"Lonte Aulya bangun, bangun..."
Aku merasakan pipiku ditepuk-tepuk oleh seseorang berulang kali, "Mmm... apa?" gumamku dengan suara serak. Aku mengedip-ngedipkan mataku yang masih kabur. Mataku terbuka perlahan, menemukan ibuku berdiri di depanku dengan senyum lembut di wajahnya.
"Ah, ibu maa-"
"Sstt, setelah melakukan baiat, ga ada kata 'ibu' atau 'anak' lagi, nama kita itu Lonte Lilis dan Lonte Auliya."
"I-iya, paham Lonte Lilis," ucapku, aku perlahan bangkit dari posisi tubuhku yang tengkurap di karpet masjid. Aku pasti tadi pingsan lagi setelah Tuan Hendra dan Tuas Tisna memakai tubuhku.
"Ayo, kita mandi dulu, sebentar lagi jumatan," ucap Lonte Lilis. "Yang lain sudah pada mandi dan siap-siap shalat."
Aku melihat sekelilingku dan benar kata Lonte Lilis masjid sudah sepi. Hanya tinggal beberapa akhwat yang ada disini untuk membersihkan masjid yang kotor sehabis pesta seks tadi. Lonte Lilis lalu mengulurkan tangannya untuk membantu aku berdiri, aku menggapai tangan itu. Namun, ketika aku mencoba untuk bangkit, kakiku seakan menolak untuk mengikuti perintahku. Rasanya seperti semua otot dan sendi di kakiku memutuskan untuk mogok bekerja bersama-sama.
"Ahh," aku mengerang, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar dari kaki ke pahaku. Tubuhku merosot kembali terduduk di karpet masjid.
"Kenapa Lonte?" ucap Lonte Lilis, suaranya khawatir. Bahkan ketika anaknya sendiri sakit pun, Ibu- maksudku, Lonte Lilis tak lupa untuk terus memanggilku Lonte.
"Kakiku sakit," ucapku mengerang pelan.
"Sini Lonte Lilis bantu jalan," ucap Lonte Lilis. Ia lalu membantuku berdiri, dan tangannya memegangi diriku menuntunku berjalan. "Lonte Auliya mulai nanti harus banyak latihan, biar tubuhnya ga kaku kayak gini setelah dientot,"
"I-iya," ucapku.
Aku dituntun berjalan ke rumah Tuan Hendra, jaraknya dekat hanya beberapa meter saja dari masjid. Tapi, kakiku terasa seperti terbakar tiap kali aku melangkah. Tiap langkah kakiku ini akan aku jadikan pengingat untuk selalu melakukan stretching tiap hari agar otot-ototku tidak kaku sewaktu dientot.
Byuur, byuur.
Air hangat yang mengguyur tubuhku membuat tubuhku merasa lebih enakan. Aku dan Lonte Lilis sama-sama telanjang, Lonte Lilis membasahi tiap jengkal tubuhku agar bersih dari sisa-sisa sperma yang menempel. Sesekali, ia meremas-remas toketku atau mencium bibirku. Aku awalnya mengira bahwa Lonte Lilis melakukan aksi lesbian karena disuruh oleh para Tuan-Tuannya tapi semakin kesini aku menduga bahwa ia sekarang mulai tertarik dengan sesama jenisnya. Mungkin ini adalah efek samping dari kajian ini, membuat para akhwat suka untuk mengentot dengan siapapun tak peduli jenis kelaminnya.
Saat aku dan Lonte Lilis selesai membersihkan diri kami, khatib jumatan sudah mulai menyampaikan kultumnya. Aku dan Lonte Llis mengangkat mukena bawahan kami sembari berjalan cepat untuk segera sampai di masjid. Kakiku sebenarnya masih agak sakit, tapi aku paksa berjalan untuk segera memuaskan Tuan-Tuanku.
Begitu sampai di masjid, aku dan Lonte Lilis berpisah begitu kami sampai di masjid. Lonte Lilis pergi ke bagian belakang masjid tempat para lonte-akhwat shalat, sementara aku akan pergi ke bagian depan. Lonte Lilis telah menjelaskan prosesi ini kepadaku, yaitu tiap jumatan akan ada satu akhwat yang dipilih oleh para jamaah shalat jumat untuk jadi 'kotak infaq', dan yang berkesempatan untuk dipilih melaksanakan tugas mulia kali ini adalah aku.
