Sudah lima hari berlalu sejak Narto menyetubuhiku. Selama itu pula preman kampung tersebut tak sekalipun menunjukkan batang hidungnya, santer terdengar kabar jika Narto sedang berada di luar kota karena urusan pekerjaan. Aku sendiri tak tau pekerjaan apa yang digeluti oleh pria brengsek itu, tapi banyak orang bilang jika Narto adalah gembong begal yang sudah malang melintang di dunia kejahatan jalanan.
Ketidakhadiran Narto harusnya membuat hidupku jadi lebih tenang, bukankah itu yang selama ini aku harapkan. Mas Fajar bisa pulang dengan tenang tanpa perlu mendapat gangguan, sementara aku bisa melakukan rutinitasku di dalam rumah tanpa perlu merasa khawatir jika sewaktu-waktu preman kampung itu datang dengan wajah mesumnya. Tapi diluar dugaan, selama beberapa hari ini aku justru sering membayangkan Narto.
Persetubuhan kami tempo hari nyatanya meninggalkan kesan mendalam pada diriku. Birahi meletup-letup saat membayangkan bagaimana keperkasaan Narto memporak-porandakan kehormatanku sebagai seorang istri setia. Harus kuakui bahwa jauh di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat mengharapkan kenikmatan yang dulu kudapat saat disetubuhi Narto. Aku tidak bisa mendapatkannya dari Mas Fajar. Tak jarang aku melakukan masturbasi sambil membayangkan kokohnya dada Narto yang bidang, perutnya yang sixpack, dan penisnya yang keras. Membayangkan diriku disetubuhi lagi olehnya.
“Sayuurrr! Sayuuuurrrr!”
Teriakan Mang Ujang, pedagang sayur keliling di lingkungan tempat tinggalku sukses membuyarkan lamunanku pagi ini. Buru-buru aku bangkit dari atas tempat tidur dan keluar rumah, di depan sudah terlihat gerobak sayur milik Mang Ujang sudah dikerumuni oleh ibu-ibu di sekitar rumahku. Aku ikut mendekat, selain berbelanja kebutuhan dapur, gerobak Mang Ujang seringkali dijadikan tempat tukar menukar berita di sekitar lingkungan, maka tak heran jika suara Mang Ujang sudah terdengar lantang, kami para ibu-ibu langsung berkumpul rapi tanpa perlu diperintah lagi.
“Terongnya berapaan ni Mang?” Tanya Bu Hendro, istri Pak RT di lingkungan tempat tinggalku seraya mengangkat dua buah terong berukuran tanggung.
“Murah aja Bu, sepuluh ribu aja.” Sahut Mang Ujang.
“Tujuh ribu dua ya!” Tawar Bu Hendro.
“Aduuh…Jangan dong Bu RT, belum boleh kalo segitu.” Wajah Mang Ujang mendadak memelas. Aku dan beberapa ibu-ibu lain masih sibuk memilih sayuran dan lauk mentah lain.
“Masa terong kecil-kecil gini mahal banget sih?” Gerutu Bu Hendro sembari mengembalikan terong yang dipegangnya ke gerobak, bercampur dengan sayuran lain.
“Segitu mah nggak kecil Bu RT, selain buat sayur, terong itu bisa juga gantiin tugas Pak RT nanti malam.” Celetuk Mang Ujang yang langsung disambut gelak tawa ibu-ibu lain termasuk aku.
“Seenaknya aja ya kalo ngomong, punya Pak RT lebih gede dibanding ini!” Bu Hendro tampak sewot, wanita bertubuh tambun serta dandanan menor itu sekali lagi mengangkat terong yang tadi dia sempat pegang. Aku dan ibu-ibu lain makin ketawa melihat reaksi yang dibNartoan oleh istri Pak RT itu.
“Semuanya berapa ini Mang?” Tanyaku kemudian sembari menunjukkan beberapa sayur dan lauk mentah pada Mang Ujang.
“Biar aku yang bayarin.”
Tiba-tiba dari arah belakang muncul sosok Narto, preman kampung itu berjalan mendekat ke arah gerobak Mang Ujang. Raut wajah ibu-ibu sekaligus Mang Ujang mendadak berubah menjadi ketakutan. Bahkan beberapa orang langsung menjauh dari gerobak dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Aku hanya berdiri termangu saat Narto sudah berada di dekatku dengan mengumbar senyum.
