Aku duduk di kamar memainkan jari-jariku sendiri, jantungku berdegup kencang menunggu kehadiran keluarga calon suamiku. Mas Hendra dan aku sudah bertaarufan selama seminggu terakhir dan hari ini keluarga mereka akan bertemu dengan ayahku.
Empat tahun yang lalu, aku meninggalkan desa ini dan pergi ke ibukota provinsi untuk mengejar impianku kuliah di universitas ternama. Orang tuaku, terutama ayahku, menentang keputusanku ini. Mereka bilang percuma kuliah karena nantinya juga jadi ibu rumah tangga.
Namun, sifatku yang keras kepala membuat ayahku akhirnya terpaksa mengizinkanku pergi ke ibukota. Disana aku belajar dengan keras, meraih gelar sarjana, dan hidup mandiri. Awalnya aku tak setuju dijodohkan oleh orang tuaku tetapi mengingat bahwa aku belum mampu membahagiakan mereka, aku akhirnya menerima dijodohkan dan pulang ke desa.
Ayahku mengingatkanku bahwa tradisi keluarga mereka cukup aneh, aku tak tau apa maksud dari perkataannya. Ayah hanya bilang bahwa aku harus melakukan apapun yang mereka minta nanti. Aku melirik jam dinding, bertanya-tanya kapan mereka akan tiba.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara mobil berhenti di luar rumah. Suara ayahku memanggil dari ruang tamu, "Auliya, tamunya sudah datang. Ayo keluar."
Aku menarik nafas dalam-dalam dan beranjak menuju ke ruang tamu. Saat aku memasuki ruang tamu, aku melihat Mas Hendra. Badannya tinggi dan cukup tampan menurutku, senyum hangatnya membuat rasa gugupku mereda. Tetapi, ayah dan pamannya membuatku tidak nyaman. Sedari tadi mata mereka jelalatan melihat tubuhku, seakan aku adalah seonggok daging. Aku melihat ke ayahku, berharap ada tanda ketidaksetujuan darinya melihat putrinya dijelalati oleh paman dan ayah calon suamiku, namun ayahku seperti tak terganggu.
Ayahnya Mas Hendra, yang kini aku tahu namanya adalah Hendro, mengobrol cukup panjang membahas pernikahan dengan ayahku. Mas Hendra dan pamannya—Aris— sesekali menambahi, sementara aku hanya diam saja. Aku dan Mas Hendra sesekali bertukar pandang. Ketika ia tersenyum, aku reflek menundukkan pandanganku, pipiku memerah. Beginikah rasanya jatuh cinta kepada calon suami?
Suara Pak Hendro membuyarkan lamunanku, "Sekarang, kami pengen liat celana dalamnya dek Auliya."
Aku terkejut mendengar perkataan Pak Hendro dan mengira kalau ini hanya sekedar bercanda. Aku melihat ke arah ayahku tetapi ia justru menyuruhku untuk melakukan apa yang Pak Hendro suruh. Mas Hendra pun justru tersenyum—senyuman yang sama yang tadi membuatku kesengsem— dan mengisyaratkan agar aku melakukan hal itu.
Akhirnya, dengan terpaksa aku berdiri dan hendak menuju ke kamar untuk mencopot celana dalamku tapi ayahku memberhentikanku. "Kamu lihatin celana dalammu disini,"
Tertegun, aku menatap ayahku dengan rasa malu, "D-disini?" ucapku tak percaya. "Tap-"
"Kamu lakuin perintah mereka sekarang juga." ucap ayahku tegas. Suara yang sama ketika ia ingin menghukumku waktu dulu waktu kecil.
Tanganku bergetar ketika aku akhirnya mulai mencopot celana panjang yang aku pakai dibalik gamisku, menaruhnya di lantai. Tentu saja, pandangan mesum kedua pria tua dihadapanku itu mengikuti semua gerak-gerikku. Aku menatap Mas Hendra sekali lagi, berharap ia melakukan sesuatu, tetapi ia justru terlihat makin senang sekarang.
