Hujan merupakan sebuah momentum yang kaya akan kandungan emosi. Sadar atau enggak, telah terbit berbagai kisah dalam hitungan tak terhitung akibat hujan. Pagi-pagi tadi hujan turun, ketepatan gue baru bangun tidur. Gak tau kesambet apa, gue berinisiatif bikin kopi lalu bersantai di balkon sambil nyetel musik RnB.
Kegiatan tersebut berhasil membuang waktu gue sebanyak satu jam. Sebetulnya gak terlalu berfaedah, tetapi toh udah lewat juga. Anggap saja itu bagian dari proses pemulihan kesadaran gue setelah bangun tidur.
Sekarang jam tujuh. Anak-anak masih ngebo sebab semalam begayaan minum Jack Daniels. Geblek emang. Gue sih gak ikutan berhubung kudu bikin laporan praktikum. Lagipula hari ini tuh ada janji penting.
Gue bergegas menuruni tangga. Usai menapaki lantai dasar Semesta, gue membuka pintu utama lantas menuju kulkas. Bukan mau nyari harta karun di dalam kulkas, tapi mau nempel informasi di muka kulkas. Biasalah, cukup tulis informasi di selembar kertas lalu tempel di muka kulkas. Terakhir, tindihi si kertas dengan magnet.
Saat gue mau lanjut berjalan, tiba-tiba seseorang bertanya menggunakan suara malas—khas orang bangun tidur, “Deva mau ke mana?” Kaget woy! Gue refleks balik badan dan menemukan seonggok debu berlian bernama Venous Arjuna lagi kucek-kucek mata. Sesekali bocah itu menguap, mungkin masih ngantuk.
“Em ... gue mau jalan sama Gea. Lo pusing nggak tuh?”
Venous manggut-manggut sembari menarik kursi di depan meja makan. Tak lama kemudian ia duduk dan menaruh muka di atas meja. Bocah edan, ke dapur bukannya cari penawar mabuk malah pindah tidur doang. Mau gak mau gue harus turun tangan kan.
Sepanci besar air mentah dan tiga rimpang jahe kemudian mengalami proses pendidihan di atas kompor. Rencananya nanti ditumpahkan ke satu cangkir isi madu lantas dihujani air lemon. Sisa rebusan disimpan di termos aja, buat jaga-jaga kalau yang lain bangun.
Dalam jeda waktu penungguan sebelum air mendidih, Ambivalensi Geathena muncul di pikiran gue tanpa diundang. Gue menghela napas sembari menatap ujung-ujung sepatu yang gue kenakan. Hari ini, tepatnya di pertemuan nanti, gue harus bikin sebuah keputusan besar menyangkut kami. K-a-m-i.
Gue takut jika keputusan yang gue pikirkan sejak pulang dari galeri Gea menjadi keputusan yang salah.
Gimana bisa? Apa ini yang terbaik? Gimana kalau ada jalan lain?
Di tengah kekalutan, timbul bunyi air yang menjatuhi api. Rupanya isi panci telah mendidih hingga tumpah. Gue mematikan kompor lantas menumpahkan isi panci ke dalam gelas. Hanya kurang air lemon. Perasaan kemarin si Janta udah isi ulang stok air lemon di kulkas deh. Gue membuka kulkas dan voila! Botol mungil yang gue cari itu langsung tertangkap mata.
Gue membuka botol lalu menuangkan sedikit isinya ke dalam gelas. Eh kebanyakan. Gak apalah, bukan gue yang minum, hehe. Akhirnya si botol mungil kembali ke kulkas dan gelas teh gue letakkan di dekat Venous. Tak ketinggalan, sisa air sudah masuk ke termos. “Heh, bangun!” Gue menggeplak pundak Venous cukup keras. Maklum, orang mabuk gak bisa diperlakukan sama dengan putri Solo.
