pintu kamar Siti diketuk Ibunya. Pintu terbuka, Sang Ibu menghampiri Siti yang tengah duduk meneneangkan diri.
“Nak, saatnya kamu keluar dan bertemu dengan calon suamimu. Temuilah ia dengan senyum dan ramah ya,” ibunya memeluk anaknya itu.
Mereka keluar, tangan Siti merangkul tangan sang Ibu. Sampainya di ruang tamu, Siti bersalaman dengan gurunya, Bu Nur. Lalu Siti duduk disamping Ibunya.
“Inilah Saudara Eka, Siti, anak kami. Ia tinggal menunggu pengumuman kelulusan SMA. Ia anak yang baik,” ucap sang Ayah.
Eka tertunduk.
“Wah... Siti, cantik ya hari ini. Kamu tampak sehat,” ucap Nur untuk mencairkan suasana. Benar saja obrolan berlanjut walau Siti tak ikut tertawa kecil.
Hingga sore obrolan amat seru. Eka pun meminta izin keluar dari ruang tamu. Nur tahu jika itu kode Eka ingin mengobrol dengan Siti. Kode pun terlempar kepada Siti melalui anggukan Eka. Usai Eka duduk di teras rumah yang dipikir Eka bila ngobrol berdua orang yang ada di ruang tamu tak terdengar. Bunga di teras rumah Siti tengah mekar dengan indah, melati putih memberi keharuman, anggrek memberikan keelokan, mawar menambah ketentraman.
Tak perlu lama, Siti menatap ibunya tanpa kata dan berbalas anggukan sang ibu. Siti pun berjalan keluar menghampiri Eka. Mereka pun duduk berdua.
Hening. Mereka menatap bunga yang sama di teras rumah itu.
Hingga Siti berucap, “Pak,” dan berbalas “Ya Siti.” “Bapak mengapa ingin menikahi saya Pak? Apakah Bu Nur tidak apa-apa?” tanya Siti. Siti tak tahu apakah pertanyaan ini pantas ditanyakan. Ia takut menyinggung. Tapi ini tentang dirinya kedepan, akan kah gelap?
“Siti, ini permintaan Bu Nur. Saya menyetujui karena untuk masa depanmu juga. Bu Nur telah berceirta tentang kamu. Aku melihatmu seorang yang baik. Kami ingin yang terbaik untukmu. Tentu pernikahan bagimu amat dini. Tapi bila kamu menerimanya aku siap membimbingmu tentang banyak hal, termasuk akademikmu, tentunya soal hubungan kita juga,” ucap Eka.
Siti hanya terdiam. Eka pun melajutkan, “Bila kamu yakin, terimalah saya. Saya rasa Siti telah mengenal baik Bu Nur. Saya akan berusaha adil terhadap kalian bila nanti kamu telah menjadi istriku.”
Obrolan mereka pun berlanjut hingga 30 menit. Hari makin sore. Mereka pun memutuskan kembali ke ruang tamu. Eka kembali duduk disamping istrinya. Siti pun duduk disamping Ibunya.
“Pak, Bu, dan Siti, mungkin telah dengar sayup-sayup obrolan perkenalan kami di depan. Saya pun makin yakin untuk menikahi putri Bapak Ibu. Izinkan saya melamar Siti,” ucap Eka. Siti dengan tertunduk mencuri pandang ke Nur. Nur pun tertunduk dan sedikit mengangguk. Ia paham suaminya dan perasaan Siti.
“Ya, putusan akhir kami serahkan kepada Siti,” ucap sang ayah. “Bagaimana Nak?” tanya sang ibu sambil menggenggam erat tangan anaknya itu.
“Bapak Ibu, Pak Eka dan Bu Nur, Siti rasa juga yakin Pak Eka ialah suami Siti walau umur berjarak 10 tahun. Siti menerima, semoga ini membawa kebaikan kita semua,” ucap Siti dengan tertuduk.
Syukur pun terucap. Tanggal pernikahan pun direncanakan. Mereka akan menikah di bulan September. Tentu karena usia Siti yang baru 17 tahun akan melewati persidangan sebelum bisa mendaftar ke KUA.
ns 15.158.61.55da2