Maka, aku memilih untuk menerima semua ini dengan kesabaran dan keikhlasan. Aku menganggap mungkin inilah takdirku sebagai seorang istri. Bukan berarti aku tidak bahagia—Farhan mencintaiku, itu sudah lebih dari cukup. Setiap kali ia menyentuhku, aku selalu memastikan untuk melayaninya dengan penuh kasih sayang, meskipun dalam hatiku selalu ada ruang kosong yang belum terisi.
Di dalam diamku, aku terus bertanya pada diri sendiri. Apa aku yang kurang memahami? Apa aku yang tidak bisa menikmati seperti yang orang lain katakan? Tapi di balik semua itu, aku menepis segala rasa kecewa yang mungkin muncul. Aku berusaha keras untuk menyembunyikan kekecewaanku di balik senyum dan kelembutan, karena aku tahu, cinta yang sejati tidak hanya soal fisik, tetapi juga tentang keikhlasan dan pengorbanan.
Setiap kali aku berdoa, aku memohon kepada Allah agar memberikan kebahagiaan yang cukup untuk kami berdua, terlepas dari apapun yang mungkin kurang dalam hubungan kami. Aku yakin, ada banyak cara lain untuk merasakan kebahagiaan dalam pernikahan, dan tidak semuanya harus datang dari hubungan fisik.
Setiap malam tiba, saat aku dan Farhan berbaring di tempat tidur, aku menatap langit-langit kamar sambil menggenggam tangannya. Aku mengingatkan diriku sendiri bahwa cinta adalah tentang keikhlasan. Aku tidak perlu merasakan apa yang orang lain rasakan untuk tahu bahwa aku mencintainya, dan dia mencintaiku.
Ini cukup, kataku dalam hati. Aku memilih untuk menerima, untuk bersabar, dan untuk tetap setia menjalani kehidupan ini bersama Farhan, dengan segala kekurangannya. Karena pada akhirnya, cinta yang sesungguhnya adalah tentang memberi dan menerima dengan sepenuh hati, tanpa perlu menuntut kesempurnaan.
***
Malam ini, seperti malam Jumat biasanya, aku tahu apa yang akan terjadi. Setelah shalat Isya, aku merapikan tempat tidur dan memastikan semuanya tampak rapi. Farhan sudah bersiap di kamar, duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah yang lelah setelah seharian bekerja. Namun, aku tahu bahwa malam ini adalah malam di mana aku harus melayani kewajibanku sebagai istri, memberikan diriku sepenuhnya untuk suamiku.
Aku duduk di sebelahnya, tersenyum lembut saat Farhan mulai meraih tanganku. "Terima kasih sudah selalu ada buat aku, Nay," ucapnya pelan, suaranya terdengar lembut di telingaku.
Aku mengangguk, meskipun dalam hati ada keraguan yang selalu mengintai. Aku tersenyum dan menatapnya, berusaha meyakinkan diriku bahwa inilah bagian dari cinta—berkorban, memberikan diri dengan sepenuh hati, meskipun terkadang hati ini merasa kosong.
Farhan mendekat, mencium dahiku dengan lembut. Sentuhan kasih sayangnya terasa hangat, dan aku mengikutinya dengan kepatuhan. Kami pun ritual yang mena, dalam keintiman yang sudah menjadi kewajibanku untuk melayani suami. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, tak butuh waktu lama bagi Farhan untuk mencapai puncak hasratnya.
Aku mendengarnya menarik napas dalam, lalu perlahan merosot di sampingku, kelelahan. "Alhamdulillah... terima kasih, Nay," katanya sambil tersenyum kecil sebelum akhirnya terlelap dalam hitungan detik.
Aku menatapnya yang kini tertidur pulas di sisiku, wajahnya tenang dan damai. Suamiku yang aku cintai, yang setiap hari bekerja keras untuk keluarga kami. Dia sudah memenuhi hasratnya malam ini, tapi aku masih terjaga—dalam keheningan, dalam kehampaan yang selalu menghampiriku setelah semua ini berakhir.
Aku tidak merasa marah, hanya ada perasaan sepi yang melingkupi. Aku tahu dia mencintaiku, dan aku pun mencintainya. Tapi di saat seperti ini, saat dia sudah terlelap sementara aku masih terjaga, aku sering bertanya pada diriku sendiri. Apa inilah yang seharusnya aku rasakan?
Aku memandang langit-langit kamar, kemudian menatap wajah Farhan yang damai di sebelahku. Aku tersenyum kecil, lalu merapikan selimutnya agar dia tetap nyaman. Meskipun hatiku kosong, aku tetap bersyukur. Mungkin inilah caraku menunjukkan cinta—dengan keikhlasan, dengan kesabaran.
Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati. "Ya Allah, semoga Engkau selalu memberikan kebahagiaan dalam rumah tangga kami, meskipun aku belum memahami seluruhnya. Berikan aku kekuatan untuk terus mencintai dan ikhlas dalam setiap kewajibanku sebagai istri."
Dan malam itu, dalam kehampaan yang perlahan memudar, aku akhirnya tertidur di samping suamiku, berharap suatu hari nanti aku akan menemukan kebahagiaan yang lebih dalam, baik dalam hubungan kami maupun dalam hatiku sendiri.
Terkadang aku berpikir perbedaan usia yang cukup jauh di antara kami sebagai salah satu sebab aku tidak pernah merasakan kepuasan yang sebenarnya saat kami melakukan hubungan suami istri. Setiap kali aku menjalankan tugasku sebagai istri melayani hasrat suami, selalu ada perasaan hampa yang mengiringinya—seolah-olah ada sesuatu yang kurang.
Aku tetap konsisten untuk tidak pernah membahas hal ini dengan Farhan. Dia adalah orang yang baik, penuh kasih, dan aku mencintainya. Aku tidak ingin membuatnya merasa tidak mampu memuaskan aku atau menyakiti perasaannya, jadi aku menyimpan semua ini untuk diriku sendiri. Kadang aku membaca cerita-cerita di novel romantis yang aku sukai tentang bagaimana pasangan suami istri bahkan pasangan kekasih yang masih belum menikah melakukan hubungan intim dan mereka merasakan kenikmatan dan kepuasan yang luar biasa dalam hubungan sex mereka, dan itu membuatku bertanya-tanya—kenapa aku tidak merasakannya?
Meski demikian, cinta kami tetap ada. Aku selalu mencoba mengingatkan diriku bahwa cinta tidak hanya soal kepuasan fisik, tapi juga tentang kebersamaan, saling menghargai, dan menjaga satu sama lain. Namun, di dalam diriku, aku masih bertanya-tanya: Apakah aku akan pernah merasakan keintiman seperti yang sering diceritakan dalam novel-novel romantis itu?
Tapi untuk saat ini, aku tetap memilih diam, karena aku lebih takut kehilangan cinta dan kebersamaan kami daripada memuaskan hasratku sendiri.
***
Pada malam ini setelah Farhan pulang dari perjalanan dinasnya, suasana rumah terasa kembali hidup. Setelah beberapa malam terasa begitu sunyi sepi dan diikuti rasa takut yang kadang muncul karena di rumah sendiri. Aku menyambutnya dengan senyum hangat dan pelukan, meski ada rasa lelah di wajahnya. Kami makan malam bersama, berbicara tentang bagaimana perjalanannya kali ini. Tapi di dalam hati, aku menyimpan rasa yang ingin sekali kubicarakan—rasa takutku ketika dia tidak ada.
Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu, menikmati teh hangat. Aku menatapnya, merasa inilah saat yang tepat untuk berbicara. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai berbicara dengan hati-hati.
"Mas, aku ingin cerita sesuatu," kataku dengan suara lembut.
Farhan mengangkat wajahnya dari cangkir teh dan menatapku penuh perhatian. "Iya, sayang. Apa yang mau kamu ceritain?"
Aku merasa sedikit gugup, tapi aku tetap melanjutkan. "Mas, aku senang banget bisa tinggal sama kamu di rumah dinas ini. Aku benar-benar menikmati suasana tenang dan kebersamaan kita. Tapi… saat Mas pergi dinas keluar kota apa lagi sampai beberapa hari, aku merasa sangat kesepian dan…aku takut."
Farhan tampak sedikit terkejut. "Takut? Kenapa, sayang? Apa ada sesuatu yang terjadi di rumah?"
Aku menggeleng pelan. "Bukan karena ada apa-apa, Mas. Cuma perasaan aja. Setiap kali Mas pergi, aku merasa sepi banget, terus muncul rasa takut yang kadang susah aku jelasin. Malam-malam jadi panjang banget, setiap suara kecil bikin aku cemas. Apalagi ini Jakarta mas."
Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya erat, menatapku penuh perhatian. "Kenapa nggak bilang dari dulu, Sayang? Aku nggak pernah tahu kamu ngerasa kayak gini. Aku jadi nggak enak ninggalin kamu sendiri."
Aku menundukkan kepala, merasa agak malu karena selama ini menyimpan semuanya sendiri. "Aku nggak mau bikin Mas khawatir. Aku tahu kerjaan Mas penting, dan aku nggak mau ganggu."