Aku nanti akan keliling, mulai dari shaf paling depan, dengan berjongkok dan membuka mulutku. Lalu tiap orang akan memasukkan kontolnya ke mulutku dan mengisinya dengan peju sebagai sedekah, aku akan terus bergeser hingga shaf paling belakang. Nanti setelah semua jamaah menyedekahkan peju sucinya ke diriku, aku akan pergi ke depan mempersembahkan diriku untuk dientot oleh khatib yang bertugas.
Sementara jamaah perempuan di belakang akan shalat dengan dildo yang ditaruh di tempat sujud mereka, mengingatkan bahwa sembahan mereka di dunia ini adalah kontol. Sementara memek mereka tidak dipasangi vibrator atau hal lain, sengaja begitu agar memek mereka gatal dan para pria disini bisa langsung mengentot lonte-lonte akhwat yang haus kontol nanti.
"Buka mukenamu, bapak pengen dikocok pake toketmu," ucap seorang bapak tua berpeci putih yang berada di shaf pertama paling pojok. Bapak itu berdiri dan sudah mengeluarkan kontolnya dari sarungnya.
Aku langsung membuka mukena bagian atasku. Aku lalu meludahi tangaku dan mengusap-usapkannya ke toketku agar licin. Tanganku kuludahi sekali lagi, kali ini untuk membasahi kontol bapak itu.
"Nghh," Bapak itu menggeram saat aku mengocok kontolnya dengan toketku.
Kontolnya yang maju mundur tepat di depan wajahku itu membuatku ingin sekali untuk mencium dan menjilatinya, tapi aku sekuat tenaga menahan hasrat mesumku itu. Selama bapak itu hanya memerintahkan untuk dikocok kontolnya oleh toketku, maka hanya toketku yang boleh memuaskan kontolnya, tak boleh ada yang lain.
Aku terus mengocok kontol bapak itu dengan toketku selama beberapa menit hingga akhirnya bapak itu mengerang dan mengarahkan kontolnya ke mulutku. Aku segera membuka mulutku selebar mungkin.
Crot! Crot! Crot!
Cairan peju suci menyembur masuk ke dalam tenggorokanku, aku segera menelan semua peju itu hingga habis dan memastikan tak ada satu tetespun yang jatuh terbuang sia-sia. Begitu bapak itu selesai mengeluarkan semua pejunya ia kembali memasang sarungnya dan duduk mendengarkan khutbah.
Glek, glek, glek. Aku menelan habis semua peju bapak itu lalu segera bergeser ke samping untuk menerima infaq selanjutnya, kali ini dari seorang pemuda yang kutaksir masih sma.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, remaja itu langsung menarik kepalaku dan menyodokkan kontolnya ke dalam mulutku.
GLOKGH! GLOKGH! GLOKGH!
Jauh berbeda sekali dengan bapak tua di sebelahnya tadi, remaja ini punya tenaga banyak dan memperlakukanku lebih kasar.
"Nghhh, Lonteeee! kuentot mulutmu Aniii! eghhh, Ani lonteee!"
Remaja itu meracau menyebutkan nama wanita lain, mungkin teman sekolahnya yang ia imajinasikan sedang ia entot. Saking rendahnya harga diriku, aku bahkan tak jadi imajinasi remaja satu ini. Ia hanya menggunakan mulutku dan lebih memilih membayangkan wanita lain.
Selagi mulutku dientot bergilir oleh jamaah disini, khatib jumatan memberikan ceramahnya yang menurutku sangat bagus.
"Jamaah yang dirahmati Allah, kita semua tau bahwa tugas wanita di dunia ini cuma satu, yaitu sebagai pemuas nafsu pria. Kita sering mengecam wanita-wanita barat yang berpakaian minim, banyak pergaulan bebas, dan melakukan banyak dosa. Tapi kita lupa bahwa walaupun mereka itu adalah orang kafir, setidaknya mereka telah melakukan tugas mereka sebagai wanita yaitu memuaskan nafsu para pria.
Sedangkan para akhwat, para Ummahat yang berlagak bahwa mereka adalah muslimah sholihah paling suci tapi ketika ada pria menyodorkan kontol mereka untuk dipuaskan mereka tolak, atau ketika toket mereka diremas di tempat umum malah para akhwat rendahan itu menampar para pria tersebut. Bukankah itu perbuatan dosa besar? menolak melayani semua pria yang membutuhkan nafsu birahinya dipuaskan?"
Aku termasuk salah satu akhwat yang terlambat sadar apa fitrah dan tugas kami di dunia ini. Untungnya Tuan Tisna menyadarkan diriku dengan memaksaku untuk bertaaruf dengan Tuan Hendra.
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Seorang bapak berperut buncit sedang menggunakan mulutku. Bapak itu adalah orang terakhir di shaf pertama yang aku layani sedekahnya.
