Udara di balkon terasa lebih tipis dan dingin. Hembusan angin membuat helaian rambut hitam sepunggungnya berterbangan dengan lembut. Lin melirik ke kanan, kiri, juga kedalam gedung kampus. Kalau-kalau ada yang mengikutinya atau ingin menguping apa yang akan ia katakan. Sudah aman pikirnya. Ia duduk di bangku kayu balkon itu. Tangannya menaruh susu kemasan botol resin food grade kecil diatas meja.
Distrik Metro, satu-satunya distrik melayang yang tergolong elit di seluruh Koloni Bumi. Distrik itu melayang lima ribu kaki di atas permukaan laut. Segala yang ada di sini adalah hal-hal luar biasa yang jarang ada di distrik lain. Seolah Distrik Metro adalah distrik percontohan masa depan bagi distrik lainnya. Teknologi canggih, ramah lingkungan, hingga teknologi-teknologi terbaru.
Seperti layaknya sebuah kawasan bisnis kelas atas, dan ia menjadi salah satu mahasiswa di kampus berstandar galaktis itu. Dengan distrik ini yang melayang, satu-satunya akses keluar masuk adalah dengan jet pribadi maupun jet umum saja. Pemandangan lalu lalang jet di langit sudah biasa.
Ini pertama kalinya ia melihat pemandangan langit dari gedung kampus ini. Dari lantai tiga puluh dimana balkon ini berada. Sebenarnya ini adalah balkon ekstensi dari kantin, beberapa bangku kayu juga berjajar disana. Kosong, hanya tiga orang mahasiswa lain pada jam-jam tanggung ini yang sedang berkumpul. Menghabiskan makanan ringan mereka sambil menunggu kelas berikutnya.
Dari kejauhan terlihat bangunan-bangunan berarsitektur unik. Ada yang benar-benar berbentuk seperti pohon baobab, struktur bawah yang kokoh, kemudian bagian atasnya dijadikan seperti hutan buatan. Entah bagaimana mereka membuat sebuah hutan di atas gedung dengan ketinggian seperti ini. Lalu di dekatnya terdapat gedung yang setiap lantainya berputar melawan arah jarum jam, seolah gedung itu bergerak-gerak.
Tak kalah gedung-gedung lain dengan arsitektur abstrak, melengkung-lengkung, berbentuk seperti ombak, lingkaran, dan bentuk-bentuk aneh lainnya. Namun seperti tren gedung-gedung di era ini, semuanya menginstal perkebunan vertikal, alias menanam banyak tanaman dan secara tidak langsung membuat hutan pada bangunan. Juga tak lupa lintasan hover car di bawah sana yang ikut memenuhi kesibukan kota. Sementara di langit berterbangan jet-jet yang keluar masuk distrik.
Lin kembali menengadahkan smart band-nya. Sembilan belas panggilan tak terjawab dari Aleksei. Ia mengusap-usap smart band-nya mencari menu untuk memanggil Aleksei. Sebuah cakram perak mungil yang tersemat tidak permanen di strap smart band-nya. Ia mencukil cakram tersebut dan menempelkan di pelipis kanannya, benda itu berpendar biru. Cakram perak itu disebut nano disk. Benda itu memungkinkan segala aktifitas pengguna dengan cloud akan terproyeksikan di retina mereka.
Kini dengan nano disk bisa langsung mengirimkan informasi dari cloud lewat syaraf menuju ke otak dan langsung bisa dirasakan oleh indra penglihatan dan pendengaran.
Biasanya sebuah panggilan juga bisa dilakukan lewat smart band saja. Akan muncul proyeksi hologram atau holovid dari smart band. Namun panggilan ini dirasa cukup privat dan rahasia. Lin tak mau ambil resiko jika panggilannya pada Aleksei dilihat orang lain, apalagi percakapannya. Kini dengan nano disk, panggilan itu terjadi hanya pada retina dan telinganya saja.
Ia menunggu agak lama agar panggilan itu terjawab, padahal sedari tadi sepertinya Aleksei membabi buta akun cloud miliknya. Kakinya kembali menghentak naik turun tidak sabaran dengan lantai balkon. Tangan kirinya tetap menengadah agar smart band-nya juga bisa memindai wajahnya agar proyeksi hologramnya juga bisa terkirim pada Aleksei.