“Berapa semuanya Mang?” Tanya Narto pada Mang Ujang seraya menunjuk belanjaanku.
“Nggak usah, aku bisa membayar sendiri.” Tolakku sedikit ketus.
“Jangan seperti itu, nggak baik nolak rejeki, hehehehehe.” Tanpa malu-malu Narto mencolek daguku, kulihat sekeliling rupanya hanya ada aku dan Mang Ujang saja yang masih berdiam diri di tempat sementara ibu-ibu lain sudah menjauh pergi.
“Jangan kurang ajar ya!” Hardikku tak terima, namun Narto sama sekali tak terusik dengan sikapku barusan. Wajahnya yang sangar masih mengumbar senyum tak bersalah.
“Heh! Berapa total belanjaannya? Ditanyain dari tadi diem mulu!”
“Eh..I-Iya Bang..A-anu…I-itu…nggak usah bayar…Gratis dari saya.” Jawab Mang Ujang dengan gugup luar biasa. Pria berusia hampir setengah abad itu tak bisa menyembunyikan ketakutannya dari sosok Narto.
“Loh Mang jangan! Ambil ini.” Aku buru-buru mengeluarkan uang dua puluh ribuan dan menyerahkannya pada Mang Ujang namun tukang sayur itu menolaknya.
“Nggak usah Mbak, nggak apa-apa, hari ini gratis! Saya pamit dulu.” Mang Ujang dengan tergesa mengemasi barang dagangannya dan langsung mengambil langkah seribu bersama gerobak sayurnya, meninggalkanku bersama Narto seorang diri.
“Orang aneh, dikasih duit malah kabur.” Celetuk Narto seolah tak peduli dengan segala macam bentuk ketakutan orang di lingkungannya.
“Aku juga mau pulang dulu, harus masak.” Kataku, namun belum sempat aku melangkah pergi Narto lebih dulu menarik lengan tanganku.
“Hei! Tunggu dulu, ada yang perlu aku bicarakan denganmu.” Raut wajah sangar Narto begitu mengintimidasiku. Beberapa orang tetanggaku terlihat takut-takut mengintip dari rumah mereka.
“Ada apa lagi? Lepaskan tanganku!” Aku mencoba memberontak dengan cara menepis tangannya hingga terlepas dari pergelangan tanganku.
“Malam ini kamu harus datang ke rumahku!” Suara Narto memang tak terlalu lantang, namun cukup berat, ditambah tatapan tajam mata elangnya sukses membuat rona ketakutan seketika terpancar di wajahku. Aku tau preman kampung ini benar-benar serius dengan apa yang diucapkannya barusan.
“Kamu sudah gila ya? Aku nggak bisa! Nanti malam ada Mas Fajar!” Tolakku sinis.
“Oke, kalo kamu nggak mau datang ke rumahku, biar aku saja nanti yang mendatangi rumahmu. Sepertinya menyenangkan jika bercinta denganmu sambi diliatin Fajar.”
Sontak aku terhenyak tak percaya Narto akan mengatakan itu padaku. Aku benar-benar ketakutan saat ini, apalagi raut wajah Narto yang sangar menatapku dingin penuh intimidasi. Preman kampung itu bukan tipe orang yang bisa menerima penolakan, apalagi dia mengancam untuk datang ke rumahku saat Mas Fajar ada di sana. Aku tidak mau itu terjadi, tapi mendatangi Narto di rumahnya tentu bukan pilihan yang mudah. Meskipun aku sempat merindukan keperkasaannya, tapi kegamanganku sebagai seorang istri setia tengah bergolak hebat di rongga dada.
“Bagaimana? Kamu mau pilih yang mana Diandra? Kamu mendatangiku, atau aku yang akan datang ke rumahmu malam nanti?” Suara berat Narto kembali membuatku terhenyak, aku dipaksa untuk memilih dari dua pilihan yang maha sulit.
“A-Aku tidak tau…” Kataku sedikit tergagap.
