Orang tua Shafira memang merasa heran ketika dua pekerja mereka, Alex dan Noel, tiba-tiba pulang kampung tanpa izin. Mereka tak memberikan penjelasan apa pun, membuat keluarga Othman bertanya-tanya, terutama Ustadz Farid yang sangat disiplin dalam urusan rumah tangga. Untuk menjaga kelancaran kegiatan di rumah, mereka memutuskan untuk segera mencari pengganti.
Tak lama kemudian, datanglah dua orang pekerja baru—Rio sebagai satpam dan Alfred sebagai sopir. Rio adalah pria muda dengan postur tegap dan gaya bicara yang santun, sementara Afred, meski lebih tua, memiliki kesan tenang dan berwibawa. Keduanya direkomendasikan oleh kenalan keluarga, membuat Ustadz Farid dan istrinya yakin bahwa mereka bisa dipercaya.
Satu lagi sejak bisa memiliki rumah mewah ini Ustadz Farid selalu mempekerjakan lelaki non muslim. Selain karena sikap toleran ustadz farid juga biar saat waktu ibadah mereka tetap bisa bekerja.
Namun, bagi Shafira, kehadiran dua orang baru ini menimbulkan campur aduk perasaan. Ia masih merasakan ketegangan batin setelah insiden yang hampir menimpanya. Meski Alfred tampak profesional dan Rio terlihat ramah, Shafira kini jauh lebih waspada.
Setelah kejadian itu, hubungan Shafira dan Jefry berkembang dengan cepat. Ada ketenangan dan kenyamanan yang mereka temukan satu sama lain—sesuatu yang tidak direncanakan, tapi begitu alami. Sentuhan pertama mereka di tepi kolam, ketika Shafira yang telanjang bulat dengan gemetar merangkul Jefry, menjadi awal dari sebuah kisah yang rumit. Meski Jefry awalnya ragu, perasaannya terhadap Shafira semakin dalam, dan mereka berdua sadar ada ikatan yang tak bisa diabaikan.
Sore itu, sinar matahari memancar lembut di taman belakang rumah Shafira. Mereka duduk berdampingan di bangku kayu, di bawah pohon yang rindang. Suara burung berkicau menjadi latar belakang dari keheningan yang terasa nyaman di antara mereka.
Shafira menyandarkan kepalanya di bahu Jefry, menikmati kehangatan yang tak hanya berasal dari sinar matahari, tetapi juga dari kehadiran Jefry di sisinya.
“Jef gapapa kan kalo aku jujur suka kamu!” Ucap Shafira saat dia merasa sudah tidak perlu menahan perasaannya.
“Aku juga suka padamu Fira!” Sahut Jefri tegas.
“Kamu pernah nyangka gak, kita akan sampai seperti sekarang?” Shafira berbisik pelan, suaranya terdengar rapuh. Matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya melayang pada berbagai perasaan yang bergejolak di dalam hatinya.
Jefry tersenyum, meski ada sedikit keraguan di dalamnya. “Enggak, Shafira. Aku nggak pernah nyangka. Karena kamu majikan aku. Tapi aku merasa ada yang lebih dari itu.” Suaranya lembut, namun penuh makna.
Shafira mengangkat kepalanya, memandang Jefry dengan mata yang mencari-cari jawaban. “Lebih dari itu?” ia bertanya, meskipun ia sudah tahu apa yang dimaksud Jefry. Ada perasaan yang semakin nyata, semakin sulit untuk disangkal.
Jefry menatap Shafira, matanya menyimpan kejujuran yang begitu dalam. “Aku nggak bisa bohong. Aku sayang sama kamu, Shafira,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik. “Tapi aku tahu ini nggak gampang. Dunia kita beda. Aku gak ngerti apa kita beneran bisa?”
Shafira menghela napas panjang, menunduk sejenak sebelum menjawab. “Aku juga sayang sama kamu, Jef. Tapi aku takut. Takut kalau kita nggak akan bisa terus begini. Semua orang akan lihat kita dengan pandangan yang berbeda, mereka nggak akan ngerti.”
Jefry meraih tangan Shafira, menggenggamnya dengan lembut. “Aku nggak peduli apa yang orang lain bilang. Yang penting sekarang kita tahu apa yang kita rasakan. Dan aku nggak akan biarin apa pun menghalangi kita.” Suaranya penuh tekad, seolah tak ada keraguan dalam hatinya.
Shafira menatap tangan mereka yang saling menggenggam, merasakan kehangatan dan ketulusan di dalam genggaman itu. “Aku cuma nggak mau ada yang terluka, Jef. Terutama kamu... aku nggak siap kalau harus kehilangan kamu.”
Jefry tersenyum tipis, jemarinya menyusuri pipi Shafira, membelai lembut. “Kamu nggak akan kehilangan aku. Kita bisa hadapin ini, Shafira. Bersama.”
