6 BULAN LALU
"Yang bener kak??? Serius???"
Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari ponselku. Shock, gembira, dan bahkan haru seketika menyergap tubuhku.
"Halo? Hanna? Kamu masih ada di sana? Halo??"
"I-Iya Kak, halo! Iya aku masih ada di sini!" Buru-buru aku menjawab panggilan Kak Salma yang meneleponku.
"Udah, sekarang kamu siapin semua syarat-syarat administrasinya dan yang paling penting kamu harus minta ijin ke orang tuamu. Aku pikir itu lebih sulit dibanding melewati ujian tes beasiswa."
"Iya Kak, habis ini aku langsung bilang ke Ibu dan Abi. Makasih banget ya Kak, duh seneng banget aku hari ini!" Sorakku penuh kegembiraan.
"Iya sama-sama. Ya udah, pokoknya nanti segera kabari ya kalo udah beres semua. Aku tunggu."
"Iya Kak, sekali lagi makasih banget."
Sambungan telepon dari Kak Salma terputus, rona kebahagiaan langsung terpancar di wajahku yang berseri-seri. Bagaimana tidak, Kak Salma baru saja mengabarkan jika aku berhasil lulus tes penerimaan mahasiswa baru di Universitas Nasional lewat jalur beasiswa mandiri. Impianku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akan segera terwujud, hanya saja ada satu masalah yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Meyakinkan kedua orang tuaku agar mereka memberi ijin kepadaku melanjutkan pendidikan ke kota. Ini akan menjadi misi yang lebih sulit dibandingkan menyelesaikan deretan soal-soal ujian.
Malam harinya aku memberanikan diri untuk mengabarkan berita gembira ini pada Ibuku, aku berharap ibuku bisa mengerti dan membantuku meminta ijin pada Abi. Namun ekspresi datar ibuku setelah mendengar kabar diterimanya aku di Universitas Nasional seperti meruntuhkan harapanku begitu saja.
"Nanti apa kata Abi kalo denger ini Nduk?" Kata Ibuku sambil melipat beberapa potong pakaian sebelum dimasukkan ke dalam lemari.
"Ayolah Bu tolongin Hanna, aku benar-benar ingin kuliah dan jadi wanita karir seperti Kak Salma." Ucapku dengan nada merajuk berharap bisa sedikit melunakkan hati ibuku.
"Nduk, kamu itu anak ibu perempuan satu-satunya. Kalo kamu pergi ke kota dan kuliah di sana, nggak akan ada yang nemenin Ibu di rumah."
"Jadi Ibu nggak mau lihat Hanna berkembang? Ibu lebih suka melihat Hanna hidup di desa terus? Hanna nggak mau Bu...Hanna pengen kuliah kayak Mas Abram!"
"Nduk...Pelankan suaramu. Ibu dan Abi nggak pernah ngajarin kamu ngomong keras kayak gitu di depan orang tua." Suara ibuku tak setinggi suaraku barusan, tapi tatapan matanya dalam, memberi tanda jika kali ini aku sudah keterlaluan.
Tak mau menyerah begitu saja, aku keluar dari kamar ibuku. Langkah kakiku menuju teras untuk menemui Abiku yang sedang melepas penat dengan menghisap rokok setelah hampir seharian mengajar di Pondok Pesantren. Aku sempat ragu saat berada di dekat pintu, Abi duduk di teras membelakangiku sambil mengepulkan asap rokok berkali-kali dari dalam mulutnya. Tekadku sudah bulat, aku tidak boleh menyerah untuk meyakinkan kedua orang tuaku.
"Abi...Hanna mau bicara." Abiku menoleh ke arahku, seperti biasa tatapan matanya dingin dan tegas.
"Ya? Ada apa?" Aku mengambil duduk tepat di hadapan Abiku. Sejenak aku menghela nafas panjang sebelum mengutarakan maksudku.
"Nggak, Abi nggak ngijinin kamu kuliah di kota." Ucap Abi setelah mendengar permintaanku.
"Tapi ini beasiswa penuh Bi, semua biaya pendidikanku dibiayai oleh perusahaan BUMN. Abi nggak perlu ngluarin biaya sepeserpun sampai aku lulus nanti."
"Kamu pikir Abi nglarang kamu kuliah di kota karena masalah uang?" Sorot tajam mata Abi menyasarku, aku menguatkan tekad untuk berani balik menatapnya meskipun jantungku berdetak lebih cepat dibanding biasanya. Ini pertaruhanku, rasa takut tak boleh menguasaiku.
