Menjelang malam di rumah Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3smO0cvTVq
Tia duduk sendirian di sofa, merangkul kedua lututnya sendiri sambil menundukkan kepala. Sudah hampir seminggu berlalu sejak insiden salah tangkap terhadap dirinya dan Citra yang menyebabkan mereka berdua terpaksa melayani sekelompok aparat.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMD49Mmqyip
Tapi apa benar terpaksa?
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZaFzgvvmYP
Itulah yang membuat Tia sudah tersiksa secara batin selama seminggu. Tia tak tega menceritakan kepada Bram apa yang terjadi di kantor aparat bersama Gde dan anak buahnya. Bukan cuma karena Gde mengancam akan membeberkan kejadian salah tangkap itu kalau Tia cerita ke siapa-siapa. Tapi lebih karena rasa bersalah Tia sendiri.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRCQC8lHnqA
Tia ingat bahwa malam itu, dia dengan sengaja dan sadar menyanggupi permintaan Gde untuk melayaninya layaknya suami-istri. Memang, saat itu dia tak pikir panjang karena ingin menyelamatkan Citra, tapi setelah semuanya selesai, barulah Tia menyadari bahwa yang diperbuatnya tetap tak pantas. Dia adalah istri Bram… hanya Bram yang berhak menikmati tubuhnya. Dia menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya, dan beberapa minggu lalu dia khilaf ketika dalam suatu hari dia bermain api dengan si tukang sayur, Pak Kumis, dan dua pengamen, Janu dan Fi. Tia sudah bertekad akan menjaga kehormatannya sebagai istri, namun ternyata dia tak mampu menahan godaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, mulai dari dorongan untuk menggoda para karyawan di kantor, berpenampilan seksi ketika di mall, bahkan ketika seharusnya dia bisa menjaga kehormatan waktu dipaksa Gde.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7vJjz0OySR
Ya, Tia sedang merasa lemah dan bersalah kepada Bram. Tia juga takut rumahtangganya dengan Bram akan tergoncang kalau Bram tahu apa yang terjadi.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzNChjHO24W
Seminggu itu Tia tak banyak bicara, dan sering menangis. Bram bingung dibuatnya. Awal-awalnya, Bram berkali-kali berusaha menghibur Tia dengan berbagai cara, dari membelikan baju baru sampai mengajak makan di luar, tapi Tia tetap murung.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0wJSbwQcd8
Tia juga sudah seminggu tidak menanggapi ajakan Bram untuk berhubungan seks. Ada sedikit trauma yang hinggap dalam benak Tia; tiap kali Bram mendekatinya dan berusaha berintim-intim, misalnya dengan merangkul dan mencium, Tia selalu teringat kembali akan kasar dan brutalnya Gde serta anak buahnya. Jadilah dia selalu menolak dengan halus. Bram bisa merasakan istrinya sedang bermasalah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Tia tidak merespon semua usahanya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡY0KTD2gn0t
Telepon berdering. Tia menjawabnya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡM4nt5bWuso
“Halo…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPyENpMnlZe
“Halo sayang,” rupanya Bram. Terdengar berisik melatarbelakangi suara Bram.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzME3JmcPp1
“Aku mesti pulang malam lagi hari ini,” kata Bram.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbXsUd5E1Ox
“Ya udah, aku tiduran di ruang tamu saja Mas, nunggu Mas Bram datang,” kata Tia dengan nada datar.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKBKPfcanWT
Percakapan itu berakhir tanpa emosi: Bram mengucapkan rasa sayang dan dijawab oleh Tia, seolah berbasa-basi. Di ujung lain jalur percakapan itu, Bram menutup hubungan telepon dan kembali ke apa yang sedang dilakukannya. Lagi-lagi dia berada di satu klub malam, bersama Mang Enjup, dua orang lagi anggota DPRD yang sedang mereka lobi untuk menggolkan proyek, berikut beberapa wanita penghibur berpakaian seksi yang merubung keempat laki-laki itu, berharap ikut kecipratan sedikit dari deal proyek yang pastinya bernilai sangat besar.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5Wj9qZsQ2u
“Aya naon, Bram?” tanya Mang Enjup sambil merangkul salah satu pramuria.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡm7hBcEU9KH
“Tia, Mang…” keluh Bram. “Kayaknya dia ada masalah, tapi nggak mau cerita, udah seminggu dia nggak mau ngomong banyak.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjSRHuk0BIO
Mang Enjup tertarik mendengar nama Tia disebut. Sudah agak lama sejak terakhir kali dia bertemu Tia. Dan Mang Enjup belum lupa dengan niat busuknya terhadap Tia…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJZmPZylaIi
Tentu saja, Mang Enjup tidak akan menunjukkan itu semua di depan Bram. Laki-laki tua cabul itu sudah sangat berpengalaman. Jadi dia hanya memberi saran.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRvDjDWKcK2
“Bram,” kata Mang Enjup, “Gimana kalo si Tia disuruh ke psikolog aja? Siapa tau kalau ke orang yang ahli, Tia mau cerita. Sukur-sukur masalahnya bisa dibantu.” Mang Enjup merogoh kantongnya, membuka dompet, mencari-cari sesuatu di dalamnya, lalu akhirnya mengambil satu kartu nama putih dengan tulisan warna merah dan biru.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVx8AAG0bTV
“Ini ada kenalan Mang. Psikolog ahli biarpun masih muda. Coba ajah kamu ajak Tia ketemu dia,” kata Mang Enjup.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhrJahIqChZ
Bram melihat nama yang tertulis di kartu itu. Dr. Lorencia Partomo, M.Psi. Spesialis Trauma Psikologis.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJo0WWKCM6A
Mungkin bisa dicoba, pikir Bram. Dikantonginya kartu nama Dr. Lorencia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlYhnPO89rq
*****
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡd40roYaYHv
“Sayang… kamu mau dengar saranku nggak?” kata Bram pada pagi berikutnya, ketika sedang sarapan bersama Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNg3ZA1HJ47
“Saran apa, Mas?” ujar Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAHWYeo4Tar
“Aku tahu ada yang ngganggu pikiran kamu… tapi kamu sepertinya nggak bisa cerita ke aku, atau Citra, atau keluarga kita. Iya kan?” Bram melanjutkan. “Sebenarnya aku pengen banget bisa bantu kamu langsung, apalagi aku kan suamimu, harusnya kita bisa beresin semua masalah kita sama-sama, yang.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAaRBZZcQaS
Tia meringis mendengar kata-kata ‘aku kan suamimu’, yang dirasa menohok, karena sangat berkaitan dengan dilema hatinya. Dia diam saja.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGBUDmpB2G9
“Kalau kamu nggak bisa bicara dengan aku… Bagaimana kalau dengan yang profesional aja? Aku dikasih info tentang psikolog. Siapa tahu dia bisa bantu kamu.” Bram menunjukkan kartu nama Dr. Lorencia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXVJVKUBDnl
Tia memperhatikan kartu nama itu. Spesialis Trauma Psikologis. Dan perempuan. Orang ini profesional, jadi pasti akan menjaga rahasia. Dan dia juga tidak ada kepentingan, jadi semestinya Tia tak usah takut konsekuensi macam-macam, ketimbang kalau dia cerita ke suaminya sendiri. Mungkin bisa dicoba…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡB7wtsKMMeN
