Di Masjid, Pak Ustadz Anwar sedang memberikan ceramah kepada semua orang, tak terkecuali Agus pun ikut mendengarkan dengan baik. Setelah ceramah selesai Pak Ustadz menemui Agus.
"Gus, kenapa temanmu sudah lama tidak datang?" ucap pria berpeci itu seraya menenteng Al'Quran di tangan.
"Oh, maksudnya Shifa ya Pak Ustadz, katanya dia lagi ada acara Pak Ustadz, jadi nggak bisa hadir."
"Tidak ada masalah kan, Gus?"
Agus diam sejenak. "Tidak ada kok Pak Ustadz." Pria itu terkekeh.
"Ya sudah kalau begitu, Bapak pamit ya?"
"Iya Pak Ustadz, mari." Agus mencium tangan pria yang di seganinya itu.
***
Di rumah Shifa, malam itu ibunya pulang cepat karena pekerjaannya sudah selesai, ia memasak makan malam untuk anak perempuannya itu.
"Shifa! ayo keluar Nak, ini makanannya sudah matang, kamu pasti laper?" teriak ibunya tapi tak ada sahutan sama sekali.
Ia mengetuk pintu kamar Shifa. "Fa apa kamu di dalam Nak?" Lagi-lagi tak ada sahutan, ibunya mulai curiga.
Ia menurunkan gagang pintu kamar, dan membuka pintu dengan lebar, matanya terbelalak. Kamar itu sudah penuh dengan bunga melati yang bertebaran di lantai, dan baunya sangat wangi. Ia melihat Shifa duduk di ranjang sambil memakan bunga-bunga itu, pandangannya kosong dan tak berkedip sama sekali.
"Shifa! kenapa kamu Nak? kenapa kamu makan bunga, buang Nak!" Ibunya menghentikan Shifa dan mengeluarkan bunga-bunga itu dari mulut anaknya. Tapi ia malah melotot menatap ibunya seraya berdiri di depannya.
"Kenapa Ibu harus bekerja sebagai pencuci baju! kenapa Ayah harus ninggalin kita Bu! kenapa aku tidak dilahirkan dari orang kaya! kenapa Bu, kenapa!" teriak Shifa melengking membuat wanita tua berdaster itu sedikit takut.
"Astagfirullah Fa, apa yang kamu ucapkan ini?" Ia mengelus tangan anaknya itu.
"Aku muak Bu menjadi orang miskin, aku muak selalu dihina dan dicaci." Air mata Shifa mulai mengalir di pipi mungilnya.
Ibunya memeluknya. "Maafkan Ibu, ini semua salah Ibu. Seharusnya Ibu bisa mencari pekerjaan yang lebih layak, maafkan Ibu yang sudah membuatmu menderita selama ini," isak ibunya dan mengelus rambut anaknya itu.
Shifa pun ikut menangis dipelukan ibunya.
***
Anjel frustasi karena kehilangan kedua teman baiknya, ia minum-minum sendiri di bar, Prima datang menemuinya.
"Jel, kenapa kamu minum banyak banget? ayo kuantar pulang, kamu sudah terlalu mabuk." Prima menarik tangan Anjel untuk pulang.
Ia menangkis tangan pria yang selalu baik padanya itu. "Nggak mau! aku masih mau minum!"
Tapi Prima tetap memaksa wanita itu untuk masuk kedalam mobil dan mengantarnya pulang.
Di depan rumahnya. "Udah nyampek Jel, kamu cepetan masuk ya?" ucap Prima menatapnya.
Anjel mengangguk. "Iya." Wanita itu keluar dari mobil dan berjalan memasuki pagar rumahnya.
Prima masih menatapnya, tapi matanya tertuju pada sesosok bayangan hitam yang berdiri di samping jendela rumah.
"Udah sana pulang, sampai ketemu besok," usir Anjel dan menutup pagar rumahnya.
Prima pun melaju meninggalkan rumah besar berlantai tiga itu.
Anjel berjalan sempoyongan karena masih ada pengaruh alkohol. Sampai di depan pintu, ia ingin mencari kunci rumahnya. Orang tuanya pasti sudah tidur, ia sudah biasa pulang larut seperti itu. Mendadak sesosok perempuan yang wajahnya pucat dan berlumuran darah hitam langsung mencekiknya hingga bersandar ke tembok, Anjel meronta tapi tak bisa mengeluarkan suara. Cekikan itu makin kuat.
Prima yang merasa kawatir lalu berbalik arah, ia melihat Anjel kejang-kejang di pinggir tembok. "Anjel! kenapa kamu? Jel, sadar Jel." Prima menepuk pipinya dan mengguncangkan tubuh wanita itu beberapa kali, akhirnya sosok itu pergi dan Anjel pun pingsan.
"Anjeeelll!" teriak Prima dan langsung memeluk tubuh kekasihnya itu.
***
Hasan sedang mengajar di kelas, saat jam istirahat ia sengaja menemui anaknya, ia ingin melihatnya bermain bersama teman-temannya, tapi ia tak melihat anaknya di manapun, ia mencari di dalam kelas ternyata anaknya sedang duduk dan asyik menggambar.
"Tiara Sayang, kenapa kamu nggak main di luar?" tanya pria berkemeja biru laut itu seraya mengelus rambut anaknya.
"Aku lagi menggambar Pah," ucapnya manja dan tersenyum menatap ayahnya.
"Memangnya Tiara lagi gambar apa sih?" tanya Hasan dan tersenyum seraya duduk di kursi kosong dekat anaknya itu.