"Woi lonte cepet nyepongnya! kita belum sedekah peju ini!" ucap seorang pria yang berada di shaf kedua. "Nih lonte lama anjing, biasanya lonte-lonte lain cepet!"
"Iya tuh," ucap yang lain.
Beberapa orang lainnya juga ikut berteriak memperkeruh suasana hingga khatib jumatan harus mendiamkan mereka.
"Bapak-bapak hadirin yang dirahmati Allah, tenang ya, sabar nanti pasti dapat giliran masing-masing," ucap sang Khatib. "Lonte kita hari ini sepertinya memang belum dilatih."
"M-maaf Tuan-Tuan," ucapku. Aku merasa begitu malu, jadi lonte saja aku pun tak becus. Aku segera merangkak menuju shaf dua untuk segera melayani Tuanku selanjutnya.
Sluurp, sluurp,
Glokgh! Glogkh!
Walaupun aku sudah mengerahkan semua tenagaku untuk secepatnya membuat Tuan-Tuan disini crot tapi tetap saja aku terlalu lamban bagi mereka. Para jamaah disini mulai gusar terhadapku. Berkali-kali muka, toket dan bokongku ditampar untuk melampiaskan kekesalan mereka.
Hingga akhirnya, khatib memerintahkan untuk beberapa akhwat yang ada dibelakang maju ke shaf laki-laki untuk mempercepat proses sedekah peju kali ini.
SLUURP, SLURPPP.
GLOKGHH! GLOKGH!
"Nghhh, Lonteee alimmm mulutmuu udah kayak memekk," seru salah seorang jamaah pria di shaf belakang.
Masjid ini penuh dengan suara jilatan, sodokan kontol dan erangan para jamaah yang keenakan mulut mereka disepong. Walaupun dibantu oleh banyak lonte-akhwat lain, tapi tempat penerimaan sedekah peju tetaplah mulutku, jadinya bergiliran lah setiap lonte-akhwat harus menampung peju itu di mulut mereka lalu memindahkannya ke aku.
"Buka mulutmu lonte!" ucap salah satu lonte-akhwat yang datang kearahku. Ia lalu memuntahkan peju yang ia simpan di mulutnya ke mulutku. Ekpresinya sama marahnya dengan para jamaah pria disini, kesal dan marah karena aku tak becus.
Glek, glek, glek. Dengan cepat aku menelan peju itu karena antrian akhwat lain yang ingin mentrasfer pejunya ke mulutku banyak.
"Ahh," aku mengerang sakit saat mukenaku dijambak dari dibelakang.
Cuh! Cuh!
Seorang Lonte Akhwat yang ternyata adalah Lonte Hanifah meludahi mulutku dengan peju yang berada di mulutnya, "Ayo Lonte Auliya kurang sedikit lagi yang belum sedekah peju," ucapnya menyemangatiku. "Lonte kayak kamu harus dikasari biar berbenah, jangan buat marah Tuan-Tuanmu lagi," lanjut Lonte Hanifah diiringi tangannya yang menampar pipiku.
"I-iya," ucapku. Mulutku langsung kembali dipenuhi oleh sebatang kontol.
Glokgh! Gloghk! Glokgh!
Aku benar-benar jadi bulanan di masjid ini, entah pria atau wanita semuanya seakan membenciku. Begitu semua Tuan-Tuan yang hadir disini selesai menyedekahkan peju mereka, shalat jumat yang sudah telat sekali ini akhirnya akan dilaksanakan.
Tugasku sebagai lonte belum selesai, aku kini harus merangkak dari shaf belakang ke tempat imam. Bokongku tentu ditampar tiap kali aku berpindah shaf, sakit sekali rasanya namun yang keluar dari mulutku justru adalah desahan. Desahan menggairahkan yang makin memancing semua Tuan-Tuan disini untuk menampar bokongku.
"Dasar Lonte gabecus, kalau gini nanti Tuan Hendra pasti nyesel nikahin kamu!" hardik sang Khatib, tatapannya sinis kepadaku.
"A-ampun Tuan, Lonte ini masih perlu belajar banyak," aku memohon ampun sambil bersujud di depan bapak bertubuh tinggi besar yang jadi khatib sekaligus imam itu.
"Diem lonte! saya gamau denger alesan kamu," hardiknya lagi. Ia lalu menyuruhku untuk membuka sarungnya. Kontolnya besar dan sudah mengacung tegak, tapi bukan hal itu yang mengejutkanku. Kontol Khatib ini ternyata tak disunat dan kepala kontolnya berkulup.