Bram tahu-tahu sudah berada di samping Tia, merangkul dan membelai rambut Tia, lalu mengecup lembut pipi istrinya. Tia merinding, masih belum bisa menghilangkan trauma-nya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeVsLfAG3mW
“Kamu mau, kan?” bisik Bram mesra. “Aku pengen lihat kamu senyum lagi seperti biasa, nggak murung terus seperti ini. Kalau kamu mau, sekarang juga kita ke tempat dia. Dia praktek pagi. Aku bisa antar kamu ketemu dia sambil berangkat ke kantor.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYbBKelQpK6
“Mas…” kata Tia sambil menoleh. Jawaban Tia disampaikan berupa anggukan kepala.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoWCt4tcKuI
*****
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxWqefmORdz
Pagi itu, ketika berangkat bersama Bram, Tia belum bisa tersenyum lepas. Tapi siapa tahu orang yang akan ditemuinya bisa membantu…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmznuJYweNZ
Tempat praktik Dr. Lorencia Partomo terletak di satu rumah mewah, agaknya rumah pribadi sang psikolog spesialis. Bram dan Tia masuk dan disambut asisten Dr. Lorencia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3jVnUa8Dqc
“Sudah ada janji?” tanya si asisten.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡk5YQnFMIQ6
“Ya, kemarin malam saya sudah buat janji jam 9,” kata Bram. “Atas nama Tia.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡV66VGhjVlC
“Oke. Sebentar ya Pak,” kata si asisten, yang lantas menggunakan interkom. “Bu Loren, yang perjanjian jam 9 sudah datang.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcfjEK1TThr
“Suruh langsung masuk saja,” jawab suara di interkom.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOCpG7iPFPA
Bram menengok ke Tia. “Kamu nggak apa-apa kan sendirian, yang?” tanyanya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcOSX8pR6nl
“Nggak apa-apa, Mas…” kata Tia pelan. “Nanti kutelepon kalau sudah selesai.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡACB80vesw0
“Oke, aku berangkat dulu ya,” kata Bram yang kemudian mengecup kening istrinya. Wajah Tia tetap tanpa ekspresi. Bram kemudian meninggalkan Tia dan berangkat ke kantor.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ536GsShzro
Si asisten mengarahkan Tia menuju ke satu pintu besar, dan membukakan pintu itu. Tia masuk sendirian ke ruangan di belakangnya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGH6QYnDqtA
Ruang praktik Dr. Lorencia terbilang besar dan mewah, dengan meja jati ukir yang terlihat mahal di tengah-tengah, beberapa kursi antik, dan satu sofa besar. Dindingnya tertutup kertas dinding berwarna kuning muda, dihias beberapa lukisan, antara lain satu lukisan pemandangan dan satu lukisan perempuan Bali yang bertelanjang dada. Terlihat juga beberapa pot tanaman dan rak buku. Lantai marmernya sebagian tertutup permadani empuk. Tia mencium semacam wewangian di dalam ruangan itu; baunya tidak biasa, tapi menenangkan. Di samping ruangan itu ada satu pintu tertutup.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEtMqIzFyiw
Di balik meja jati, di kursi putar yang besar dan nyaman, duduklah Dr. Lorencia Partomo.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyCg9YTOZ3r
Dr. Lorencia
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzEnOHamVst
Dr. Lorencia memandangi perempuan yang baru masuk ke kantornya. Tia yang bertubuh sintal, tidak terlalu pendek maupun tinggi, berumur dua puluhan pertengahan, dengan rambut panjang yang digerai dan wajah cantik dipoles make-up tipis (sejak shock, Tia tidak lagi berdandan tebal seperti sebelumnya). Wajah Tia terlihat tak santai, bibirnya tak sekalipun tersenyum.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOGcgNaH1eF
Tia memandangi Dr. Lorencia dan tidak bisa tidak mengagumi sang spesialis. Dr. Lorencia adalah perempuan yang sangat cantik, mengenakan kacamata berbingkai warna emas, kira-kira beberapa tahun lebih tua daripada Tia, mungkin seumuran Citra. Rambut tebal Dr. Lorencia yang diwarnai pirang gelap seperti madu dikepang dan dijadikan sanggul besar di belakang kepala. Wajahnya berkesan tegas dan kuat, sedangkan tubuhnya yang agak montok namun tetap seksi itu terbungkus blazer, kemeja, dan celana panjang putih yang membuatnya kelihatan profesional—tapi Tia bisa melihat kemeja yang dikenakan Dr. Lorencia terbuka sedikit di bagian dada, dan dalaman hitam berenda yang dipakai di bawah kemeja itu terlihat menyelip, memberikan kesan seksi yang misterius. Tia bergerak ke arah kursi di depan meja Dr. Lorencia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ78cgxBJ7p2
Dr. Lorencia berdiri dan menjabat tangan Tia sambil memperkenalkan diri.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡscdqvAwBZN
“Ibu Tia, kan? Atau boleh kupanggil Tia saja? Panggil saja aku Loren,” katanya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5vs4j3DeDX
“Nggak apa-apa nih?” tanya Tia malu-malu. “Apa nggak sebaiknya Bu Loren atau Mbak Loren…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBVvicxIawk
“Jangan, jangan. Loren aja. Biar kita bisa lebih akrab,” kata Dr. Lorencia—Loren—dengan ramah. Tia merasakan tatapan mata Loren yang amat tajam dan kata-katanya yang berirama. Sekilas Tia terpikir tentang seseorang, tapi dia tidak bisa mengingat siapa yang tingkahlakunya mirip dengan Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnNKLkCIWJ4
“Silakan duduk,” kata Loren. “Jadi…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtXiW96h83g
Tia diam saja, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1T2iAQQqOt
“Masih bingung kenapa ketemu saya?” ujar Loren. “Nggak apa-apa. Suamimu sudah cerita sedikit tentang keadaan kamu. Dia rasa kamu ada masalah yang nggak bisa kamu ceritakan ke dia, betul kan?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDbDxtR2oHM
“Nggg…” Tia ragu-ragu untuk menjawab. Dia belum tahu apa yang diceritakan Bram ke si psikolog.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9jAMm7UcYx
“Nggak usah ragu-ragu. Aku juga sebenarnya belum tahu kok apa masalahnya. Tapi kalau Tia mau cerita, mungkin bisa kubantu bereskan masalah itu. Dan apapun yang diceritakan di ruang ini, nggak akan keluar. Kode etik. Rahasia pasien harus dijaga,” Loren menjelaskan. “Gimana?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmN31XVzavm
Tia terus menatap wajah Loren yang cantik dan terlihat menenangkan itu. Pelan-pelan, Tia mulai merasa bisa percaya dengan si psikolog. Loren berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Tia. Si psikolog lalu menepuk bahu Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpKFrqWVY5K
“Tia, kita pindah tempat ya? Coba kamu tiduran di sofa itu. Kalau kamu santai, kamu bisa cerita dengan lebih enak,” bisik Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUDv6cSKHxp
