Fakta yang tidak bisa disangkal, semakin penuh manusia gagal. Lahir bersandarkan empuk penuh bantal, lapar tinggal makan, mau tinggal pilih, bicara tanpa akal. Bukannya hewan yang berotak dangkal. Namun cikal bakal yang tak bermoral.
Suara cepat jentikan jari menerpa telingaku…
Layar besar itu mati tanpa tahu…
Kemudian semakin membesar, hingga diriku berukuran satu per enam puluh empatnya.
Sampai aku dilewatinya…
Kini aku dalam layar itu sendiri.
Sebuah adegan diputar ketigakalinya…
Dipaksa memelototi sesuatu yang paling kutakuti…
.
.
Empat tahun yang lalu,
Saat masih bekerja, flat daerah London kecil aku bertempat. Sedikit sekali pekerjaan yang sesuai minat. Berkali – kali ditolak, tak membuatku terhambat.
.
.
Program pemerintahan, Humanitarian Research Social Hierarchy Control (Penelitian Kemanusiaan Pengontrolan Hierarki Sosial) di Finsbury.
Gedung futuristik berbentuk tabung tujuh tingkat dengan berbagai fasilitas seperti kantin dan taman. Tempat parkir hampir seluas Old Trafford di Mancheter. Pendanaan pemerintah yang dua puluh persennya difokuskan untuk HRSH.
Program pemerintah yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan diskriminasi, katanya.
Mereka hanya menempatkan dari satu wilayah ke wilayah lain, sesuai pekerjaan dan kontribusi sosial. Seperti domba bila menghasilkan wool lebih banyak, maka tempatnya lebih hijau dari yang tidak.
.
.
Dominasi kemunafikan, atas ingkarnya jabatan. Sistem cacat, tak bermartabat.
Pada akhirnya aku hanyalah penjuang atas diriku sendiri. Sebagai pria sebatang kara, seleksi ketat dan termasuk di dalamnya, membuatku bahagia.
Di tempat itu, aku bertemu Nona Aster Yvette. Perangainya selalu bersemangat. Matanya indah bagai kuas yang dicelupkan cat, melukis hati dan pikiranku penuh warna. Wanita yang jujur, periang, semangat perangainya.
Sebagai kepala divisi Kehumasan Pengontrolan dan Pengawasan Remaja, aku bernaung dibawah Nona Yvette. Wanita yang murah hati, si rambut pirang membelah tengah sejajar seperti tirai, selalu memberi wawasan luas untuk pemula sepertiku. Permintaannya selalu ringan di telinga maupun pundakku.
.
Klise berjalan dipercepat, secepat rasa khawatirku yang begitu mendekat.
.
Suatu hari, karirku meningkat. Aku dan Nona Yvette sekarang seperti sahabat. Tidak hanya curhat, kadang menemai hobi anehku. Bermain sebuah game komputer.
.
Sebuah penghargaan ketiga kalinya, mengharumkan kedua nama, Penn dan Yvette. Kini Nona Yvette menyerahkan tongkat estafetnya padaku, untuk mencari pengalaman baru di divisi lain, Divisi Riset Penerapan Sedatif Tingkat Alpha.
“Nggak cuma memikat, dia juga cermat. Well, mungkin aku tidak tepat bilang begini, tapi itu pilihannya yang cukup egois, Penn?”
Suara itu sedikit menyentil telingaku, namun mulut ini hanya membisu. Lady Honesty ada benarnya. Sebagai alasan keluar dari zona nyaman, alih – alih itu malah pilihan yang tanpa memikirkan orang lain di dekatnya.
.
Semakin dipercepat, klise itu mendekati puncak rasa kecemasanku. Roulette kasino las vegas yang berputar seru berderik nan beringas. Angka taruhan keluar dengan jelas, takdirku mulai pada posisi memelas
.
Delapan tahun berlalu, karirku masih bertahan…
.
Sesosok karyawan baru, Abe Pabst, menawan bagai bayi berdandan. Bagi mata kaum hawa, dirinya termasuk tampan dan menggemaskan.
Pria berdagu pantat bernilai laki – laki yang lebih, wajah seperti dipelamir semen putih, polos. Rambutnya disisir ke belakang nan licin, selicin sikapnya.
.
Cerdiknya menabur benih kebaikan, semakin lama tumbuh di antara perserikatan. Menyepak yang tak sejalan, atau hanya diumpan tanpa goal yang membanggakan. Mereka dimanfaatkan.
.
