Hari masih terlalu pagi, bahkan ayam pun masih malas untuk berkokok, tapi seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor dan puluhan aksesoris berkilau emas menimbun tubuh tambunnya sudah menggedor-gedor pintu rumah kontrakan yang ditempati Ayu dan Ibunya.
"Jangan keluar Yu..." Raut wajah Bu Halimah ketakutan, apalagi gedoran di pintu rumahnya semakin lama tidak semakin reda.
DOK
DOOK
DOOKKK!!!
"Saya tau kalian di dalam!!" Teriak si wanita tambun dari luar, tangan gempalnya masih terus menggedor permukaan pintu dengan keras.
Beberapa tetangga Ayu yang kebetulan mendengar kegaduhan hanya memandangi si Ibu tambun dari kejauhan, tidak ada yang berani mendekat untuk meredakan suasana di pagi buta ini.
"Nggak apa-apa Bu, lagian kalo dibiarin nggak enak diliatin sama tetangga." Kata Ayu sambil mencoba melepaskan genggaman tangan Ibunya yang sedari tadi mencegahnya untuk menemui si Ibu tambun.
"Jangan Yu...Nanti kalo Bu Yeyen ngasarin Kamu gimana?" Ucap Bu Halimah dengan mimik wajah penuh kekhawatiran.
"Ibu tenang aja...Ayu nggak bakal diapa-apain kok.."
DOK!!
DOOK!!
DOOOK!!!
"Ayo keluar kalian!! Enak aja kalian ngontrak tapi nggak mau bayar!! Kalian pikir Saya nggak butuh uang apa?!!" Wajah Bu Yeyen, si Ibu tambun, pemilik kontrakan yang ditempati Ayu dan Ibunya, semakin memerah.
CEKLEK....
Ayu membuka pintu rumah setelah sebelumnya menarik nafas panjang, menyiapkan mental untuk menghadapi omelan atau bahkan cacian dari Bu Yeyen.
"Mana Ibumu?! Heh?!" Hardik Bu Yeyen kasar.
"Masuk dulu Bu, nggak enak diliat tetangga pagi-pagi udah ribut." Ucap Ayu mencoba menenangkan emosi Bu Yeyen.
"Alaahh...Kamu nggak usah banyak alesan! Kapan kalian bayar tunggakan kontrakan yang udah 3 bulan?! Heh?! Mau janji-janji lagi?! Jangan dikira Saya ini mudah ditipu ya! Ayo cepat bayar!" Bu Yeyen mencerca Ayu dengan ganas seperti tidak ingin disanggah omongannya oleh gadis cantik itu.
"I..Iya Bu Saya ngerti...Kasih kami waktu sebentar lagi, Kami janji akan membayar tunggakan kontrakan."
"Alah ! Aku sudah duga kamu bakal bilang kayak gitu Yu!! Udah hapal Aku ini!" Ucap Bu Yeyen ketus.
"Tolong kali ini saja Bu beri kami sedikit kelonggaran..." Ucap Ayu dengan nada mengiba, berharap hati wanita tambun di depannya itu sedikit luluh.
"Kelonggaran?? Kelonggaran katamu??! Lalu selama 3 bulan ini Kau kira apa?? Hah?! Enak aja kalian tinggal di rumahku tapi nggak mau bayar! Kalian pikir kontrakan ini milik nenek moyangmu apa?" Berondongan kalimat dari Bu Yeyen semakin membuat Ayu tak berkutik, gadis cantik itu seolah kehilangan kata untuk meredam amarah Bu Yeyen.
"Udah gini aja, Aku kasih waktu kalian 2 hari, kalo sampai lusa kalian tidak bisa melunasi tunggakan, kalian harus keluar dari rumah ini!" Tegas Bu Yeyen.
"Ta..Tapi Bu.."
"Nggak ada tapi-tapian, Aku udah cukup bersabar menghadapi orang miskin nggak tau diri seperti kalian ini!"
