Suara itu lantas memberiku intruksi bahwa aku harus menjawab beberapa pertanyaan. Hanya saja, ia tak memberi paksaan bila tidak ingin diungkapkan. Namun, perintahnya menjawab adalah absolut.
Lama – lama gelap itu perlahan sirna. Masih ditemani kabut putih, Lady Honesty tanpa penampilan. Bukannya hitam, seluruhnya seputih awan. Tempat yang paling terisolasi dari peradaban.
“Penn, coba kamu pikirkan apa yang membawamu kemari?” Suara Lady Honesty menggema dengan lembut.
Pikiranku seberat kapas. Tidak ada halangan apapun yang membuatku keberatan atau menyangkal seperti biasanya walau itu pertanyaan yang repetitif.
“Saya hanya… saya hanya ingin tenang dari masa lalu!” Kataku dengan lepas.
Tidak ada satupun yang menghalangi, antara diriku, suara Lady Honesty dan kabut putih ini. Tak ada yang berubah. Hanya sebatas kata dibalas kata. Suara berbalas suara.
“Apa kamu yakin, Penn?”
Yang kutahu itulah alasanku selama empat tahun setelah bertemu seorang psikiater. Balasku hanya berupa anggukan.
“Tepatnya seperti apa yang menganggumu, Penn?”
Mendengar itu aku sedikit merasa membara. Itu seperti penyakit yang menempel, membuat orang menderita, dan segera ingin dibuang selamanya.
“Me-mereka selalu datang!” Kepalaku serasa menunduk, meski aku tak melihat penampilan diriku sendiri. “Se-seperti kaset! Ya, seperti kaset yang diputar terus menerus… terus menerus di bagian paling menyeramkan… dipaksa menonton… saya nggak bersalah! Bahkan…”
“Bahkan?”
Aku adalah revolver yang telah menembakan semua peluru tepat sasaran. Semua yang kulontarkan lepas tanpa kekangan, lalu aku berhenti. Mengisi amunisi.
“Nggak bisa tidur, meski saya nggak bersalah…”
“Kamu menyesal, Penn?” suara itu bertanya lagi.
“Ya, meski nggak bersalah.”
Empat tahun lamanya, aku selalu merasa sedang memanjat tebing gunung es. Memanjat terus memanjat, mengharapkan tenang di puncak yang tak terlihat. Peralatanku bahkan mahal tanpa nekat.
Bukannya semakin dekat, aku bergulir dan tersendat, jatuh terjerat, bangkit lalu kembali terlibat.
Semakin diulang, semakin mengikat.
“Sejauh ini, apa kamu merasa lebih baik dengan konsultasi dibandingkan sebelumnya, Penn?”
“Lebih baik daripada nihil, saya rasa.”
“Termasuk mimpi buruk itu?”
“Mereka hanya selalu datang setiap saat.”
“Lalu kenapa kamu butuh obat penenang itu?”
“Aku bisa gila tanpanya. Obat itu seperti memberiku jeda.”
“Hanya jeda? Kamu yakin?”
Aku tidak mengerti mengapa selalu ada pertanyaan yang kesannya mengonfirmasi ulang. Tapi rasanya tubuh ini semakin ringan, semakin tenang.
“Tidak pernah seyakin ini,” timpalku.
Semakin lama, kabut putih itu semakin bergerombol. Tempat ini masih sama, kosong, bahkan aku tidak bisa melihat diriku sendiri. Aku rasanya seperti pengamat dari jauh, yang hanya mendengar lalu menjawab, kabut putih justru semakin banyak.
Gerombolan kabut putih itu menggumpal seperti awan, disambut sebuah siluet samar – samar.
“Saat ini, aku ingin melihat seluas – luasnya gambaran apa yang terjadi. Tidak dengan mulutmu. Tapi pertama – pertama, kamu tahu ini siluet siapa?”
Sama sekali tidak dibuat – buat bahwa siluet yang terlihat mirip seorang pria agak gemuk, tidak kukenal. Bahkan perasaan dan pikiran yang semakin ringan ini tidak membantuku mengungkap identitasnya.
“Well, tidak masalah, Penn. Mari mencari tahu, ho ho~”
Persis diucapkan, tiba – tiba seperti vaccum cleaner dengan tenaga kuat menyedot debu, aku terhisap masuk ke dalam siluet itu. Tempat gelap dan menakutkan , seperti seluncuran alir bergerak ke arah yang berlawanan.
Tidak lama berselang…
Terlihat sebuah peristiwa…
Film? Bukan..
Isi kaset yang sama diputar dalam tidurku…
Salah satu dari lima mimpi burukku dipertontonkan…
Sebuah sekolahan di inggris, megah dan salah satu yang menjadi kandidat idaman para orang kaya. Bangunan seluas istana, fasadnya futuristik namun bergaya klasik. Atapnya ada yang dibuat kerucut, sementara temboknya juga ada yang melingkar.
Tampak tiga orang kerah putih, dasi biru dan blazer krem. Berjejer seperti papan statistik fluktuatif keluar dari koridor samping.
Si proporsional, si pendek, dan si tiang listrik, berjalan r ke arah belakang gedung penuh percaya diri dengan bibir mencucu. Mereka menuju pria dekat pohon plum, tubuh gendutnya seperti kesetrum tegangan tinggi, bergetar, panik bermuram durja.
Mereka datang dengan urusan yang tidak menyenangkan. Tidak secara spesifik terdengar, lagipula tubuhku yang samar – samar ini mengambang. Sempat si pendek menarik kerah hingga membuat si gendut merintih minta ampun.
