9 September, hari pernikahan Siti dan Eka. Siti tampak anggun dengan kebaya putih. Kepalanya pun tertutup jilbab dengan hiasan di atas kepalanya. Melati pun menjuntai. Eka pun tampak gagah di pernikahan keduanya dengan beskap putihnya. Akad nikah dan resepsi dilangsunkan di tempat yang sama, di sebuah hall hotel.
“Saya terima nikahnya Siti dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” qobul menjawab ijab yang dikatakan ayah Siti. Kini tanggung jawab Siti telah berpindah ke Eka, bukan lagi ayahnya.
Sungkeman pun dilakukan Eka dan Siti mulanya bersungkem kepada kedua orangtua Siti. Tangis haru pecah. Apa lagi Ibunya Siti, air matanya amat deras mengalir tanda tak menyangka anak gadis yang belianya menikah secepat ini. Pesan dan harapan terbisikkan ketilingan Siti dan Eka.
Sungkeman pun berlanjut kepada Nur, istri pertama Eka. Benar, kini Eka telah punya dua istri. Mereka berangkul, anak Eka dan Nur, Laela pun turut di sini. Laela tak paham apa yang terjadi. Tetapi suami istri itu berangkulan.
“Sayang-sayangku, Nur dan Siti, kini aku telah menjadi suami kalian. Semoga hal baik selalu menyertai kita, harmonis dalam rumah tangga kita, janganlah saling menyakiti ya, kita akan berjalan lebih jauh, kita bisa berencana dan bisa kita upayakan,” tangis Nur pun pecah.
Siti pun makin menangis haru, ia masih tak menyangka di umurnya yang 17 tahun telah menjadi istri. Bukan sekadar istri tetapi istri kedua dari guru SMA nya. Bukan hanya istri kedua tetapi juga ibu tiri bagi anak kandung Nur.
Resepsi pun terlaksana lancar, sahabat Siti berdatangan. Mereka juga tak tahu jika Siti ialah istri kedua. Tak tahu pula bila suaminya ialah suami Guru SMA mereka, Bu Nur.
Saat resepsi selesai, Nur dan Laela langsung pulang kerumah. Sementara, Eka dan Siti mengantar orangtua Siti pulang dulu sekaligus mengambil beberapa barang Siti. Saat tiba di rumah Siti, Siti berpeluk erat dengan ibunya.
“Selamat ya Siti, kamu sudah jadi istri Mas Eka. Jadilah yang sholehah, hormatilah Mas Eka. Sayangilah keluargaamu, termasuk Bu Nur dan Laela. Kamu telah menjadi bagiannya,” ucap Ibunya dan lagi-lagi air mata mengalir.
Seusai Asar pun Siti kini benar-benar diboyong sebagai istri untuk ikut suaminya.
“Siti, kini aku suamimu, kamu kin jadi tanggungjaawabku. Apa pun kebutuhanmu, apa pun kegelisahanmu, katakanlah kepadaku sayang,” ucap Eka.
“Iya, Pak Eka,” balas Siti.
“Kok Pak sih sayang?”
“Maaf Mas, belum kebiasa.”
“Ga apa, nanti dibiasakan ya.”
“Hm... Mas, mulai hari ini Siti juga siap menjalankan kewajiban istri kepada Pak, eh Mas Eka, Siti siap Mas.” Kalimat ini terucap karena Siti teringat pesan ibunya saat memijat payudaranya dan membersihkan vaginanya.
Sesampainya di rumah keluarga Eka, Eka dan Siti disambut oleh Nur. Nur menyalami tangan suaminya amat lama. Seakan tanda taatnya kepada suaminya. Rumah itu berlantai dua. Di lantai 2 terdapat tiga kamar dan lantai 1 tiga pula. Kamar utama tentu di lantai 2. Ketiga kamar itu bersebelahan hanya dibatasin oleh kamar mandi. Kamar terbesar ialah kamar Eka dan Nur tidur tiap malamnya. Namun, kini tiap istri ditempatkan di masing-masing kamar.