Kalimat kasar Bu Yeyen barusan mengakhiri keributan, Bu Yeyen melangkah pergi meninggalkan Ayu dan beberapa tatapan tetangga yang sedari tadi mendapat "tontonan" gratis di pagi hari. Dua hari terlalu cepat bagi Ayu, tunggakan sebesar 4 juta rupiah bukan uang kecil bagi pelayan restoran seperti dirinya. Tubuh Ayu mendadak lemas, pikirannya begitu kalut menghadapi masalah ini. Ayu seolah tidak bisa menemukan jalan keluar terhadap masalah ini. Tak terasa air matanya jatuh menetes, pandangan tetangga sekitar berubah menjadi iba terhadap kejadian yang menimpa Ayu dan Ibunya.
"Kamu kenapa Yu...? " Tanpa disadari Bimo menampakkan batang hidungnya di hadapan Ayu yang masih berdiri mematung di depan pintu.
"Eh..Mas Bimo..." Ayu segera menyeka air matanya, menyembunyikan kesedihannya di hadapan Bimo.
"Kamu kenapa? Ada masalah apa?" Tanya Bimo.
"Nggak ada apa-apa Mas..."
"Yu, Aku bukan anak kecil yang mudah dibohongi, cerita Yu, mungkin Aku bisa membantumu." Ayu tidak menjawab, justru airmatanya kembali mengalir membasahi pipinya yang putih, samar terdengar isakan dari bibirnya.
"Sabar Yu...Sabar..." Ucap Bimo mencoba menenangkan Ayu.
*******
Sepeda motor butut Bimo berhenti tepat di depan restoran The East, tempat Ayu bekerja. Tak lama kemudian turun dari boncengan tubuh ramping Ayu. Insiden pagi tadi membuat mata gadis cantik itu sembab, meskipun sudah mecoba untuk menutupinya dengan guratan make up tipis tapi raut kesedihan di wajah Ayu masih terlihat.
"Kamu nggak apa-apa Dek...? " Tanya Bimo khawatir.
"Nggak apa-apa kok Mas... " Jawab Ayu lemah.
"Yu... " Bimo menggenggam jemari Ayu.
" Aku sebisa mungkin akan membantumu, Kamu nggak perlu merasa sendirian menghadapi masalah ini. Ada Aku. " Ucap Bimo.
"Makasih Mas, tapi Aku nggak mau merepotkan orang lain, terlebih Mas Bimo. Aku yakin, pasti ada jalan keluar."
Ayu sedikit berat mengucap harapan itu, Ayu tau betul menyiapkan uang untuk membayar tunggakan rumah kontrakannya hanya dalam tempo waktu beberapa hari bukan hal mudah bagi dirinya yang bekerja sebagai pelayan restoran.
"Pokoknya Kamu tenang saja, kita hadapi ini bersama. " Kata Bimo menguatkan hati Ayu.
"Iya Mas... Makasih. "
"Ya sudah, Kamu kerja aja dulu, Aku juga harus siap-siap nih, hari ini Aku ada pekerjaan penting. "
"Iya Mas, hati-hati... " Kata Ayu.
"Assalamualaikum. "
"Waalaikumsalam "
Tak lama kemudian motor Bimo melaju pelan meninggalkan Ayu. Ayu menatap punggung Bimo menjauh menembus padatnya lalu lintas, semakin lama semakin menjauh. Gadis cantik itu kemudian melangkah memasuki restoran, di dalam otaknya kembali berkecamuk ingatan tentang cacian dan ancaman Bu Yeyen. Ucapan Bimo tak sepenuhnya berhasil menenangkan Ayu.
*****
BRAAAKKK!!!!
Anwar menggebrak meja kerja Baroto. Wajahnya berubah menjadi sangat tegang, kerutan di jidatnya terlihat jelas, rahangnya yang kokoh juga ikut mengeras. Di hadapannya Baroto hanya duduk terdiam.
"Keuangan macam Ini?! " Anwar melemparkan selembar kertas je hadapan Baroto, pria besar itu masih terdiam.
"Jangan Kau pikir meskipun Kau suami Sinta, Kau bisa seenaknya melakukan tugasmu di sini! Di rumah Kau memang bagian dari keluargaku, tapi di sini Kau tetap karyawanku! "
"Saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengelola restoran ini Pak. Kalopun neraca keuangan beberapa bulan terakhir kurang begitu baik, tapi jika dibandingkan dengan restoran-restoran lain, the East jauh lebih baik." Kata Baroto.
