Shifa menangis dan tersungkur di bawah ranjang. "Maafkan aku, aku tak bermaksud membunuh kalian semua, itu bukan aku, Melati keluarlah dari tubuhku, aku tak ingin meminta bantuamu lagi!" teriaknya dan masih menangis.
Melati berdiri di hadapannya dan melemparkan tubuh Shifa ke lemari hingga tertubruk. "Ouchhh," rintih wanita itu karena kesakitan tertimpa benda-benda dari lemari itu.
"Kamu sudah memanggilku, sebelum aku membunuh mereka semua dan membalaskan dendamku, aku akan tetap berada di tubuhmu!" ucapnya lantang dengan mata yang melotot.
"Tapi ini sudah cukup Melati, aku tak ingin jatuh korban lagi."
Melati datang dan mencekiknya. "Jika kamu tak ingin membunuh mereka, maka kamu yang akan mati, khi hi hi hi hi hi," tawanya dan langsung pergi menghilang dari kamar itu.
Shifa menangis seraya mengatur nafasnya kembali, ia tak tahu harus berbuat apa lagi.
***
Pagi hari ibunya Anjel datang ke kamarnya, tapi tak mendapati anaknya di sana. "Jel, apa kamu sedang mandi Sayang?" Ia membuka pintu kamar mandi tapi tak ada siapapun, ia bingung ke mana perginya Anjel.
Ia berjalan menyusuri rumahnya yang besar itu, lalu tak sengaja melihat sandal Anjel di pinggir teras. "Inikan sandalnya Anjel." Ibunya melihat ke bawah dan sangat terkejut melihat tubuh anaknya sudah terkapar di bebatuan. "Archhhhhh!" teriak ibunya histeris.
Beberapa saat kemudian Ambulance dan polisi sudah mengepung tempat itu, Anjel dinyatakan meninggal sejak dini hari karena benturan keras di kepalanya, orangtua Anjel sangat terpukul mendengar kabar itu, polisi pun menyimpulkan ini murni kasus bunuh diri karena tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan di tubuhnya.
Tapi Prima berpikir lain, ia merasa ada kejanggalan dalam kematian teman-temannya, ia segera pergi menemui Shifa di rumahnya.
Karena hari itu minggu, mereka tidak usah bersekolah.
Shifa kaget melihat Prima datang kerumahnya. "Ngapain kamu ke sini Prim? cepat pergi aku bilang, tinggalin rumahku!" bentak wanita berambut hitam pekat itu.
"Aku ingin kita bicara Fa!" ucap pria itu dengan tegas.
"Nggak ada yang perlu dibicarain, kalau kamu mau selamat, cepat pergi dari sini!" usir Shifa dan mendorong tubuh pria yang pernah disukainya itu.
Prima melihat sesosok tubuh berseragam SMA berdiri di dalam rumah Shifa.
"Itu siapa Fa, yang pakai baju seragam!" ucap Prima tiba-tiba.
Shifa kaget karena Melati tiba-tiba datang.
"Cepat pergi kataku!" bentak Shifa makin keras, dan Prima pun berjalan keluar.
Melati menggoyangkan kepalanya dan langsung masuk ke tubuh Shifa. "Prima," panggilnya lirih.
"Apa lagi Fa?" tanya Prima yang sudah sampai di depan pagar rumah bernuansa jawa itu.
"Maukah kamu minum teh sebentar!" Shifa berjalan mendekatinya.
"Bukannya kamu tadi yang ngusir aku?" Prima tampak heran.
Shifa menarik tangan Prima dan menggiringnya masuk ke rumah. "Aku tadi becanda kok,".ujar wanita itu terkekeh.
"Aneh kamu Fa!"
Prima duduk di sebuah kursi kayu, dan Shifa membuatkan teh untuknya.
"Kenapa kamu ke sini Prim?" tanya Shifa seraya menyuguhkan segelas teh untuknya.
"Aku hanya penasaran kenapa teman-temanku meninggal secara beruntun!" ucap Prima dan meneguk teh dari Shifa.
Shifa mendekatinya dan meraba-raba tubuh Prima.
"Apa yang kamu lakukan Fa?" Ia merasa Shifa bertingkah aneh.
"Mereka pantas mendapatkannya," ucapnya tiba-tiba.
"Maksud kamu apa!" bentak Prima dan menurunkan cangkir teh di tangannya.
"Mereka sudah mendapatkan balasan atas perbuatannya kepadaku." Pandangan shifa menenggadah.
"Shifa, kami hanya bermain-main denganmu, kami pun tak sampai melukaimu bukan!"
"Siapa bilang kalian tak melukaiku, aku terluka Prim, kalian melukai harga diriku, hanya karena aku ini anak orang miskin, apa pantas kalian melakukan itu padaku?" Shifa mulai menatap tajam pada pria yang disukainya itu.
"Tapi kini, kami sudah tak melukaimu, tapi kenapa masih saja jatuh korban?"
"Karena aku harus membalaskan dendam ini sampai tuntas!" ucap wanita itu.
"Maksud kamu!" Prima berdiri agak menjauh.
Shifa meraung dan langsung mencekik Prima.
"Apa-apaan kamu Fa, lepasin, arccchhhhhhh!" rintih pria itu menahan cekikan Shifa yang begitu kuat.
"Kamu juga harus mati seperti yang lainnya!" teriaknya dan berubah wajah menjadi Melati.
"Tidak Melati, lepasin dia, dia nggak bersalah!" ucap Shifa dalam dirinya.
"Bukannya dia juga ikut melukaimu selama ini!"
"Itu tidak benar, Prima selalu menolongku saat aku dikerjai teman-temannya."
"Bukannya kamu juga sudah lama menyukainya tapi dia tak pernah menganggapmu."