Ketika bahunya ditepuk, Tia merasa pikirannya kosong. Mirip ketika waktu itu…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9ECdodPBGJ
“Ya…” Tia mengiyakan saran Loren, lalu berdiri dan menuju sofa besar di sebelah meja Loren. Loren berjalan di sampingnya. Di sebelah sofa itu ada kursi. Loren duduk di kursi itu sementara Tia berbaring di sofa.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYJbx9GMdkk
“Oke…” kata Loren. “Sekarang kamu kosongkan pikiran. Posisimu sudah enak belum? Kalau belum, cari posisi yang enak. Anggap aja sedang tiduran di ranjang sendiri. Santai saja. Santai… Jangan mikir apa-apa dulu. Apapun masalah Tia, lupakan saja dulu. Nikmati aja dulu posisi seperti ini, tenang, hening, damai…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlO27XGetiA
Tia mulai nyaman mendengarkan sugesti dari Loren. Dia bisa melemaskan otot-otot bahu dan punggungnya, mengendorkan ketegangan pikirannya, hanya dengan berbaring di sofa besar itu dan mendengarkan kata-kata Loren. Si psikolog duduk di sampingnya, dengan posisi menghadap dirinya. Tangan Loren menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia. Suasana damai, sofa empuk, gerakan teratur yang dipandu Loren, suara Loren yang lembut, serta wangi ruangan yang tak biasa tapi menyenangkan itu semuanya membuat Tia merasa aman. Dan mengantuk.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDZtnNdilKi
“Bagaimana, Tia? Sudah merasa santai? Nyaman? Rileks? Sekarang…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcXAxkWdx5x
Mendadak Loren menarik tangan Tia dengan gerakan menyentak.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzSZe3gv1tN
“Tidur!”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3Zg3XEnFS2
Sontak mata Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Tia tertidur atas perintah Loren, tapi sebenarnya itu bukan tidur. Loren terus menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbqvzpl26mH
“Tia, Tia… bisa dengar kata-kataku? Kalau bisa dengar, tolong buka mata.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡC4by04Vr8r
Mata Tia terbuka kembali. Tatapannya kosong.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFgdAW0q0Ko
“Bagus. Sekarang dengar semua kata-kataku. Kalau ngerti, tolong kedipkan mata.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡH6pBHIlSN0
Tia berkedip. Loren tersenyum. Tia sudah berada dalam keadaan hipnotik.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjNi8rr48lg
“Tia. Mulai sekarang, kalau kamu bicara denganku, kamu tidak akan ragu-ragu bercerita. Kamu ngerti? Kalau ngerti tolong bilang ‘Ya’,” kata Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZj2kdXKey6
“Ya,” jawab Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMHslx49yxT
“Bagus. Kamu akan jawab semua yang kutanya tanpa kecuali, biarpun kamu selama ini malu untuk menceritakannya. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya,” Loren meneruskan sugesti.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrBPbzz0h7L
Tanpa dapat melawan, kembali Tia menjawab ‘ya’.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgpPj8Owhv4
“Bagus, Tia. Satu lagi. Semua saran yang akan kamu dengar dariku, akan selalu kamu ingat, bahkan kalau kamu belum setuju. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkflaT2APXr
Lagi-lagi, “Ya.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSPYJPvYvPF
“Terima kasih Tia. Sesi terapi kita sekarang bisa dimulai dengan lancar. Sesudah ini kamu akan tidur sebentar, dan lupa kamu pernah mendengar kata-kata tadi dariku, tapi kamu tidak akan lupa apa-apa yang tadi sudah disampaikan. Begitu aku tepuk tangan sekali, kamu akan tidur lagi, lalu sesudah aku tepuk tangan dua kali, kamu akan bangun lagi seperti biasa.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡn6mV2qb09i
Loren bertepuk tangan satu kali. Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Lalu Loren bertepuk tangan dua kali dan Tia terbangun. Ketika terbangun Tia bingung.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡohz3lYhqIR
“Em… tadi aku… ketiduran?” kata Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUkKkKc0piG
“Itu tidak penting, anggap biasa saja,” kata Loren, dan berkat pengaruh sugesti barusan, kebingungan Tia langsung hilang. “Nah… Tia, silakan ceritakan masalahmu.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWXLJrzSEu3
Tia sudah merasa nyaman berbaring di kantor Dr. Lorencia. Dia merasa sangat percaya kepada si psikolog yang cantik itu. Dia tak lagi ragu untuk berbicara. Entah kenapa…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9O8UxVg52z
Mulailah Tia bercerita.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4c4S956eQm
“Aku bingung, Ren… Aku ngerasa sedang berubah,” kata Tia lirih.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbDrL0uh9cy
“Berubah? Jadi apa?” balas Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzWgcMVO5qn
“Jadi…” Tia masih sulit mengatakannya. “Jadi…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpEXibKr9An
“Jangan ragu, Tia… Kamu bisa cerita apa saja ke aku… Nggak apa-apa,” kata Loren dengan nada suara sugestif.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9Q9Pw82rLM
“Jadi…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGQA011WGML
“Bilang aja, Tia, jangan takut…” kata Loren sambil mengusap rambut Tia seolah ibu yang menenangkan anaknya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoxmpzCy88z
“Jadi perempuan nggak bener…” nada bicara Tia berubah berat seolah dia tak rela menyebut dirinya sendiri dengan istilah demikian. “Jadi seperti… pelacur.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjzC42WKzTE
“Oohh,” Loren menanggapi. Suaranya bernada tertarik. “Kenapa seperti itu, ya? Coba ceritakan, Tia.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxV3wvfHicZ
“Ungh…” Tia ragu-ragu. Loren kembali membelai rambut Tia dan berkata perlahan, “Jangan ragu-ragu, Tia, kamu bisa percaya aku. Ceritakan…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRAEwlEpRJJ
Sentuhan dan ucapan Loren membuat Tia makin nyaman. Tia akhirnya mulai bercerita.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyvGFDjBMoc
“Awalnya waktu aku nemu foto-foto… perempuan lain di HP Mas Bram. Pelacur. Suamiku itu ternyata punya hobi jajan di luar. Tapi…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡq0LopDTwmj
“Stop,” Loren menghentikan cerita Tia. “Seperti apa foto-fotonya? Jelaskan.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡU4rCm0nWU7
“Emm… mungkin ada 2 atau 3 cewek yang berbeda. Di foto-foto itu mereka berpose… seksi.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzn4FBnM5n7
“Seperti apa?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjoM2UY5OvG
“Ada yang seperti mau nyium kamera… ada yang pamer buah dadanya… ada yang tiduran sambil pake lingerie…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAwVoK9AX7d
“Ceritakan penampilan mereka,” Loren melanjutkan.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfmnF3mSrvm