"Kalo lebih baik laporan sampah itu tak mungkin Aku baca hari ini! " Hardik Anwar kembali.
"Aku sudah makan asam garam dunia bisnis, jauh sebelum Kau mampu membeli celanamu sendiri! Jadi jangan mengguruiku tentang urusan semacam ini! "
"Saya minta maaf Pak jika Saya melakukan kesalahan. "
"Aku tidak menerima kesalahan, Kau harus perbaiki ini semua. Jika laporan keuangan tak kunjung membaik jangan menemuiku! " Anwar beranjak dari kursinya kemudian pergi meninggalkan ruang kerja Baroto.
Pria tua itu masih bersungut-sungut, paginya menjadi buruk setelah membaca laporan keuangan The East yang dibuat oleh Baroto. Anwar berhenti di ruang depan restoran, masih belum banyak pengunjung yang datang, dia memutuskan untuk duduk sebentar mengamati keadaan sekitar.
"Selamat pagi Pak, ada yang bisa saya siapkan untuk Bapak?" Anwar menoleh ke sumber suara, sosok Ayu sudah berdiri di sampingnya, senyum sederhana gadis itu membuat Anwar sesaat terhenyak.
"Air putih saja. " jawab Anwar singkat mencoba menutupi kegugupannya.
"Baik Pak, mohon ditunggu sebentar." Ayu bergegas berbalik badan, menyiapkan air putih yang dipesan oleh bos besarnya.
Langkah Ayu yang gemulai tanpa disadarinya tengah diamati seksama oleh Anwar, pria tua itu seolah terhipnotis oleh kecantikan sederhana tanpa make up mencolok seperti halnya wanita-wanita nakal yang sering dia temui di night club.
******
"Sudah semua?" Kata seorang pria berseragam dengan kumis tebal dan sepucuk senjata api laras panjang berada di genggamannya sedari tadi mengamati gerak gerik Bimo dan dua orang lain dari Bank Agra yang hari ini bertugas mengambil uang dari kantor pusat yang akan digunakan untuk cadangan kas.
"Sudah Pak. " Bimo dan satu orang security lain meletakkan kotak besi besar terakhir ke dalam mobil security, kini ada tiga kotak besar di dalam mobil, dimana masing-masing kotak berisi uang kertas pecahan seratus ribuan senilai satu milyar.
"Oke, tanda tangan dulu di sini. " Si pria berkumis menyerahkan selembar kertas untuk ditandatangani oleh Bimo, yang kali ini bertugas sebagai pemimpin regu.
" Ingat, hati-hati di jalan, selalu waspada, hubungi kantor pusat jika ada kendala di perjalanan. Nyalakan terus GPS mobil agar kami di sini bisa terus memantau."
"Siap, laksanakan Pak! " Jawab Bimo tegas sebelum dia dan team pengamanan yang lain beranjak pergi dari ruang bawah tanah kantor pusat Bank Agra.
Tak lama, empat security bank bersama dua orang polisi bersenjata lengkap menaiki mobil kemudian melaju menembus kemacetan lalu lintas ibu kota. Di dalam mobil, tak banyak yang berbicara, semua orang fokus mengamati keadaan sekitar. Meskipun ini merupakan rutinitas setiap satu bulan sekali tapi tetap saja mengawal uang sebanyka 3 M bukanlah pekerjaan yang ringan. Ancaman bisa datang dari mana saja, maka jangan heran setiap orang di dalam mobil tersebut lebih memilih untuk menahan gurauan sebelum sampai di tempat tujuan.
Keringat dingin Bimo menetes perlahan, tanpa diketahui oleh orang lain saat ini dia sedang memikirkan sesuatu, sebuah rencana jahat lebih tepatnya. Uang 3 M yang saat ini sudah berada di hadapannya cukup menggiurkan untuk dia ambil, tak harus semuanya, yang penting cukup untuk merubah jalan hidupnya yang selama ini jauh dari kata sejahtera. Apalagi Ayu, wanita yang dicintainya juga sedang mengalami masalah pelik, dengan uang sebanyak ini tentu Bimo bisa membantu Ayu menyelesaikan masalahnya. Otak Bimo seolah telah ditutupi pengaruh jahat, uang dihadapannya memicu niat jahat untuk melakukan perampasan. Sesuatu yang mengharuskannya untuk menghabisi orang lain yang kebetulan berada dalam satu mobil bersamanya. Tak berselang lama, jari Bimo sudah mengambil posisi untuk menarik pelatuk, salah satu rekannya yang duduk di sebelah tampak memperhatikan gerak gerik mencurigakan yang diperlihatkan oleh Bimo, tapi sayang reaksi orang tersebut kalah cepat dengan perbuatan Bimo.