“Atau kamu mau kubuat suamimu babak belur nanti malam? Hmmm?” Narto kembali membNartou sebuah ancaman serius. Aku makin terpojok.
“Ba-Baik! Aku akan datang ke rumahmu nanti malam!” Kataku. Narto tersenyum mendengar keinginannya akhirnya kupenuhi.
“Pilihan yang cerdas, aku tau kamu tidak akan mungkin membuat Fajar dalam bahaya kan? Hehehehehe! Ya sudah, aku tunggu malam nanti Diandra.”
Preman kampung itu lalu melangkah pergi meninggalkanku dalam kegamangan luar biasa. Satu sisi kemunculan Narto pagi ini seolah jadi obat pereda rasa penasaranku karena berhar-hari aku mendadak merindukan keperkasaannya di atas ranjang. Tapi di sisi lain, ancaman Narto barusan jadi alarm keselamatan serta ketenangan rumah tanggaku bersama Mas Fajar. Ternyata Narto tak menepati janjinya, preman kampung itu akan terus merongrong kedamaian hidupku meskipun dulu dia sudah pernah menikmati tubuhku.
Menolak permintaan Narto malam ini sama saja langkah singkat untuk membuat keselamatan Mas Fajar terancam. Aku tak bisa membayangkan bagaimana suamiku itu akan babak belur dihajar Narto dan gerombolannya, Mas Fajar tak akan mampu melawan mereka. Dadaku sekarang berdebar-debar saat membayangkan malam nanti aku akan mendatangi Naryo di rumahnya seorang diri. Bagaimana jika ada yang melihatku? Apa yang hendak Narto lakukan kepadaku?
***
1055Please respect copyright.PENANAjCtRGyFES8
Pukul 8 malam Mas Fajar baru saja menginjakkan kaki di rumah. Aku membantunya melepas pakaian serta perlengkapan kerjanya. Meskipun terlihat begitu lelah, Mas Fajar memaksakan diri untuk tetap tersenyum padaku. Suamiku itu memang pekerja keras, secapek apapun badannya dia selalu ingin membuatku merasa nayaman jika berada di dekatnya.
“Mas, langsung mandi, ya. Habis itu kita makan bareng.” Kataku saat meletakkan tas kerjanya di atas meja.
“Lho, kamu belum makan Dek?”
“Belum, Mas. Aku sengaja menunggu Mas Fajar pulang.” Jawabku lembut.
“Maaf ya Dek, gara-gara aku lembur terus jadwal makanmu jadi berantakan. Besok, kalo Mas lembur, kamu makan duluan aja ya.” Kata Mas Fajar seraya membelai lembut rambutku.
“Nggak apa-apa kok Mas, udah sekarang Mas Fajar mandi dulu, aku siapin makan malam. Oke?”
“Oke sayang…” Sahut Mas Fajar sebelum beranjak menuju kamar mandi.
Mas Fajar terlihat lebih segar setelah mandi. Kami pun segera makan malam. Mas Fajar makan dengan lahap. Rupanya ia benar-benar kelaparan. Tenaganya terkuras untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di kantornya tadi. Setelah makan, kami sempatkan untuk ngobrol sebentar. Mas Fajar selalu begitu antusias menceritakan semua kegiatannya di luar rumah. Suamiku itu dengan runtut menceritakannya padaku, aku sendiri berperan jadi pendengar yang baik sambil sesekali menimpalinya. Setelah ngobrol dan membersihkan meja makan, kami berdua langsung masuk ke kamar tidur.
“Dek, Mas tidur duluan nggak apa-apa? Mas capek banget.” Kata Mas Fajar sesaat setelah kami berdua sudah berada di atas ranjang.
“Iya Mas nggak apa-apa.” Kataku seraya mengecup keningnya dengan lembut.
Tak lama, Mas Fajar sudah memejamkan mata, beberapa menit kemudian terdengar dengkuran lirih dari suamiku tanda jika Mas Fajar mulai terlelap. Detak jam dinding terdengar di tengah kesunyian, aku masih terjaga dengan perasaan tak menentu. Bagaimana tidak, sesaat lagi aku akan mendatangi rumah Narto seorang diri di saat suamiku tertidur. Bayangan semua hal-hal mesum yang akan dilakukan oleh preman kampung itu sedang berlari-lari di kepalaku, bahkan tanpa sadar semua itu membuat selangkanganku terasa lembab.