Venous bangun dengan muka cemberut. Kayak Sashi umur tujuh tahun kalau dibangunkan paksa. Lucu. “Minum teh dulu gih, biar pusingnya kurangan. Kalo mau bikin lagi ambil aja di termos, tinggal ditambah madu sama air lemon.” Hanya berbalas deheman Venous.
“Gue pergi.”
Lagi-lagi dijawab deheman. Ya gak apa sih, toh si pie susu itu lagi khusyuk minum teh.
Perjalanan di atas jok motor lelaki menelan waktu setengah jam. Gue sampai di Kebun Mimpi. Ini kali pertama gue kemari. Sejauh mata memandang selalu ketemu kembang. Dan di sudut tenggara, gue menemukan kembang gue. Ia memesona. Heran, apa ya auranya gak habis-habis? Tiap ketemu selalu menggiurkan.
Namun gue sadar bahwa kali ini akan berbeda dari pertemuan kami yang sudah-sudah. Dari jauh telah terasa hawa sendu yang menguar dari siluet Gea. Ia duduk di bawah payung besar yang menancap di atas meja, ada buku yang terbuka di tangannya.
Gue menghampiri Gea. “Ge,” sapa gue sembari menepuk pundak Gea. Ia menoleh lantas tersenyum. “Duduk,” perintahnya. “Apa gue telat?” tanya gue sambil mendudukkan diri. Gea menutup buku dan berkata, “Enggak, lo tepat waktu. Cuma ya gue datang lebih awal. Kembangnya bagus-bagus.”
“Masih bagusan elo, tau.”
Gea tertawa. “Apa sih.”
Gue menatap Gea dalam-dalam. Ia, perempuan yang dua tahun ini mengisi hidup gue dengan segala rasa.
“Ge, buntu.” Ia masih tersenyum, hanya saja terasa pahit dan masam laiknya espresso pagi tadi. “Gue tahu, Dev. Dipikir-pikir memang terlalu banyak tanjakan dan turunan yang kudu lo sama gue lewati hanya untuk sampai di puncak berpanggilkan Kita. Ayo bubar, sebelum lo dan gue makin sakit.” Suara Gea makin lirih di akhir. Syukurlah, seanggaknya kami satu jalan pikir. Kami, k-a-m-i.
“Oke, kita bubar,” jawab gue. Pahit, tapi gak ada jalan lain. Barusan, “kami” telah pecah menjadi dia dan gue. “Tapi, Ge. Lo gak benci gue, 'kan? I mean—“
“Ya enggaklah, buat apa benci lo? Benci nggak pantas hadir, tau.”
“So we're still friends?” lirih gue. Mata Gea berkaca-kaca tetapi ia memaksa tersenyum. “Nggak tahu, Dev. Gue pengen lost contact sama lo. I don't mean to, gue cuma takut nggak bisa lepas dari lo. Ha, takdir ngeselin banget, ya?”
Gue tertawa kecut. “Indeed, Ge. Makasih untuk dua tahun ini. Gue bahagia bisa ketemu sama lo.”
“Sama, Dev. Kadang gue nyesel, nyalahin takdir dan hal-hal lain. Tapi di titik ini gue sadar, nggak ada yang salah. All just happened like it be. Gue nggak mau lo nekad. Ini bukan film, drama, ataupun novel. Ini hidup, di mana pahit menjadi raja berdalilkan realita.”
Sekali lagi Ambivalensi Geathena membuat gue terpesona. Lo yang lagi baca jurnal ini kudu nyobain jadi gue biar tahu gimana rasanya diberi anugerah dalam unsur intrinsik yang salah kaprah. Sakit tapi nagih.
“Whatever, Ge. Gue mati.” Gea terkejut. Ia bersiap bicara tetapi gue potong. “Nggak usah khawatir. Ini masalah gue, sama sekali gak bersangkutan sama lo. Habis ini gue bakal berhenti menghubungi dan terhubung dengan semua yang nyambung sama lo. Gue mau lo hidup baik-baik tanpa gue. Apa rencana lo setelah ini?”