“Ya seperti biasanya perempuan nggak bener… Baju seksi, tank top, rok mini, malah ada yang difoto cuma pakai bra dan celana dalam… Ada yang rambutnya dicat pirang… Semuanya pake make-up tebal, bedak tebal, lipstik merah, blush on…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡE5cDoieOWE
“Oke. Sekarang teruskan cerita kamu. Sesudah kamu lihat foto-foto itu, gimana?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcY6NemiOp9
“Aku ngadu ke Kak Citra,” kemudian Tia menceritakan siapa itu Citra. “Kata Kak Citra, Bram emang suka jajan dari dulu. Terus… Kak Citra ngasih saran… katanya aku suruh tiru saja penampilan mereka supaya Bram nggak usah lagi nyari ke luar.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJtQh5OH67k
Sementara Tia bercerita, Loren terus memandanginya sambil membelai rambutnya dan sesekali mengeluarkan komentar pendek seperti “Hmm” atau “Terus?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWqay4J6Q9f
“Jadi aku coba sarannya Kak Citra. Dia dandani aku supaya jadi… seperti mereka. Terus kutemui Mas Bram…” Tia berhenti.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5DgK1xd8yW
“Terus?” Loren mendorong Tia untuk melanjutkan. “Ayo dong cerita.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9Bv9Ui4I6g
Sepintas Tia tersenyum kecil, mukanya memerah. Tapi kemudian mukanya kembali ke ekspresi kosong semula.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmLMOhHwRvJ
“Yang jelas malam itu sih kami… bercinta… nggak seperti biasanya, emmm rasanya lebih… hebat aja dari sebelumnya,” bisik Tia lirih. “Tapi Mas Bram juga waktu itu seperti berubah… kelihatan sekali dia lebih nafsu.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqahPgbIgLE
“Oke…” kata Loren, “Jadi awalnya begitu. Terus?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfJAkpe2C95
“Mas Bram minta aku terus seperti itu… jadi kucoba saja terus. Awalnya risi dan nggak biasa, mesti dandan terus dan bergenit-genit, dari dulu aku nggak pernah begitu. Tapi…” Tia mencoba mengingat sesuatu, tapi yang ingin diingatnya tak kunjung muncul. “Ada satu malam, waktu itu aku dandan seksi untuk Mas Bram, dan dia pulang diantar teman-teman kantornya karena mabuk… nggak ingat apa yang terjadi sesudah itu, tapi rasanya dia semangat sekali bercinta malam itu biarpun mabuk. Nah…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPj6po1LAdA
“Ayo teruskan.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ90kJKKmCx1
“Rasanya sesudah malam itu aku berubah… aku jadi lebih terbiasa tampil seksi, nggak lagi malu-malu… Tapi…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4F0c06wJcf
“Ada apa?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOCQph69s1O
“Kadang aku seperti lepas kendali,” suara Tia kembali melemah setelah sebelumnya naik karena bersemangat. “Aku… aku nggak tahu harus cerita atau nggak… aku…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡD8nekZg6Gp
“Ayo cerita, Tia… Kalau kamu nggak cerita, masalahmu nggak akan selesai…” bujuk Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjpOJJp2jDy
“Pernah dalam satu hari aku nggoda beberapa orang sekaligus… dan mereka orang asing… bukan Mas Bram. Tukang sayur langganan. Pengamen yang datang ke rumah.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzbdO7rsCeJ
“Waah…” Loren berkomentar. “Apa yang kamu lakukan ke mereka?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡigXonlZjG7
“Umh…” Tia ragu, mukanya memerah. “Aku… kalau ke Pak Kumis itu nggak sengaja… waktu itu aku beli terong dari dia, terus…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcfou8tgCtR
“Terus?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrOTIljNUug
“Umm… aku main-main dengan terong itu… Nggak tahunya Pak Kumis masuk rumah mergoki aku… tapi aku malah jadi… jadi…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1tg5pfXqSn
“Kamu apain dia, Tia?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFHzUjaohXl
“…kusepong dia…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡE7cBCv4xpO
“Hmm…” Loren berkomentar tanpa kaget, tapi tetap terdengar tertarik. “Terus dengan pengamen tadi? Gimana tuh?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡT6N6vgQXLR
“Pengamennya berdua, masih ABG… salah satunya aku kenal. Jadi kuajak masuk dan kukasih makan… tapi satunya usil, dia nyolek bokongku…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ41QhCHgGZ5
“Terus? Kamu marah nggak?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQNqgGZannF
“Ungh… anehnya… enggak. Akhirnya malah kuladenin mereka berdua… yang satu kuisep… yang satu lagi kubiarkan gesek-gesek kemaluannya ke pantatku sampai dia keluar…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWuDhBaVdRX
“Oke… Tapi kamu nggak sampai berhubungan seks dengan mereka kan?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI9eVHccpL6
“Iya… syukurnya…” kata Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgELliPbLTs
“Kenapa syukurnya?” tanya Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPlgu3yi8jK
“Soalnya waktu itu aku seperti ingat… aku istrinya Mas Bram. Aku cuma boleh setubuh sama Mas Bram…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡap0vtX4r0b
“Oh gitu. Ceritamu masih lanjut kan Tia?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwSlfLREwtG
“…masih.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcRegohGTzr
“Tolong lanjutkan.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXGfpJvRjmC
“Sesudahnya… suatu hari aku ke kantor bareng Mas Bram. Aku sengaja dandan dan pakai baju biasa. Tapi… aku tetap dilihat orang. Semua orang nengok kalau aku lewat.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6sWVReoZid
“Gimana perasaan kamu, Tia, waktu diperhatikan orang kantor?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjdRfNJbBAW
“…kok… aku seperti senang, ya?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPFuOlG60kI
“Wajar, Tia,” kata Loren. “Kamu cantik.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOtQytdVjC6
“Aku… cantik?” Pujian Loren membuat Tia tersipu. Memang seperti biasanya perempuan, Tia senang dipuji, apalagi mengenai kecantikannya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTKIMCSHXOG
“Iya…” Loren kembali membelai rambut Tia, dan kini malah terus membelai pipi Tia. “Kamu cantik… makanya semua orang suka melihat kamu. Semua orang itu. Orang kantor. Pengamen. Tukang sayur. …Aku juga, Tia…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXUt1DSMm65
Tia berdebar-debar ketika Loren berkata seperti itu. “Aku pengen cium kamu, Tia,” pinta Loren. Tanpa menunggu jawaban, Loren langsung mencium pipi Tia, tepat di ujung bibir Tia. Tia merasa geli seperti kesemutan, dan perasaan itu makin menjadi ketika Loren melanjutkan melumat bibir Tia, memainkan lidahnya dalam mulut Tia. Untuk pertama kalinya Tia merasakan ciuman mesra dengan sesama perempuan, mulut bertemu mulut. Loren melepas bibir Tia, kemudian kembali bicara.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnEiPAWhMnh
“Kamu senang kan dikagumi orang, Tia?” kata Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdYrIdFLXsS
“…Iya…” jawab Tia. Loren tersenyum, sugestinya masuk sendiri tanpa dilawan. Dilihatnya mata Tia setengah terpejam, membayangkan nikmatnya ciuman barusan.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfZ2wnZt5jS
“Terusin ceritamu,” kata Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzEMjwWupPe
“Sesudah dari kantor aku ketemu Kak Citra di mall… Kak Citra cantik banget… dia juga dilihatin semua orang… Malah lebih hebat lagi, orang sampai meleng karena gak bisa lepas matanya dari Kak Citra. Aku… iri.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMt4jFhDG3J
“Hmm… Iri? Iri karena Kak Citra lebih cantik?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxbE3EKVnxZ
“Iri karena Kak Citra lebih menarik perhatian… tapi sesudah itu aku di-makeover, terus ganti baju juga…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTlVtpJwkbu
“Terus gimana? Kamu masih iri?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuQv3b8KwJk
“Terus… kami… Kami…” Tia seperti susah menceritakan lanjutannya. Jelas itu karena yang terjadi adalah dia dan Citra diciduk aparat, lalu digilir. Bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah, bahkan di bawah pengaruh hipnotis Loren. Jadi Loren menaikkan tingkat pengaruhnya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFF5aeSoeGA
“Susah ya ceritanya?” kata Loren sambil tangannya mulai hinggap di tubuh Tia. Loren mulai menyentuh dan meremas-remas payudara Tia. Tia pagi itu mengenakan kemeja merah jambu dan rok hitam selutut. Sementara tangan kanan Loren mencopot satu dua kancing kemeja Tia, tangan kiri Loren menyelinap ke dalam rok Tia. Loren kemudian menyelipkan tangan kanannya ke dalam baju Tia, dan langsung menyentuh kulit payudara Tia. Dia mencari-cari dan menemukan pentil Tia yang sudah terasa keras. Sementara tangan kiri Loren mulai meraba-raba daerah kemaluan Tia. Loren menemukan sesuatu di sana.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡr94gn9MyGG
“Hmmm… Tia, kamu ngerasa basah nggak?” bisik Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpnzzXUVsIN
“Iya…” kata Tia jujur.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDXvIiFJOCD
“Basah mananya, Tia?” Loren mendorong lagi.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJk8PgHoTcN
“Basah di…” Tia berhenti, lalu berbisik, “…aku malu nyebut nya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBJ47zxJozo
“Memek kamu basah, Tia,” kata Loren tegas sambil mencubit klitoris Tia, membuat Tia memekik lirih, “Aauhh!!”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNuKx18nTpX
“Enak kan, Tia?” tanya Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuBpWXhiDek
“Enak Ren…” jawab Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3wDQjtsbDO
“Tahu nggak kenapa itu enak?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡM1UBP8nEdu
“…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUtgcQLHSZw
“Soalnya kamu terangsang sewaktu kamu cerita pengalaman seks kamu, Tia… Mulai sekarang, kamu bakal terangsang kalau kamu cerita… Ngerti, Tia?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb5WKjz5z6q
“Iya… ahhh…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfP5tYpr8K8
“Bagus. Kamu mau cerita semuanya kan, Tia?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡptERWGMEAQ
“Iya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb66lHYIsuv
“Semuanya akan kamu ceritakan, Tia. Dan kamu mau cerita apa saja, karena itu enak, kan?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡta7ak2n156
“Ya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNcLtUFSMCy
“Oke… Tia… Ayo cerita apa yang terjadi sesudahnya.” Tangan Loren tetap di kemaluan Tia, membuat celana dalam Tia makin basah dengan cairan kewanitaan Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkLOGwGlhM8
“Ah… Kami pulang… tapi terus ditangkap aparat…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvGe7oNFqff
“Ditangkap? Hmm. Cerita terus deh…. Eh tapi tolong ganti posisi. Duduk tegak ya. Nyender aja,” Loren membantu Tia bangun, sehingga Tia duduk bersender di sofa, dengan kedua kaki kembali menjejak lantai. Loren duduk di depan Tia, dan memegang kedua lutut Tia. Pelan-pelan Loren menggerakkan kedua lutut Tia saling menjauh, membuat pasiennya mengangkang. Tia sudah pasrah menjadi boneka Loren yang bisa diposisikan semaunya. Si psikolog cantik kemudian turun dari kursinya, lalu berlutut di depan selangkangan Tia. Dia menyibak rok Tia dan kemudian mengesampingkan celana dalam Tia yang sudah basah.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpPNawEhIJH
“Cerita terus, Tia… Aku dengar dari bawah sini,” kata Loren sambil mulai menggarap vagina Tia, dengan satu jilatan dari bawah ke atas sepanjang rekahan itu. Semestinya Tia bingung, karena jelas praktik psikolog normal bukan dengan menggerayangi dan bahkan melakukan seks oral dengan pasien… tapi Tia sudah keburu menganggap wajar semua yang Loren lakukan, karena sugesti tadi.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSsaUmNdwT1
“Aku… umh ditangkap karena disangka… pelacur… Aku dan Kak Citra dibawa ke kantor… terus… uhh…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoHYSimjkKM
“Emm… *lep lep* Terus apa, Tia?” kata Loren sambil terus menjilati gurihnya kemaluan Tia. Loren mulai menjamah klitoris Tia pula… menyedot dan mencium.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡl5OrSQPByK
“Aahh… Terus Kak Citra masuk ketemu komandan mereka… aku ditinggal lama… waktu kutengok… ternyata Kak Citra lagi digarap sama mereka…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9JtftAgOD4
“Gimana perasaanmu waktu melihat Kak Citra digarap, Tia?” Loren mengatakan itu semua dengan sangat tenang, nyaris tanpa perasaan.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡR3b4LPMhHk
“Aku kasihan… Kak Citra kesakitan… Dia… dia lagi disetubuhi merekaa… di… pantatnya… Pantatnya di…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5GETxIX5Rz
“Dientot sama mereka?” Loren membantu.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNznRXha0Bi
“Iya… pantat Kak Citra dientot sama mereka… Aku minta mereka stop… Kasihan Kak Citra… ahh…hhh” Tia jelas keenakan dioral oleh Loren yang rupanya ahli memberikan kenikmatan kepada sesama perempuan. “ENGG!!” Tahu-tahu saja Tia orgasme ketika vaginanya disodok lidah Loren, membanjiri mulut Loren dengan cairan cinta.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOfVBcGHdG5
“Ti-a,” panggil Loren dengan nada naik-turun, “kok kamu orgasme sih? Kan kamu lagi kasihan sama Kak Citra? Hmm…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyaFFvJxMwA
“Awh… ah…” Tia tak bisa menjawab, masih kaget karena mendadak orgasme.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoyjculdZb1
“Oo kamu sebenarnya suka ya ngelihatnya… sampai kamu terangsang sendiri… Terus gimana ceritanya?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVRLbGquTew
“Suka? Hh… ehh…” selagi dia mulai pulih, baru Tia bicara lagi, “Aku… tawarin buat gantiin Kak Citra… daripada Kak Citra kecapekan… biar aku yang dientot sama mereka…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlI4FjNC2uI
