Ayu tak kuasa menahan air matanya saat menatap layar kaca. Berita upaya perampokan yang melibatkan Bimo menjadi headline news televisi nasional. Perasaan gadis cantik itu remuk redam, apalagi saat menyaksikan Bimo dikeler beberapa Polisi layaknya seorang penjahat berbahaya. Situasi yang begitu kontras di mata Ayu, bagaimana mungkin pria yang selama ini dia kenal sebagai pribadi yang lembut dan sabar bisa melakukan kejahatan sampai menghilangkan nyawa orang lain. Apa yang dilihat Ayu di layar kaca terasa begitu asing, selama ini Bimo sama sekali menunjukkan gelagat aneh layaknya seorang penjahat, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang dengan bengis.
"Yu, Kamu nggak apa-apa?" Tanya Sinta yang tanpa disadari oleh Ayu sudah berada di belakangnya.
"Eh, Ibu. Nggak apa-apa Bu, ada yang harus Saya kerjakan Bu?" Ayu buru-buru menghapus air matanya, dia tak ingin kesedihannya dilihat oleh Sinta, bosnya di tempat kerja.
"Yu, lebih baik Kamu pulang aja dulu, tenangkan dirimu, istirahat yang cukup. Kalau sudah tenang, Kamu boleh datang lagi ke sini untuk kembali bekerja." Ucap Sinta, wanita cantik ini sama sekali tak menutup mata tentang apa yang dirasakan oleh Ayu. Kedekatannya dengan Bimo sudah diketahui olehnya, bahkan oleh hampir sebagian besar rekan kerja Ayu di The East.
" Nggak usah Bu, Saya baik-baik aja kok."Jawab Ayu, menolak halus penawaran Sinta.
" Kamu yakin Yu? Aku cuma nggak mau moodmu mempengaruhi pekerjaan, apalagi sekarang jadwalmu untuk shift di ruang depan."
"Iya Bu, Saya nggak apa-apa. Maafkan Saya Bu."
" Yu, Kamu itu nggak salah, jadi nggak perlu minta maaf. Ya sudah, sekarang Kamu ke depan, ingat, jangan sedih lagi ya. Pelanggan nggak akan nyaman kalo melihat penjaga kasir nggak bisa senyum."
"Baik Bu, Saya mengerti." Ayu kemudian melangkah menuju ruang depan The East. Di bilik kantor The East diam-diam Anwar mencuri pandang sosok Ayu yang memang terlihat tak bergairah hari ini. Pria tua ini merasa khawatir, perasaan yang sama sekali tak pernah dia rasakan kepada orang lain, terlebih pada karyawannya.
" Kenapa dia?" Tanya Anwar saat Sinta masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Dia siapa Om?" Sinta terlihat bingung dengan pertanyaan Anwar.
"Ayu, sedari tadi Aku melihatnya tak bersemangat, sakit? Atau ada masalah?" Cerca Anwar. Sinta yang sama sekali tak menyadari jika sedari tadi Anwar memperhatikan Ayu dibuat sedikit kikuk.
"Oh Ayu, nggak apa-apa kok, cuma memang ada sedikit masalah. It's ok." Jawab Sinta sambil menaruh beberapa berkas laporan keuangan di meja kerja Anwar.
"Ooh.." Tukas Anwar sambil terus memperhatikan Ayu yang berada di belakang meja kasir dari balik jendela kaca ruang kerja.
"Ini laporannya Om, ada yang diperlukan lagi?"
"Nggak ada, kamu boleh pergi. Oh iya jangan lupa nanti malam ajak suamimu ke rumah, ada yang perlu Aku bicarakan dengan kalian berdua."
"Baik Om, ya sudah kalau begitu Saya keluar dulu."
Sinta keluar dengan penuh pertanyaan, tentang sikap Anwar kepada Ayu, dan tentu saja maksud tujuan Anwar mengundang dirinya dan Baroto nanti malam. Apa yang ingin disampaikan pria tua itu ?
