Keputusan Farhan untuk membawa Helena ke dalam hidup kami adalah sebuah langkah yang tak hanya bijaksana, tapi juga penuh perhatian dan cinta. Aku tahu betapa ia peduli padaku, selalu berusaha memastikan aku tidak merasa terabaikan atau sendirian ketika dia pergi dinas. Dan dengan kehadiran Helena, perlahan-lahan rasa takut dan kesepian yang dulu sering menghantuiku mulai memudar, digantikan oleh kehangatan baru.
Helena adalah sosok yang luar biasa. Kehadirannya membawa energi berbeda ke dalam rumah kami. Rumah yang biasanya sepi saat aku sendirian kini terasa lebih hidup dan berwarna. Ia bukan hanya teman, tapi seperti saudara baru yang menyemarakkan hari-hariku. Helena memiliki selera humor yang membuat suasana selalu ringan. Meski dia juga belum memiliki anak, kami cepat akrab karena berbagi cerita dan impian yang serupa. Ada kesamaan dalam perjuangan kami, dalam rasa rindu kami akan hadirnya seorang anak, namun kami belajar untuk menikmatinya dengan tawa dan kebersamaan.
Pagi hari menjadi waktu yang paling aku nantikan. Di saat sinar matahari lembut menyelinap melalui pepohonan di halaman, aku dan Helena sering duduk berdua di teras, ditemani secangkir teh hangat. Helena selalu punya cerita menarik, terutama tentang pengalamannya menemani suaminya, Pak Alex, yang bekerja sebagai satpam kantor. Dia sering mengisahkan momen-momen lucu saat ia ikut menemaninya di malam-malam sepi ketika giliran jaga malam tiba.
“Bayangin aja, Na,” katanya sambil tertawa suatu pagi, “Ada tikus lewat di dekat pos jaga, dan Alex teriak lebih kencang daripada aku! Malam itu, dia nggak berani duduk sendirian lagi, jadi aku yang harus temani dia sampai subuh.”
Aku tertawa lepas mendengar ceritanya. Tak hanya lucu, tapi dari kisah-kisahnya, aku juga bisa merasakan betapa besar cinta dan dukungan yang mereka berikan satu sama lain. Helena membuatku sadar bahwa meskipun setiap pasangan memiliki tantangan sendiri, ada cara untuk menghadapinya dengan tawa dan kebersamaan. Aku belajar banyak darinya, bagaimana menghadapi hidup dengan lebih ringan, tanpa kehilangan harapan.
Suasana kebersamaan ini memberikan rasa nyaman yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Hari-hari terasa lebih hangat dengan Helena di sisiku. Kami tak hanya berbagi cerita, tetapi juga membangun ikatan yang tak tergantikan, saling mendukung dalam perjalanan masing-masing. Kehadirannya adalah hadiah yang Tuhan berikan di saat yang paling tepat, dan aku merasa sangat bersyukur bisa mengenal seseorang sebaik dia.
***
Malam itu, saat angin dingin berhembus pelan di luar jendela, aku dan Helena duduk bersama di ruang tamu. Lampu temaram menciptakan suasana nyaman, sementara layar televisi menyala dengan sinetron yang menjadi tontonan favorit kami. Rasa takut yang dulu sering menyusup setiap kali aku sendirian di malam hari kini tak lagi mengganggu. Kehadiran Helena membuat segalanya terasa lebih ringan dan hangat.
"Kamu lihat deh, Na," Helena menunjuk layar sambil tertawa kecil, "Ini si pemeran utama cewek, kok dari dulu mukanya nangis melulu, ya? Nggak ada satu episode pun dia senyum. Kayaknya hidupnya penuh drama deh."
Aku tertawa sambil menoleh ke arah televisi, melihat si tokoh perempuan yang, memang, wajahnya selalu cemberut. "Iya, kayaknya dia nggak pernah bahagia ya. Setiap hari hidupnya diancam sama ibu tirinya yang jahat."
Helena mengangguk setuju. "Iya, kayaknya di dunia sinetron, nggak ada yang bisa hidup damai. Pasti ada aja musuhnya."
"Terus si cowok ini," aku menunjuk tokoh laki-laki yang sedang menatap kosong ke kejauhan, "Selalu ada di tempat yang salah dan waktu yang salah. Dia kayak nggak pernah denger klarifikasi dari siapa pun. Bikin frustasi deh."