"Gausah heran lonte," ucapnya berbisik kepadaku. "Saya masuk islam dan kajian ini memang sengaja untuk buat nikmatin memek-memek muslimah kayak kamu." lanjutnya sambil terkekeh pelan.
Aku terkejut mendengar hal itu. Ternyata kajian ini bukan hanya diisi oleh lelaki muslim yang penuh birahi namun juga orang-orang kafir yang tertarik ingin memakai memek akhwat. Khatib di depanku itu lalu bertakbir.
"Allahuakbar," ucap Bapak Khatib itu memulai shalatnya. "Alhamdulillahirabbilalamin..."
Bersamaan dengan Tuanku yang memulai shalatnya itu aku juga memulai ibadahku, menjilati kepala kontol miliknya yang masih tertutup kulit berkulup itu. Setidaknya walaupun tujuan Tuanku ini masuk islam untuk memperkosa memek dan anus wanita muslimah, ia masih bisa melafalkan bacaan dan surat Al Quran dengan lancar. Aku melirik ke belakang Tuanku, dan para akhwat yang tadi di shaf belakang kini semuanya maju dan sedang beribadah juga sepertiku yaitu menjilati kontol para ikhwan yang sedang shalat jumat.
Slurrp, Sluurp. Aku mulai turun menjilati batang kontolnya hingga ke pangkalnya. Lalu setelah basah penuh kontolnya itu, aku mulai menyepongnya.
Hebatnya, walaupun kudengar suaranya bergetar karena menikmati seponganku tapi ia masih bisa melafalkan surat dan bacaan shalat dengan lancar. Berbeda dengan diriku dan para akhwat yang bacaannya langsung kacau dan mendesah-desah saat kami dirangsang. Satu lagi bukti yang menyadarkanku bahwa laki-laki memang lebih baik dari wanita.
Saat Tuanku itu rukuk, aku berhenti menyepong dan membalikkan badanku dan bersujud menghadap kiblat. Bokongku kuangkat tinggi mengarah ke Bapak Khatib.
"Allahuakbar," ucap Bapak Khatib itu. Seharusnya dalam shalat, gerakan selanjutnya setelah I’tidal adalah sujud. Namun dalam kajian ini, sujud menyembah Allah akan digantikan oleh lonte di depan mereka yang sedang bersujud. Sementara para Tuan-Tuan disini akan mengentot memek kami.
Sleb!
“Ouhhhh,” aku mendesah nikmat ketika kontol berkulup itu memasuki liang memekku.
Plok! Plok! Plok!
“Nghhh, Kontol, Kontol, Kontol, nghhh, Kontol, shhhhh, ennaAAAKK, OUHHH, Kontolll kafirrrr, ” aku mengucapkan doa sujudku yaitu menyembah kontol yang telah memberiku kenikmatan duniawi.
Plok! Plok! Plok!
Ternyata, kontol berkulup itu terasa berbeda sekali rasanya dengan kontol yang disunat. Rasanya lebih tebal dan enak.
"Ya Allah, ampunilah aku," rintihku, tanganku erat-erat mencengkram ujung sajadah. Tubuhku bergetar ketika aku merasakan kontol berkulup Tuanku menusukku dari belakang, air liurku hingga berleleran jatuh ke sajadah.
“Kamu nyembah siapa sekarang lonte?!” Tuanku menggeram, tangannya mencengkram jilbabku dan menariknya kebelakang sampai kepalaku mendongak.
“Ouhhh, kontollll Tuannnn, Lonte ini menyembahh kontollll besarrrr, tebelll, ahhhh, sodok-sodok terusss,” desahku.
Tuanku mendengus puas, tujahan kontolnya di memekku menjadi lebih kencang. Masjid ini sekali lagi dipenuhi oleh suara erangan dan desahan para muslimah yang sedang beribadah pada kenikmatan duniawi, kenikmatan kontol.
Mataku membelalak ketika aku merasakan kontol Tuanku itu mengeras dan berkedut-kedut dalam memekku, tanda sebentar lagi ia akan memberiku cairan sucinya.
"Nghhhh, pecun berjilbabb suka dientottt kontoll," erang Tuanku, tangannya masih mencengkeram jilbabku selagi ia mengatur nafasnya.
Crot! Crot! Crot!
Aku merasakan pancutan-pancutan hangat mengisi memekku yang membuat tubuhku bergetar, “Ouhhhh, Tuannnn lontemuuu ini orgasmeeee,” erangku.
Memekku menjadi saksi bertemunya cairan orgasme wanita sholihah dengan cairan peju kontol kafir. Hangat. NIkmat.