"Lalu karena apa Bi? Dulu Mas Abram Abi biayain kuliah bahkan sampai menjual sawah dan ladang, kenapa sekarang Aku nggak boleh? Kenapa Mas Abram boleh sementara aku dilarang?"
"Karena kamu perempuan! Pendidikan tinggi bukan jadi prioritasmu, tugas utamamu nanti jadi istri dan ibu yang baik seperti Umimu! Mas Abram Abi kuliahin karena dia nanti akan jadi imam untuk keluarganya, dia yang akan menafkahi segala kebutuhan rumahtangganya."
"Lagipula Gus Akhyar bulan depan akan datang ke sini." Lanjut Abi sebelum kembali menyalakan sebatang rokok lagi.
"Maksudnya apa Bi?" Sekuat tenaga aku menahan agar air mataku tidak jatuh saat ini juga.
"Kyai Salman berencana mengambilmu sebagai menantunya. Ini kehormatan besar untuk keluarga kita, Gus Akhyar adalah jodoh yang sempurna untukmu. Dia lulusan Mesir, ilmu agamanya kuat, dan yang paling penting kamu akan jadi menantu seorang Kyai besar."
"Nggak Bi! Hanna nggak mau menikah! Hanna pengen kuliah!"
Tak kuasa aku membendung airmataku, emosiku meledak berhamburan begitu saja sebelum aku berlari menuju kamarku. Teriakan Abi sama sekali tak menghentikanku, Ibuku yang mendengar perdebatanku dengan Abi sampai keluar kamar, belum sempat dia menanyakannya padaku, aku lebih dulu membanting pintu kamarku dan menguncinya dari dalam. Aku jatuhkan tubuhku di atas ranjang sambil terisak tangis, gedoran pintu dari luar diiringi suara keras Abiku sama sekali tak aku hiraukan.
Mimpiku harus terkubur dalam-dalam karena kedua orang tuaku terlanjur kolot. Bagi mereka anak perempuan sama sekali tak memiliki hak untuk mengenyam pendidikan tinggi. Aku membenci pandangan busuk seperti itu, gender seolah jurang pemisah kepantasan pandangan masyarakat bagi pria dan wanita.
Aku seharusnya tak heran, karena di lingkunganku hampir semua teman-teman wanitaku sudah menikah di usia muda, mereka sama sekali tak memiliki pilihan lain selain mengabdikan diri menjadi istri bagi pria-pria pilihan orang tua mereka. Aku membenci takdir buruk seperti itu, namun kebencian saja tidak cukup. Buktinya kali ini akulah yang dipaksa menerima takdir itu.
***
"Gimana Han?"
"Gagal Kak, Abi nggak ngijinin aku." Sahutku dengan suara lemah lewat sambungan telepon. Terdengar hela nafas panjang dari Kak Salma di ujung sana.
"Sayang banget padahal, yang ngantri dapetin beasiswa kayak gini ada ribuan orang dan kamu jadi salah satu yang terpilih." Ada nada sesal yang terdengar dari Kak Salma.
"Aku harus gimana Kak sekarang? Aku masih pengen nglanjutin kuliah, Aku nggak mau nikah dulu..." Suaraku tercekat menahan tangis.
"Hah? Nikah? Kamu mau dinikahkan sama Abimu?" Cerca Kak Salma.
"I-Iya Kak, bulan depan Gus Akhyar akan datang ke rumah untuk melamarku. Tolong Aku Kak..." Tangisku seketika pecah, bayangan nasib buruk menjadi istri dari seorang pria yang sama sekali tak kukenal kembali menggelanyuti isi kepalaku.
"Udah..Udah...Kamu tenang dulu sekarang. Aku akan bantu cari jalan keluarnya. Kamu sabar dulu ya.." Ujar Kak Salma mencoba menenangkanku.
Beberapa hari setelah itu tak ada kabar dari Kak Salma, aku lebih banyak mengurung diri di dalam kamar seolah menanti kabar buruk yang menghantuiku. Setiap malam aku selalu berdoa agar Abi dan Ibuku mau sedikit melunakkan hati agar menolak lamaran dari Kyai Salman. Rasanya tak diijinkan untuk kuliah lebih ringan daripada harus dipaksa untuk menikah dengan pria asing yang sama sekali tak pernah aku temui sebelumnya. Namun harapan hanyalah berbalas harapan pula, keputusan kedua orang tuaku sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat lagi.
