Seminggu berlalu sejak peristiwa malam itu, saat aku dengan sadar mendatangi rumah Narto dan akhirnya bercinta dengan preman kampung itu. Sejak saat itu pula Narto kembali menghilang bak ditelan bumi, pria berbadan kekar itu sama sekali tak nampak batang hidungnya di sekitar tempat tinggalku. Narto seolah tengah mempermainkan diriku, dia bisa begitu saja datang dan menghilang seenak jidatnya, sementara aku justru mulai merindukan kehadirannya.
Kejadian malam itu seolah membuka tabir pandora kebinalanku sebagai seorang wanita normal. Membayangkan penis kekar Narto yang menyesaki liang peranakanku selalu bisa menimbulkan sensasi tersendiri, dan aku begitu menginginkannya kembali terjadi. Harus aku akui, nafsu seksku rasanya semakin meningkat saja setelah merasakan nikmat bersetubuh dengan Narto. Namun, sayang seribu sayang, Mas Fajar tidak bisa mengimbanginya. Suamiku itu selalu gagal memuaskan gelagak nafsuku, dia selalu lebih dulu mengeluarkan peluru kelaki-lakiannya di saat aku hendak mencapai titik orgasme. Pada akhirnya, kebiasaan masturbasi dengan membayangan keperkasaan Narto lah yang aku gunakan untuk memuaskan hasrat.
Celakanya, ada sisi lain dalam diriku yang tiba-tiba muncul saat kesangeanku merajalela. Masturbasi tak cukup untuk memuaskanku, aku makin bernafsu saat melakukan kegiatan tabu itu di tempat terbuka. Gila! Aku ingat bagaimana malam tadi saat Mas Fajar terlelap tidur setelah lembur di kantornya, aku berjalan mengendap-endap keluar kamar lalu melangkah menuju teras rumah. Dengan kesadaran penuh aku lalu mulai melepas pakaian tidurku hingga telanjang bulat. Ya! Aku telanjang bulat di teras rumahku!
Sensasi bertelanjang bulat di ruang terbuka ternyata bisa makin meningkatkan gairahku. Saat itu tidak tebersit sedikitpun dalam pikiranku sebuah ketakutan, semuanya berganti menjadi gejolak birahi yang tak bisa kutahan. Maka setelah tubuhku bertelanjang bulat, aku langsung duduk di kursi teras dengan kedua paha mengangkang lebar. Kumainkan jemariku pada permukaan vagina, kugesek secara perlahan, sambil sesekali memainkan ujung kelentitku sendiri.
“Ouuucchhhhh….”
Desahku terdengar lirih ditemani semilir angin malam sepi. Aku bahkan sampai lupa jika sedang berada di luar rumah tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh mulusku. Kudaki birahiku seorang diri, gerakan jemariku makin lama makin cepat, membawaku ke puncak tertinggi kenikmatan. Tak hanya menggesek bagian luar vagina saja, tapi jemariku juga mulai menelusup ke bagian dalam. Kukocok bagian dalam liang senggamaku, meskipun tak sebesar penis Narto, tapi rasanya itu sudah cukup membuat tubuhku menggelinjang beberapa kali.
“Aaacchhh….Narto!! Entotin aku!” Desisku tak terkontrol membayangkan batang penis preman kampung itu menyesaki vaginaku.
Payudaraku yang tergelepar bebas tak luput dari jamahan satu tanganku lagi. Kuremasi dua gundukan daging kenyal itu secara bergantian, sementara satu tanganku yang lain masih sibuk mengocok area vagina. Lambat laun cairan kewanitaanku mulai keluar, membuat gerakan jemariku di bawah sana makin lancar tanpa penghalang. Namun betapa terkejutnya aku saat sedang memuaskan tubuhku sendiri, tiba-tiba kurasakan tamparan sebuah sinar cahaya menyapu mataku yang terpejam. Reflek aku membuka mata dan mendapati Pak Hendro, Ketua RT di lingkungan tempat tinggalku sudah berdiri tak jauh dari teras rumah dengan mengarahkan cahaya lampu senter ke tubuh telanjangku.