Plop.
Setelah kontol Tuanku terlepas dari memekku, aku ambruk ke lantai, tubuhku masih bergetar karena orgasme yang kualami tadi. Aku bisa merasakan air maninya meleleh keluar dari memekku.
“Bersihin kontolku, perek,” perintah Tuanku. Aku dengan segera membaiikkan tubuhku dan merangkak ke arahnya.
Sluurp, sluurpp.
Kujilati cairan orgasmeku sendiri yang menempel di batang kontol Tuanku ini hingga bersih.
“Nghh,” Tuanku mengerang keenakan membuatku bangga. Salah satu pencapaian tertinggi bagi seorang wanita adalah ia bisa memuaskan semua pria yang ia temui, dan aku berhasil melakukannya kali ini.
Setelah menjilati kontol Tuanku itu dari ujung ke ujung aku mulai menyepong seluruh batang kontolnya hingga seluruhnya tenggelam ke dalam mulutku. Aku mulai menyadari bahwa kontolnya mengeras kembali dan itu berarti aku bakal dientot lagi.
“Nghh, seponganmu enak juga lonte,” ucapnya memujiku. “Kalau begini Hendra nanti mungkin bisa puas ngentot kamu,”
Mendengar pujian itu membuatku makin bersemangat menyepong kontol Tuanku ini. Aku tak tahu apakah Tuanku ini berbohong atau tidak, tetapi mendengar ada kesempatan kecil untuk membuat Tuan Hendra terkesan denganku, apapun itu akan kuambil.
“Cukup,” ucap Tuanku. “Kamu rebahan di sajadah sambil pegangin kakimu lebar-lebar, aku pengen ngentot memekmu lagi.”
Aku melakukan apa yang diperintahkan Tuanku itu, tubuhku sedikit bergetar mengantisipasi kontol besar Tuanku itu kembali merangsek mengoyak-oyak memekku.
Sleb!
Dengan satu sodokan, memekku kembali ditujah oleh Tuanku dan aku kembali mendesah-desah panjang.
***
Beberapa jam kemudian, aku sudah berpindah tempat di pekarangan rumah Tuan Hendra. Tuan Renno, sepupu Tuan Hendra yang masih SMA, sedang mengentotku. Aku bisa mendengar suara desahan Lonte Lilis, ibuku sendiri, yang sedang dientot oleh Tuan Hendra dari dalam rumah. Suara mereka berdua yang penuh kenikmatan itu membuatku cemburu.
Plak!
“Fokus sama Tuan yang lagi ngentot elu anjing!” teriak Tuan Renno.
“I-iya Tuan, m-maaf, nghhh, ouhhh,” ucapku. sepertinya Tuan Renno menyadari kecemburuanku.
“Udah berapa kontol yang ngentot memek lu?” tanya Tuan Renno disela-sela erangannya.
“Nghhh, ngga tau Tuann, udah banyakkk, dua puluh lebihhh,” ucapku.
Sebenarnya, aku tak tau berapa kontol yang sudah masuk ke dalam memek menjijikkanku ini, mungkin 50 lebih tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya.
Tuan Renno tertawa kecil, menarik kalung penandaku sebagai lonte yang terpasang leherku.”Gw pasang tali di kalunglu biar lu jadi anjing beneran,” ucapnya sambil memasang tali di kalungku. “Who’s a good girl huh?”
Plak! Plak! Plak!
Tuan Renno menampar bokongku berulang kali, suaranya keras sekali. Tubuhku menggelinjang karena keenakan.
"Guk, guk, guk, guk," aku menggonggong, suaraku teredam oleh rerumputan di bawahku.
Plok! Plok! Plok!
Tuan Renno menambah cepat sodokan kontolnya di memekku.
“Nghhh, guk, guk, guk, Auliyaa anjinggg, Auliya anjinggg, anjingnya Tuan yang pintar dan penurut, ouhhhhh,”
Punggungku melenting keatas saat aku merasakan orgasmeku hampir tiba, tapi disaat itulah ia tiba-tiba mengeluarkan kontolnya dari memekku.
“Ahh, T-tuan…” aku melenguh, memekku terasa kosong ketika tak diisi kontol.
“Gaada yang ngizinin lu buat orgasme,” hardiknya.
“Iya Tuan….” ucapku sedih. Walaupun aku sangat ingin orgasme, tapi kepuasan Tuanku adalah tugas utama seorang lonte.
“Nungging yang tinggi, gw pengen ngentot anus lu,” ucap Tuanku selanjutnya.