*****
BRAAAAKKKK !!!!
Tubuh Bimo terpelanting ke belakang menghantam tembok ruang interogasi. Kedua tangan pria itu masih terborgol sementara wajahnya sudah babak belur dihajar Satrio, seorang penyidik kepolisian yang bertugas menggali keterangan dari Bimo. Ipda Satrio tampak begitu emosi, dia kembali menyeret tubuh Bimo yang sudah terkulai lemas di atas lantai, mendudukannya kembali ke atas kursi kayu.
"Ke sini Kau brengsek!!" Hardik Satrio penuh kegeraman.
"Sekarang jawab pertanyaanku! Siapa yang menyuruhmu untuk melakukan perampokan?!"
"Tidak ada yang menyuruh Saya pak, Saya sudah katakan berkali-kali kalau Saya melakukannya seorang diri, tanpa perintah maupun bantuan orang lain." Ucap Bimo sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
BUG !!!!
BRAAAKKKK!!!
"Jawab dengan jujur goblok!!!" Satrio menendang dada Bimo, saking kerasnya tendangan membuat tubuh Bimo kembali jatuh berguling ke atas lantai ruang introgasi.
" Uuugghhhhtt!!! Sa...Saya sudah jujur pak." Bimo meringis kesakitan, darah telah mengucur deras dari sela bibirnya.
"Kau mau main-main denganku ya?! Kau pikir dengan melindungi teman-temanmu akan membuat hukumanmu terasa lebih ringan?!" Satrio kembi menghampiri tubuh Bimo, dicengkramnya kerah Bimo, tatapan polisi itu begitu tajam menyasar mata Bimo.
"Saya sudah jujur pak. Sampai kapanpun Saya akan tetap mengatakan hal yang sama."
"Brengsek !!" Satrio berdiri, kemudian meraih kursi kayu dan bersiap menghantamkannya ke tubuh Bimo.
"Cukup!!" Pintu ruang interogasi terbuka, muncul polisi lain, Ipda Wawan.
"Letakkan itu ! Kau pikir ini tempat penjagalan?! Aku tidak ingin ada mayat berada di sini! " Hardik Ipda Wawan, Satrio segera menurunkan ayunan kursi dan meketakkannya kembali ke tempat semula, Bimo kali ini terselamatkan.
"Maaf Pak, tapi penjahat ini sama sekali tak mau buka mulut."
"Aku tidak mau tau! Yang pasti Aku tidak mau dia mati di sini akibat perbuatan bawahanku!" Satrio tak berani menjawab atasannya itu.
"Sekarang bawa dia ke sel ! Besok Kau lanjutkan kembali penyidikan, Aku tidak mau tau bagaimana caramu malakukannya, yang Aku mau masalah ini cepat selesai agar ruang kerjaku tidak dikerubungi wartawan untuk meminta penjelasan. Ingat, Aku tidak ingin menimbulkan kehebohan lagi akibat ulahmu terhadap dia !"
"Siap Pak, laksanakan !" Satrio menarik kasar tubuh Bimo, menyeretnya untuk berpindah ke ruang sel.
" Kau pikir ini akan berakhir cepat? Kau telah membunuh dua temanku, Aku tidak akan membuatmu tidur tenang selama berada di sini! Kalaupun Kau bisa bernafas di sini, Aku pastikan hakim dan jaksa akan menjatuhkan hukuman mati kepadamu !" Satrio memprovokasi Bimo di tengah perjalanan mereka ke ruang sel.
Mendengar ancaman Satrio, Bimo hanya bisa pasrah. Dia sadar betul jika perbuatannya menghilangkan nyawa beberapa orang pantas mendapat ganjaran yang setimpal. Satu yang disesali oleh Bimo adalah kenyataan ini juga harus disaksikan oleh Ayu, Bimo meyakini jika gadis yang dicintainya itu begitu kecewa atas apa yang telah diperbuatnya.