Sebuah nada pemberitahuan telepon diangkat berbunyi.
Suara angin di sekelilingnya sudah samar di telinganya. Pemandangan Distrik Metro dari balkon Kampus Andromeda sudah lenyap dari matanya. Sebuah lingkaran biru berpendar lembut pada irisnya, menandakan bahwa sekarang ia sedang menggunakan pencitraan nano disk.
"Lin! Kau kemana saja?!" Seorang pemuda kini terlihat di depannya. "Aku sudah telepon berkali-kali!"
Ia bertelanjang dada, nafasnya terengah, badannya masih basah. Beberapa tetesan air terlihat mengalir di kulit cerah tubuh pemuda itu. Struktur tubuhnya menunjukkan detail-detail bergelombang karena otot, membuat tetesan air itu tak mudah untuk meluncur. Dari bagian dadanya yang bidang dan tegap, hingga menuju bagian otot-otot perutnya yang keras. Tulang selangka pemuda itu menonjol tegas, mendukung otot-otot pada lehernya yang jenjang. Lengannya dengan otot bisep yang pejal tak kalah basah. Dalam penglihatannya, bahu pemuda itu naik turun susah payah mengontrol nafasnya.
Mata biru terang pemuda itu tajam. Garis rahangnya tegas dan kuat seperti pahatan marmer, membentuk siluet yang rinci akan tulang pipinya yang sedikit menonjol. Memberikan ilusi pipi yang sedikit menjorok ke dalam. Garis rahang itu menyempit kebawah menjadi bagian dagu kecil. Alisnya agak lebat. Bagian yang paling menawan sebenarnya adalah tulang hidungnya yang tinggi. Membuat hidung pemuda itu tinggi dari pangkal hingga ke ujungnya.
Kulit wajahnya halus dan bersih tanpa ada helaian bulu wajah yang mengganggu. Bibir pemuda itu tipis, berwarna merah muda terlihat selalu lembab. Bibir yang biasa digunakan Aleksei untuk melempar senyum menawan itu kini menjadi satu-satunya jalan keluar masuk nafasnya yang tak beraturan. Sangat tampan dan maskulin.
Aleksei terlihat agak kesal sambil masih terengah. Tatapannya tajam seolah akan memakan bulat-bulat gadis itu. Sedangkan Lin masih terkejut. Tak sadar bahwa dari tadi mulutnya terbuka karena kaget melihat Aleksei telanjang dada begitu. Tangan kanan Lin refleks menutup mulutnya. Ia menelan ludah, wajahnya sudah panas dari pertama kali panggilan itu diangkat oleh Aleksei. Ia tak siap dengan pemandangan itu. Seumur-umur baru pertama kali ia melihat tubuh Aleksei tanpa kemeja atau kaos sama sekali. Melihat tubuh artis-artis di iklan sudah biasa, tapi kali ini yang dia lihat adalah tubuh pemuda itu. Canggung. Lin berusaha mengatur nafasnya.
"K-Kau tak pakai baju ...," lirihnya. Lin berusaha mengalihkan pandangannya, juga menutup matanya. Percuma. Nano disk di pelipisnya berfungsi maksimal. Proyeksi Aleksei bertelanjang dada konsisten tercitra di retinanya. Tak bisa mengelak.
Tangan kanan Aleksei menyibak rambut coklat basahnya yang menutup dahi.
"Aku baru selesai mandi. Tadi aku masih pakai handuk kau malah telepon! Untung aku bisa cepat-cepat pakai celana! Hampir terpeleset tahu! Huh!" pemuda itu membeberkan segala alasan, agak menyalahkan Lin atas keadaan sekarang.
Lin mengernyitkan dahinya. Kini jempol dan jari telunjuk kanannya memijat-mijat rongga mata dekat pangkal alisnya. Ia memejamkan mata, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah, tapi Aleksei masih terlihat jelas berdiri di depan cerminnya. Jantungnya berdegup lebih cepat, nafasnya berbalap. Gadis itu berusaha menahan pikiran liar yang sedari tadi ingin ia bayangkan, semenjak panggilannya diangkat oleh Aleksei. Dia juga wanita.