Aku lalu melakukan seperti apa yang disuruh Tuanku itu, mengangkat bokongku tinggi-tinggi. Aku bersiap menerima sodokan kontol di anusku.
Sleb!
“Ouhhhnhh,” aku mendesah keenakan, bukan anusku yang disodok duluan tetapi memekku lagi. Kali ini oleh sebuah dildo yang aku tak tau kapan Tuan Renno ambil.
“Gw lakban dildo ini di memek lu mau?” tanya Tuanku. “Biar memek lu ga gatel terus,”
“Iyahh Tuann, makasihhh, pleaseee di lakban, ouhh, dildonya di memekku, shhh,” ucapku memohon-mohon. Tuan Renno begitu baik kepadaku, walaupun sebenarnya ia bisa mendapatkan kepuasan sendiri tanpa memedulikanku tapi ia ingin aku juga puas, memenuhi anus dan memekku dengan kontol.
Tuan Renno lalu melakban memekku itu dengan dildo berada di dalamnya, lalu..
Sleb!
“OUHHHH,” Aku mendesah lebih keras dari sebelumnya.
Memek dan anusku dientot secara bersamaan adalah cara ngentot favoritku.
Plok! Plok! Plok!
“Ayo jalan ke dalem rumah!” ucap Tuan Renno sambil menarik kalungku. “Jangan sampe kontol gw lepas dari anus lu!”
“Iyahh, ngsshhh, ouhhh, Tuannn,” ucapku.
“Jangan lupa gonggong terus, kamu itu anjing piaraanku!”
Aku lalu merangkak seperti anjing menuju ke dalam rumah Tuan Hendra. Karena di belakangku ada Tuan Renno yang mengentotku, aku harus pelan-pelan sekali merangkaknya.
“Guk, guk, guk, Auliya anjing pintarr suka dientott,” ucapku sambil tersenyum. Daripada jadi ustazah sepertinya jadi anjing piaraan lebih enak.
Tiap kali aku merangkak maju, kontol Tuan Renno akan menyodokku sekali sehingga aku harus berhenti sebentar karena sodokan kontolnya membuat tubuhku gila keenakan. Tubuhku serasa tak mau digerakkan dan hanya ingin diam untuk dientot terus.
Setelah bersusah payah melawan nafsuku sendiri itu, akhirnya kami berdua masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, aku melihat Lonte Lilis sedang duduk diatas Tuan Hendra, mengulek-ulek kontolnya.
“Nghhh, ouhhhh Tuan Hendraaa kontolmu besarrr,” desah Lonte Lilis.
Tuan Renno terus menyuruhku untuk merangkak sampai aku berada di depan Tuan Hendra, “Stop,” ucap Tuan Renno memerintahkanku berhenti.
“Akhirnya anjing kesayanganku dateng,” ucap Tuan Hendra, senyum lebar terpampang di wajahnya ketika melihat diriku, mungkin ia bangga melihat diriku yang sudah menjadi lonte pintar atau ia menertawakanku diriku yang jadi mainan anjing seorang anak sma.
“Iya Tuannghhh, ouhhh,”
Plok! Plok! Plok!
Kontol Tuan Renno kembali memompa anusku yang sempit, sodokan kasarnya mengirimkan gelombang kenikmatan ke seluruh tubuhku sampai membuat tubuhku tersentak kedepan dan menabrak kaki Tuan Hendra. Aku mendesah keras, suaraku bercampur dengan erangan kenikmatan Lonte Lilis yang sedang naik turun diatas kontol Tuan Hendra.
Tuan Hendra mengalihkan pandangannya ke diriku saat kakinya tak sengaja aku senggol, “Jilat jari kakiku,” ucap Tuan Hendra. “Jilat sampai bersih mengkilap.”
“Baikhh Tuannhh,” ucapku lalu menundukkan kepalaku dan menjulurkan lidahku ke kakinya.
Sluurp, sluurpp.
Aku menjilati tiap jari kaki Tuan Hendra sampai bersih, dari jempol hingga kelingking. Kupastikan tak ada debu dan tanah yang berani mengotori kaki suci Tuan Hendra ini. Lalu saat satu kaki sudah bersih, aku berganti ke kaki yang lain.
Saat aku menjilati jari kakinya, Tuan Hendra tiba-tiba memasukkan kakinya dalam-dalam ke mulutku membuatku tersedak.
“Sluurp, sluurp, oggOGHHH- OGHHH,”
“Lonte kayak kamu pantesnya cuma dientot sama kakiku, iya kan Lis?” ucap Tuan Hendra sambil memeluk erat pinggang Lonte Lilis.
