Sebenarnya udara di dalam kamarku tak begitu panas, bahkan AC pun menyala sedari tadi. Tapi entah kenapa keringat justru terasa membasahi tubuhku, keringat dingin lebih tepatnya. Om Zaidan masih berdiri mematung di hadapanku, beberapa saat lalu pria berusia 45 tahun itu sengaja menutup pintu kamarku dari dalam, sebelum kemudian menyusul menutup tirai jendela kamarku juga. Dadaku makin berdegup kencang bak genderang perang yang tertabuh kala perlahan Om Zaidan melangkah mendekati sisi ranjangku. Aku kikuk tak tau apa yang harus aku lakukan,
"Om boleh...?" Tanyanya seraya melirik spasi di antara tempatku duduk di sisi ranjang. Aku terdiam, tapi gerakan kepalaku yang mengangguk lemah memberi tanda sebuah persetujuan.
Pria itu duduk tepat di sampingku, aroma parfum maskulin langsung bisa aku cium dari jarak sedekat ini. Wangi yang menenangkan. Ya Tuhan! Kenapa harus malam ini sih? Kenapa Om Zaidan mendatangi kamarku saat aku sama sekali tak mempersiapkan diri terlebih dahulu? Setidaknya aku bisa berdandan terlebih dahulu, tidak seperti sekarang yang hanya mengenakan kaos bola AC Milan tanpa lengan dan celana pendek sebatas paha. Aku punya kostum yang lebih layak dibanding ini! Seingatku di dalam lemariku ada beberapa potong lingerie yang entah kapan terakhir kali aku pakai.
"Kenapa jadi diem aja sekarang?" Ujar Om Zaidan memecah keheningan di antara kami berdua.
"Emmchh..I-Iya Om..Eh..Anu...I-Itu.."
TOLOL!
Kenapa aku jadi gagap seperti ini? Om Zaidan tersenyum, sumpah ini senyum terindah yang pernah aku lihat sepanjang hidup! Beruntung satu tanganku menahan berat tubuhku di atas ranjang, jika tidak, bisa saja aku langsung ambruk ke dalam pelukannya. Lah? Pelukannya? Kenapa jadi ngarep banget kayak gini sih???
"I'ts okey kalo Hanna mau Om pergi." Aku tertunduk setelah tanpa sadar mengagumi senyum Om Zaidan.
Namun tiba-tiba aku merasakan sentuhan lembut jemarinya di pelipisku, Om Zaidan merapikan rambutku yang sedikit berantakan. Dadaku makin bergemuruh, apalagi saat pria berpostur gagah itu semakin merapatkan tubuhnya padaku.
"Kamu mau Om pergi...?" Tanya Om Zaidan tepat di dekat telingaku. Bulu kudukku seketika meremang, begidik bukan karena ketakutan, tapi sensasi sensual yang begitu lama aku bayangkan selama ini.
"Ja-Jangan Om..." Balasku spontan.
"Jangan apa?" Suaranya yang dalam begitu dekat di telingaku.
"Ja-Jangan pergi..."
Om Zaidan makin merapat, ucapanku barusan mungkin baginya adalah lampu hijau untuk melanjutkan tindakan yang lebih jauh lagi. Benar saja, Aku merasakan bibirnya sudah menempel di leherku, menciumiku penuh kelembutan. Aku luruh tanpa daya, sentuhan bibirnya memporak-porandakan rasa malu serta segala ketabuan yang harusnya aku jaga sebagai seorang wanita.
"Ouucchhh...Om...." Lenguhku manja.
Om Zaidan bukan pria tua kolot yang tak tau apa-apa soal sex, aku bisa menilainya dari caranya menyentuh tubuhku. Lembut dan sama sekali tak menunjukkan gestur pemaksaan, justru tubuhku dibuat terasa begitu nyaman hingga memasrahkan segalanya. Om Zaidan kembali menggeser tubuhnya lebih dekat ke arahku, kemudian tanpa ragu lagi dia memeluk tubuhku.
Kami masih diam dengan tubuh berpelukan, sampai mulai merasakan kehangatan menyelimuti tubuh kami. Om Zaidan melepaskan pelukannya, dan kini kami saling berpandangan. Perlahan-lahan seperti ada medan magnet yang saling menarik maka wajah kami saling mendekat. Dan bibirnya mengundang untuk di kecup. Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibirnya. Tak kalah bernafsunya Om Zaidan membalas ciumanku.
Tanganku memegang belakang kepalanya dan menekannya agar ciuman kami semakin melekat erat. Perlahan lenganku merayapi dada dan bahunya yang kokoh ketika ciuman kami bertambah liar, sampai kami merasa melayang dan hilang kendali dalam gairah yang membara. Kami mengerang, lidah kami saling membelit, saling menjilat, saling bertukar liur satu sama lain.