"Masuk !" Hardik Satrio setelah membuka pintu teralis sel dan membuka borgol pada pergelangan tangan Bimo. Didorongnya keras-keras tubuh Bimo ke dalam ruang sel yang gelap dan pengap.
"Nikmati malammu di sini anjing!!" Kutuk Satrio pada Bimo sesaat sebelum berlalu meninggalkan ruang sel.
Bimo menyapu seluruh area sel, redup karena pencahayaan yang minim, pengap karena di dalamnya ada lebih dari sepuluh orang. Seorang pria bertubuh ceking datang menghampiri Bimo yang masih mencoba beradaptasi dengan keadaan sel.
"Jadi Kau yang bernama Bimo ?" Tanya pria ceking itu, sembilan pasang mata lain mengamati tiap gerak gerik Bimo.
"Iya benar bang." Jawab Bimo.
"Besar juga nyalimu sampai menghabisi nyawa teman-teman Satrio." Ucap pria ceking tadi sambil terus mengamati wajah Bimo.
"Saya khilaf Bang."
"Apa khilaf??? Hahahahahahahaha !!!! Hahahahahaha !"
Seketika seluruh penghuni sel tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban lugu dari Bimo, sementara kekasih Ayu itu hanya terdiam dan bingung tentang apa yang ditertawakan oleh para penghuni sel yang lain.
"Hahahahaha! Kau ini bodoh atau memang benar-benar lugu? Hahahahahah !" Si pria ceking tampak masih tak bisa menahan tawanya.
"Apa maksud Abang ? Saya tidak mengerti." Jawab Bimo bingung.
"Sudah-sudah tidak perlu dibahas lagi, ayo sini Kau ikut denganku. Minggir kalian ! Kasih jalan buat jagoan ini ! Hahahahhahaha !" Si pria ceking menyuruh beberapa tahanan lain memberi ruang pada Bimo yang berjalan di belakangnya.
"Sekarang Kau bagian dari kami, Aku tidak tau asal-usulmu, siapa orang yang di belakangmu, tapi mulai detik ini kami semua yang ada di sini adalah keluarga barumu. Ingat, keluarga adalah segalanya, jadi jangan sekali-sekali Kau mengecewakan keluargamu." Kata si pria ceking serius.
"Baik Bang, Saya mengerti." Jawab Bimo.
*****
Sebuah sedan mewah memasuki halaman rumah Anwar, tak berselang lama dari dalam muncul Baroto dan Sinta. Keduanya berpakaian cukup rapi, sudah hampir 6 bulan lamanya mereka tak pernah singgah ke rumah Paman sekaligus bos besarnya itu. Tapi malam ini secara tiba-tiba Anwar mengundang mereka berdua untuk makan malam bersama.
"Non Sinta, Tuan Baroto, mari, Tuan Anwar sudah menunggu di meja makan." Pak Jayadi, pria tua berusia 60 tahun an datang menyambut Sinta dan Baroto.
"Sudah lama Pak?" Tanya Sinta, dia tau watak Pamannya jika menunggu terlalu lama. Sinta khawatir jika acara makan malam yang langka ini berakhir dengan kemarahan Anwar.
"Lumayan Non, tapi beliau masih menunggu Non Sinta dan Tuan Baroto kok. Mari Non." Jawab Pak Jayadi mengantar pasangan suami istri itu masuk ke dalam rumah.
"Tumben si tua itu tidak mengacuhkan kita." Bisik Baroto yang disambut dengan tatapan tajam Sinta. Keduanya berjalan memasuki rumah Anwar, mengekor langkah Pak Jayadi.
"Akhirnya kalian datang juga, ayo silahkan duduk. Aku sudah memesan makanan yang cukup untuk kita." Anwar tampak antusias menyambut kehadiran Sinta dan Baroto, raut murung dan kesal seperti biasanya malam ini entah karena apa tiba-tiba menghilang.