“Iyahhh Tuannn, Lonte rendahannn kayak Lonte Auliya ituhh ga pantesshhh, ouhhh, buat nikmatin kontol Tuannn yang enakkk bangethh iniii, ouhhh,” jawab Lonte Lilis mendesah-desah. Ia menengok kebelakang, kearahku dengan senyum licik.
Aku menerima penuh semua hinaan yang dilontarkan ibu-lonteku itu, karena memang itu semua benar. Aku terlalu hina dan tak pantas untuk menjadi lonte Tuan Hendra.
“Oghhh, Oghhh,”
Otakku seperti konslet saat aku merasakan kontol Tuan Renno berkedut-kedut di dalam anusku. Aku mengerang keras, tubuhku menggelinjang menahan kenikmatan saat aku berjuang untuk bernapas di sekitar kaki Tuan Hendra yang memenuhi mulutku.
“NGHHH, OGHHH, OGHHH, OFGHHFH,” aku meracau tak jelas seiring birahiku yang makin memuncak.
Saat aku akan orgasme, Tuan Renno menarik kontolnya keluar dari anusku. Begitu juga Tuan Hendra yang mengangkat Lonte Lilis dan menggesernya kasar ke samping. Aku dan Lonte Lilis melenguh memprotes lubang kami yang kini megap-megap lebar tanpa kontol.
Tapi, sebelum aku bisa memprotes lebih jauh, Tuan Hendra melepas lakban di memekku.
“Ahhh!” aku berteriak kesakitan yang diiringi desahan ketika Tuan Hendra menarik dildo dalam memekku keluar.
“Gantian kontolku yang masuk ke dalam memekmu,”
“Iyahhh, nghhh, shhhh,”
Sleb!
Tuan Hendra mendorong masuk kontolnya ke dalam memekku yang telah dower karena kemasukan berpuluh-puluh kontol ini. Sementara itu, Tuan Renno menyuruh ibuku untuk merangkak ke sampingku.
Aku dan Lonte Lilis kini berjejer menungging seperti anjing dikontoli oleh Tuan-Tuan mereka.
Bleshhh!
“Ouhhh,” Lonte Lilis mendesah saat anusnya dimasuki oleh kontol yang tadi baru saja menyodomi anaknya sendiri itu. “Woof, woof, woof,”
“Hahaha,” Tuan Renno terkekeh melihat Lonte Lilis menggonggong. “Gini dong, tanpa disuruh udah jadi anjing,”
“Woof, woof,” Lonte Lilis menggonggong lagi, seakan menjawab pujian dari Tuan Renno itu. Kadang ia ganti jenis gonggongannya dengan ‘guk, guk,’ atau ‘grrrr, grrr’ meniru anjing yang marah. Harus aku akui Lonte Lilis lebih pintar berlagak jadi anjing daripada diriku yang hanya menirukan satu suara saja.
“Kamu juga menggonggong dong,” ucap Tuan Hendra kepadaku. “Masa anak anjing ngga ngikutin ibunya,”
“Woof, woof, woof,” ucapku menirukan gonggongan Lonte Lilis.
Plok! Plok! Plok!
Kami berdua terus menggonggong selagi Tuan Renno dan Tuan Hendra mengentot diri kami. Sesekali Lonte Lilis melihat diriku dengan tatapan nafsu, ia seperti sudah tak menganggap aku seperti anaknya, melainkan hanyalah sebagai lonte pemuas nafsu.
Perlahan, Lonte Lilis mendekatkan mulutnya ke mulutku dan kami berdua berciuman. Posisinya agak aneh karena kami bersampingan dan lagi dientot, tapi aku tetap menikmatinya. Seumur hidupku, aku merasa hubunganku dengan ibuku tak pernah sedekat ini. Mungkin kunci dari hubungan orangtua-anak yang dekat adalah ngentot bersama.
“Ouhhhhh,” Lonte Lilis mendesah-desah dan tubuhnya menggelinjang. Aku menengok kebelakang dan ternyata Tuan Renno memasukkan dildo yang tadi berada di memekku ke memek Lonte Lilis.
“Dildo bekas anakmu enak ngga?” tanya Tuan Renno sambil melakban dildo itu ke memek Lonte Lilis.
“ENghhh, enakkkk Tuannnn, enakkhhhh,” desah Lonte Lilis.
Aku juga ikut mendesah saat merasakan orgasmeku hampir tiba lagi, “Ouhhhhhh,”
“Tahann lontee, nghhh, aku mau orgasme juga,” ucap Tuan Hendra.
