13 April…
Hari pertama, Julia Chalice dipindahkan…
Pagi – pagi sekali, Abigail mengantar wanita itu untuk diperkenalkan pada Mr. Clovis dan Nona Verlette.
“Mistress Julia Chalice! Selamat datang! Selamat datang!” sapa Mr. Clovis dengan semangat dan hangat. Ia mempersilahkan wanita itu untuk menganggapnya seperti rumah sendiri.
Julia Chalice menundukkan wajahnya dan ditutupi oleh rambut pirang lurus sebahu dengan akhiran gelombang. Kedua tangannya diborgol sesuai dengan prosedur. Prosedur itu dilandasi dari data sampel keseharian dan medis atas kondisi Julia Chalice yang belum bisa dikatakan stabil, tapi tidak juga aggresif.
Tepat sebelum Julia Chalice menuju satu kasur pasien yang kosong, Mr. Clovis menghadangnya.
“Izinkan saya, mistress.” Mr Clovis lesat tangannya meraih dagu Julia Chalice, lalu diarahkan ke atas. “Hm….” Memandang wajah wanita itu, alih – alih mata Mr. Clovis yang tertutup mirip orang tidur, kini terbuka sedikit. Abigail menyadari bahwa mata itu mirip mata elang, hanya saja berwarna biru muda langit.
Julia Chalice, mukanya ditempati setidaknya tiga titik lebam. Dahi, hidung, dan bibir sebelah kanan. Bibirnya mewek sambil menggertakkan giginya. Pandangan matanya melirik sesaat ke kiri lalu terpejam, berusaha keras agar tidak ingin menatap Mr. Clovis.
Mr. Clovis menggerakkan ke arah kanan dan kiri, tampak luka lebam di bagian pelipisnya juga. Julia Chalice memekik kesakitan. Dari sudut matanya yang terpejam, keluar setetes turun melewati jalur pipinya. Dia menangis. Tentu, Abigail yang menyaksikan itu tidak tega terhadap Julia Chalice yang merasa tidak nyaman.
“S-sir! A-apa anda sudah selesai!?” kesabaran Abigail menipis, ia spontan meninggikan nadanya.
Mr. Clovis langsung menurunkan tangannya.
“Ah, maaf, Abi.” Mr. Clovis kemudian berpaling dan berjalan kembali pada kursi kantornya. Ia menengok ke belakang sesaat. “Nona Chalice, katakan bila anda perlu sesuatu,”
Julia Chalice hanya diam saja, lalu ia duduk di kasur sambil memandangi tembok karpet di samping atas drawer yang semestinya adalah jendala di lantai – lantai sebelumnya. Kedua matanya itu menatap seolah sinar pagi dengan nelangsa.
Sementara Abigail merasa lega Mr. Clovis mau mendengarnya.
Kemudian, Abigail mendorong gerobak medis yang ia taruh di koridor bawah dekat pintu kamar nomor 33 menuju ke dalam.
Dalam gerobak itu tersusun tiga tingkat. Tingkat pertama berisi makanan, yakni kacang polong panggang, satu telur, dua sossis dan roti dengan selai kacang untuk Mr. Clovis, sementara dua lainnya adalah bubur dengan potongan jamur, bawang, dan ayam suwir. Bagian terakhir adalah satu dispenser berisi air dan satu teko berisi kopi untuk Mr. Clovis.
Tingkat kedua berisi obat rutin yang harus diminumkan pasien dan jarum suntik, sedangkan tingkat tiga berisi timba air dingin, kapas, tisu antiseptik dan salep NaCl. Obat – obat itu sesuai kebutuhan Julia Chalice.
“Mr. Clovis, silahkan sarapannya di makan dulu.” Abigail menaruh hidangan di meja kantor depan laptop Mr. Clovis, kemudian kembali untuk mengambil teko dan dua cangkir.
Setelah menaruh teko dan dua cangkir, Abigail segera menuang teko tersebut ke salah satu cangkir.
“Ah, makasih, Abi.” Mr. Clovis yang memandang laptop, sambil menyeruput cangkir yang baru diisi.
“Oh ya, Mr. Clovis. Apa Nona Verlette perlu disuapi atau….”
“Oh, nggak usah. My dearest lebih suka melakukannya sendiri. Kamu urus Julia Chalice saja,”
“Dimengerti, sir.”
Abigail menurunkan sarapan untuk Nona Verlette, kemudian Julia Chalice.
Di ruangan ini terdapat lima kursi. Tiga kursi di dekat masing – masing kamar tidur pasien, dan dua kursi putar dan embuk di dekat meja kantor Mr. clovis.
Kini Abigal duduk di dekat Julia Chalice.
“Nona Chalice, sarapan dulu habis itu minum obat, ya?” Abigail mengaduk – ngaduk bubur yang mangkoknya ia bawa. Kemudian sendok itu diulurkan ringan mendekati bibir Julia Chalice. “Nona, tolong buka mulutnya, boleh?” Abigail seramah mungkin dengan nada bicaranya.