Keinginanku memang menolak, namun mataku dari posisi pengamat tak mau memejam. Tolakan itu semakin kuat saat hadir orang lain tidak sengaja mengintip.
Tanpa mengatur fokus, aku bahkan tahu si pengintip berkaca mata itu. Bahkan seluruh pikirannya tak ada yang luput dariku.
.
.
Dia adalah diriku, yang pengecut, bertahun - tahun yang lalu…
Baku hantam memang terjadi, namun aku tak bisa berbuat apa – apa meski tubuhku mendidih. Bahkan diriku di masa lalu.
“Tolol! Kenapa kamu diam saja!” teriakkan spontanku yang bahkan tidak terdengar. “Gareth! Lari! Jangan malah diam!”
Gareth adalah satu – satunya temanku di SMA. Satu – satunya anak orang kaya yang berteman denganku, si miskin. Di sekolah itu, aku masuk melalui jalur prestasi bukan kertas cetak yang bernilai. Kami seperti angka nilai sempurna, aku satu dan dia nol. Angka sepuluh.
Singkatnya kami selalu satu kelas, bertukar hobi, dan membantu sama lain. Orang tuanya sangat ramah padaku saat main ke rumahnya. Mereka ingin aku berteman dengan dirinya selama mungkin. Karena mereka tahu, anaknya berotak udang.
Suatu saat kelakuannya aneh. Dua minggu sebelum kejadian itu, kami jarang bercengkrama. Kami baik – baik saja tidak bertengkar. Namun, sekelebat aku pernah bertemu dengannya, berurusan dengan salah satu bajingan paling resek di sekolah. Membuatku mengekor setelah jam pulang sekolah. Dan itu mengukir mimpi burukku.
Karenanya…
Semakin lama itu diputar, semakin terbakar jiwaku. Aku memberontak. Hanya tidak ingin melihat hal yang paling tidak ingin kulihat.
Puncak gedung sepuluh tingkat…
.
Gareth melompat…
.
.
Lalu…
Tiba – tiba seperti layar televisi yang dimatikan..
Hilang seketika…
Kini aku masuk di tempat gelap gulita. Untungnya badanku utuh masih samar – samar
“Ho ho~ jadi Gareth namanya, Penn?” Suara itu tiba – tiba datang.
Seperti satu peleton prajurit yang di bom habis, seperti itulah rasanya tubuhku saat ini.
“Sialan! Apa yang anda lakukan?” Nafasku tersengal – sengal, tanganku memegangi kepala.
Suara itu hilang lagi, seakan tidak menggubrisku.
Sekerjap muncullah sebuah layar bioskop yang sangat besar. Tidak tahu apa yang terjadi, mondar – mandir ke sana kemari.
Sebuah film diputarkan…
Sementara aku mematung di paling depan.
Kilas balik itu mulai diputarkan…
Seorang wanita berbaju kasual celana pendek menjejak sekencang kuda mengejar penjarah celana jeans baju krem lengan panjang yang mengambil ponselnya. Hentakan itu terdengar dan berlalu, ironisnya orang – orang hanya menoleh, mematung, atau merekam hal itu untuk dibagikan di media sosial.
Aku yang pejalan kaki umum tepat di seberang jalan mereka yang kejar – kejaran pun dipaksa tahu. Berjalan santai, memikirkan jawaban yang tepat untuk lancarnya proses wawancara pekerjaan.
Tiba – tiba lampu berganti merah…
Tepat seperti yang diharapkan pencuri, zebra cross siap menjamin keselamatannya. Mereka yang terpaut sekitar 70 meter, melewati zebra cross.
Aku berpikir penuh perhitungan, di mana tepat di sebelahku adalah gang kecil. Seperti tikus yang selalu mencari lubang pelarian.
Berharap seperti pahlawan di film, aku bersembunyi di gang kecil. Bisa kupastikan, si bodoh tersungkur malu.
Situasi secepat yang diharapkan…
Penjarah itu lewat jalur yang kuperhitungkan. Well, tidak ada pilihan lain, karena jalur itu satu – satunya yang paling dekat dan pojok.
Druak! Gubrak! Sreeekk!
Ia meluncur tepat di permukaan kasar…
Segera ia bangkit, lalu menjauh hingga tak terlihat…
Ponsel itu terjatuh dan sedikit retak. Wanita akhirnya datang dengan posisi kedua. Roman mukaku sudah terpasang sekeren – kerennya.
Ironisnya…
Wanita itu mengoceh, menuduh, memviralkan dengan ponselnya. Sekuat – kuatnya membela, ia punya bukti yang tak teruntuhkan.
Baju krem dan celana jeans, pakaian yang sama kukenakan dengan pencuri itu.
Karena mulut wanita ini bagai membangunkan anjing – anjing yang tidur dengan nadanya yang heboh dan melengking, aku takut orang di sekitar mempermalukanku lebih dalam.
Lari sekencang – kencangnya, pahlawan yang ditukar posisinya, ironisnya…
Wanita itu kembali meningkatkan kemungkinan ponselnya dicuri lagi. Itu karena…
Ia merekam dirinya sendiri, berjalan tanpa tujuan, ponselnya menghadap depan yang rentan bajing lonjat berurusan.
“Ho ho~ dunia ini nggak mau makan orang yang tidak tahu terima kasih, Penn.”
“Nggak kaget, orang baik selalu lebih nikmat.”
ns 15.158.61.11da2