Tuan Hendra menyodokkkan kontolnya dalam-dalam, ditambah tangannya ikut menstimulasi anusku. Tak lama berselang, Tuan Hendra mengerang.
“Nghhh!!!”
Crot! Crot! Crot!
Tuan Hendra menyemburkan spermanya ke dalam memekku, dan aku orgasme saat itu juga.
“Ouhhhhh, rahimku angettt Tuannnn, nghhh, ouhhhh,”
Tuan Renno dan Lonte Lilis pun juga sama mengalami orgasme mereka. Pejunya Tuan Renno bahkan hingga melumer keluar dari anus Lonte Lilis yang sempit itu.
“Ouhhhhh, anusku penuhhh Tuannnn, nghhh oouhhhh,” desah Lonte Lilis keras.
Aku terbaring jatuh di lantai ruang tamu sehabis Tuan Hendra mengeluarkan kontolnya dari memekku. Tenagaku habis dan tubuhku tak mau digerakkan, Tuan Hendra pun sepertinya sudah kecapaian mengentot hari ini.
Sama sepeti diriku, Lonte Lilis terkulai lemas di lantai. Anusnya masih mengempot-empot bergetar seakan belum selesai dengan orgasmenya.
Aku melihat Tuan Hendra dan Tuan Renno duduk di sofa bersantai meminum alkohol dari botolnya langsung. Aku mendengar suara tv yang sepertinya menayangkan acara sepakbola, namun aku terlalu lemah untuk melihat kebelakang. Tubuhku dan Lonte Lilis dibiarkan terkulai lemah di lantai tak diurusi.
Walaupun begitu, aku yakin mereka berdua belum selesai memakai tubuh kami. Entah perintah apa yang akan mereka bebankan kepada kami selanjutnya, karena itulah aku selalu memasang telingaku agar bisa langsung melaksanakan perintah dari Tuan-Tuanku.
Sekitar lima menit kemudian, Tuan Renno akhirnya memerintahkanku untuk menjilati spermanya yang ada di anus Lonte Lilis, “Lubang tai ibumu itu surgamu!“ ucap Tuan Renno.
Dengan susah payah, aku merangkak ke tubuh Lonte Lilis, tubuhku gemetar karena lelah tapi aku tak mempedulikannya. Perintah Tuanku adalah mutlak. Aku memposisikan wajahku di atas anus Lonte Lilis yang entah masih sadar atau tidak setelah orgasmenya tadi, dan mulai menjilati anusnya.
“Sluurp, sluuurp, sluuurp,” aku menjulurkan lidahku ke dalam anus Lonte Lilis, menjilati peju yang menempel di dinding duburnya.
“Nghhh,”
Aku mendengar Lonte Lilis melenguh samar-samar saat aku memasukkan jari-jariku ke dalam anusnya, mengais peju tersisa yang masih tertinggal di dalam. Punggungnya hingga melenting keenakan waktu aku memaju-mundurkan tanganku di dalam anusnya seperti gerakan kontol.
“Sluuurp, sluurpp,” aku menjilati tanganku yang penuh oleh peju Tuan Renno.
Krek.
Aku mendengar pintu rumah dibuka dari luar, dari langkah kaki yang kudengar sepertinya ada dua orang yang masuk. Aku tak berani menengok kebelakang karena aku belum menyelesaikan tugasku untuk membersihkan lubang surga ibu-lonteku ini.
“Gimana Mas Hendra?” tanya suara yang aku jelas kenal adalah suara Tuan Doni. “Lonte ga guna ini bisa kami ambil sekarang?”
Aku yang masih menjilati lubang anus Lonte Lilis kebingungan. Aku mau diambil buat apa?
“Silahkan, ternyata memeknya ibunya lebih enak daripada memek lonte satu ini,” ucap Tuan Hendra santai.
“Wah, kalau begitu kita ambil sekarang juga ya,” ucap Tuan Aditya. Ia lalu menarik paksa kalung di leherku dan menarikku keluar.
“T-tuan Hendra, ini m-maksudnya apa?” tanyaku yang masih kebingungan.
“Maksudnya itu,” ucap Tuan Hendra sambil menatapku sinis. “Kamu bakal jadi miliknya Doni sama Aditya, di ibukota nanti tugasmu adalah berdakwah dan menyebarkan ajaran kajian ini.”
Aku tak sanggup berkata-kata mendengar perkataan Tuan Hendra. Hari pertamaku menikah dengannya adalah hari yang sama dimana aku tak akan bisa melihatnya lagi sampai entah kapan.
***1630Please respect copyright.PENANAvIBVX5l4nJ