"Kau yang dari tadi terus-terusan meneleponku! Mana aku tahu kalau kau baru habis mandi!" tukasnya setengah berteriak membela diri.
Aleksei menyadari gadis di proyeksi cermin itu merasa tidak nyaman. Berkali-kali Lin mengalihkan pandangannya, menunduk, melirik ke arah lain, namun pemuda itu paham soal nano disk.
Tubuh Aleksei kini setengah memunggungi cermin, mengambil kemeja putih yang tergantung di sampingnya. Ia memakai kemeja itu sambil lehernya tetap menengok ke arah cermin. Berharap gadis itu tak lagi canggung dengan situasi yang tiba-tiba ini. Meski begitu, siluet dari struktur otot tubuhnya tetap terlihat tegas. Punggungnya yang lebar juga begitu dominan.
"Sore ini kau bisa ke hangar jet? Hari ini manajer ingin kita berkumpul. Ada rapat tertutup dari biro katanya."
"Rapat? Dengan biro?" itu melenyapkan kecanggungan barusan. "Memangnya ada apa?"
Aleksei menggeleng.
"Tidak tahu, tapi sepertinya bukan hal bagus," Aleksei selesai dengan kemejanya. Kemeja putih lengan pendek yang sama dengan yang dipakai oleh Lin di balik blazer biru tua itu.
"Nanti sore tepat jam lima di terminal dua belas. Aku ada kelas setelah ini. Jadi sampai nanti Lin." Pemuda itu menutup panggilannya cepat-cepat tanpa menunggu jawaban Lin.
Mulut gadis itu terbuka dua senti, hendak mengatakan sesuatu yang lain, namun ia sudah ditinggal sendiri. Proyeksi Aleksei sudah lenyap dari pandangannya. Suara angin dan pemandangan Distrik Metro kembali padanya. Ia hening. Ada apa sebenarnya sampai biro menginginkan rapat tertutup.
Gadis itu menyesap susu rasa vanila yang ia beli di kantin tadi. Kedua tangannya memegangi botol kemasan itu. Kini ia tertunduk, perasaannya tidak enak soal rapat ini. Mulutnya lanjut meneguk habis seisi botol, hanya menyisakan beberapa teguk lagi yang kini ada di dalam mulutnya, membuat pipinya menggembung. Tiba – tiba kembali teringat tubuh seksi Aleksei yang dibasahi air mandi.
"Uhuk uhuk!" tersedak.
"Sekitar empat bulan lagi ayah baru akan sampai. Mungkin akan lama sekali kembali ke bumi. Bisa empat sampai lima tahun lagi," seorang pria paruh baya berbicara dengan latar belakang interior pesawat ulang alik yang cukup semerawut. Beberapa kru pesawat terlihat lalu lalang mengapung juga.
"Makanya ayah ingin bantuanmu. Keputusan mikro perusahaan ayah yakin bisa kau selesaikan. Jika ada keputusan makro yang susah-susah kirim berkas dan penjelasannya ke cloud ayah saja. Ayah sudah minta jajaran direksi untuk membantumu, namun keputusan besar ada di kau semua. Kabari ayah kalau ada apa-apa."
Pesan video itu berakhir. Pandangannya berubah kembali ke lalu-lalang pengunjung bandara di ruang tunggu terminal dua belas. Nano disk di pelipis kanannya berhenti berpendar. Pemuda itu berdecak agak kesal. Ia mengambil nafas panjang.
Pemberitahuan yang sangat tiba-tiba itu sungguh menyebalkan. Bukan sekali ini saja pria di video itu semena-mena menyerahkan tugas acak perusahaan padanya. Meskipun begitu, ia merasa kali ini bukan sembarangan tugas acak perusahaan. Empat hingga lima tahun ia harus mengerjakan tanggung jawab sebagai presiden direktur perusahaan.
Pergelangan kaki kirinya sudah bertumpu santai di atas lutut kanannya. Ia duduk di kursi ruang tunggu paling ujung dekat jendela dimana landasan udara terlihat jelas. Telunjuk kanannya mengusap-usap smart band di pergelangan kirinya. Sebuah proyeksi hologram keluar dari smart band berwarna hitam itu.