Saat mulut kami beradu, tangannya ikut bergerak. Om Zaidan memegang pinggangku, kemudian bergerak naik mengelus punggungku. Setelah itu dia mengelus perutku yang masih rata tanpa lemak. Elusannya berlanjut turun ke arah pinggul. Kemudian mengikuti garis celana dalamku, tangannya sampai ke pantatku dan mulai meremasinya.
"Achhh..." Aku melenguh kecil saat kurasakan jemari kekar Om Zaidan menjamah bagian belakang tubuhku.
Tangannya beralih ke atas meremas payudaraku, yang hanya tertutup jersey tanpa bra. Tapi karena kain jersey yang kukenakan cukup tipis, pria seusia Bapakku itu dengan mudah meremas-remas kedua payudaraku yang berukuran cukup besar.
"Aauuuhhh...!"
Kali ini Aku melenguh agak keras karena remasan jemari Om Zaidan begitu memabukkan. Pria itu berusaha menarik jerseyku, aku membantunya agar mudah terlepas dari tubuhku. Tak berhenti sampai di sana, jemarinya cepat pula melepas celana pendek yang masih aku kenakan hingga hanya menyisakan celana dalam tipis yang menutupi vaginaku.
Om Zaidan menatap tubuhku dengan nafas terengah, payudaraku yang terbuka tanpa penutup seolah mengundangnya untuk kembali menjamah. Segera dia menyergap bagian bawah payudaraku kemudian perlahan bergeser ke atas, Om Zaidan membelai lembut dadaku, hingga jemarinya hinggap di putingku.
"Ecchhhmmmm..."
Aku belingsatan bahkan tanpa sadar semakin mendorong payudaraku ke dekapannya, masing-masing buah dadaku bergerak dan bergoyang ketika jarinya memilin putingku dengan gemas. Om Zaidan menundukkan kepalanya, mengarah pada payudaraku sebelah kiri, mulut serta lidahnya langsung menyerang putingku tanpa ampun, menjilat serta mengulumnya. Suara erangan parau kembali terdengar dari bibirku, sementara jemariku meremas gemas kepala pria itu.
"Auuchhh...Om...." Om Zaidan menghentikan aksinya, matanya menatapku sembari bibirnya yang basah tersungging senyuman.
"Kenapa...? Sakit...?" Aku menggeleng lemah, sementara nafasku masih tersenggal.
"Atau enak...?" Tanyanya sekali lagi seolah sedang menggodaku.
Brengsek! Kenapa pria tua ini begitu pintar mempermainkan birahiku? Bahkan masih sempat-sempatnya dia menanyakan apa yangs edang aku rasakan saat ini, seolah aku adalah gadis polos yang tak mengerti apapun soal sex. Apa dia tak tau jika selangkanganku sudah lembab bukan main sedari tadi?
Tak mau dianggap cupu, aku mengambil inisiatif untuk menarik lepas t-shirt Om Zaidan. Jujur saja aku begitu terkesima dengan bentuk tubuhnya yang sangat kekar dan kokoh meskipun usianya hampir menginjak setengah abad. Dadanya bidang dengan ditumbuhi bulu-bulu berwarna hitam, sementara otot perutnya terlihat menantang berbentuk sixpack. Tanpa sadar aku sampai menelan ludahku sendiri, membayangkan sebentar lagi tubuh polos Om Zaidan akan bersentuhan dengan kulitku.
"Cuma ini aja yang dilepas?"
Tanya Om Zaidan saat melihatku tertegun menatap tubuh bagian atasnya. Pria itu sengaja sedikit menyorongkan bagian bawah tubuhnya yang masih tertutup celana chinos. Perlahan jemariku mulai melepas kancing celananya, dadaku makin bergemuruh kala resleting turun ke bawah hingga membuat celana panjang yang dikenakan Om Zaidan lolos begitu saja dan menyisakan celana dalam warna hitam yang menutupi penisnya secara tak sempurna. Aku kembali tertegun, karena mataku bisa dengan jelas bisa melihat gundukan daging kenyal yang sudah mengeras sempurna berukuran luar biasa besar terhimpit oleh ketatnya celana dalam.
Tiba-tiba Om Zaidan meloloskan celana dalamnya, sontak penisnya langsung mencuat, mengacung sempurna tepat di hadapan mataku. Gila! Ini benar-benar gila! Penis Om Zaidan tak hanya berukuran besar tapi juga panjang, bentuknya lonjong dengan baluran oto-otot tipis di sepanjang batangnya, dan yang lebih membuatku makin terpesona adalah penis Om Zaidan sedikit bengkok ke kiri. Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya jika penis ini telah menyesaki liang senggamaku yang sekarang terasa makin basah.
"Jangan didiemin aja..." Ucap Om Zaidan sekali lagi menggoda dan menggelitik kebinalanku sebagai seorang wanita.
Dengan masih terduduk di tepi ranjang, sementara Om Zaidan berdiri di hadapanku, tangan kananku bergerak menjulur untuk menggenggam penisnya. Ya Tuhan, bahkan genggaman tanganku tak bisa menangkup seluruh permukaan batang penis Om Zaidan! Ini benar-benar gila! Bagaimana mungkin ada batang penis sebesar ini? Saat aku melirik ke atas, Om Zaidan tersenyum tipis, seolah membanggakan pusakanya.