Aku lalu menaikkan gamisku hingga perut, memperlihatkan celana dalam yang kupakai.
"Ah, seperti yang sudah saya duga." ucap Pak Hendro, suaranya terdengar kecewa. "Celana dalamnya terlalu polos dan biasa-biasa saja. Tidak pantas jadi istri kalau begini."
Pak Aris mengangguk setuju, mencibir ke arahku. "Betul, pakaian yang dipake seorang istri itu harus selalu seksi dan menggairahkan buat suami. Kalau begini mending tidak pake celana dalam saja sekalian."
Sempat terpikir di benakku untuk melempar vas bunga di meja tamu ini ke arah mereka, tetapi ku urungkan karena aku tidak ingin merusak pernikahan yang telah direncanakan oleh ayahku ini.
"Auliya, kamu harus selalu berpakain seksi buat suamimu nanti. Itu tugasmu sebagai istri, memuaskan nafsu suamimu. Iyakan Hend?" ucap Pak Hendro.
Mas Hendra mengangguk-angguk, "Betul, itu tugas seorang istri."
"Selanjutnya, kami pengen mencoba seberapa bagus pelayanan Auliya ke calon suaminya di ranjang. Boleh kan Pak Tisna?" tanya Pak Hendro ke ayahku.
"Tentu boleh, mari bapak-bapak ke kamar anak saya." ucapnya lalu berdiri dan membimbing tamu kami.
Aku bahkan belum menyurakan pendapatku sendiri dan mereka langsung menuju kamarku. Aku seakan tak lebih dari sekedar objek seksual yang terlalu rendah untuk sekedar didengar suaranya. Dengan menahan tangis, aku berjalan mengikuti mereka dari belakang.
Ayahku memberi isyarat agar aku duduk di tepi kasur, dengan enggan aku menurutinya. Pak Hendro dan Pak Aris lalu duduk mengapitku. Aku merasa seperti anak domba yang dikepung serigala, hanya menunggu waktu untuk dimakan.
Ayahku membawa dua kursi untuk Mas Hendra dan dirinya sendiri, dan mereka berdua duduk untuk menonton diriku dilecehkan. Aku ingin protes dan melawan, tapi tatapan tegas di wajah ayahku membuatku mengurungkan niatku itu.
"Saya periksa memek Auliya dulu ya, Pak," kata Mas Hendro, tangannya menjulur ke arah selangkanganku.
"Silakan, silahkan," jawab ayahku sambil tersenyum.
Pak Hendro mengangkat gamisku dan menyelipkan tangannya ke balik celana dalamku. Aku mencoba memprotes, tetapi lidahku menjadi kelu saat jari-jarinya memasuki vaginaku. Tubuhku menggelinjang ketika Pak Hendro mulai menggerakkan jari-jarinya.
Pak Aris juga tidak tinggal diam, tangannya menjelajahi payudaraku, meremas dan meraba-rabanya melalui kain tipis gamisku. Aku memejamkan mata, berharap bahwa semua ini sekedar mimpi. Tapi tak ada gunanya, karena tubuhku justru mengkhianati diriku sendiri dengan merespon rangsangan yang mereka berikan, kakiku berjinjit-jinjit saat Pak Hendro memasukkan satu jarinya lagi ke dalam memekku dan mulai mengobelnya dengan cepat. Pak Aris juga memilin-milin pentilku membuat kepalaku mendongak keenakan.
"Liat kesini nduk," ucap Pak Aris sambil menggunakan tangannya untuk menolehkan kepalaku.
Begitu aku menoleh, bibirku langsung dilahap olehnya. Aku berusaha melawan, namun kepalaku dicengkram oleh Pak Aris. Lidahnya berusaha masuk ke dalam mulutku, tapi aku menutup mulutku erat-erat.