Farhan tersenyum lembut dan mengelus pipiku. "Kerjaan memang penting, tapi kamu lebih penting buatku. Kalau kamu merasa nggak nyaman, kita harus cari cara biar kamu nggak terlalu takut saat aku pergi."
Aku tersenyum, merasa lega telah membicarakannya. "Makasih, Mas. Aku cuma butuh dukungan Mas aja. Mungkin kalau Mas nggak keberatan, bisa sering telepon atau video call, biar aku nggak terlalu merasa sendirian."
Farhan mengangguk. "Tentu, aku bisa lakukan itu. Kita bisa tetap terhubung meski aku lagi di luar kota. Jangan pernah ragu buat bilang kalau kamu butuh sesuatu, ya Nay?"
Aku merasa lebih tenang setelah percakapan itu. Ada rasa hangat yang mengalir dalam hatiku, mengetahui bahwa Farhan benar-benar peduli dan ingin membantuku mengatasi rasa takut ini. Setelah itu, kami berbicara tentang hal-hal lain, menikmati waktu bersama yang terasa lebih berharga setelah aku membuka diri tentang perasaanku.
Dan meskipun rasa takut itu mungkin belum sepenuhnya hilang, setidaknya sekarang aku tahu bahwa aku tidak sendirian dalam menghadapinya. Farhan selalu ada untukku, bahkan saat dia jauh sekalipun.
***
Suatu malam yang tenang, kami duduk di ruang tamu. Lampu temaram menyinari wajah Farhan yang tampak serius, seolah memikirkan sesuatu yang sudah lama dipendam. Ia menggenggam tanganku dengan lembut, dan aku bisa merasakan ada keteguhan dalam sentuhan itu.
"Sayang, aku nggak mau kamu terus merasa ketakutan atau kesepian setiap kali aku pergi dinas. Aku sudah memikirkan solusinya," suaranya terdengar dalam, penuh perhatian, tapi juga sedikit ragu. Tatapannya menembusku dengan keseriusan yang tak bisa diabaikan.
Aku menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Bener, Mas? Wah, senang banget kalau gitu. Terus, apa solusinya?" tanyaku, berharap.
Farhan menarik napas dalam, seolah menyiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang penting. "Jadi begini," ia mulai, "Aku sempat ngobrol sama Pak Alex, satpam di kantorku. Dia cerita kalau istrinya, Helena, juga sering sendirian di rumah. Mereka juga belum dikaruniai anak seperti kita. Aku kepikiran, mungkin Helena bisa menemani kamu kalau aku harus pergi lagi."
Aku terkejut mendengar nama itu. "Kamu yakin Helena nggak keberatan?" tanyaku, masih ragu. Sebuah ide yang tampak sederhana, tapi melibatkan seseorang yang sama sekali asing bagiku.
Farhan tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku sudah tanya langsung. Helena bilang dengan senang hati dia mau bantu. Dia juga sering merasa kesepian di rumah, jadi menemani kamu malah akan jadi hal yang menyenangkan buatnya."
Rasa haru mulai menyelinap di hatiku. Farhan benar-benar memikirkan perasaanku, bahkan hingga mencari seseorang yang bisa membuatku merasa aman saat ia pergi. "Mas, terima kasih. Aku rasa itu bisa bantu banget," ucapku pelan, masih merenungkan ide tersebut.
Farhan mengangguk sambil meremas tanganku. "Aku cuma ingin kamu nggak merasa sendirian lagi. Helena orang yang baik. Aku yakin kalian akan cocok."
Beberapa hari kemudian, Helena datang ke rumah untuk pertama kalinya. Saat membuka pintu, aku melihat sosok wanita berusia tiga puluhan, tinggi dan anggun, mengenakan gaun panjang sederhana. Di lehernya tergantung sebuah kalung salib perak kecil yang berkilauan dalam cahaya matahari senja. Wajahnya berseri, dengan senyum ramah yang langsung menenangkan hatiku. Ada keteduhan di matanya, seolah ia membawa kehangatan dari dalam dirinya.
Aku yang mengenakan hijab, merasa sedikit canggung, namun segera menyadari bahwa perbedaan itu tidak menjadi penghalang. Saat dia mendekat, aku merasakan kedamaian. "Hai, Inayah. Senang sekali akhirnya kita bisa bertemu," sapanya dengan suara lembut dan penuh kehangatan.
"Hai, Helena. Terima kasih sudah mau datang. Aku benar-benar berterima kasih," balasku sambil tersenyum.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2