Dalam momen itu, tidak ada kata yang perlu diucapkan lagi. Shafira dan Jefry saling menatap, mata mereka berbicara lebih banyak daripada apa pun yang bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata. Di bawah langit sore yang tenang, mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai—dan meskipun jalan di depan penuh dengan tantangan, mereka bersedia menghadapinya bersama.
Hubungan Shafira dan Jefry semakin mendalam, namun di dalam hatinya, Shafira tahu ada hal yang harus mereka bicarakan.
"Jefry, kita bisa terus begini, kan?" Shafira akhirnya membuka suara, nada suaranya lembut tapi penuh kebimbangan. Matanya menatap Jefry, seolah mencari jawaban yang mungkin sulit diungkapkan.
“Kenapa Fira? Kita bisa terus begini asal kita tetap saling mencintai bukan?!”
“Itulan Jef. Aku…. Aku takut kebahagiaan ini berakhir!”
“Gak perlu takut. Kita jalani dengan saling mencintai tanpa rasa takut!”
“Tapi..”
Jefry menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya pelan tapi tegas.
"Aku ngerti, Fira. Pasti ini tentang perbedaan antara kita yang begitu besar kan? Selain status dan suku kita yang beda ada juga yang paling berat itu perbedaan agama kita... itu hal yang besar. Aku ngerti itu Fira."
Shafira mengangguk kecil, menunduk, memandangi tangan mereka yang saling menggenggam erat.
"Itulah yang aku takutkan. Tapi aku benar-benar sayang sama kamu, Jef. Tapi aku takut saat keluargaku tahu hubungan kita. Mereka akan mempermasalahkan itu.”
Jefry tersenyum pahit, matanya menyimpan rasa yang sulit disembunyikan. "iya aku menyadari semua itu."
"Hmmmmm… Aku akan berjuang untuk tidak memperdulikan semua itu," Shafira cepat-cepat menyela, suaranya hampir memohon. "Aku nggak peduli soal status atau materi. Aku sudah jatuh hati padamu Jef. Itu lebih dari cukup buat aku."
Jefry menggeleng pelan, ada rasa tak percaya dalam matanya. "Iya Fira selama belum terjadi kita jalani dulu seperti ini."
Shafira menghela napas panjang, hatinya berat. "Aku tahu, Jef. Tapi aku juga tahu, aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu. Iya kita jalanin saja..."
Jefry menatap Shafira, matanya penuh kasih. "Iya sayang."
Shafira terdiam saat menyadari betapa rumit jalan di depan mereka. Namun, mereka tahu perasaan itu nyata, dan meskipun berat, keduanya enggan melepaskan satu sama lain begitu saja.
Jefry tersenyum tipis, tapi di balik senyuman itu, dia tahu kenyataannya lebih rumit. "Kita harus hadapi ini bersama, Shafira. Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku juga nggak bisa meminta kamu untuk memilih antara aku dan keluargamu."
Mereka berdua terdiam, merenungi situasi mereka. Hubungan ini bukan hanya soal cinta, tapi juga soal keyakinan dan nilai-nilai yang sudah tertanam sejak lama. Mereka tahu, keputusan yang mereka ambil akan membawa konsekuensi besar.
Namun, di tengah semua kekhawatiran itu, mereka memutuskan untuk terus bersama. Bagi Shafira, Jefry adalah sosok yang mengisi kekosongan dalam hidupnya, seseorang yang tidak hanya melindungi tubuhnya, tapi juga hatinya. Dan bagi Jefry, Shafira adalah harapan yang membuatnya merasa lebih dari sekadar tukang kebun—dia adalah seseorang yang layak dicintai.
Perjalanan mereka mungkin penuh dengan rintangan, tapi di saat itu, mereka hanya ingin menikmati momen bersama, memegang erat cinta yang mereka miliki, sambil berharap suatu hari nanti, mereka akan menemukan jalan keluarnya.
***
Saat orang tua Shafira kembali pergi ke luar negeri, rumah yang biasanya terasa luas dan kosong menjadi tempat di mana hubungan mereka semakin mendalam. Suasana tenang di rumah memberi mereka kesempatan untuk lebih dekat satu sama lain, baik secara emosional maupun fisik.
Malam itu, Shafira dan Jefry duduk di teras samping rumah, hanya ditemani cahaya lampu yang lembut. Suasana yang tenang membuat hati mereka berbicara lebih jujur. Dalam percakapan yang perlahan berubah menjadi keheningan, mata mereka bertemu, dan seolah tanpa perlu kata-kata, keduanya tahu apa yang mereka rasakan.
Shafira, yang biasanya penuh kendali, merasakan hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Jefry mendekat, lalu menyentuh wajah Shafira dengan lembut, membuatnya merasa nyaman dan aman. Malam itu, kehangatan tubuh Jefry menjadi pelipur lara dari semua keraguan dan ketakutan yang selama ini mengganggu pikiran Shafira. Mereka berciuman dengan mesra.