Sayangnya, rangsangan yang bertubi-tubi datang menyerang tubuhku membuat aku tak bisa berpikir jernih dan nafsuku mengambil alih. Bibirku akhirnya terbuka sedikit dan mulai dilumat oleh Pak Aris. Tanpa sadar aku mulai membalas lumatan Pak Aris dengan lidahku juga.
Clep, clep, clep.
Jari-jari Pak Hendro semakin cepat mengobel memekku, kepalanya juga turun menjilati toketku yang kini terpampang bebas setelah kancing gamisku dilepas olehnya.
"Ouhh, nghhh," Desahan keluar dari mulutku. Aku tak menjawab, pikiranku dipenuhi oleh rasa nikmat dan malu. Tubuhku bergetar sendiri saat merasakan orgasme yang makin dekat, vaginaku mengepal di sekitar jari-jari Pak Hendro.
Clep, clep, clep.
Tak lama kemudian, aku berteriak. Tubuhku mengejang-ngejang saat aku orgasme. Vaginaku mengepal di sekitar jari-jari Pak Hendro. Jari-jarinya masih mengobel memekku seperti hendak mengeluarkan orgasmeku hingga tak tersisa. Aku lemas bersandar ke depan, di dadanya Pak Aris.
"Sekarang, kami mau cobain pelayanan memek Auilya. Boleh kan Pak?" tanya Pak Hendro.
"Boleh pak, semua tubuhnya Auliya silahkan dicoba,"
Aku masih terengah-engah ketika Pak Hendro membaringkan tubuhku di atas ranjang dan melebarkan kedua pahaku. "Tolong jangan, Pak," kataku, berusaha menolak.
Tapi Pak Hendro tidak menghiraukan kata-kataku. Dia mengangkat gamisku hingga ke pinggang, memperlihatkan daerah paling intimku. Dia membuka celananya dan mengeluarkan penisnya, mengarahkannya ke vaginaku.
"Ouhh," aku mendesah lemah saat Pak Hendro mennyodokkan kontolnya masuk ke dalam memekku. Memekku sudah basah, tapi kontolnya yang besar itu tetap saja membuatku sakit.
Plok! Plok! Plok!
Pak Hendro tanpa ampun menggenjot vaginaku, pinggulnya menampar pahaku di setiap sodokannya. Suara tubuh kami yang saling beradu memenuhi ruangan, diselingi erangan dan rintihan pelan dariku.
"Buka mulutmu nduk," Pak Aris berjongkok di sampingku, kontolnya yang tak kalah besar dari punya Pak Hendra mengacung menatap wajahku.
Mau tak mau aku membuka mulutku. Aku tak ingin tau apa yang akan Pak Aris lakukan jika aku berani membantahnya.
Pak Aris mengerang pelan saat dia kontolnya masuk ke dalam mulutku. Aku bisa merasakan kepala kontolnya terus merangsek masuk hingga ke tenggorkanku, membuatku tersedak. Aku mencoba bernafas melalui hidung tapi sulit karena kontol Pak Aris memenuhi mulutku.
Dia menggerakkan pinggulnya maju mundur, menyetubuhi mulutku dengan kasar membuatku merasa tak berdaya. Sementara Pak Hendro terus menggenjot memekku. Aku tak berani melawan, karena aku tahu itu hanya akan memperburuk keadaan.
Tok, tok, tok.
Ada ketukan singkat di pintu sebelum seorang wanita berjilbab masuk membawa nampan minuman. Aku memicingkan mata, mencoba melihat siapa dia. Yang mengejutkanku, ternyata itu adalah ibuku sendiri, Lilis.
"Maaf, Bapak-bapak, saya terlambat," kata Ibu. "Saya ada keperluan di luar tadi."
"Mphhh!" Aku mencoba memanggilnya, berharap Ibuku akan menyelamatkanku dari mimpi buruk ini. Tapi bukannya bergegas menolongku, Ibuk malah melepaskan gamisnya dan kini telanjang, hanya menyisakan jilbabnya saja.