" Ehm, maaf Om, kok tumben ini mau makan malam bersama?" Ucap Sinta setelah duduk tepat di samping Anwar.
"Ya nggak apa-apa, kan sudah lama juga kita tidak makan malam seperti ini. Ingat, kita ini adalah keluarga, dan keluarga adalah segalanya." Jawab Anwar sambil tersenyum.
"Ayo kita makan, perutku sudah keroncongan dari tadi." Kata Anwar kembali.
Suasana malam ini sangat mencair, Anwar begitu antusias untuk terus bercerita, sementara Sinta dan Baroto khidmat mendengar tiap kata yang keluar dari dalam mulut pria tua itu. Tak ada lagi sekat diantara mereka yang selama ini dibangun oleh Anwar terhadap Sinta terlebih kepada Baroto. Canda tawa lepas mengiringi malam ini tatkala saat Anwar menceritakan berbagai macam ketololan masa mudanya. Beberapa kali Baroto melirik mata istrinya, seolah masih belum percaya dengan perubahan sikap drastis Anwar malam ini.
"Sebenarnya Aku mengundang kalian malam ini karena ada sesuatu yang ingin Aku bicarakan." Kata Anwar beberapa saat kemudian. Sinta dan Baroto terkesiap, karena sikap Anwar berubah menjadi sedikit lebih serius.
"Aku ingin kalian yang mendengarnya pertama kali dariku." Lanjut Anwar dengan mimik muka serius.
"Sebenarnya ada apa Om? Apa ada masalah di kantor?" Tanya Sinta penasaran.
"Bukan, bukan masalah kantor. Ini tentang rencana masa depanku." Baroto dan Sinta saling tatap, menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh Anwar.
"Aku ingin mengakhiri masa lajang. Aku ingin menikahi seseorang." Ucap Anwar, beberapa saat suasana menjadi lebih hening. Sinta dan Baroto semakin bingung.
"Menikah?" Tanya Baroto masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Iya, Aku ingin menikahi seseorang."
"Dengan siapa Om?" Sinta tak kalah terkejut. Anwar menghela nafas panjang bersiap menyebut nama wanita yang berhasil meluluhkan hatinya.
"Ayu, wanita yang bekerja di restoran kita." Sinta dan Baroto kembali berpandangan, keduanya benar-benar mendapat kejutan tak terduga dari Anwar.
*****
" Gila! Bagaimana mungkin si tua itu punya keinginan untuk menikah ? Dengan wanita yang usianya jauh lebih muda pula." Ujar Baroto yang duduk di belakang kemudi, di sampingnya tampak Sinta hanya menghela nafas panjang.
" Trus gimana lagi Mas, itu udah jadi keputusannya. Kita nggak mungkin menghalangi keinginannya itu."
" Ini nggak bisa dibiarin Sint ! Bisa gagal rencanaku kalau sampai tua bangka itu jadi menikahi Ayu."
"Mas! Kamu serius dengan rencana itu??" Sinta menatap tajam wajah suaminya.
" Aku serius, sakit hatiku waktu dulu dia menghinaku sampai sekarang masih terasa ! Apalagi selama ini caranya memperlakukanku seperti Aku ini hanya seorang karyawan baginya ! Omong kosong dengan keluarga, dia tidak pernah menganggap kita sebagai keluarganya Sint!" Emosi Baroto tiba-tiba meluap, Sinta yang berada di sampingnya hanya bisa menghela nafas panjang, wanita cantik itu tau membantah apa yang dibicarakan oleh Baroto sama saja dengan menyulut pertengkaran.
Sebuah mobil APV premium berhenti tepat di depan rumah Ayu, tak berselang lama pintu penumpang terbuka, Anwar turun dari mobil. Sejenak pria tua itu mengamati rumah kontrakan sederhana yang ditempati oleh Ayu dan Ibunya.
"Pak Anwar." Sapa Ayu, sedikit terkejut dengan kedatangan pemilik The East itu.