Nantinya ketika jatahnya, barulah tidur di kamar utama yang besar. Kamar ini dengan kasur King. Sementara, di kamar kedua istri masing masing kasur Queen. Eka mengantar ke kamar istri keduanya itu, membantu barang yang dibawanya. Memang sebelumnya beberapa sempat dikirim jadi benar-benar Siti tak perlu banyak berberes.
“Siti Sayang, ke sebelah yuk, aku tunjukkan kamar utama, di mana aku tidur,” diajaknya Siti ke kamar utama yang besar. Siti terdiam.
“Siti, ini kamar kita, kalian akan bergantian tidur bersamaku di sini. Nanti malam kamu akan tidur di sini. Nur bilang, dua minggu kita dikasih jatah bersama di kamar ini,” dikecup pula kening Gadis 17 tahun itu.
Eka pun mempersilakan Siti jika ingin berisitirahat dulu di kamar utama yang besar dan amat nyaman ini. Eka meninggalkannya menemui Nur yang sedang bermain bersama Laela.
“Nur, kini sudah ada Siti. Terimakasih ya telah mempercayaiku menikah lagi. Aku harap amanah dan kita tetap harmonis ya,” kecup ke kening Nur.
Menjelang malam, Nur dan Siti duduk di meja makan. Siti ingin bantu menyiapkan makan malam. Tapi karena kecapeaan menjadi ratu sehari ia terlena rebahan di kamar.
“Siti”
“Ya, Bu Nur,” Siti bingung memanggil Nur apa. Karena ia gurunya di SMA tapi kini status mereka sama, istri Eka.
“Panggil aku Mbak Nur saja, aku rasa itu lebih terasa dekat.” “iya, juga Mba. Aku ga menyangka menjadi istri kedua dari Mas Eka. Suami Bu, e.. Mba Nur juga.” “Wajar Siti, aku juga akan menyesuaikan dengan kehadiranmu.”
Siti melamun sambil mengaduk teh. Laela pun menghampiri Ibunya. Ia masih malu-malu dengan kahadiran Siti.
“Siti, Laela panggil kamu bunda boleh ya? Nanti anak-anak kamu panggil bunda juga, panggil aku Ibu,” ucap Nur. Siti hanya menjawab, “Boleh, Mba.” Siti sebenarnya penyayang dan telaten dengan anak-anak. Tapi kali ini ia capek dan masih beradaptasi di rumah keluarganya yang baru ini.
Seusai makan malam, Eka tengah di ruang tamu membuka laptop mengecek foto-foto pernikahan keduanya. Siti pun juga namun di kamar. Eka sebenarnya mengkode agar Nur mengobrol lebih intim dengan Siti.
Nur menangkap kode itu. Nur paham, agar istri kedua itu diberi tahu bagaimana kegiatan malam di kamar. Nur pun memasuki kamar utama, mengetuk pintunya. Siti dari rebahan mendadak duduk di tepi kasur. Tampak Siti membalasi ucapan selamat dari teman-temannya di ponselnya.
“Ada apa Bu, hm... Mba?” “Ya, ingin mengobrol saja denganmu sebagai pengantin baru, ehm,” Nur agak menggodanya, membuatnya santai. Nur takut Siti tegang dan kaku sebagai istri, apa lagi ia sebagai istri kedua.
“Siti, sudah siap malam ini tidur dengan Mas Eka?” lirik Nur dengan genit. “Hm...” Siti tertunduk dan tampak bingung mau menjawab bagaimana. “Tenang saja Siti, aku juga begitu ketika awal pernikahan. Bingung, kaku. Aku rasa Mas Eka nanti juga kaku saat bersamamu.” “M... Mb... Mba... jadi Siti harus bagaimana Mba?” “Bawa dirimu rileks, tenang, cairkan suasana, bahas saja acara resepsi tadi, atau obrolkan yang ringan-ringan.” Nur tersenyum kepada Siti. Siti pun malu-malu sebagai pengantin baru.