Sementara yang lain menciut. Lambat lain rekanku dari divisi lain tersepak karena tingkah tololnya dibalik ucapan “tidak sengaja” atau “ saya diajari oleh…” secara halus, ia menunjuk nama untuk digantung di pintu keluar.
“Ho ho~ pria yang indah, slurp,” kata Lady Honesty yang masih menonton masa laluku sambil terdengar suara lidah seperti merasakan nikmat.
Aku memejamkan mata, sejenak berpikir memang dirinya Abe Pabst dari segala aspek tidak diragukan mirip sempurna.
.
.
Kilas balik pun berganti dengan cepat…
.
Abe Pabst, setelah satu tahun, kini menjabat sebagai komisaris. Semakin populer, semakin menarik, bagai berlian yang diperebutkan. Berlian yang kuat bisa menghancurkan apapun atau tidak bisa dihancurkan oleh siapapun. Kilauannya itu semakin mendekat, menginjak bagai lalat, menjilat dengan memikat.
Tanpa disadari, Nona Yvette, bagai konglomerat yang menginginkan permata itu dengan cepat.
.
Semakin lama kami terpisah, perasaanku penuh gundah. Prestasiku menurun melemah. Bukan lagi Penn Yvette, tapi Pabst Yvette. Nona Yvette semakin tenggelam dalam jebakannya.
.
Seperti kupu – kupu yang terpikat dengan sarang emas laba – laba. Isu – isu buruk bertebaran di antara rekan kerja yang telah menginap di rumah Pabst, akan pulang dengan membawa kehidupan lain.
.
Kemudian kilas balik yang selalu muncul, tanpa memberiku kabur.
.
Malam itu, setelah setahun terpental, untuk pertama kalinya Nona Yvette mengunjungiku lagi . Papan popularitas kantor bukan lagi Pabst Yvette, melainkan Pabst Chadmont, anak pengusaha kaya raya yang baru saja masuk, menukar kursi Nona Yvette penuh irama.
.
Curhatnya kali ini menusuk, tidak hanya membicarakan tapi juga mengutuk orang lain. Semakin diucapkan, telingaku meradang. Matanya digenangi air penyesalan, lalu membicarakan masa lalu, masa kejayaan saat kami bersama. Sejauh bibirnya menjatuhkan kata – kata walau kurang berkenan, sebesar itulah kedua tangan dan telingaku menengadah.
.
Akan tetapi…
.
Tibalah saat dirinya merangkulku. Sejenak aku merasakan mentari di tengah mendungnya hati. Leherku merasakan derasnya tetesan, rengekan lembutnya terdengar bagai cakar macan.
.
“Maafkan aku, Penn,” tambahnya setelah melepas rangkulan. “Ini terjadi begitu saja.”
.
Mengusap perlahan d bagian perutnya, seakan sebuah pedang melibas kepalaku. Darah yang berceceran di mana – mana, sebanyak itulah rasa frustasiku. Kata – katanya lebih lanjut diucapkan hanyalah memantul ke segala arah.
.
Seolah tak memberiku ampun, bibirnya diangkat kritis “Ka-kamu mau membantuku mengurusnya?”
Ragaku ditekan hebat. Untuk pertama kalinya, permintaan Nona Yvette terlalu berat.
.
“Aku menolak, karena itu bukan tanggung jawabku,” kataku spontan sebelum suara Lady Honesty bertanya.
Kilas balik itu, Nona Yvette tersenyum hangat lalu pulang. Senyum tapi sedih, menyatu membuatku bimbang.
“Kamu nggak perlu bersedih, karena itu memang bukan salahmu. Seperti kataku, wanita itu memang egois, Penn.” Ujarnya.
.
Kilas balik masa lalu itu beralih lagi mencapai klimaks. Adalah saat – saat trauma terbesarku. Dihadapkan pada truk besar dua arah yang hendak bertabrakan dengan diriku di tengahnya. Piihan yang tidak memberi pilihan.
.
Pagi – pagi, semua orang bergerombol tepat di depan ruangan komisaris.
.
Batinku tersadar mengguncang tanpa henti berpikir. Pertama kali permintaan berat, berarti adalah pertemuan terakhir.
.
Adalah perpisahan, Nona Yvette gantung diri pada langit – langit ruangan itu. Senyum tapi sedih, sama seperti oleh – oleh terakhirnya.
Senyum bercampur sedih itu selalu menyapaku hari demi hari
.
Bahkan setelah pindah, aku masih melihat tali itu di kamar kedua.
,
“Saya tahu. Tapi mulut menolak sama seperti menarik pelatuk di daun telinga.” Ucapku nestapa.
ns 15.158.61.55da2