"Halo Yu, Aku kebetulan tadi lewat sini, Aku sempatkan untuk mampir ke rumahmu." Kata Anwar berbohong.
"Bapak tau darimana alamat rumah Saya?" Tanya Ayu, wajar jika Ayu bingung karena ini baru pertama kalinya Anwar bertandang ke rumahnya.
"Dari orang kantor." Jawab Anwar singkat tanpa menberitahu detail tentang siapa orang yang dimaksud tersebut pada Ayu. Suasana menjadi lebih canggung, Anwar dan Ayu hanya saling berdiri berhadapan di depan rumah.
"Siapa Yu? " Ibu Halimah muncul dari dalam rumah, memecah kesunyian sesaat antara Anwar dan Ayu.
"Oh ini Bu, kenalkan, beliau Pak Anwar. Pemilik restoran tempatku bekerja." Kata Ayu memperkenalkan Anwar pada Ibunya.
"Mari silahkan masuk Pak, tapi maaf rumah kami tidak mewah. Ayu, Kamu ini bagaimana, ada tamu kok nggak disuruh masuk." Ucap Bu Halimah sambil menyalami Anwar.
"Tidak usah repot-repot Bu, kebetulan tadi Saya lewat sini. Saya juga harus segera pergi, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan."
"Kok buru-buru Pak? Mohon maaf, apa ada masalah di tempat kerja Ayu sampai membuat Bapak datang ke sini?" Bu Halimah seperti tak bisa menahan keingintahuannya tentang maksud dan tujuan Anwar singgah di rumahnya.
"Tidak ada masalah Bu, semua baik-baik saja. Ayu juga bekerja dengan sangat baik, Ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu." Anwar mencoba menenangkan Bu Halimah, dari raut wajahnya sangat terlihat kekhawatiran yang melanda.
"Ini kartu nama Saya Bu, kalau Ibu perlu apa-apa, Ibu bisa langsung menghubungi Saya." Anwar memberikan sepucuk kartu nama pada Bu Halimah.
"Baiklah kalau begitu, Saya pamit dulu, maaf kalau kedatangan Saya membuat kalian tidak nyaman."
"Oh tidak Pak, sama sekali tidak, justru Kami yang minta maaf pada Bapak." Balas Bu Halimah. Perlahan mobil Anwar bergerak menjauh dari rumah Ayu, wanita cantik itu dan Bu Halimah memandangi mobil itu menjauh sampai benar-benar hilang dari pandangan mereka berdua.
"Apa dia seperti itu kepada semua karyawannya Yu?" Tanya Bu Halimah.
"Entahlah Bu, Aku juga bingung kenapa tiba-tiba Pak Anwar datang kesini." Timpal Ayu.
"Yu, jaga dirimu baik-baik. Jaga selalu kehormatanmu, kita memang miskin, tapi kemiskinan tak lantas membuat kita menjadi mudah mengobralkan kehormatan kita."
"Apa maksud Ibu?"
"Meskipun dia tua, tapi dia tetap laki-laki yang punya hasrat, apalagi terhadap wanita cantik sepertimu. Ibu hanya mengingatkan, jaga sikapmu selama bekerja di tempatnya."
"Ah Ibu terlalu membesar-besarkan masalah ini, mungkin saja Pak Anwar memang benar hanya kebetulan lewat daerah sini."
"Semoga saja begitu, Ibu hanya ingin menjaga Kamu bisa menjaga diri dan menjaga sikap."
"Iya Bu, Ayu akan ingat pesan Ibu tadi."
7144Please respect copyright.PENANAEkZlIPriRg
BERSAMBUNG
Cerita "ISTRI MUDA" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan di7144Please respect copyright.PENANAdCAMPer20M
KARYAKARSA7144Please respect copyright.PENANAIzg2VCJvCU
BLOGGER7144Please respect copyright.PENANAgNkytfBTcE