“Pak RT????!!!” Pekikku kaget sekaligus ketakutan. Tanpa pikir panjang aku langsung meraih dasterku yang tergeletak di atas lantai sebelum kemudian kugunakan untuk menutupi tubuhku.
“Wah…Wah…Rupanya Mbak Diandra lagi enak-enak toh di sini? Hehehehehe…” Celetuk Pak Hendro sebelum mematikan senter di tangan kanannya.
“Bapak mau ngapain???” Pak Hendro melangkah mendekatiku, aku berusaha beringsut menjauh.
“Saya nggak nyangka kalo Mbak Diandra suka masturbasi di teras kayak gini. Tau gitu pasti tiap malam Saya ronda keliling kampung, hehehehehe.” Pria bertubuh tambun dengan kepala sedikit botak itu tersenyum mesum ke arahku.
“Lebih baik Pak RT sekarang pergi dari sini!” Hardikku panik, namun Pak Hendro makin mendekatiku.
“Pergi? Sepertinya itu tidak mungkin, karena saya ingin membantu Mbak Diandra.” Ujarnya dengan ekspresi menjijikkan.
“Maksud Pak RT apa???!”
“Sssttttt! Jangan teriak kenceng-kenceng, suamimu ada di dalam kan? Kamu mau dia bangun dan melihatmu telanjang bulat seperti ini?”
Keringat dingin kurasakan mulai membasahi dahiku. Jantungku berdebar kencang bak genderang perang yang bertabuh tak beraturan. Aku sama sekali tak mengira jika keberanianku harus berujung pada kehadiran sosok pria tua bernama Hendro yang memergoki perilaku cabulku. Pria berusia setengah abad lebih itu kini berdiri tepat di hadapanku, tangan kanannya bergerak bebas melucuti pengait celana panjangnya sebelum kemudian menyusul celana dalam kusam yang dikenakannya luruh begitu saja, memperlihatkan penis hitamnya yang dikelilingi bulu jembut belukar tak beraturan dan lebat.
“Eiiih!! Bapak mau ngapain???”
“Diam! Dasar lonte! Ayo emutin kontolku!” Hardik Pak Hendro serya menyorongkan penis gembulnya yang setengah mengeras ke arahku. Aku berusaha menghindar tapi tangan Pak Hendro bergerak lebih cepat. Pria tua itu mencengkram pergelangan tanganku kemudian memaksaku untuk memegangi batang penisnya.
“Ayo pegang, nggak usah malu-malu. Kan tadi kamu lagi ngocokin memek sendirian, sekarang saya kasih kontol asli, pasti lebih enak dibanding jarimu yang mungil ini.” Ujar Pak Hendro penuh intimidasi.
“Ja-Jangan Pak…Saya mohon jangan…” Kataku mengiba, berusaha untuk menyadarkan kewarasan pria tua itu. Namun Pak Hendro bergeming, rupanya kemolekan tubuhku telah membuat birahi menguasai isi kepalanya.
“Ayo buruan isep! Atau kamu mau saya bawa ke balai RW? Biar semua orang tau kalo kamu suka berbuat mesum di tempat terbuka?”
Aku kembali mengalami momen seperti ini lagi, dipaksa melakukan sesuatu yang sama sekali tak aku inginkan. Rasa takut karena berada di bawah ancaman serta intimidasi membuar keberanian dalam diriku menciut hilang bak ditelan bumi. Seperti tak menemukan jalan keluar lain, maka aku menuruti perintah Pak Hendro. Penisnya telah berada di genggamanku, perlahan mulai mengeras.
Aku teringat kata-kata istrinya beberapa hari lalu saat bercanda dengan Mang Ujang, ternyata benar apa yang dikatakan oleh Bu Hendro jika ukuran penis suaminya jauh lebih besar dibanding sebatang terong. Tak lebih panjang dibanding penis Narto memang, tapi penis Pak Hendro begitu gemuk, sangat gemuk malah. Satu genggaman tanganku tak muat menangkup daging kenyal itu.
“Jangan diem aja dong, kocokin ya.” Suara Pak Hendro jadi lebih melandai, kutatap wajah mesumnya dengan perasaan takut.