"Ini Papah, ini Mamah, dan ini Tiara, terus yang ini, kak Melati Pah." Tiara tersenyum tanpa tau apa yang baru saja dia ucapkan.
Bagai disambar petir di siang hari, perkataan Tiara membuat pria itu bingung.
"Kak Melati itu siapa, Sayang?"
"Bukanya dia teman Papah ya?" sahut Tiara.
"Papah nggak punya teman dengan nama itu Sayang," jawab Hasan beralasan.
"Darimana Tiara bisa mengenalnya?" Hasan mulai bingung.
"Kadang, dia juga mampir ke rumah main sama Tiara, dan tadi pagi juga nemenin Tiara di sini," ucap anak gadis berlesung pipit itu pada ayahnya.
Hasan segera memeluk tubuh anaknya itu. "Tiara, jika dia datang lagi, bisakah kamu langsung memberitahukan pada Papah Nak?"
Tiara mengangguk, Hasan masih penasaran dengan ucapan anaknya itu.
Di rumah Ratna, ia sering menghabiskan waktunya dengan menjahit baju. Tak jarang para tetangganya pun meminta bantuan dan ia mendapat bayaran dari sana.
"Makasih lo Jeng, jahitannya bagus dan rapi," ucap seorang tetangganya yang puas dengan jahitannya.
"Iya Sis sama-sama." Ratna tersenyum puas.
"Kalau gitu saya pamit ya Jeng, masih harus arisan nih." Wanita itu mengambil tasnya dan berdiri.
"Baiklah Sis." Ratna membukakan pintu untuknya.
Orang itu pun berjalan pergi, Ratna kembali ke tempat mesin jahitnya. Mendadak ia mendengar suara wanita menangis dari lantai atas rumahnya, padahal hari itu tidak ada orang di rumah. Karena rasa penasaran ia pun memberanikan diri. Suara tangisan itu makin dekat dan berasal dari kamarnya, lagi-lagi bau busuk tercium dari sana. Ia langsung membuka pintu kamarnya, tapi tak mendapati siapapun di sana. Hanya jendela kamar yang terbuka karena tertiup angin.
Ia segera menutupnya, tapi matanya dikejutkan oleh sesosok wanita yang berseragam SMA sedang berdiri di depan rumahnya. Wanita itu menatap Ratna dengan penuh kebencian. "Astagfirullah! siapa itu?"
Ia segera pergi ke bawah dan melihat ke luar tapi tak ada siapapun di sana, ia kembali ke dalam rumah. Mendadak TV di ruang tamu menyala dengan sendirinya, ia melihat sosok itu sudah duduk di sofa. Ia memalingkan wajahnya yang penuh darah dan mendatangi Ratna seraya ingin mencekiknya.
"Archhhhh tidaaaakkkk!!" Ratna terbangun dari tidurnya di pagi hari.
"Ada apa Mah?" Hasan ikut bangun mendengar teriakan istrinya.
"Hanya mimpi buruk kok Pah." Ia tak ingin menceritakan kepada suaminya tentang mimpinya itu.
"Bentar Mah, Papah ambilkan air." Ia pergi mengambil segelas air dan memberikannya pada Ratna, "ini minum dulu Mah."
"Makasih Pah," ucap Ratna seraya meminum air dari suaminya.
"Apa nggak ada sesuatu yang ingin Mamah katakan?" ucap pria yang sudah dinikahinya selama sembilan tahun itu.
"Ia menggeleng." Ratna tak ingin membebaninya
***
Sejak kejadian malam itu, Anjel mulai berubah. Ia selalu merasa ketakutan, jika seseorang mendekatinya ia akan langsung mengusirnya. Ia selalu mengurung diri di kamar, kedua orangtuanya ikut khawatir.
Prima datang mendekati Anjel di kamarnya.
"Pergi kamu! pergi! aku nggak punya urusan denganmu, pergiiii!" teriaknya mengusir Prima dan melemparkan bantal padanya.
"Ini aku, Prima Jel, sadarlah!" bentaknya.
"Aku bilang pergi!" teriakan Anjel makin keras, maka Prima terpaksa keluar dari ruangan itu.
"Bagaimana Nak Prima?" tanya ibunya Anjel dengan cemas.
Prima menggeleng.
Orangtua Anjel makin was-was.
Di suatu malam yang sangat sepi, Anjel sedang tidur di kasur, tiba-tiba selimutnya seperti ditarik ke bawah, Anjel menariknya ke atas lagi, tapi selimut itu turun ke bawah lagi. Karena penasaran, ia membuka matanya dan melihat siapa yang menarik selimut itu, ia terkejut melihat sesosok wanita yang matanya hilang satu merangkak naik ke atas ranjangnya. Ia berteriak tapi suaranya tidak mau keluar sama sekali, sosok itu makin mendekat dan menyusup ke tubuhnya.
"Arccchhhhhhh!" Anjel mencekik lehernya sendiri hingga tak bisa bernafas, lalu ia ke luar dari kamar dan berlari ke teras. Dan dengan senyuman di wajahnya ia melompat dari lantai tiga hingga kepalanya pecah menabrak bebatuan yang ada di bawah teras.
Shifa berdiri disana dan menyaksikan semua itu. Ia menangis meneteskan air mata. "Ini bukan yang kuinginkan, aku hanya ingin memberi pelajaran pada mereka, bukan membunuhnya!" Wanita itu segera pergi dari rumah Anjel, ia tak ingin seseorang melihatnya dan kembali ke rumah.
364Please respect copyright.PENANAUisTP9Pyr5
364Please respect copyright.PENANAfRm4ZD0pcC