"Kenapa? Gede ya?"
"Ba-Banget..." Desisku lirih sambil menelan ludahku sendiri.
"Jangan dipegang doang, kocokin..." Ujar Om Zaidan seraya membelai kepalaku dengan lembut.
Aku takluk, benar-benar takluk akan pesona bapak kosku ini. Maka apa yang diperintahkannya pantang untuk kutolak. Tanganku kananku mulai bergerak maju mundur mengocok batang penisnya, yang entah kenapa makin lama terasa makin membesar. Aku bisa dengan jelas melihat di bagian ujungnya, di lubang kencingnya, terdapat setitik cairan bening, tanda bahwa batang penisnya bereaksi terhadap rangsangan.
"Occhhhhh....Pinter banget kamu..." Lenguh Om Zaidan dengan suara beratnya yang seksi.
Aku makin beresemangat, gerakan tanganku terasa lebih ringan meskipun cukup kewalahan mengenggenggam batang penis Om Zaidan yang berukuran besar. Naluri kebinalanku pelan namun pasti mulai menguasai, kepalaku makin mendekat, mulutku terbuka dengan sendirinya diiringi juluran lidah yang mengular. Hingga akhirnya bagian ujung indera pengecapku bersentuhan langsung dengan lubang penisnya.
Aku mulai menjilatinya, lidahku menyapu seluruh permukaan ujung penis Om Zaidan. Mengecupnya lembut, merasakan asin dan gerirnya cairan yang tadi terlihat oleh mataku. Sesaat aku melirik ke atas, menyaksikan reaksi Om Zaidan atas tingkah nakalku. Pria itu meringis, entah apa yang dirasakannya kala lidahku menari- nari di lubang kencingnya, menghantarkan kenikmatan pada tubuhnya.
"Occhhhhh....." Hanya itu yang terdengar dari mulut Om Zaidan.
Mulutku terbuka lebar, sebelum kemudian berusaha mengulum ujung penis pria itu. Ya Tuhan, ini bena-benar besar, mulutku terasa sesak bahkan hanya sebagian penis Om Zaidan yang tertampung. Suara lenguhan parau bapak kosku itu kembali terdengar parau, dua tangannya meremas gemas kepalaku yang berusaha untuk bergerak maju mundur, mencoba untuk beradaptasi dengan ukuran batang penisnya di dalam mulutku.
"Eeemcchhh...Eemmchhhh!!"
Aku kesulitan bernafas, namun sepertinya Om Zaidan terlanjur menikmati serviz blowjobku, pinggulnya kini justru mulai bergerak maju mundur sementara kedua tangannya menahan kepalaku agar tak bergerak liar. Cukup lama pria itu 'memperkosa' mulutku, bahkan tak jarang dia menekan lebih dalam pinggulnya, membuat penisnya terdorong lebih dalam dan ujung penisnya nyaris menyentuh pangkal tenggorokanku. Brengsek! Pria tua ini membuatku kewalahan bukan main.
"HAAAH! HAHHH!! HAAAHH!!"
Dengus nafasku terdengar tak beraturan, liur menetes membasahi sela-sela bibirku setelah Om Zaidan menarik keluar batang penisnya yang berukuran jumbo dari dalam mulutku. Tak menunggu lama, dia menarik tubuhku ke sisi tengah ranjang. Inilah saatnya, jantungku berdetak lebih cepat saat Om Zaidan menarik lepas celana dalamku sebelum kemudian melebarkan kedua pahaku. Mataku nanar menatap batang penis besar miliknya yang mengacung tegak dan basah.
"Sudah siap sayang?" Tanyanya dengan seringai mesum penuh arti.
"Lakukan Om...Entotin Hanna Om..." Balasku tak kalah binal.
Om Zaidan bersiap, sesaat dia melumuri batang penisnya dengan air liurnya sendiri kemudian memposisikan ujung penisnya tepat di depan liang senggamaku yang suah siap sedari tadi menerima penetrasinya. Aku tak berani melihatnya, mataku tertutup, tapi sentuhan ujung penisnya yang menggesek lembut di celah vaginaku membuatku menggigit bibirku sendiri. Aku bersiap, sebelum kemudian....
KRIIINNNGGGGGG!!!!!!!
KRIIIIIINGGGGGGG!!!!!
Tubuhku terlonjak kaget, suara alarm dari ponselku yang tergeletak di sisi ranjang memekakkan telingaku. Jantungku berdetak kencang, mataku mengelilingi seisi kamar dan mendapati diriku hanya seorang diri. Kemana Om Zaidan?
Brengsek! Untuk kesekian kalinya aku harus memimpikan bapak kosku sendiri!
5219Please respect copyright.PENANAFNpQhEcVO9
BERSAMBUNG
ns 15.158.61.20da2