Istri macam apa aku ini? Bagaimana mungkin aku justru antusias membayangkan penis pria lain di saat bersama suamiku sendiri. Mas Fajar merubah posisi tidurnya, kini tubuhnya menyamping, memunggungiku, suara dengkurannya terlihat mereda. Tanpa sadar mataku jadi berkabut, kupandangi punggung Mas Fajar dengan perasaan bersalah. Aku sama sekali tak menginginkan ini terjadi padaku, tapi aku juga tak bisa mengabaikan ancaman Narto yang akan mencelakai Mas Fajar jika aku tak menuruti permintaan preman kampung itu.
“Mas, maafkan aku...” Ujarku lirih, nyaris terisak.
Setelah memastikan Mas Fajar sudah lelap dalam tidurnya, aku beringsut menjauh dan turun dari tempat tidur. Sebelum melangkah pergi aku melihat tubuhku di depan cermin. Dalam hati, aku kagum pada tubuhku sendiri, begitu sintal dan mulus. Padahal, aku tidak pernah melakukan perawatan tubuh secara khusus. Dengan berbalut daster tipis sebatas paha, lekuka tubuhku bisa tergambar jelas oleh mata telanjang, apalagi malam ini aku sengaja tak mengenakan BH dan celana dalam.
Perlahan aku membuka pintu kamar lalu berjalan pelan keluar, saat kututup kembali pintu kamar, kupastikan tak ada suara mencurigakan yang terdengar dan bisa membangunkan tidur Mas Fajar. Setelah memastikan keadaan baik-baik saja aku bergegas pergi dari dalam rumah, tujuanku jelas, menuju rumah Narto yang letaknya hanya berjarak beberapa rumah saja dari rumah kontrakanku. Suasana malam ini cukup sepi, langkah kakiku kupercepat agar tak diketahui oleh para tetanggaku.
Beberapa menit kemudian aku telah sampai di depan sebuah rumah kecil, tak lebih besar dari tempat tinggalku dan Mas Fajar. Satu-satunya yang membedakan dengan rumahku adalah rumah ini terlihat tak begitu terawat, cat di beberapa bagian temboknya sudah mengelupas, berbeda dengan rumah kontrakanku yang selalu aku rawat hampir setiap hari. Belum sempat aku mengetuk pintu, dari dalam rumah muncul sosok Narto dengan senyum mengembang. Dadaku bertabuh kencang bak sedang berada di medan perang, inilha saatnya.
“Akhirnya kamu datang juga Diandra, padahal aku hampir saja pergi ke rumahmu.” Celoteh Narto menyambut kehadiranku. Aku memandang sekeliling dengan berdebar-debar, takut ada orang yang melihatku.
“Kamu cari apa? Apa ada yang mengikutimu?” Tanya Narto saat melihat gerak gNarto tubuhku yang tak bisa menyembunyikan kegugupan.
“Nggak ada, kita di sini aja atau masuk ke dalam?” Tanyaku. Narto tersenyum lebar.
“Silahkan masuk tuan puteri, hehehehe…” Ujar Narto mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya.
Aku kemudian masuk ke dalam rumah Narto, di sana aku bisa melihat sebuah sofa tua yang sudah sangat lusuh dan bolong di beberapa tempat. Tepat di depan sofa itu terdapat meja kaca berukuran kecil, di atas meja itu berserakan borol-botol minuman keras yang sudah tak ada isinya. Sama seperti di bagian depan rumah, beberapa bagian cat di tembok mengelupas dan sama sekali tak terawat, hanya ada satu buah lukisan bertema alam yang bertengger di sana berdampingan dengan sebuah kalender tahun kemarin. Kulihat Narto menutup pintu rumahnya sebelum kemudian menguncinya dari dalam. Aku masih berdiri termangu.
“Ayo kita ke kamar saja, di sini tempatnya nggak asyik! Hehehehehe!” Tanpa persetujuanku preman kampung itu langsung meraih lenganku kemudian membawaku menuju ke dalam sebuah kamar yang berada di bagian belakang.