Namun…
Tentu saja itu nggak sebegitu mulusnya seperti yang Abigail harapkan. Wanita itu hanya diam saja dengan wajah nelangsa.
Abigail menghela nafas dan mengulangi sekali lagi, dengan lebih halus…
Julia Chalice bahkan tidak merespon sepatah kata atau sedikit gerakan sama sekali.
Abigail sebenarnya telah mendapatkan saran dari beberapa suster sebelumnya yang merawat Julia Chalice bahwa wanita itu punya jam makan yang agak mundur dari biasanya. Ia diberitahu agar sedikitpun tidak memaksa atau bersikap kasar pada Julia Chalice.
Lantas…
(Hah… menunggunya sebentar sepertinya nggak menyakitkan sih?)
Abigail menaruh semangkuk bubur itu di meja dekat kasur Julia Chalice dalam keadaan tertutup. Ia beralih ke Nona Verlette.
Nona Verlette juga begitu, kedua jarinya disibukkan dengan dua stik merajutnya. Dari kemarin, posisi dan roman muka Nona Verlette bahkan tidak berubah.
“Nona Verlette, ayuk makan dulu?” Abigail menundukkan badannya dan mendekatkan diri. Kedua tangannya meraih pergelangan tangan wanita yang sedang merajut itu. “Ini nggak akan makan waktu lama, kok! Lagipula, makanannya juga enak!”
“Sebentar, Abi….” Verlette membalas seadanya, dengan intonasi suara lesu. Ia tetap melanjutkan merajutnya.
Abigail sedikit merasa kecewa. Namun, ia teringat dengan nasehat Susan. Melalui memori Abigail, Susan mengatakan bahwa ‘pasien di lantai bawah tanah kebanyakan punya mindset seperti anak kecil. Mereka unik dan tidak mudah diatur. Satu – satunya cara adalah membuat mereka berpikir kamu adalah rekan atau sahabatnya.’
‘Aku tahu dunia ini mengalami perubahan kebiasaan yang tidak masuk akal. Perkataan rekan dan sahabat jauh lebih didengarkan daripada saudara kandung atau yang telah dianggap seperti orang tuanya sendiri,’ nasehat terakhir susan yang diingat Abigail.
(Hm… aku harus mencoba membuat Nona Verlette tertarik denganku.)
“Nona Verlette, boleh aku melihat beberapa hasil yang anda rajut?”
“Abi… kamu mau membujukku?”
Abigail sedikit panik, “O-oh! Ng-nggak, kok! A-anu… masalahnya setiap kali saya melihat anda selalu merajut itu sedikit mengherankan bila nggak ada satu pun hasilnya? B-benar begitu, kan?” Abigail berusaha memasang senyuman selebar- lebarnya.
Verlette lalu berpaling pada Abigail. Kedua mata merahnya mengkilat tampak seperti anak kucing yang gemas minta makan.
“Kamu… mau lihat, Abi?”
Abigail mengangguk. “Bukannya kemarin saya ada bilang bahwa saya juga tertarik sesuatu yang berhubungan dengan menjahit dan merajut, bukan?”
“Hm….” Verlette memandang dalam – dalam mata Abigail.
Lantas…
Verlette menaruh dua stik merajutnya dan beranjak dari tempat tidurnya. Untuk pertama kalinya, Abigail melihat Verlette berjalan, meskipun hal itu terlihat biasa saja. Terlepas dari keseringan merajut dan duduk di kasur, Verlette berjalan seperti orang normal.
Verlette menuju Mr. Clovis, menundukkan badannya, menerobos terowongan kaki Mr. Clovis.
“M-my dearest… Aku nggak tahu kamu suka main yang begini? Kamu bisa mengajakku tiap malam kok!” Celoteh Mr. Clovis mereferensikan hal – hal dewasa.
Kemudian…
“Auuuurggghh!” Verlette mencubit paha Mr. Clovis. “Ehehe, maaf, my dearest….”
#Pfft!
Abigail mengumpat tawanya.
“Clovis… kamu selalu mikir yang aneh – aneh…,” ucap datar Verlette. Ia mendongak memandang kekasihnya dengan sebal dan bibir mencucu mirip ikan koi.
Mr. Clovis mendorong kursinya ke belakang agar Verlette mudah membuka rak di meja kantornya.
Tampak banyak sekali kain – kain rajutan yang membludak di dalam rak meja kantor bawah.
Abigail lesat datang menghampiri Verlette. “Nona, perlu bantuan?”
Verlette merangkul cukup lebar dengan dua tangannya kumpulan hasil rajutan berbentuk seperti bola. Ketika hendak mengangkat tubuhnya, Abigail segera tahu kalau Verlette yang kurus itu agak kehilangan keseimbangan.
#Plop
Abigail segera menengadah pada kain – kain itu.
“Maaf, Abi….”
“Nggak masalah, Nona. Sekarang-“ Abigail sedikit kesulitan.
“Taruh… di kasurku….”
Mr. Clovis juga membantu membawa sisanya yang agak sedikit, diambil dari bawah meja kantornya.
ns 15.158.61.6da2