Ia lalu berlutut di depan Mas Hendra dan menarik ritsleting celananya, mengeluarkan kontolnya yang sudah mengeras karena melihat calon istrinya dilecehkan. Ibuk tidak langsung menghisap kontol di depannya. Sebaliknya, ia membiarkan wajahnya berkali-kali ditampar kontol itu dahulu, layaknya seorang lonte.
"MPHHH!" Aku mencoba berteriak, tapi suaraku teredam oleh penis di mulutku. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Ibuku sendiri, ibu yang sama yang selalu mengikuti pengajian setiap minggu dan menjaga auratnya, kini dilecehkan oleh penis calon suami putrinya sendiri, tepat di samping suaminya sendiri pula.
GLOKH! GLOKGH! GLOKGH!
Pak Aris yang tampak kesal dengan kelakuanku, menghujamkan penisnya ke dalam mulutku dalam-dalam. Mulutku terbuka lebar, bibirku melingkari batang penisnya yang besar.
GLOGH! GLOKGH! GLOKG!
PLOK! PLOK! PLOK!
Aku dientot mulut dan memekku oleh dua pria bejat yang seharusnya adalah calon keluargaku sendiri, dan dipaksa melihat ibuku melayani calon suamiku. Parahnya, memekku semakin tak bisa diajak kompromi dan mengempot-empot menikmati sodokan yang diberikan Pak Hendro.
"Ahh, ahhh," aku terengah-engah, tenggorokanku tercekat dan mataku berair saat Pak Aris menarik kontolnya keluar dari mulutku.
Pak Hendro masih menyodok-nyodokkan kontolnya ke dalam memekku, kali ini makin keras dan cepat.
"Asem, memekmu peret banget nduk," Pak Hendro menggeram, tangannya mencengkram erat pinggulku.
Di sampingku, Pak Aris mengocok batang kontolnya yang mengkilap penuh ludahku. Tanpa sadar, aku membuka mulutku lebar-lebar, seakan mengundangnya untuk menzinahi mulutku lagi.
Pak Aris menyeringai, "Ketagihan kontolku ya lonte?"
Kontol Pak Aris lalu meluncur masuk ke dalam mulutku kembali. Aku mengerang, tenggorokanku mengencang di sekitar batang kontolnya saat ia mulai mengentot tenggorokanku.
Kedua lubangku dikontoli oleh mereka dan bukannya merasa sakit, justru tanganku bergerak sendiri dan mulai menggesek-gesek klitorisku, tanganku yang satunya meremas-remas toketku sendiri.
"Ternyata kamu lonte ya, ngghh," ucap Pak Hendro melihatku menggesek-gesek klitorisku sendiri. "Dientot dua kontol masih gatel memeknya,"
Aku mengangguk-angguk. Akal pikirku telah tergantikan oleh hawa nafsu. Aku tak menyangka berzina bisa seenak ini rasanya.
"Nghhh, cocok kamu jadi lonte baru keluarga kitaaa!" Pak Hendro mengerang. Aku bisa merasakan kontolnya menegang di dalam memekku.
"Betul, shhh, pokoknya habis kamu jadi istrinya Hendra mulutmu bakal tak entot tiap hari!"
"Mppphhh! Mphhhhh!" kalau mulutku tak lagi tersumpal oleh sebatang kontol, pasti raunganku akan terdengar hingga ke ruangan sebelah. Aku benci direndahkan namun perkataan Pak Aris membuat memekku berkedut-kedut dan memuncratkan cairan orgasme hingga membasahi kontol Pak Hendro.
Memang sepertinya begitulah nasibku nanti, menjadi istrinya Mas Hendra justru aku tak akan melayani suamiku itu namun menjadi pemuas dua bandot tua ini, sedangkan Mas Hendra sekarang malah lagi ngentot memek ibuku di kursinya. Entah sejak kapan mereka melakukan hal itu, aku tadi terlalu fokus dientot Pak Aris dan Pak Hendra sehinga tak sadar bahwa ibuku juga lagi dientot.