“Waktu itu kamu sampai basah seperti sekarang, kan…” sugesti Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡe2rwjjv9JG
“Iya…?” Tia merasa aneh karena ceritanya diubah Loren. Tapi dia tak kuasa menolak Loren. Ditambah lagi akal sehatnya sedang kewalahan sehabis dilanda orgasme mendadak.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXJa17yR04X
“Iya Tia… kamu basah karena terangsang melihat kakakmu digilir sama aparat… Lalu kamu minta gantian? Biar kamu ganti dientot sama mereka?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZyyfatxCdn
“Ehm… iya?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1AzRJRFV09
Loren bangkit lalu tiba-tiba menjambak sebagian rambut Tia. Namun gerakannya tetap luwes, tidak sampai membuat Tia sakit. Dan anehnya Tia tak melawan, dia seolah sudah jadi boneka yang bisa digerakkan Loren seenaknya. Loren mendorong kepala Tia ke samping sampai Tia terempas di dudukan sofa.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡngZisb1Ep1
“Kamu nakal, Tia…” kata Loren, pelan tapi tegas. “Nakal… Kamu suka ya, keseksian badanmu dikagumi laki-laki? Kamu suka ya, kalau laki-laki terangsang gara-gara kamu goda? Kamu pengen ngentot sama siapa aja? Sama banyak orang sekaligus?” Sambil mengatakan semua itu, Loren kembali memainkan tangannya di klitoris dan vagina Tia, merangsang alat kelamin yang baru saja orgasme. “Iya kan, Tia? Ayo jawab!”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡALCCbEm214
“Ah, uhh, ah… iyaahhh…” Tia mengiyakan, tanpa sadar apa yang dikatakannya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVmeTIIMyCR
“Terus gimana ceritanya, Tia…” Loren mengurangi intensitas godaannya, memberi kesempatan bagi Tia untuk bercerita.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbDgXhSMxjl
“Aku… awalnya aku nggak mau… tapi terus aku kasih mereka… Mereka kusepong…” (“Apanya?” tanya Loren sambil langsung memberi jawaban, “Kontolnya?”) “Kontol… nya…” lanjut Tia, “terus aku buka baju… komandannya… ngentotin aku… badannya besar… kontolnya juga… sampai sesak ditindih dia… ah… Ren… tambah basah nih…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡe9aRRpR8LT
Loren terus membuat Tia terangsang, membangun asosiasi antara kenikmatan dengan cerita mengenai pengalaman seksual. Si psikolog terus mendengarkan cerita Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZV5ss3E6Ns
“Tapi nya enakh… ah… enak banget digenjot dia… aku sampai keluar… enak… terusnya yang lain ikutan juga… aku dientot juga… sekali dua… ahh… di pantat juga…” (sambil Loren mulai main di lubang anus Tia) “mereka muncrat di dalam… di luar… enak… ah!!!” Orgasme lagi-lagi melanda Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡN9gY4T3CTD
“Hmm… terus?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrjxGvteyFR
“Ahah… hh… ah… habis itu… selesai… aku diantar pulang sama mereka…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcbqY1uKztX
“Ooh gitu… Terus gimana?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡplLtkVo32G
“Mas Bram pulang… aku… aku… ehhh!?” Tia tiba-tiba seperti bingung. “Aku… aku bingung… aku dientot orang lain… aku… ga berani cerita sama Mas Bram…uuhhh…. Hhuuu…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSKxodsmjXR
Tiba-tiba Tia menangis. Loren menyimpulkan, di situlah trauma Tia. Dia dengan tegas berbicara ke Tia, dan berhenti menggerayangi Tia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡy0TyXxmwbv
“Hmm… jadi itu masalahnya? Kamu nggak bisa cerita sama suami bahwa kamu disetubuhi orang lain?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡi5aXoZsfXm
“Iya…*hiks*” jawab Tia sambil terisak.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzHC92AXxcR
“Kenapa?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYMAPAj78Mc
“Aku… istri Mas Bram… seharusnya nggak boleh tidur dengan orang lain… tapi…” kata Tia di sela-sela nafasnya yang sesenggukan.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLhECq17lKb
“Tenang, Tia. Berhenti menangis,” Loren kembali membelai Tia dan Tia pun terdiam. “Kamu merasa bersalah, Tia?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7VNJSyTV7n
“Iya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡecju44ajom
“Tapi kamu merasa apa waktu disetubuhi mereka, Tia?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeiNH1tzQyP
“Ahh,” ketika Tia mau menjawab, Loren menundukkan kepala dan mengecup lehernya. Loren juga membuka kancing kemeja Tia semua dan melepas kemeja Tia. “Enak kah?” tanya Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcfeU0de81b
“Iya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHYRRBpiqFH
“Ya, Tia. Kamu ngerasa enak kok disetubuhi mereka. Sama aja kan dengan suami sendiri,” ujar Loren.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡy3yIkbPuk5
“Sama…? AHH!!” Jawaban Tia diganggu pagutan Loren ke bagian atas payudaranya. Selanjutnya Loren membuka BH Tia sehingga kini tubuh Tia dari pinggang ke atas sudah tak berbusana. Loren berhenti bicara dan memberi kenikmatan ke Tia dengan mulutnya di sepasang payudara Tia. Tia menggigit bibir, keenakan, kemaluannya kembali membanjir.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQ95I2hYsSj
“Enak kan… Tia?” Loren membuka blazer dan kemeja putihnya, memperlihatkan bra seksi hitam berenda di bawah itu. Si psikolog juga membuka celana panjangnya, memperlihatkan sepasang kaki yang jenjang dan indah, serta G-string hitam. Kemudian Loren melucuti sisa pakaian Tia, rok dan celana dalam. Tia terbaring telanjang di sofa Loren, dan Loren kembali mencium bibir Tia. Lama, dalam, dan penuh nafsu. Tia terengah keenakan ketika Loren akhirnya melepaskan mulutnya, seutas liur menyambungkan mulut kedua perempuan jelita itu.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZzhKwAyukS
“Tunggu sebentar ya cantik…” ujar Loren mesra, lalu si psikolog beranjak ke mejanya, mengeluarkan sesuatu dari laci, dan kembali lagi. Loren memamerkan benda yang baru diambilnya kepada Tia. Tia membelalak melihatnya: sesuatu yang mirip celana dalam kulit, namun di bagian depannya terdapat dildo—mainan tiruan penis—berujung dua, yang kalau dipakai satu akan menghadap ke luar dan satu lagi ke dalam. Loren melepas celana dalamnya sendiri, lalu mengenakan celana dalam dildo itu. Tia melihat ekspresi lapar di wajah Loren ketika Loren memasukkan satu ujungnya ke dalam kemaluannya sendiri. Sungguh pemandangan yang ganjil, seorang perempuan cantik seperti Loren di hadapannya dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam, tapi dengan batangan yang mencuat gagah di depan selangkangannya. Tia menahan nafas, melihat betapa penis palsu Loren begitu panjang dan besar dan keras, tak kalah dengan semua yang pernah dirasakannya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFDK4m9PIWc
Kedua perempuan itu pun kembali saling cium, Loren mengajak, Tia menerima. Tia mulai terbiasa mendapat sentuhan intim dari sesama perempuan, dalam pikirannya dia merasakan kenikmatan yang sama seperti dari Bram… atau dari semua pengalamannya dengan laki-laki.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6b47RZ1lPH