Kami tertawa bersama, bercanda tentang betapa absurdnya plot sinetron yang kadang terlalu dilebih-lebihkan. Tapi itulah hiburan kami setiap malam, sesuatu yang bisa kami nikmati bersama meski ceritanya kadang tak masuk akal.
Sambil terus menonton, Helena bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur. "Na, kamu mau teh atau kopi? Aku mau bikin minuman hangat nih."
"Teh aja, Hel. Yang manis, ya," jawabku sambil tetap memperhatikan televisi.
Tak lama kemudian, Helena kembali membawa dua cangkir teh hangat. Kami melanjutkan menonton sambil menyeruput minuman kami.
"Eh, Na," Helena berkata pelan sambil menatap layar, "Kamu percaya nggak, kalau ada orang sebaik itu di dunia nyata? Maksudku, karakter cowok di sinetron ini. Selalu baik, selalu sabar, dan selalu ada di saat yang tepat. Kayak nggak ada masalah sama sekali."
Aku tersenyum, menggeleng pelan. "Rasanya terlalu sempurna, ya. Manusia biasa kan pasti ada kekurangan, ada konflik dalam diri sendiri juga."
Helena mengangguk, setuju. "Iya, kayaknya hidup nggak sesederhana itu. Kita semua punya masalah, punya kekhawatiran. Tapi mungkin, justru di situlah keindahannya. Yang penting kita tetap berusaha jadi orang baik, meskipun nggak sesempurna karakter-karakter di TV."
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Helena selalu bisa menemukan sisi positif dari apa pun. Kami kembali larut dalam percakapan ringan, membahas impian kami menjadi ibu. Meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda rezeki itu datang, kami saling menyemangati.
"Aku selalu membayangkan punya anak perempuan, Na," Helena mulai bercerita, matanya berbinar. "Aku akan menatanya seperti boneka, dandanin dengan pita-pita dan baju lucu. Kamu gimana?"
Aku tertawa pelan, membayangkan hal yang sama. "Aku juga sering berpikir begitu. Punya anak perempuan kayaknya seru, bisa dandan bareng. Tapi kadang aku juga pengen anak laki-laki, biar Farhan punya teman main bola di rumah."
Helena tersenyum, lalu menatapku. "Yang penting sehat, ya, Na. Cewek atau cowok, nanti Tuhan pasti kasih yang terbaik."
Aku mengangguk setuju, merasa hatiku lebih ringan setiap kali Helena mengingatkanku untuk tetap optimis. Malam-malam seperti ini, ketika kami tertawa dan berbagi impian sederhana, membuat segalanya terasa lebih mudah dijalani. Dan dengan kehadiran Helena, tak ada lagi kekhawatiran soal suara-suara kecil di malam hari atau ketakutan saat Farhan jauh. Aku merasa aman dan lebih berani menghadapi kesendirian, karena sekarang, aku tahu aku tidak benar-benar sendiri.
***
"Na, boleh nggak malam ini Alex tidur di sini? Shift paginya dimulai jam lima besok, jadi kalau dia harus pulang dulu, kayaknya malah repot," tanya Helena dengan nada ragu, seolah takut permintaannya bisa merepotkanku.
Aku tersenyum, menatapnya sambil meletakkan cangkir teh yang baru saja aku minum. "Tentu saja boleh, Hel. Kamu udah banyak membantu aku, dan rumah ini cukup luas. Lagi pula, makin ramai malah makin seru, kan?" jawabku tanpa keraguan.
Helena terlihat lega, senyum hangatnya mengembang. "Makasih banyak, Na. Aku senang kamu nggak keberatan. Alex juga pasti senang karena dia nggak perlu buru-buru pulang dulu malam-malam."
Malam itu, Alex datang sekitar pukul sepuluh, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bekerja. Meski begitu, ia tetap tersenyum ramah dan mengucapkan terima kasih berkali-kali karena diizinkan menginap.
"Maaf ya, bu, kalau jadi ngerepotin. Helena udah cerita banyak tentang kebaikan ibu. Terima kasih karena udah izinkan aku istirahat di sini," katanya dengan nada tulus.
"Ah, nggak usah dipikirin, Alex. Aku senang rumah ini makin ramai. Malah aku yang merasa beruntung punya teman seperti kalian," jawabku, sambil menunjukkan kamar tamu yang sudah siap.