"Ouhhh, enakkk Tuann Hendraaa, memek lilis lonte gateel butuh kontolll, ouhhh, shhhh, ahhhh," Ibuku mendesah-desah seperti jalang kegatelan padahal ada ayah disampingnya.
Tubuhku diam di kasur selepas orgasmeku, dan mereka tetap mengentotku sementara aku menonton ibuku mengulek-ulek kontol Mas Hendra dengan memeknya. Toketnya, yang diusianya menginjak lima puluh tahunan itu masih lumayan kencang, bergoyang-goyang naik turun mengikuti ritme gerakan tubuhnya.
"OUHHHHHHHH,"
Tubuh ibuku bergetar-getar dan ia mengalami orgasme. Saat tubuhnya mau ambruk jatuh ke depan, Mas Hendra memegangi pinggulnya dan menusukkan kontolnya dalam-dalam.
"NGGGHHH, Lontee!"
Kali ini giliran Mas Hendra yang mengerang dan menyemprotkan pejunya berkali-kali ke dalam memek ibuku. Kalau saja ibuku masih muda pasti ia hamil anak calon menantunya itu. Ibuku lalu menggelosoh jatuh ke lantai dan peju Mas Hendra yang ada di memeknya mulai meleleh keluar. Ibuku tak membiarkannya, ia segera menadah peju yang jatuh itu dengan tangannya lalu menjilatinya.
Tak berapa lama kemudian, giliran Pak Hendra dan Pak Aris yang mencapai puncak kenikmatan mereka.
Crot! Crot! Crot!
Cairan kental hangat membanjiri tenggorokan dan memekku. Saking banyaknya peju mereka hingga meleleh keluar akibat aku tak sanggup menampungnya.
"Gimana pak pelayanan Auliya?" tanya ayahku setelah mereka selesai menggunakan tubuhku. "Apakah memuaskan dan cocok untuk jadi calon menantu bapak?"
"Wah, lumayan lah Pak," jawab Pak Hendro. "Memeknya rapet masihan, cuma kurang binal aja. Nanti bisa dilatih dulu biar bisa jadi lonte keluarga yang bener. Kalo menurutmu gimana Ris?" Pak Hendro menoleh ke arah Pak Aris.
Pak Aris masih mengelap kontolnya di wajahku hingga kontolnya itu bersih dari spermanya sendiri. "Lumayan juga sih, tapi minusnya masih tumpah dikit kalo nelen sperma. Emang harus dilatih biar jadi lonte yang bener."
Ayahku mengangguk-angguk, "Nanti lonte Lilis yang akan ngelatih dia biar jadi lonte Pak," ucapnya.
Mas Hendra lalu bangkit dan berjalan ke arahku. Ia melihatku dengan ekpresi menjijikkan seakan aku adalah lonte jalanan. Mataku agak kabur tapi aku masih bisa melihat bahwa Mas Hendra tengah mengocok kontolnya di depan mulutku.
"Kalo kamu mau jadi istri-lonteku, bersihin kontolku dari orgasmenya ibu lontemu." ucap Mas Hendra.
Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk membuka mulutku dan mendekat ke kontolnya. Dengan sukarela aku menjilati kontolnya, kontol calon suamiku.
Sluurp, slurrp, sluurp.
Aku mempercepat jilatanku, tak mau membuat Mas Hendra kecewa. Kulihat dari sudut mataku, ibuku melihatku dengan tatapan iri. Ia sepertinya ingin sekali untuk menjilati cairan orgasmenya sendiri dari calon menantunya itu. Pejunya Mas Hendra yang tadi meleleh di lantai telah ia habiskan semuanya. Ada rasa bangga di diriku bahwa aku lah yang dimintai Mas Hendra buat membersihkan kontolnya, bukan Ibuku.
"Bagus, kalau begini minggu depan kamu bisa jadi lonte keluargaku, Iya kan Pak?" Mas Hendra bertanya kepada ayahnya.