Kadang kondisi terpepet dan dihantui ketakutan mendalam bisa membuat seseorang bertindak nekat. Mungkin inilah yang aku rasakan dalam beberapa hari terakhir, aku tidak ingin bernasib sama seperti beberapa orang temanku di desa, aku harus bergerak dan melawan keinginan orang tuaku. Maka di suatu malam aku memberanikan diri untuk kabur dari rumah. Hanya dengan bermodalkan uang tabungan yang jumlahnya tak begitu banyak, aku nekat pergi menuju kota untuk menemui Kak Salma.
Sepanjang perjalanan malam itu perasaanku campur aduk, perasaan lega namun juga ketakutan bercampur menjadi satu, menyesaki dada. Lega karena akhirnya aku bisa lolos dari "penjara" yang diciptakan oleh kedua orang tuaku yang kolot tapi sekaligus merasa bersalah karena malam ini aku mengambil keputusan sepihak dan untuk pertama kalinya dalam hidup aku berani menentang keputusan kedua orang tuaku.
Meskipun sempat kaget karena mendapat kabar pelarianku, Kak Salma bersedia menjemputku di terminal kota saat aku sampai nantinya. Aku sedikit bisa bernafas lega, setidaknya di kota aku bisa menemukan seseorang yang mau menolong dan menampungku. Ponselku tak berhenti berdering, puluhan telepon dari Abi dan Umi diiringi puluhan chatt dari mereka sama sekali tak aku hiraukan. Bahkan dengan sengaja aku memblok nomor ponsel kedua orang tuaku karena terlampau membuat jengah. Setelah menempuh perjalanan beberapa jam dengan bus malam sampailah aku di terminal kota, tempat asing bagiku, tempat dimana jejak pertama kakiku tercetak demi meraih segala macam cita-citaku.
"Hanna!!"
Aku langsung menoleh ke belakang saat terdengar suara wanita memanggil namaku. Kak Salma. Aku sempat mengrenyitkan dahi karena penampilan yang sangat berubah dari kakak kelasku dulu di Madrasah Aliyah itu. Bagaimana tidak, Kak Salma mengenakan celana jins ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sexy, sementara bagian atas tubuhnya hanya ditutupi selembar crop top berwarna hitam. Rambutnya yang panjang tergerai tanpa hijab, senyumnya mengembang bahagia seraya berjalan cepat mendekatiku. Kakinya jenjang ditunjang sepasang sepatu kets kekikinian. Beberapa pasang mata pria yang kebetulan ada di dekatku melihat Kak Salma dengan tatapan kagum, sama dengan apa yang aku rasakan saat ini.
"Kak Salma!" Kami berdua berpelukan untuk sesaat, ada perasaan lega setelah bertemu dengan wanita ini.
"Gimana perjalanannya? Lancar kan? Nggak ada masalah kan?" Cerca Kak Salma.
"Lancar kok Kak."
"Ya udah, ayo sekarang kita ke apartemenku. Besok baru kita obrolin rencana studimu."
"Oh ya, kamu pasti lapar kan? Kita makan dulu ya habis ini." Lanjut Kak Salma.
Terpesona, itulah yang aku rasakan saat untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Kak Salma setelah beberapa tahun tak bersua. Kehidupan kota rupanya benar-benar merubah Kak Salma, bukan hanya dari segi penampilan, tapi juga bagaimana dengan cara dia berbicara, kepercayaan dirinya seolah naik drastis. Kak Salma bercerita banyak tentang karirnya di sebuah kantor hukum, dirinya sekarang menjadi asisten pribadi seorang pengacara terkenal. Dari gajinya dia bahkan sudah bisa membeli apartemen mewah di pusat kota.
Segala macam cerita kesuksesan ini makin meneguhkan tekadku untuk meraih cita-cita setinggi mungkin. Setidaknya cerita Kak Salma bisa jadi motivasiku, aku juga harus bisa membuktikan pada kedua orang tuaku jika keputasanku untuk pergi dari rumah adalah sebuah keputusan tepat. Aku harus bisa membuktikannya.
4029Please respect copyright.PENANAcJd03VcmcG
BERSAMBUNG
ns 15.158.61.48da2