“Ayo…Kocokin..” Perintahnya sekali lagi.
Kugerakkan tangan kananku maju mundur, mengurut serta mengocok penis pria tua itu. Suara lirih desahan terdengar dari mulutnya. Makin lama penis Pak Hendro makin mengembung, mengeras sempurna. Aku bisa melihat buritan otot-otot tipis di sepanjang permukaan batangnya. Satu tangan Pak Hendro meraih bagian atas kepalaku, mendorongnya ke depan dengan maksud makin mendekatkan mulutku pada ujung penisnya. Semerbak aroma pesing langsung tercium olehku, setitik cairan kental precum pun telah terlihat di lubang kencingnya.
“Emutin sekarang…” Perintahnya.
Kupejamkan kedua mataku saat Pak Hendro menyorongkan pinggulnya ke depan, membuat bibirku bersentuhan langsung dengan bagian ujung penisnya. Aku begitu jijik dan muak, tapi sama sekali tak punya daya untuk menolak permintaan cabul dari Pak Hendro. Kupaksakan mulutku terbuka, baru saja sedikit terkuak Pak Hendro dengan kasar memaksakan penis gembulnya masuk. Mulutku terasa begitu sesak dipenuhi penis beraroma pesing dan berasa aneh.
“Ouucchhh..Iya terus kayak gitu…” Pak Hendro melenguh saat mulutku mulai dipenuhi oleh batang penisnya.
Kedua tangan Pak Hendro mencengkram kepalaku, sementara pinggulnya bergerak maju mundur. Mulutku seolah sedang diperkosa oleh penis bajingan tua itu. Aku kesulitan mengambil nafas, apalagi gerakan pinggul Pak Hendro makin kencang dan dalam, bahkan sesekali ujung penisnya kurasakan sampai menyentuh pangkal tenggorokanku. Aku tak bisa berbuat banyak selain memukul-mukulkan tanganku pada tubuh pria bertubuh tambun itu.
“HAAAAAH!! HAAAH!!! BANGSAT!” Umpatku setelah Pak Hendro melepas keluar batang penisnya dari dalam mulutku.
“Hahahahaha! Jangan marah, kamu tapi suka kan?” Ledeknya.
“Najis!” Umpatku sekali lagi, kutatap wajah Pak Hendro dengan aura kebencian, liur menetes dari sela-sela bibirku.
“Ayo sekarang kamu ngangkang ya, udah waktunya memekmu bekerja.”
“Nggak! Jangan! Jangan! Aku nggak mau!” Aku meronta sekuat tenaga saat Pak Hendro menarik paksa tanganku, usahaku terlihat sia-sia karena kekuatan pria tambun itu sama sekali bukanlah tandinganku.
“Nggak usah melawan, lagipula ini kan yang kamu mau daritadi?”
“Lepas! Lepas bajingan!”
Aku masih berusaha berontak menolak permintaan cabul Pak Hendro. Emosi pria itu rupanya terpancing, dengan sangat kasar dia menjambak rambutku, menyeretku menuju bagian ujung teras sebelum kemudian mendorong tubuhku hingga terjatuh. Pelipisku membentur ubin, terasa ngilu dan perih, beruntung tak ada darah yang mengucur keluar. Kulihat Pak Hendro berjalan mendekatiku, belum sempat aku bereaksi, pria tua itu segera saja menarik pergelangan kakiku, menariknya dengan kasar.
“Jangan Pak! Saya mohon jangan!!” Kataku mengiba dengan berurai airmata, tapi nafsu sudah menjelma jadi iblis dalam diri Pak Hendro. Pria tua itu sama sekali tak mengindahkan permohonanku.
“Tenang saja Diandra, aku akan memuaskanmu malam ini. Kamu nikmati saja.” Desisnya seraya berusaha menelungkupi tubuhku.
Aku sudah pasrah saat kedua tangan Pak Hendro membuka pahaku, sekilas kulihat penis gembulnya berusaha mendekati liang senggamaku. Namun belum sampai Pak Hendro menuntaskan hajat bejatnya padaku tiba-tiba kulihat sosok tinggi besar dengan rambut gondrong mendekati kami. Hanya dalam sepersekian detik sosok itu memiting leher Pak Hendro dari belakang dan menyeretnya ke belakang menjauhi tubuhku.