"Bapak sih udah setuju dari tadi, kalau kamu setuju ya oke saja, minggu depan langsung akad nikah." ucap Pak Hendro.
Ayahku juga mengangguk-angguk setuju, begitu juga Pak Aris. Mereka semua dengan mudah menentukan nasibku.
"Sekarang gantian kita ngerasain memeknya lonte Lilis," ucap Pak Aris.
"Betul itu," ucap Pak Hendro.
"Bapak-bapak ngerokok dulu aja sambil istirahat di ruang tamu, nanti Lilis bawain minum kita lalu silahkan coba memeknya,," ucap Ayahku.
"Oh oke Pak kalau begitu," ucap Pak Hendro.
Pak Hendro, Pak Aris, Mas Hendra dan ayahku lalu pergi keluar kamarku, meninggalkan hanya ibuku dan aku di kamar.
Tubuhku masih menggelinjang akibat orgasme yang kurasakan tadi, tiba-tiba memekku terasa geli. Ternyata Ibuku sedang menjilati sperma yang mengalir keluar dari memekku.
"Ibuk nghhh, ja-janggaan, gelii, uhhh, nghh," aku meminta ibuku untuk berhenti, tapi ia tak menggubris perkataanku.
Slurrpp, slurrp, slurrp.
"Bilang dulu, 'stop jilatin memekku' baru ibuk berhenti."
"Nghh, t-tolong stopp jilatin vaginaku,"
"Bukan vagina tapi memek, ulangi," ucap ibuku lalu lanjut menjilati vaginaku.
"Ouhh, nghh, ampunn, bukkk, nghh," aku menjambak jilbab ibuku ketika ia menyedot-nyedot vaginaku. Rasa enak yang diberikannya berbeda dari penisnya Pak Hendro tadi, tak kasar dan ia tahu mana titik-titik lemah memekku.
"Bilang dulu baru ibuk stop," ucapnya.
"I-iyah, nggh," aku mendesis. Darimana ibuk belajar jilatin vagina seahli ini? gumamku. "Ibukk, tolongg berhentiin, sshs, jilatinn memeknya anakmu inihh, unggh, nghh,"
Namun, bukannya berhenti melakukan aksi penuh dosa ini, ibuku justru tetap menjilati memekku dan jari-jarinya masuk ke dalam memekku, mengobelnya.
Clep, clep, clep.
Slurrp, slurrp, slurrp.
Pinggangku melenting ketika aku merasakan orgasme yang memuncak.
"AHHHHHHH, IBUKKKK, AKU CROT DARI LIDAHNYA IBUKK, OUHHHH, NGHHH, AHHHHH," desahan yang kukeluarkan begitu keras hingga aku menduga bahwa hingga di luar rumah pun pasti kedengaran.
Aku melihat ibuku tersenyum ketika orgasmeku telah mereda. Wajahnya mengkilap terkena cairan orgasmeku.
"M-maaf ibuk, jadi kotor," ucapku.
"Gapapa kok," ucap Ibuku. "Ibuk doyan malah," ia menjilati cairan orgasmeku di wajahnya.
Ibuku lalu bangkit dan meraih segelas air putih yang ditaruhnya di meja tadi dan memberikannya kepadaku. "Ibuk mau ngelayanin tamu sebentar ya, kamu istirahat aja dulu," ucapnya santai padahal ia telanjang dan hanya mengenakan hijab.
Aku lalu duduk bersandar dan berusaha menenangkan diri. Banyak hal yang terjadi dalam satu jam belakangan ini yang tak bisa kuproses dengan otakku. Aku diperk- bukan aku, tapi aku dan ibuku diperkosa, dilecehkan dan diperlakukan layaknya perek murahan. Dan sekarang Ibuku justru mau dizinahi lagi di ruang tamu.
Sekitar setengah jam kemudian, Ibuku kembali ke kamarku. Hijabnya acak-acakan dan sperma memenuhi wajah dan tubuhnya.