Nur berdiri dan membayangkan saat malam-malam sebelum ada Siti di kamar ini yang kini harus berbagi. Melihat sekelilingnya. Hingga Nur melihat Siti dan bertanya, “Kamu beneran akan tidur dengan pakaian seperti ini?” “i... iya... Mba” Pertanyaan ini terlontar karena Siti pakai piayama, bercelana, dan mengenakan jilbab kaos. Nur paham mengapa Siti berpakaian seperti ini. Apa lagi kalau menilai suaminya masih orang asing. Ia bukanlah orang yang mudah membuka auratnya di hadapan orang baru yang bukan keluarganya. Tapi Nur paham, perlahan Siti akan berpakaian yang menggairahkan Mas Eka.
“Selamat menikmati malam pertama ya,” ucap Siti dan memeluknya.
“Mas, Siti sudah siap malam pertama itu,” goda Nur kepada Eka yang masih asyik menatap laptop. “Oh, ya? Kamu apain dia?” “Ya ngobrol saja sih.” “Apa itu?” “Ada deh..”
Eka pun langsung bergegas ke kamarnya. Pintu diketuk. Siti berdebar-debar mendengar suara itu. Pintu terbuka. Eka pun masuk ke kamarnya. Siti duduk di atas kasur dan melempar senyum malu kepada suaminya.
Eka pun mendekati Siti. “Kamu pakai krudung kalau tidur?” “i. i.. ii.. iya Mas,” ucap Siti. Eka paham, ini malam pertamanya dengan istri keduanya, seorang gadis 17 tahun yang baru saja lulus SMA. Wajar saja iya masih polos sebagai orang yang dewasa. Dibelainya kepala Siti. Siti pun merasa nyaman, perlahan kepalanya pun bersandar di pundak Eka.
Naluri laki-laki Eka dan fantasi pun menyala. Diliriknya dada yang sedikit timbul dibalik piyamanya dan selangkangan Siti yang tertutup celana. Tangannya pun mengelus punggung istri keduanya itu. Terasa tali BH terkunci. “Siti, kamu tidur pakai BH? Dilepas saja ya, ga baik pakai BH saat tidur.” Ini memang banyak yang bilang begini. Ini untuk kebaikannya tapi pikir nakal biar bisa lihat puting yang timbul walau pun tertutup piyama.
Siti berpikir ingin menolak tapi mengapa? Eka kan suaminya. “M... Mas... harus ya?” hanya anggukan yang meyakinkan jawaban dari suaminya. “Siti ke kamar mandi dulu ya Mas.” BH pun dilepas Siti di kamar mandi kamar mereka. Kegelisahan sebenarnya sebab ia malu dibajunya terjiplak payudaranya.
Eka tlah merebahkan diri. Siti pun duduk di sisi kanan kasur membelakangi suaminya. “Tidurlah sini Siti, ga usah ragu. Kita sudah suami istri. Aku tahu ini malam pertama kita, tenanglah. Perlahan kita saling mengenal lebih jauh lagi.”
Siti pun merebahkan diri. Eka menatap istri keduanya itu, tangannya pun mencoba menggenggam tangan Siti dan satunya mengelus kepala istrinya itu. Siti berdebar dan amat dirasakan oleh Eka. Siti tak ada bayangan untuk hubungan seksual, ia seorang yang polos dan tak ternodai hal-hal berbau seks. Benar, peristiwa yang menggairahkan saja karena ibunya membersihkan vaginanya dan ia belum menyadari kalau itu orgasme. Dia belum tahu orgasme. Belum tahu bagaimana senggama.
Eka menatap lama istri barunya itu hingga 11 malam. Sementara Siti mungkin karena saking kecapeaan telah tidur lebih dulu tanpa disadari sejak setengah 10. Mata Eka amat memperhatikan tubuh perempuan 17 tahun itu.
Malama pertama ini baginya untuk pendekatan dulu, membiarkan Siti terbiasa tidur bersamanya mungkin hingga malam kedua atau ketiga. Ia menahan hasrat untuk bersetubuh dengan wanita yang baru saja lulus SMA ini. Sebenarnya ingin segera. Tapi biarlah Siti nyaman dulu.
ns 15.158.61.55da2