Begitu pintu kamar terbuka aku bisa melihat sebuah kasur lipat berukuran kecil tergeletak di atas lantai kamar. Sama dengan ruang tamu, kamar tersebut juga dikelilingi tembok kusam dengan cat mengelupas di beberapa tempat. Penerangan kamar itu berasal dari sebuah lampu neon berukuran kecil, menyebabkan kesan temaram. Narto mendorongku menuju kasur, sementara dirinya menutup pintu dan langsung menguncinya dari dalam.
“Ayo lepas pakaianmu.” Perintah Narto tanpa basa-basi.
“Hah? Kamu mau ngapain?” Tanyaku panik.
“Aku pengen ngentotin kamu lagi Diandra…”
“Nggak! Nggak! Aku nggak mau!” Tolakku berusaha mempertahankan harga diriku sebagai seorang wanita terhormat.
“Oke kalo kamu nggak mau, jangan salahkan aku kalo besok suamimu nggak bisa pulang ke rumah.” Narto menekan suaranya, memberi intonasi penuh intimidasi. Preman kampung itu sukses membuatku ketakutan setengah mati, ancamannya terhadap Mas Fajar berhasil merontokkan sisa-sisa keberanianku.
“Ba-Baik aku mau, tapi kamu harus janji untuk tidak menyakiti Mas Fajar.” Kataku dengan raut wajah ketakutan.
“Tenang saja cantik, aku tidak akan menyentuh Fajar asal kamu mau melayaniku malam ini.” Narto terkekeh senang, rencananya kali ini berhasil dan aku kembali harus bertekuk lutut menuruti kemauan bejatnya.
Perlahan aku mulai melepas daster tipis yang kukenakan, hanya dengan satu gerakan kain tipis penutup tubuhku langsung lusruh di atas lantai. Tubuhku kini telanjang bulat di hadapan Narto tanpa sehelai benangpun yang menutupinya. Preman kampung itu tersenyum puas, mata elangnya seolah tengah menjelajahi tiap lekuk tubuh indahku yang putih mulus tanpa cela. Narto mengikutiku dengan mulai melepas kaosnya, lagi-lagi aku terpesona dengan dadanya yang bidang dan perutnya yang sixpack, tubuh yang menjadi objek khayalanku saat aku bermasturbasi beberapa hari lalu. Setelah kaos, kini giliran celana panjangnya yang dilepas.
Tangannya bergerak cekatan mempreteli penutup bagian bawah tubuhnya hingga akhirnya telanjang bulat. Aku menelan ludahku sendiri saat melihat penis kekar Narto bergelantungan bebas, belum begitu keras tapi ukurannya yang panjang dan besar membuat imajinasi liarku melayang tak tentu arah. Narto berjalan mendekatiku dengan seuntai senyum mesum di bibirnya.
“Diandra, malam ini kamu adalah milikku..” Ujarnya sambil terkekeh. Aku hanya membuang muka sembari menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Narto kini berada tepat di hadapanku, pria berbada kekar itu kemudian berusaha menciumku.
“Ayo Diandra, jangan menolak, kamu ingin suamimu celaka?” Narto kembali mengeluarkan ancamannya.
Narto terus merangsek maju, Aku berusaha menghindar. Namun, upayaku kalah oleh tangannya yang kekar. Narto berhasil menarik wajahku, lalu menciumi bibirku dengan penuh nafsu. Aku gelagapan menerima ciumannya. Lidahnya bermain-main di dalam mulutku, sementara tangannya meremas-remas buah dadaku.
Aku benci mengakuinya, tapi gairahku perlahan mulai bangkit. Tanpa aku sadari, aku membalas ciuman Narto dengan tidak kalah panasnya. Kami berciuman selama beberapa saat. Kemudian, Narto menurunkan ciumannya ke arah leher, lantas turun lagi hingga dadaku. Narto menjilat-jilat payudaraku sambil sesekali mencupangnya. Aku hanya bisa pasrah menerima cumbuan yang begitu nikmat itu. Gairahku semakin terbakar saat Narto mengangkat tanganku, lalu melumat ketiakku.
“Ssshhh...Ssshhh...Oucchhh…” Aku melenguh keenakan. Narto berhenti sejenak, lalu mengambil tali di samping kasur. Sepertinya ia sudah menyiapkan tali tersebut.