“Tia… Jangan anggap aku perempuan. Anggap saja aku laki-laki yang punya penis, yang mau bercinta denganmu, ngerti? Tapi aku bukan suamimu,” kembali sugesti datang dari Loren. Loren tersenyum nakal selagi dia mengacak-acak pikiran pasiennya yang cantik itu. Harus diakui, dia mulai tertarik dengan Tia. Dan andai saja dia bisa berbuat semaunya, dia sendiri ingin mencoba merebut Tia dari siapapun yang memilikinya. Tapi…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmot0i0DODb
Loren kembali menggunakan mulutnya pada vagina Tia, mencium dan menjilat dan memastikan kewanitaan Tia cukup basah. Tia merintih keenakan, apalagi ketika Loren mengganti mulut dan lidahnya dengan satu jari, lalu dua jari. Kemudian Loren mengangkangi perut Tia, sengaja memamerkan penis palsu di selangkangannya, dengan panjang 20cm dan garis tengah hampir 3 cm… mungkin sebesar penis orang bule atau Afrika. Yang tercolok ke dalam vagina Loren sendiri tak sepanjang itu. Tia gemetar membayangkan batang itu memasuki tubuhnya… dan itu akan terjadi sebentar lagi…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUXpaCmnJyP
Setelah memberi pelumas pada penis palsu itu Loren menempatkan ujungnya di bukaan kemaluan Tia, lalu pelan-pelan mendesak masuk. “UNNGGHH!” jerit Tia tertahan. Loren juga merintih selagi desakan dari depan membuat bagian yang tertancap dalam kemaluannya sendiri bergeser. Pelan-pelan, senti demi senti, batang itu melesak ke dalam vagina Tia. Tia melotot, matanya menganga, dilanda rasa sakit bercampur nikmat akibat penyusupan benda berukuran tak senonoh di kemaluannya. Sampai menitik air mata Tia dibuatnya. Loren tak sampai memasukkan seluruh batang itu dan mulai bergerak maju mundur, awalnya pelan, makin lama makin cepat. Loren menatap mata Tia; Tia seolah akan gila terlanda nafsu. “Enak kan, Tia?” kata Loren sambil menggenjot pasiennya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbdzBkYSlBe
“AAHHH!! AHKHH!! AIAAHH!!” Tia tak menjawab, hanya bisa menjerit-jerit keenakan. Tubuh Tia menggeliat-geliat hebat, tapi tak mampu ke mana-mana karena tubuh Loren tepat di atasnya; Loren membungkam mulut Tia dengan ciuman selagi Tia mengalami orgasme ketiga.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡc3XeNT0DsB
“OOHHhHhMMmMMm!M!!!”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDiNyerpRw4
Tapi Loren tak berhenti, dia terus menghajar vagina Tia tanpa ampun sampai-sampai Tia orgasme untuk kedua kalinya, susul-menyusul dengan orgasme sebelumnya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw7yGeYTdEe
Tia nyaris pingsan andai saja Loren masih mau terus melanjutkan, tapi si psikolog merasa sudah cukup dan dia menarik keluar penis palsu-nya dari dalam tubuh Tia. Tia terkapar kelelahan, keenakan setelah dua orgasme berturut-turut, pikirannya melayang ke mana-mana, rentan…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡG2Gwp8J8uy
“Tadi enak kan, Tia…? Orgasme itu enak ya, Tia,” kata Loren sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Kamu suka?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFBaN2JKCYU
“Ah… iya… hhh…” kata Tia lemah.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2fR6VCN0ER
“Kamu tadi dibikin orgasme, bukan oleh suamimu. Bagaimana rasanya, Tia?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡP61KUrx8r2
“Emm… enak…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡN0QPZAT0hE
“Sama aja kan? Sama-sama enak?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡM2bOScJykO
“Iya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡihrVomuCXH
“Bagus… Sebenarnya nggak ada bedanya kamu orgasme karena suami ataupun orang lain… enak kan? Nggak ada salahnya… nggak ada bedanya,” Loren terus memberi sugesti.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9buwpdxal1
“Nggak ada bedanya…” Tia mengikuti, tanpa sadar.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbSy6p1sYxZ
“Yang penting hanya orgasme… hanya kenikmatan… Pahami itu, Tia.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGy0O0XoBA6
“Ya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYVrTk9CJGW
“Nikmati saja semuanya… Nggak usah pikirkan suami kamu… Pikirkan saja kenikmatannya… Kenikmatan itu tidak salah…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVFN7K8eadt
“Ya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRzw0DJxcuF
“Bagus,” kata Loren sambil mencium kening Tia. “Sekarang… pakai lagi bajumu,” perintah Loren. Loren sendiri juga melepas celana dalam dildo-nya dan kembali mengenakan bajunya. Setelah dia selesai berpakaian, dilihatnya Tia duduk manis di sofa, sudah kembali ke penampilan semula.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡju7RsGlYfM
“Baik, Tia… sesudah ini kamu akan tidur sejenak, dan kalau bangun lagi kamu tidak akan ingat apa yang barusan kita lakukan, tapi kamu akan ingat semua saranku dan semua kenikmatannya. Kamu tidak akan lagi ragu-ragu, tidak akan trauma lagi. Ngerti?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuzI7psTlJ8
“Ya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKWhYGSNM9O
“Bagus. Tidur, Tia… Tidur…” Kepala Tia tertunduk, tidur, “Kuhitung mundur dari sepuluh sampai satu, kalau sudah satu kamu akan bangun.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjqfgQtxGF9
“Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam… Lima… Empat… Tiga… Dua…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7E72vD4ss5
“Satu.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡd7UavUFCg3
Tia membuka mata. Dia tersenyum, merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Dilihatnya Dr. Lorencia duduk di depannya, menggenggam tangannya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUw2pV5h4ym
“Gimana, sudah enakan?” tanya sang psikolog dengan ramah.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNyXfb7scql
“Emm… iya… Ren…” Tia memang merasa beban pikirannya sudah lenyap. Dan entah kenapa, dia merasa sangat ingin bertemu suaminya, karena kangen. “Aku nggak tau, tapi kok rasanya aku sudah tentram ya…”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyh5kvo6tgl
“Baguslah. Masalahmu sudah selesai. Kamu sudah bisa pulang… Nanti kalau masih ada masalah, jangan segan-segan mampir lagi… oke?”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMpGKfN6PTd
Tia mengangguk, dan dia berterimakasih kepada Dr. Lorencia. Sebenarnya dia agak penasaran apa saja yang sudah dilakukan sang psikolog, tapi entah kenapa dia tak merasa perlu bertanya. Dia sudah merasa nyaman dan memang itulah yang dicarinya. Dia kemudian membereskan urusan yang masih tersisa kemudian meninggalkan rumah Dr. Lorencia.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAKRRXvS4nH
*****
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGKXLWXTDgB
Bram di kantor sedang menunggu Pak Jupri alias Mang Enjup yang belum juga datang. Padahal ada beberapa pekerjaan yang memerlukan atasannya itu, tapi ke mana dia?