Dengan Alex yang bergabung, suasana rumah benar-benar terasa berbeda malam itu. Biasanya hanya aku dan Helena yang duduk di ruang tamu menonton TV atau mengobrol santai, tapi sekarang ada tawa laki-laki yang menambah kehangatan. Kami bertiga duduk bersama di ruang tamu, menonton acara favorit yang sudah jadi rutinitas malam kami, sambil sesekali membahas hal-hal sepele. Alex pun ikut nimbrung, menyumbangkan komentarnya yang kocak tentang sinetron yang sedang kami tonton.
"Ini nih, karakter yang aku paling nggak suka," kata Alex sambil menunjuk layar, "Cowoknya selalu galau, padahal masalahnya sepele. Kalau di dunia nyata, sih, udah disuruh minggir sama Helena sejak lama!"
Helena tertawa keras, memukul bahu Alex pelan. "Iya, bener banget. Dia memang terlalu baik hati buat hidup di sinetron, ya!"
Aku hanya bisa tertawa melihat dinamika mereka. Rasanya menyenangkan melihat pasangan yang saling mendukung dan bisa tertawa bersama di tengah kesibukan mereka.
Malam itu berlalu dengan penuh canda tawa, suasana yang jauh dari sunyi dan penuh kehangatan. Ketika Farhan sedang jauh, aku tak lagi merasa sendirian. Helena dan Alex mengisi rumah ini dengan energi yang baru—suara mereka, candaan mereka, membuat rumah yang dulunya hanya tempat berlindung terasa lebih hidup dan penuh kebahagiaan. Rasanya semakin hangat, seolah tidak ada lagi ruang untuk kesepian atau rasa takut yang dulu sering datang di malam-malam sepi.
Malam itu, setelah tawa dan obrolan santai, rasa kantuk mulai menghampiriku. Aku menguap pelan, lalu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas lebih. “Hel, Alex, aku udah ngantuk banget nih. Aku duluan ya, kalian lanjut aja ngobrol atau nonton,” kataku sambil tersenyum lelah.
Helena tersenyum balik, “Iya, Na. Tidur aja duluan, besok kan juga masih panjang. Mimpi indah, ya!”
Aku mengangguk dan berjalan ke kamar, meninggalkan mereka yang masih duduk di ruang tamu. Setelah menutup pintu kamar, aku langsung rebahan di kasur, berharap bisa terlelap secepat mungkin. Suasana rumah begitu tenang, hanya terdengar suara angin yang sesekali menerpa jendela. Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap, terbungkus dalam kehangatan selimut.
Namun, di tengah malam, aku terbangun tiba-tiba. Ruangan terasa sangat sunyi, dan ada sesuatu yang menggelitik indera pendengaranku. Awalnya, aku pikir itu hanya suara angin atau mungkin rumah yang berderit. Tapi saat telingaku mulai fokus, suara itu semakin jelas—sebuah suara dari kamar sebelah. Desahan halus, diiringi dengan suara kasur yang bergerak pelan. Aku terdiam, mencoba mengabaikan suara itu dan memaksa mataku untuk kembali terpejam.
Namun, semakin lama suara itu kian intens. Desahan itu berubah menjadi napas terengah-engah yang lebih keras. Tempat tidur di kamar tamu berderak-derak, seolah ada gerakan yang tak terbendung. Aku menelan ludah, dan jantungku mulai berdetak lebih cepat. Mereka bercinta.
Seketika aku merasa kaget, tapi juga canggung. Aku berguling ke sisi lain tempat tidur, berharap bisa menutupi telingaku dengan bantal, tapi suara dari balik dinding itu terus saja memenuhi kamarku. Desahan Helena semakin keras, seolah-olah dinding yang memisahkan kamar kami terlalu tipis untuk meredamnya. Aku mencoba mengatur napas, antara ingin menutup kuping, tapi tak bisa mengabaikan apa yang terjadi.
Aku tahu, ini adalah rumahku, dan mereka hanya tamu—tapi suara-suara itu, suara hasrat yang begitu jelas, membuat aku bingung harus bereaksi bagaimana. Haruskah aku mengetuk dinding? Haruskah aku berpura-pura tidak mendengar? Atau mungkin aku hanya harus menunggu sampai semuanya selesai?
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Ini pasti akan segera berakhir,” pikirku. Tapi semakin aku berusaha untuk mengabaikannya, suara itu semakin memenuhi kesadaranku. Kasur mereka terus berderit, dan desahan-desahan itu semakin mendalam, menciptakan ketegangan yang tak bisa dihindari.
5933Please respect copyright.PENANAQTRBMcEwRI
Bersambung
ns 15.158.61.54da2