“Kamu mau ngapain?” Tanyaku dengan napas tertahan, takut Narto akan bertindak macam-macam.
“Sudah, kamu diam saja. Sini tanganmu!” Bentak Narto tak sabaran.
Aku yang ketakutan hanya bisa pasrah, lalu menyerahkan kedua tanganku kepadanya. Narto kemudian mengikat tanganku dengan erat, lalu mengangkatnya. Kini tubuhku terlentang dengan kedua tangan terangkat dan tNartoat. Narto terkekeh, lalu mulai menjilati dan mencupang dadaku. Aku mendesah-desah tak karuan.
“Aaachh! Geli!! Aaachh!!!”
Kemudian, Narto membuka pahaku. Tanpa banyak kata, ia langsung menjilati vaginaku. Aku semakin belingsatan. Aku menahan gairah dengan merapatkan pahaku hingga kepalanya tertekan. Narto memainkan lidahnya di liang vaginaku, sangat pintar dan begitu terlatih. Desahanku semakin keras. Namun, aku berusaha menahannya, aku tidak mau memberi kesan pada Narto jika aku wanita yang hypersex.
“Eeemmcchh!! Eeemmcchh!!”
Kenikmatan yang aku rasakan semakin hebat seiring dengan jilatan Narto yang semakin cepat. Lidahnya benar-benar lincah. Aku dibuatnya melayang. Tubuhku menggeliat bak cacing kepanasan, dengan kedua tangan yang tNartoat kuat, tak banyak yang bisa aku lakukan untuk bertahan di tengah gempuran mesum si preman kampung. Setelah puas bermain-main dengan lidahnya, Narto melepaskan ikatan tanganku. Belum sempat aku bereaksi, Narto lebih cepat menyodorkan ujung penisnya.
“Ayo, sekarang giliranmu kerja!” Perintah Narto.
Aku tidak kuasa menolaknya, lalu langsung mengulum penisnya dengan perlahan. Penis Narto berbau anyir, namun entah kenapa bau tersebut malah semakin meningkatkan nafsuku. Kini sudah tidak ada lagi Diandra sang istri setia. Yang ada hanyalah seorang wanita binal yang sedang diperbudak nafsunya sendiri. Narto melenguh keenakan sambil memejamkan matanya.
“Ouuchh! Ya! Enak banget Diandra! Ouucch!”
Narto tampak begitu menghayati kulumanku pada batang penisnya yang berurat. Preman kampung itu meremas kepalaku, menimbulkan sensasi tersendiri dalam diriku. Aku pun semakin semangat mengoral penisnya yang semakin lama semakin keras. Penisnya membuatku terkagum-kagum. Sangat keras, tegak, dan perkasa. Aku tak sabar merasakan daging kenyal itu menyesaki liang senggamaku.
Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Narto menghentikan kulumanku, lalu merebahkanku. Aku memandangnya dengan pandangan sayu karena nafsu. Dadaku naik turun seiring dengan nafasku yang memburu. Narto menaikkan kedua kakiku, lalu menggesek-gesekkan penisnya di vaginaku.
“Aaah... Aaah...” Aku hanya bisa mendesah, menahan rasa gatal yang luar biasa di vaginaku.
“Kenapa sayang? Enak ya?” Goda Narto sembari terus menggesek permukaan vaginaku dengan ujung penisnya.
“Eeemmcchhh…I-Iyah….Enak…” Racauku membalas pertanyaannya.
“Lebih enak mana dibanding punya Fajar?” Kepalaku bergerak ke kiri dan ke kanan, aku tak mau membandingkan penisnya dengan penis Mas Fajar yang masih terlelap tidur di rumahku.
Narto bersiap melakukan penetrasi, tanganku berusaha menahan perutnya yang kotak-kotak, bermaksud untuk mencegahnya. Meskipun aku sangat menginginkan penis Narto, namun rupanya sebagian dari diriku masih ingat bahwa aku adalah istri Mas Fajar, pria yang begitu mencintaiku dengan sepenuh hatinya. Narto tidak peduli dengan upayaku yang sia-sia itu. Pelan-pelan penisnya berhasil masuk menyesaki liang senggamaku.