Ambivalensi Geathena linglung. Ia jelas mau nangis tetapi berusaha menahan. Gea menunduk. Di meja, jemari gadis itu bergerak-gerak gelisah dalam tautan. “Gue mau pindah ke Belanda.” Lantas ia kembali menatap gue. “Udah siap-siap dari bulan kemaren kok. Lo gimana?”
Gue bungkam. Gue gimana? Tanya itu memenuhi pemikiran gue. Gak tahu, gue mati. Semua mimpi dan tujuan gue seolah lenyap tanpa menyisakan sisa. Bahkan sempat-sempatnya gue memertanyakan dua hal itu. Apa benar yang selama ini gue pegang sebagai impian adalah benar-benar impian? Lalu mengenai tujuan hidup, apakah udah benar?
Gak tahu, gue gak bisa menemukan apapun.
“G-gue mungkin bakal pindah juga. Yang jauh, atau bisa juga putus kuliah buat keliling dunia,” balas gue. Jawaban ngaco.
“Deva ... lo nggak bakal benci gue, 'kan?”
“Ya gaklah, mana bisa gue benci lo.” Gue membuang muka. “Lagian kenapa harus benci sih,” lirih gue.
“Apa, Dev?”
“Gak. Bukan apa-apa. Kapan berangkat ke Belanda?”
“Minggu depan.”
“Oh, bagus deh. Goodluck ya. Gue ada janji sama Jazziel, boleh duluan?”
“Sure.”
Gue berdiri. Kaki gue lemas, serasa mau jatuh. Dan di atas lantai yang segaris dengan kursi Gea, gue gak bisa lanjut jalan. Dada gue sesak. Tiba-tiba tubuh gue tergerak memeluk Ambivalensi Geathena tanpa alasan. Gue dan Gea diam.
“Gea, hidup baik-baik,” bisik gue usai dua menit. Lalu peluk itu gue lepas. “Duluan, Ge.”
Lo tahu, tubuh gue kayak kawat berjalan; kaku. Gak ada barang satu tolehan pun untuk Gea. Bahkan ketika gue mendengar isakan gadis itu. Kepala gue terlalu berat untuk ditolehkan ke belakang.
Selangkah di luar kebun, gue berbalik untuk memandangi tulisan besar di atas pintu masuk. Kebun Mimpi. Bisakah yang tadi disebut juga sebagai mimpi? No, Devajuta Bumi. Ini realita. Seperti kata Ambivalensi Geathena, gue gak mungkin berbuat nekad. Gak ada ceritanya gue bakal kawin lari sama Gea terus hidup bahagia dengan keluarga kami.
Omong kosong.
Baik keluarga gue ataupun keluarga Gea sama-sama punya koneksi luas. Mau lari ke mana? Gimana jika sumber uang kami diblokir? Gak lucu. Manusia hidup bermodalkan uang di zaman ini, bukan cinta.
Terima fakta, Dev. Ambivalensi Geathena dan lo gak berjodoh.
Pagi ini gue tersesat, serba gak tahu. Gak ada janji dengan Jazziel, gue bohong. Maaf ya Jiel, gue menggunakan nama lo untuk tujuan pengaburan diri. Tanpa sadar gue sampai di Lepas. Separuh kedai kopi separuh kedai alkohol. Kali ini gue mau coba alkohol.
Melangkah masuk ke dalam Lepas, gue banyak bertanya kepada diri. Setelah ini hidup gue bakal gimana? Apa yang harus gue lakukan?
Selama ini gue semangat ngabisin hari karena Gea. Terdengar bodoh tetapi memang begitu. Habis ini jangan hidup karena orang lain lagi, Dev. Cukup hidup buat diri sendiri. Gimana jika orang itu pergi kayak Gea? Lo gak bisa terus-menerus hilang arah. Cukup kali ini. Besok, hiduplah untuk diri sendiri.
Lagi pula, ingat baik-baik, manusia itu kodratnya datang dan pergi.
ns 15.158.61.51da2