“AAARRGGHHTTTT!!!”
Pak Hendro berteriak kencang saat tubuhnya limbung ke belakang lalu jatuh menghantam lantai teras dengan sangat keras. Detik itu juga aku menyadari jika sosok tinggi besar yang mendatangi kami adalah Narto, preman kampung yang selalu jadi objek fantasi seksualku. Dua orang pria itu sempat bergumul beberapa saat, Narto yang lebih kekar berhasil mengunci tubuh Pak Hendro dari atas. Si preman gondrong menghujami tubuh Pak RT dengan pukulan bertubi-tubi.
Di tengah pergumulan dua orang pria tersebut aku bergegas mengenakan dasterku untuk menutupi tubuh telanjangku dan berlari masuk ke dalam rumah. Dari balik jendela kulihat Narto dengan wajah penuh amarah menyeret tubuh gembul Pak Hendro menjauhi teras rumah dan melemparkannya ke jalanan. Seperti belum puas, Narto kembali menghajar tubuh Pak Hendro. Pukulan bertubi-tubi dari preman kampung itu tak kuasa ditangkis oleh Pak Hendro, alhasil wajahnya babak belur karena luka.
“Ada apa ribut-ribut Dek?” Tiba-tiba dari belakang suara Mas Fajar mengagetkanku.
“Eh I-Itu Narto lagi berantem…” Kataku dengan sedikit tergugup. Mas Fajar ikut melihat dari balik jendela sebelum kemudian membuka pintu rumah.
“Mas jangan!” Kataku mencegah langkah Mas Fajar yang ingin melerai keributan antara Narto dan Pak Hendro.
“Kamu tunggu di sini aja ya Dek.”
Mas Fajar tak mengindahkan ucapanku, suamiku itu bergegas keluar rumah dan langsung berusaha melerai perkelahian. Tak lama beberapa orang tetanggaku juga keluar rumah karena mendengar keributan, mereka bahu membahu bersama Mas Fajar untuk menarik jauh tubuh Narto agar berjarak dengan Pak Narto yang sudah tak berdaya. Cukup lama mereka memisahkan keduanya sebelum akhirnya Narto bisa ditarik menjauh.
“Lepas! Bajingan! Gue belum selesai sama Lu ya gendut!” Umpat Narto seraya melepas cengkraman beberapa orang pria dari tubuhnya.
Beberapa orang terlihat sibuk membantu membopong tubuh Pak Narto yang tak berdaya, wajah pria tua yang hendak memperkosaku itu sudah berlumuran darah akibat bogem mentah si preman kampung. Aku begidik ngeri, bukan karena perkelahian itu, tapi lebih pada ketakutanku jika semua orang tau sebab musabab Pak Hendro dihajar oleh Narto. Mau ditaruh mana mukaku nanti jika mereka tau, apalagi jika Mas Fajar juga akhirnya paham jika penyebab semuanya itu adalah karenaku.
“Sudah! Sudah! Ayo bubar! Bubar!”
Mas Fajar berteriak menghalau kerumunan massa yang makin lama makin menyemut mendekati bagian depan rumahku. Sementara itu aku sudah tak melihat lagi keberadaan Narto, beberapa orang membawa Pak Hendro kembali ke rumahnya untuk mendapatkan pengobatan. Tak lama setelah semua orang mulai kembali ke rumah mereka masing-masing, Mas Fajar kembali masuk ke dalam rumah kami. Aku masih berdiri di depan jendela dengan khawatir.
“Bagaimana Mas?” Tanyaku.
“Udah nggak apa-apa kok Dek, cuma keributan biasa. Ayo kita tidur lagi.” Ujar Mas Fajar seraya menggandeng tanganku menuju tempat tidur.
523Please respect copyright.PENANAz4eOR4j9yj
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION , KLIK LINK DI BIO PROFIL UNTUK MEMBACA VERSI LENGKAPNYA523Please respect copyright.PENANARpahjhMoBb