“Ouucchhhhh…..” Aku melenguh panjang saat penisnya masuk dengan leluasa ke dalam liang kenikmatanku yang sudah basah. Narto mulai bergerak naik turun menggenjot tubuhku.
“Gimana? Kamu suka kontolku kan? Enak kan?” Tanya Narto sambil menyeringai, penisnya melesak keluar masuk dnegan kecepatan tinggi membuat tubuhku bak sasak hidup baginya.
“Ouucchh!! Iyah!! Ouuchh! Mentokin! Kencengin!!” Tanpa sadar buaian birahi membuat otak warasku hilang. Racauanku berbanding terbalik dengan relung hatiku yang paling dalam.
Desahanku sepertinya membuat nafsu Narto semakin memuncak. Ia memegang kepalaku, lalu melumat bibirku dengan ganasnya, sambil tetap menggenjot tubuhku dengan kuat. Setelah beberapa lama, dia berhenti menggenjot, lalu menyuruhku menungging. Aku menuruti kemauannya dengan pasrah.
“Sempurna….” Desisnya saat berhadapan dengan bongkahan padat pantatku.
Narto meremas belahan pantatku yang padat itu. Sepertinya ia sangat gemas. Narto merundukkan kepalanya sebelum kemudian menjilati dan bahkan menggigit pantatku. Lidahnya tiba-tiba menyeruak ke dalam liang vaginaku, tanpa rasa jijik Narto menjilatinya kembali.
“Ouucchh! Shit! Aaachhh!”
Ia tidak peduli meskipun aku mengaduh kesakitan. Ia tetap memainkan bongkahan pantatku itu dengan kasar. Setelah puas, Narto lantas memasukkan penisnya. Mataku langsung terpejam merasakan sensasi saat penis Narto yang keras itu masuk ke vaginaku. Narto mulai menggenjot lagi sambil mencengkeram pinggulku dengan kuatnya.
PLOK!
PLOK!
PLOK!
“Aaachh!! Iya!! Terus! Mentokin kontolmu! Aaacch!” Aku kembali meracau tak jelas menikmati gempuran penis Narto dari belakang.
Dua tanganku bertumpu pada permukaan kasur lusuh, tiap hentakan pinggul Narto membawa seluruh batang penisnya menyesaki liang senggamaku. Aku benar-benar telah diperbudak oleh nafsu. Vaginaku sudah basah sekali. Saat semua orang tengah tertidur lelap, aku dan Narto memadu kasih dengan panasnya. Seorang istri setia namun tak berdaya, digauli oleh seorang preman bertubuh kekar. Preman itu telah membNartou kenikmatan yang tidak aku dapatkan dari suami yang sangat aku cintai.
Tidak lama kemudian, Narto berhenti menggenjot. Ia berpindah posisi ke bawahku. Rupanya ia menginginkan posisi woman on top. Aku secara spontan naik ke atas tubuhnya, lalu mengarahkan vaginaku ke penis Narto. Perlahan-lahan kuturunkan tubuhku hingga penis Narto melesak masuk memenuhi rongga senggamaku. Aku menggigit bibir sambil mendesah. Pada posisi itu, Narto tidak menggenjot sama sekali. Terpaksa aku menaik-turunkan tubuhku untuk mendapatkan kenikmatan kembali.
Kali ini aku yang bergerak aktif. Tanganku meraba-raba dada Narto yang bidang. Aku menggoyang-goyangkan pinggul dengan mata terpejam sambil mengahayati rasa nikmat yang mendera tubuhku. Saat aku membuka mata, aku lihat Narto sedang memandangiku sambil terkekeh. Tangannya berada di belakang, menyangka kepalanya dengan santai. Aku merasa malu sekali. Aku seperti seorang pelacur binal yang sedang mendaki puncak kenikmatan bersama seorang berandal.
“Ouucchh! Iya…Pinter banget kamu sayang….” Pujinya di tengah gerakan tubuhku yang menggenjotnya dari atas.