DOOOR..!!
DOOORR..!!
DOOOR..!!!
CIIIIIITTTTT.....!!!!!
BRAAAKKKKK!!!
Letupan senjata Bimo menyalak beberapa kali, mencabut nyawa seluruh penumpang di mobil itu. Sang sopir yang bernasib sama gagal mengendalikan mobil, membuat kendaraan itu terpelanting dan menabrak pembatas jalan. Beberapa kendaraan lain berhenti, para penumpang juga berhamburan untuk menyaksikan apa yang terjadi. Tak berselang lama Bimo keluar dari bangkai mobil sambil menyeret satu kotak besi besar berisi uang jarahannya, satu tangannya masih menenteng senjata.
DOOORR...!!
DOORR...!!!
DOORR..!!
Dengan tujuan menghalau massa, Bimo kembali menekan pelatuk senjatanya ke udara, cara yang cukup berhasil. Beberapa orang yang hendak mendekat mengurungkan niatnya, mereka berlari kocar-kacir menjauh dari lokasi kejadian. Sirine terdengar mengaung, mendekati lokasi kecelakaan. Bimo kesulitan untuk membawa kotak besi itu sendirian, kepanikan mulai mendera pemuda gagah itu. Bayangan akan kemewahan yang berasal dari uang jarahannya mendadak buyar, cita-citanya untuk bisa membahagiakan Ayu pun demikian. Benar saja, tak berselang lama mobil polisi mulai berdatangan, berhenti tak jauh dari bangkai mobil yang menabrak pembatas jalan. Asap mengepul pekat dari dalam mesin mobil, situasi berubah mencekam tatkala puluhan Polisi bersiap untuk melakukan penyeregapan. Puluhan mocong senjata telah mengarah ke posisi Bimo berdiam diri.
"Angkat tangan !!! Buang senjatamu sebelum kami bertindak lebih tegas!" Teriak salah seorang Polisi menggunakan pengeras suara.
Bimo semakin panik, melawan puluhan Polisi dan berakhir tragis dengan mati konyol di jalanan Jakarta tentu tak pernah menjadi cita-citanya. Tapi menyerah dan berakhir dengan mendekam di dalam penjara dengan hukuman berat juga bukan ending cerita yang dia pikirkan. Bimo kebingungan untuk mengambil sikap.
"Serahkan dirimu! Kami sudah mengepungmu!" Teriak sang Polisi kembali, kali jauh lebih lantang dari sebelumnya, memberi tanda pada Bimo jika aparat keamanan sedang tidak bermain-main hari ini.
Belasan Polisi khusus berseragam hitam-hitam bergerak mendekati bangkai mobil, derap kaki mereka begitu lugas. Waspada dan terus mengawasi keadaan sekitar karena mereka tau orang yang mereka buru kali ini juga sedang memegang senjata api. Belum sampai tim buru sergap kepolisian meringkus paksa Bimo, tangan pemuda itu terangkat, senjatanya juga sudah dia buang menjauh.
"Tiarap! Tiarap!!!" Teriak komandan regu memberi intruksi kepada Bimo yang memutuskan untuk menyerahkan diri untuk tiarap.
Tak butuh waktu lama Polisi berhasil meringkus Bimo, pemuda itu tertunduk pasrah saat digelandang menuju mobil Polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mimpinya untuk bisa hidup bahagia bersama ayu seketika musnah tanpa sisa.
9151Please respect copyright.PENANAhfgqV6yzRe
BERSAMBUNG
Cerita "ISTRI MUDA" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan di (KLIK LINK DI BAWAH)
KARYAKARSA9151Please respect copyright.PENANAwxOoHjXXpA
TRAKTEER9151Please respect copyright.PENANA5IAypg5QJe