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqc0wTLw6A9
Sambil menunggu, Bram berpikir tentang Tia. Semoga Tia bisa pulih setelah bertemu psikolog itu…
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVRSfj6woKW
Tapi Bram terpikirkan satu hal lagi.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJ8aYymz34G
Malam itu, malam ketika trauma Tia dimulai… Citra ada di rumah.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2DH33VSCcv
Citra pasti tahu sesuatu.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡN53jvZCEZ5
Bram merasa perlu bertanya.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡotcfxgWa7F
*****
Tia belum lama pergi. Dr. Lorencia kembali duduk di belakang mejanya sambil membayangkan indahnya tubuh Tia yang sempat dicicipinya sebentar tadi.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7p10zBWo53
“He, Loren, kamu jangan bayangin macem-macem ya. Tia itu buat Mang. Kita udah ada perjanjian,” kata sesosok manusia yang tiba-tiba muncul dari belakang Dr. Lorencia. Dia datang dari balik pintu samping ruang praktik Dr. Lorencia. Seorang laki-laki tua botak berperut buncit, yang sedang ditunggu oleh bawahannya di kantor. Mang Enjup.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXGIAkXZP4Z
“Yah, si Mang, gimana ya? Ternyata dia cakep… Boleh nggak kubikin dia jadi lesbong juga?” Lorencia menimpali.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHmXeL0Zj1h
“Hus. Jangan lah. Kalau yang lain sih silakan ajah… Yang ini nggak boleh, ya? Soalnya dia orang yang spesial buat Mang.” Mang Enjup mendekat dan merangkul Dr. Lorencia dari belakang.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFPcLYeM1B9
“Emangnya aku enggak, Mang…?” tanya Lorencia manja.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGxn0ZryoXK
“Ooo… pasti dong, Loren kan kesayangan Mang. Kalau nggak, mana mau Mang ajarin ilmu Mang ke Loren? Kamu istimewa, Ren. Nggak banyak awewe yg Mang cobain tapi udah ada bakat buat nerusin ilmu Mang.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwcCBxYi8LZ
“Hehehe… Bilang aja waktu itu Mang kecele’ soalnya aku ga mempan digendam… Gapapa deh, yang penting aku jadi dapat ngewarisin ilmunya Mang.” Bertahun-tahun lalu, Lorencia, seorang sarjana psikologi, melamar kerja kepada Mang Enjup. Melihat parasnya yang cantik, Mang Enjup sempat mengisengi Loren dengan ilmu gendamnya, tapi entah kenapa, hipnotis Mang Enjup kurang mempan kepada Loren. Mungkin karena Mang Enjup berusaha membuat Loren tertarik kepada dirinya, tapi ternyata Loren punya kecenderungan lesbian sehingga tak mempan. Itulah yang membuat Mang Enjup menyangka Loren istimewa, dan karena rahasianya sudah terbongkar di depan Loren, Loren pun menuntut penjelasan serta imbalan, kalau tidak dia akan membongkar rahasia Mang Enjup. Akhirnya Mang Enjup mengajarkan ilmu gendamnya kepada Loren. Keduanya jadi akrab, dan terus berhubungan; Loren tak jadi bekerja kepada Mang Enjup dan memilih meneruskan studi dan menjadi psikolog praktik, dan ilmu hipnotisnya dia gunakan untuk membantu pasien. Tapi, sebagaimana Mang Enjup, Loren pun sekali-sekali menyalahgunakan kemampuannya itu.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqgPbgwA2KV
Ketika Bram mengeluhkan Tia, Mang Enjup langsung menyambar kesempatan dan memberitahu tentang Dr. Lorencia. Sesudahnya Mang Enjup menjelaskan apa yang sudah dia lakukan kepada Tia, dan Loren menyanggupi untuk membantu.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5bLXTAGlKN
Loren juga menceritakan semua pengakuan Tia kepada Mang Enjup. Mang Enjup terlihat senang mendengar semua petualangan Tia, apalagi ketika dia tahu pengaruhnya telah membuat Tia jadi lebih berani dan menggoda.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnEDuwvOF4f
“Tapi Mang,” tanya Loren, “Emang mau diapain si Tia itu? Kan Mang udah dapet nyobain dia.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ45CgzGjfNh
“Ada rencana Mang buat dia. Rencana gede. Kapan-kapan Mang ceritain deh. Nanti kalau udah jadi.”
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtpVg817r1R
*****
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡznoDlO7uPT
Sepulang kantor, Bram disambut oleh Tia. Sekali lagi penampilan Tia membuat Bram melongo… Tia malam itu tampak seksi dengan babydoll transparan, rambut tergerai, make-up tebal namun menarik… dan dia menunggu Bram dengan penampilan seperti itu di depan pintu rumah!
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTOnAq9N6KK
“Mas Brammm….” Tia menyambut suaminya dengan ciuman mesra, lalu dia langsung menarik Bram ke dalam rumah. Sebelum Bram sempat berbuat apa-apa keduanya sudah bercumbu hebat.
722Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSLhF7tsQeR
Tapi Bram jadi curiga…
ns 15.158.61.51da2