"Itu tak ada sangkut pautnya dengan semua ini, lepasin dia Melati, aku mohon!" rintih shifa.
Wajah Shifa berubah-ubah, kadang menjadi Shifa kadang menjadi Melati, seolah mereka sedang melawan dirinya sendiri.
Dari arah lain Agus datang mendatangi rumah Shifa. Sudah biasa setiap Minggu dia akan bermain ke sana, tapi apa yang dilihatnya setelah sampai di depan rumah wanita itu. Shifa mencekik Prima yang masih meronta kesakitan.
"Ada apa ini, hentikan Shifa!" teriaknya membuat Shifa menoleh dan berubah wujud.
"Gus tolongin aku!" Sesaat Shifa berubah menjadi Melati lagi.
Agus tau itu bukan Shifa, ia segera masuk dan membacakan doa untuknya.
"Audubillahhimminas syaitonirrojim, bismillahirrahmanirrahim." Ia membaca ayat kursi dan membuat Shifa kepanasan dan melepaskan cekikannya pada Prima.
Prima segera berlari ke belakang Agus.
Shifa meraung-raung mengeluarkan kemarahannya membuat beberapa benda di sampingnya berterbangan. "Jangan ikut campur kamu, pergi kamu!" bentak Shifa.
Agus masih membaca doa-doa, Shifa berteriak kesakitan. "Arcchhhhhhhhhh."
Lalu tangannya menenggadah dan tubuh Shifa terbang ke atas, Agus berteriak. "Allahu Akbar." Shifa langsung jatuh dan Agus segera menangkap tubuhnya.
"Astagfirullah aladzim, Shifaaa!" teriak pria yang memang sudah khatam Al-Qur'an sedari duduk di bangku SMP itu.
***
Ratna terbangun dari tidurnya di pagi hari dan melihat suaminya sudah tidak berada di sampingnya. Mungkin ia sedang membaca koran di ruang tamu, karena hari itu hari Minggu jadi tidak usah bekerja. Ia turun dari ranjang tapi mendadak kakinya ditarik sesuatu hingga tubuhnya terlentang di lantai.
"Siapa kamu? lepaskan aku!" teriaknya melihat ke arah kakinya, dan betapa kagetnya dia melihat sesosok wanita berseragam SMA merangkak naik mendekatinya, kedua matanya putih tak memiliki bola mata dan darah bercucuranan dari kepalanya. "Tidakk! lepaskan aku, lepassss!" rintih Ratna ketakutan.
Sosok itu mengeluarkan jari kukunya yang tajam dan mencabik-cabik kaki Ratna hingga dagingnya terkelupas dan darah mulai bercucuran dari kakinya, wanita itu berteriak histeris. "Toloonggggg, archhhhhh!"
Hasan yang mendengar suara teriakan istrinya langsung bergegas melihatnya, ia mendapati istrinya terduduk di lantai dan menangis.
"Mah, kenapa Mah, ada apa?" Hasan segera memeluk istrinya itu.
"Itu Pah ada wanita yang mencakar kakiku Pah!" isaknya dan masih terus menangis.
"Mah, bangun Mah, apa Mamah masih mimpi ya!" Ia menguncang tubuh Ratna.
Ratna membuka matanya, dan melihat kakinya yang masih utuh tak berdarah sama sekali.
"Tapi Pah, tadi Mamah benar-benar berdarah Pah!" Ratna merasa kebingungan.
Hasan memeluk wanita yang sudah dicintainya selama 10 tahun itu. "Mamah pasti mimpi buruk lagi, ayo turun biar Papah bikinin sarapan buat Mamah."
Ratna masih tak mau pergi dari lantai itu dan kebingungan.
***
Agus menyuruh Prima untuk pulang dan beristirahat, lalu ia memanggil Pak Ustadz untuk melihat keadaan Shifa.
"Pak ustadz, kenapa dengan anak saya Pak?" rintih ibunya Shifa menahan cemas melihat keadaan anaknya itu.
"Dia diganggu arwah Buk, tapi sekarang keadaannya sudah lebih baik, Ibuk nggak perlu khawatir ya!" ucap pria berpeci itu menenangkan ibunya Shifa.
"Pantas saja beberapa hari ini dia berprilaku aneh, terkadang dia makan bunga melati sendirian di kamar."
"Saya harap setelah hari ini Shifa tidak akan berperilaku aneh lagi," sahut pria itu.
"Terimakasih ya Pak Ustadz."
"Iya sama-sama, kalau begitu saya undur pamit, mari Buk." Pak Ustadz berjalan keluar dari kamar Shifa, matanya terarah ke ruang makan yang hanya memiliki tiga kursi itu, sesosok tubuh bermata merah sedang mengawasinya.
"Iya Pak." Wanita berdaster itu mengantarkan Pak Ustadz sampai ke depan pintu rumahnya.
Di luar rumah Shifa.
"Pak Ustadz yakin, Shifa akan baik-baik saja?" Agus masih cemas dengan keadaan temannya itu.
"Arwah yang ada ditubuhnya Shifa memiliki dendam pada manusia, dia masih membutuhkan tubuh Shifa untuk membalaskan dendamnya."
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak Ustadz?"
"Kita harus menunggu sampai arwah itu masuk ke tubuh Shifa lagi, dari situ baru aku bisa memusnahkannya."
"Lalu, kapan arwah itu akan masuk lagi ke tubuh Shifa Pak Ustadz?" Agus makin penasaran.
"Kurasa malam ini arwah itu akan membalaskan dendamnya, kita harus berjaga-jaga di sini Gus!"
"Kalau gitu kita tunggu di mobil saya aja Pak!" pinta Agus.
"Baiklah."
Mereka berdua masuk ke mobil dan menunggu di depan rumah Shifa.
ns 15.158.61.16da2