"Gimana, udah mendingan tenggorokannya?"
"I-iya," ucapku. "Ibuk gapapa?" aku khawatir melihat ibuku yang gemetar ketika berjalan.
"Gapapa kok," ucapnya sambil tersenyum. "Ibuk malah seneng digiinin."
"Seneng?" tanyaku.
"Iya, seneng. Kayak kamu tadi dientot Tuan Hendro sama Tuan Aris, enak toh?" ibukku terkekeh.
"Ih, ibuk," aku menampol punggung ibuk pelan.
"Hehehe, maaf, maaf," ucap Ibuku.
Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat tato-tato kecil sekujur tubuhnya Ibuk. Ada tulisan, 'Lilis lonte' di lehernya, 'Perek murahan' di antara dua payudaranya, dan 'Memek gratis' di perutnya lalu dengan anak panah yang menuju memeknya. Bahkan pentilnya Ibuk kini juga ditindik.
"Ibuk ditato gini sejak kapan?" tanyaku.
"Udah lama, setahun sejak kamu ngerantau kuliah kayaknya." ucap Ibuku mengingat-ingat.
Ibuku lalu lanjut bercerita tentang bagaimana dulu, beberapa bulan setelah aku pergi ayahku dan ibuku diajak oleh teman mereka untuk bergabung ke suatu kajian agama. Awalnya kajian itu membahas topik-topik biasa, tapi lama-kelamaan kajian itu mulai mengarah ke arah seksual.
"Ibuk awalnya ga nyaman dan gamau dateng ke kajian lagi, tapi ayah ngebujuk ibuk buat tetap dateng." ucap Ibuku.
Kajian itu membahas bagaimana wanita itu harus bisa membuat nyaman dan betah tiap laki-laki dalam keluarga mereka dengan cara apapun. Tak ada yang haram jika keluarga mereka puas dalam mazhab mereka.
Aku tak percaya bahwa komunitas kajian nyeleneh seperti itu beneran nyata. Aku memang pernah mendengar rumor tentang hal itu, tapi tak kusangka bahwa keluargaku ternyata mengikutinya.
"Teorinya emang wanita itu buat melayani keluarga doang, tapi prakterknya banyak anggota sesama kajian yang ngentot istri-istri anggota kajian lain," Ibuku melanjutkan.
Aku mengangguk-angguk mendengarkan. Pantesan ayahku rela ibuku dipake sesuka hati, ternyata ia juga dapet memek wanita lain.
"Nafsu pria itu memang gede nduk," ucap Ibuku, seperti menyadari apa yang aku pikirkan. "Makanya, wajar kalo ayahmu itu ngentot wanita-wanita lain, toh kita juga dientot sama laki-laki lain juga enak kan?"
Apa yang ibuku katakan walaupun aneh tetapi terdengar masuk akal bagiku. Tadi saja aku mendesah keenakan waktu dientot oleh kedua lubangku.
"Tapi tetep aja, aku ngerasa aneh buk," ucapku. "Walaupun aku ngerasa enak dientot, tapi kan dimana-mana gaada yang ngerendahin wanita kayak gini,"
"Itu karena kamu belum terbiasa dengan tradisi seperti ini nduk, Ibuk juga dulu merasa ini aneh. Wanita kok kayak gaada harga dirinya, tapi lama kelamaan kamu pasti paham kok. Ibuk gabisa jelasin pake kata-kata, dijalani aja. Kamu nanti bakalan jadi ketagihan kontol kayak ibuk," ucap Ibuku.
"Iya bu," ucapku. Hatiku masih bergejolak menghadapi semua ini.1972Please respect copyright.PENANArlOYPuGiBm
***1972Please respect copyright.PENANAjv4xZexW2y
Bagi yang mau membeli karya MirzaAli yang lainnya silahkan hubungi telegram : @mirzaali1 atau join Channel : https://t.me/+7mjZFt-x1UAzZThl1972Please respect copyright.PENANA8Z6BV7cOQG