Beberapa dokumen terlihat bertumpu satu sama lain di tampilan hologram itu. Baru dua hari ia menjabat jadi presiden direktur dan diminta segera menyelesaikan dokumen-dokumen itu. Meskipun begitu ia masih enggan datang ke gedung kantor, padahal jajaran direksi sudah memintanya beberapa kali.
Ia mematikan proyeksi hologram itu dari smart band-nya. Pandangannya beralih ke jendela di sebelah kirinya. Langit mulai berwarna jingga, jam sudah berada di angka 16.45. Lengan kanannya kini melintang di atas sandaran kursi kosong di sebelahnya. Ia masih mengenakan celana biru tua senada dengan blazer biru tuanya. Kemeja putih lengan pendek dengan dasi hitam terkunci rapi di kerahnya, sama dengan yang ia kenakan dari saat kelas pertama hari ini.
Lalu-lalang jet pribadi dan jet umum menjadi pemandangan sore ini. Cukup sibuk, tapi tak sesibuk hari-hari biasanya atau saat akhir pekan. Dari luar ia tampak tenang, namun dalam pikirannya terjadi banyak hal. Kesal, kecewa, dan marah.
Cahaya sore itu menyinari rambut hitamnya. Tatapannya kosong. Pemuda berumur dua puluh tiga tahun ini berada di tahun ketiganya sebagai mahasiswa Andromeda.
"Kapten?" lamunan pemuda itu pecah. Wajahnya langsung menengok ke kanan ke suara itu agak terkejut.
Seorang gadis mengenakan sepatu hak tinggi berwarna hitam, rok span di atas lutut berwana biru tua senada dengan blazernya. Kemeja putih dengan dasi simpul berwarna putih gading, tas slempang hitam kecilnya menggantung di bahu kanan. Rambut hitamnya tergerai bebas, kulit wajahnya cerah juga kulit tubuhnya. Matanya berwarna hitam kecoklatan memantulkan sedikit cahaya senja yang menembus dari jendela terminal dua belas. Rahangnya berbentuk huruf V dan begitu feminim.
Hidungnya kecil namun lumayan tinggi hingga ke ujungnya. Bibirnya mungil dilapisi lipstik berwarna merah muda natural. Pipinya terlihat sedikit merona kontras dengan seluruh kulit putih di wajahnya. Seluruh dandanannya terlihat segar dan muda. Pakaiannya yang pas di badan sukses menonjolkan lekuk tubuhnya. Betis yang jenjang dan anggun, bagian paha yang proporsional, pinggang yang kecil dan ukuran dada yang sedang. Gadis itu berdiri tegap. Tubuhnya tak terlalu gemuk, namun tercipta siluet yang indah.
"Kapten Aleksei?" ulangnya memperhatikan pemuda itu yang sudah agak menganga mendongak menatapnya. Kini kepala gadis itu sudah agak miring, bertanya-tanya apakah pemuda itu masih mengenalnya.
"A-Ah ... iya. Lin. Kau datang," buru-buru Aleksei berdiri dari kursi tunggunya.
Butuh sepersekian detik bagi pemuda itu untuk mengingat-ingat rekannya yang sudah lama tak ia jumpa. Kini gadis itu mendongak. Ketika sama-sama berdiri begitu, tingginya hanya sedagu pemuda bernama Aleksei meskipun sudah pakai sepatu hak tinggi. Ia lupa kalau Aleksei setinggi itu. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya senja dari jendela.
"Aku tadi sudah panggil-panggil, tapi kau tak jawab. Lagi sakit?"
"Tidak sih, cuma lagi banyak pikiran," gumamnya. Aleksei menjatuhkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya agak masam. "Ayo ke hangar. Kita harus berangkat jam lima tepat."
***
Betis putih Lin sudah saling bertumpu, agak menyibak rok span ketatnya dan memperlihatkan sedikit bagian paha atasnya. Jari jemarinya bertaut di pangkuannya. Wajahnya menatap jendela jet, memandangi kumpulan awan yang mengapas dan langit yang mulai agak gelap. Sepatu hak kirinya kini tersangkut pada jari kakinya, sudah terlepas dari tumitnya yang santai.