Tanpa banyak kata, mereka terlarut dalam momen itu. Lidah mereka saling bertautan. Perasaan yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalannya, dan di malam sunyi itu, mereka bercinta, membiarkan cinta dan hasrat mengalir di antara mereka. Meski tahu konsekuensinya, Shafira merasa yakin dengan pilihannya. Bagi Shafira, Jefry bukan hanya sekadar pelindung, tetapi juga seseorang yang benar-benar mengerti dan mencintainya apa adanya.
Jerfri membimbing Shafira menuju kamar tidurnya. Di sana dia segera menelanjangi Shafira dan dirinya sendiri. Shafira baru kali ini melihat lelaki telanjang. Dia terpesona melihat kontol besar hitam berkulup milik Jefry.
Keduanya kemudian saling bercumbu dan meraba tubuh pasangannya masing-masing. Jefry memainkan jemari tangan kanannya di bibir memek Shafira, sedang tangan kirinya asik meremas payudara kenyal milik Shafira.
Jefry mengecup puting susu coklat kemerahan milik Shafira.
“Shhhhhhhh…”Shafira merintih.
Memeknya mulai basah akibat ransangan. Dia pasrah ketika Jerfry memegang kepalanya dan mengarahkan Shafira untuk mengoral kontolnya. Shafira yang baru kali ini bercinta agak kaku tapi dengan cepat dia mulai bisa melakukannya secara naluriah. Kontol besar itu hanya setengah saja yang bisa masuk kedalam mulut Shafira.
Memek Shafira berdenyut-denyut akibat masuknya kontol itu dalam mulutnya. Mungkin memeknya sudah siap diperawani oleh lelaki yang justru pernah menyelamatkan keperawanannya itu.
Sebelum memeknya menerima masuknya kontol besar Jefry terlebih dahulu memek itu dijilat, dicium dan disedot oleh lelaki perkasa itu.
“Shhhhhhh…ouwhhhhhh!” Shafira merasa sangat terbuai sehingga seolah ada gelombang kenikmatan yang mau meledak dari dalam tubuhnya.
Memek Shafira yang masih perawan itu makin basah. Ada cairan kenikmatan merembes dari dalam memeknya yang segera disedot dengan rakus oleh Jefry.
Kini saatnya kontol Jefry akan melepaskan keperawanan Shafira. Shafira mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi dalam posisi terlentang. Memeknya menganga basah kemerahan siap menerima hujaman kontol Jefry.
“Ahhhkkkkkk…”
Serasa ada yang koyak di dalam memek Shafira. Selaput daranya robek. Malam ini Shafira bukan perawan lagi. Darah merembes dari sela-sela memeknya yang penuh dengan kontol Jefry.
Terdengar Shafira menjerit kecil menerima masuknya kontol Jefry dalam memeknya, saat itu juga Jefry mulai menggerakkan pantatnya di atas tubuh Shafira. Rasa nyeri melanda memeknya. Mungkin akibat robeknya selaput daranya. Shafira telah kehilangan keperawanannya.
701Please respect copyright.PENANAEsmiDNV0BU
Jefry mulai menggenjot memek Shafira. Awalnya pelan-pelan tapi setelah itu Jefry menggoyangnya dengan semakin tak beraturan lagi. Rasa sakit di memek Shafira mulai berkurang dan kini berganti rasa nikmat yang susah untuk digambarkan. Karena nikmatnya juga bikin Shafira mulai blingsatan menerima permainan ini. Jerfry terus memompakan kontolnya.
“ OOuugghh. aaagghhh aaaaggghhh Jefry.. aku..nggak…kuat… yaaaachh.. “
Begitu desahan Shafira yang bikin Jefry makin bergairah. Semakin cepat pula dia memompakan kontolnya dalam memek sempit Shafira. Mungkin karena kerasnya akhirnya Jefry mempercepat goyangannya dan diapun mengerang secara tidak sengaja.
“ AAaaagghhh… aaaagghhh…. Aaagghh…aku…. Mau ke..luar….!”
“Keluarin di susu aku saja … sayang!”
Saat itulah tumpah sperma kental dari dalam kontol Jefry menerpa payudara Shafira. Persetubuhan itu benar-benar nikmat rasanya bagi keduanya.
Kemudian Jefry menciumi Shafira beberpa kali karena dia sudah merasa puas dengan memek gadis anak majikannya itu, diapun memeluk tubuh Shafira yang masih bugil. Di kamar Jefry itu mereka saling berdekapan dalam keadaan telanjang bulat.
Namun, di balik keintiman itu, terselip kekhawatiran. Mereka tahu, saat fajar menyingsing, kenyataan dan semua permasalahan yang ada akan kembali menghantui. Tapi untuk malam itu, mereka memilih melupakan semua beban yang menghimpit mereka, dan hanya merasakan cinta yang tulus dan mendalam di antara mereka berdua.
Bersambung
ns 15.158.61.11da2