Tiba-tiba, Narto merengkuh tubuhku, lalu melumat bibirku. Salah satu tangannya memainkan dadaku yang putih dan padat dengan kasar. Aku membalas ciumannya dengan tidak kalah ganas pula. Aku mengisap-isap lidah Narto, lalu menelan ludahnya yang masuk ke dalam mulutku. Sementara itu, Narto menggenjotku dalam gerakan yang cepat.
“Oouh! Aku mau keluar! Aku mau keluar!” Kataku di sela-sela ciuman panas yang kami lakukan.
Narto membalas ucapanku dengan mempercepat gerakannya. Vaginaku terasa seperti mau meledak. Tubuhku menegang kuat. Kedua tanganku memeluk Narto dengan erat, seolah tidak mau lepas. Aku sudah benar-benar lupa bahwa dia adalah preman yang kerap berlaku kasar kepada suamiku.
“AAARRGGHHTTT!!”
Aku menjerit tertahan. Kepalaku mendongak ke atas, dan mataku terlihat memutih. Aku serasa terbang ke awang-awang. Waktu seolah-olah berhenti. Aku telah mencapai orgasme dalam posisi woman on top. Aku telah meraih kenikmatan yang luar biasa!
Narto kemudian memperlambat genjotannya. Sepertinya ia membNartou kesempatan untuk menikmati orgasme. Setelah beberapa detik, aku langsung mencium bibir Narto dan memeluknya dengan erat, seperti berterima kasih kepadanya karena telah membNartou kenikmatan yang sulit digambarkan dengan kata-kata.
Narto hendak menuntaskan semuanya. Ia kembali menggenjot dari bawah dengan cepat sambil mencengkeram pantatku. Napasnya terasa memburu. Kali ini aku membantunya dengan memainkan kedua putingnya dan mengulum telinganya. Aku melakukannya secara spontan. Aku benar-benar sudah seperti seorang pelacur. Leher Narto terlihat tegang, sebelum kemudian lenguhan panjang nan parau meluncur dari bibirnya.
“AAARRRGGGHHHHTTT!!!”
Aku merasakan spermanya menyembur di dalam vaginaku. Untuk kedua kalinya, rahimku terisi oleh cairan kelelakian milik Narto. Setelah itu kami terdiam, tetap dalam posisi semula. Napas kami tersengal-sengal. Peluh membasahi tubuh kami berdua. Aku merasa lemas sekali, juga mengantuk. Kalau saja itu adalah rumahku, maka aku akan langsung tertidur. Tapi, aku harus pulang. Aku segera beranjak dari tempat tidur, melepas penis Narto dari vaginaku.
“Aku harus pulang sekarang.” Kataku sambil merapikan rambut dan kembali mengenakan daster. Narto masih terbaring lemas di ranjang. Ia hanya menyahut singkat.
“Ya, pulanglah. Terima kasih untuk malam ini.”
“Rupanya bajingan ini bisa juga berterima kasih.” Batinku, heran.
Sepertinya ia merasa puas sekali hingga bisa berucap terima kasih seperti itu. Aku segera keluar dari kamarnya, menuju pintu belakang. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar sana, aku langsung melangkah pergi dengan cepat menuju rumahku. Setelah tiba di dalam rumah, aku bergegas mengunci pintu, lalu membersihkan diri sekenanya di kamar mandi. Aku sangat lelah dan mengantuk. Seusai mengenakan pakaian, aku masuk ke dalam kamar.
Aku lihat Mas Fajar masih tertidur dengan pulas. Ia tidak tahu kejadian apa yang baru saja dialami oleh istrinya. Aku merapikan selimut yang tersingkap dari tubuh Mas Fajar, lalu mengecup kening suamiku itu. Lagi-lagi aku sedih saat teringat bahwa aku baru saja melayani nafsu bejat Narto, dan bahkan turut menikmatinya. Aku benar-benar merasa bersalah.
“Mas Fajar, maafkan aku…” Ucapku dalam hati.
Tak terasa, air mataku mengalir. Meskipun sedih, namun tubuhku terasa nyaman dan lega setelah meraih puncak kenikmatan bersama Narto. Tidak lama kemudian, aku pun tertidur pulas, bermimpi indah seolah semuanya akan kembali baik-baik saja.
1055Please respect copyright.PENANAYsR9Qg01kx
BERSAMBUNG
Cerita "SECRET AFFAIR" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.20da2