Cahaya di dalam jet sudah menyala lembut sejak dari tadi. Interiornya mewah dan modern. Kombinasi warna putih gading dan perak mendominasi bagian dalam jet. Mulai dari sofa tunggal berlapis pinatex mewah, sofa panjang, meja kopi, hingga bar. Beberapa garis dan gradasi warna putih menghiasi beberapa sudut dinding dan interior yang lain. Di sofa tunggal ini kanan kirinya juga terdapat tumpuan untuk lengan. Tumpuan lengan itu agak lebar hingga bisa menjadi tempat makanan, minuman, juga tempat Lin meletakkan tas slempang kecil hitamnya.
Seperti layaknya jet pribadi, dua pasang sofa tunggal juga dipasang berhadapan satu sama lain. Persis seperti yang diduduki oleh Lin. Di depannya sudah ada satu sofa tunggal yang kosong. Jauh lebih mewah jika dibandingkan dengan jet umum yang selalu ia naiki. Jika pakai jet umum kursi tunggal akan padat, interior juga tidak akan seindah, seartistik, dan secanggih ini.
Sebuah suara langkah terdengar diantara deruan lembut suara mesin jet. Sebuah pintu otomatis terbuka. Pemuda bernama Aleksei itu keluar dari ruang kokpit, sudah menanggalkan blazer birunya. Jet itu kini terbang dengan pilot otomatis. Ia tersenyum. Lin ikut membalas senyuman pemuda itu.
"X-Jet 11 keluaran Stellar Corporation. Kau benar-benar beli jet ini ya," ucap Lin masih dengan tubuhnya yang tegap.
Ia membusungkan dadanya agar terlihat berwibawa saat mengucapkan kalimat itu pada Aleksei. Pemuda itu mengangguk-angguk dan melempar senyum narsis kemenangan, membuat gadis itu terkekeh. Ia bertepuk tangan sambil menggeleng kagum pada Aleksei.
"Hahaha! Hebat sekali! Aku pikir kau cuma sesumbar!"
Mereka berdua tertawa, rasanya sudah lama sekali. "Mana pernah aku sesumbar," ucapnya dengan nada agak tinggi. Kini pemuda itu berdiri di samping sofa tunggal di depan Lin. "Bagaimana menurutmu?"
Lin mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian atas dan bawah interior, hingga badannya memutar untuk menengok bagian dalam belakang jet. Ia mengangguk-angguk dengan bibirnya membusur mantap.
"Lumayan kok ...," ia lanjut tanpa menatap Aleksei, "... lumayan bikin aku merasa miskin," sindirnya. Aleksei tertawa lebih keras.
"Hahaha. Ah iya, omong-omong kau kurusan ya?" Aleksei kini duduk di sofa di depan Lin, mereka duduk berhadapan. Ia sudah curi-curi pandang mencoba melirik berkali-kali pada gadis itu ketika mereka berjalan ke hangar jet.
Gadis itu mengeluh. "Kelihatan banget ya?" wajahnya jadi lesu. "Aku stres sekali sejak ujian masuk Andromeda sampai pengumpulan berkas-berkasnya. Padahal sudah sedikit dibantu olehmu," ia menyesap gelas air mineral yang sedari tadi bertengger di tempat gelas di sebelah kanan sofa tunggalnya.
"Kapten sendiri bagaimana? Katanya sedang banyak pikiran?"
Mata biru muda Aleksei kini menatap jendela dengan pemandangan yang menggelap. Senyum dan tawa yang tadi berkembang, kini perlahan menghilang. Wajahnya getir. Ia menarik nafas panjang.
"Bagaimana ya ...," ekspresinya terlihat sangat tidak nyaman. "Mungkin aku penat karena kuliah, lalu sebentar lagi akan ada turnamen. Lalu ...."
Aleksei hening sejenak. Perasaannya bercampur, sedih, kesal dan juga bingung. Ia mengambil nafas panjang untuk tetap tenang.
"Setelah aku membantumu menyelesaikan berkas kampus, ayahku dapat proyek di Koloni Mars. Kira-kira sudah sebulan lalu dia pergi. Tiba-tiba hari Senin kemarin aku ditunjuk jadi presiden direktur. Aku tak tahu apapun."
ns 15.158.61.8da2