"Karena kau disini, apa kau kira kau setara dengan kami, huh?"
"Tidak, Tuan. Saya sama sekali tidak berani berpikir begitu," jawab Sheila dengan suara gemetar.
Arkan mendekatkan wajahnya ke Sheila, matanya berkilat-kilat dengan amarah yang terpendam. "Bagus. Karena kau harus ingat tempatmu."
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Arkan mengayunkan tangannya dan menampar wajah Sheila dengan keras.
1591Please respect copyright.PENANAv4XgUHIlJk
PLAKK
1591Please respect copyright.PENANAGL4bmwJVGQ
Sheila tersentak mundur, rasa sakit membakar di pipinya. Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan. Seketika semua di ruangan tersebut terdiam. Mereka tidak mungkin membela Sheila, itu sama saja cari mati.
"Masih berani tertawa sekarang?" tanya Arkan sambil menarik rambut Sheila dengan kasar. Sheila meringis kesakitan, terus menggelengkan kepalanya namun tidak berani mengeluarkan suara.
"Tidak, Tuan. Sa-saya tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya dengan napas terputus-putus, saat merasa tarikan Arkan semakin kuat.
Arkan melepas genggaman tangannya dari rambut Sheila dan berjalan menjauh, meninggalkan Sheila yang masih gemetar ketakutan. "Ingat, Sheila. Kau hanyalah boneka di sini. Hanya boneka," katanya dengan suara dingin sebelum keluar dari ruangan, disusuli dengan teman-temannya yang lain meninggalkan Sheila yang masih berusaha mengatur napasnya.
Di dalam ruangan yang hening itu, Sheila merasa seolah-olah beban berat menghimpit dadanya. Ia sadar, berada di dekat Arkan berarti hidup dalam bayang-bayang ketakutan, dalam cengkeraman kejam yang seolah tak terelakkan.
Sheila berusaha berdiri dengan kaki gemetar, dan pergi meninggalkan ruangan tersebut untuk kembali ke kelasnya.
*****
Tak terasa, bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya hari yang panjang. Siswa-siswa berbondong-bondong keluar dari kelas, beberapa bercanda dan tertawa, menikmati kebebasan yang baru saja mereka dapatkan. Berbeda dengan Sheila yang hanya bisa berjalan dengan langkah lambat, kepalanya tertunduk, mengikuti Arkan yang berjalan di depannya, sambil menenteng dua buah tas, hingga tanpa sadar mereka sudah tiba di depan mobil sedan milik Arkan.
Arkan membuka pintu depan dan menatap Sheila dengan tajam. "Masuk," perintahnya singkat. Ahh, entah kenapa feeling Sheila merasa tidak enak saat ini.
Arkan masuk ke sisi pengemudi dan menyalakan mesin. Selama perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu sunyi. Hanya suara jalanan yang terdengar, namun Sheila bisa merasakan mata Arkan sesekali melirik ke arahnya dengan pandangan yang mengancam, hingga tiba-tiba mereka berhenti di pinggir jalan yang sepi.
Sheila melirik sekitar dan menatap Arkan ingin bertanya, namun dengan tiba-tiba Arkan mencekiknya dengan kuat. Sembari mencekik Sheila, Arkan menurunkan kursi mobil, lalu menindih SheilaSheila dengan tubuhnya yang berat.
"Uhuk, uhuk, tuan ja-jangan.." Ucap Sheila dengan gemetar saat Arkan berusaha membuka kancing seragamnya, hingga menampakkan kulit Sheila yang putih dan pucat.
Tangisan Sheila semakin menjadi saat Arkan mulai mengigit bagian lehernya dengan keras tanpa belas kasih. "Sakit, Tuan Maaf, hiks, maafkan ak-aku.. "
Sheila berusaha memberontak dengan mendorong Arkan, namun bukannya terdorong, Arkan malah semakin agresif, dan mencium bibir Sheila dengan kasar.
Tangan Arkan menarik rambut Sheila ke belakang, agar dia dapat lebih leluasa menyentuh Sheila, merasa Sheila sudah kehabisan napas, Arkan menyudahi ciumannya, dan mulai menciumi air mata Sheila yang mengucur di pipi.
"Amp-ampun.. Hiks ampun Tuan.." Ucap Sheila dengan lemas tak berdaya. Dia tidak bisa melawan Arkan, dia yakin ini adalah hukuman akibat dirinya yang dengan semena-mena tertawa tadi.
Sheila tidak suka. Sheila tidak suka saat Arkan melecehkannya.
Setelah puas menelusuri tiap inci wajah Sheila, Arkan menyatukan dahinya dengan Sheila dan menatap gadis itu dengan tajam.
"Tatap aku." Desis Arkan saat melihat Sheila yang menutup matanya.
"BUKA MATAMU!" Bentak Arkan tiba-tiba karena Sheila tak kunjung membuka matanya.
Sheila semakin gemetar dan menatap wajah Arkan yang mungkin hanya berjarak seinci dari wajahnya.
"Dengar baik-baik, kau itu cuman jalang idiot yang tidak ada harganya Sheila. Kau tak berhak untuk tertawa atau berbicara dengan orang lain tanpa izinku, kau pikir kau siapa hah? Apa kau mau aku melepas perawatan ibumu hah?"
Sheila langsung menggeleng kuat, air mata Sheila terus mengucur. Dia takut. Kenapa Arkan bisa sejahat ini kepadanya?
"Tidak tuan, jangan, ja-jangan ibuku.. Aku tidak akan mengulanginya, sungguh, hiks, tidak akan, tidak sama sekali." Ujar Sheila sambil terus menggelengkan kepalanya berusaha meyakinkan Arkan.
Akhirnya Arkan menjauhkan tubuhnya dan kembali ke kursinya lalu berkata, "Sekali saja kau melanggarku, itu sama saja kau mengorbankan nyawa ibumu."
"Rapikan pakaianmu." Ujar Arkan lalu kembali menyetir mobilnya dengan santai.
Sheila merapikan bajunya, lalu berusaha menghapus air matanya walaupun tetap ada yang keluar terus menerus. Sembari menahan isakan, Sheila berusaha mengancingi kembali seragamnya untuk menutupi tubuhnya dan mendengar Arkan terkekeh.
"Berhenti menangis. Tubuhmu bukan semahal itu untuk ditangisi. Jangan berlagak seperti kau berharga. Kau harus bersyukur, aku masih mau memakai tubuhmu yang murahan itu." Ucap Arkan dengan nada merendahkan.
Kata-kata Arkan membuat Sheila semakin hancur. Rasa hina dan malu menyelimuti dirinya, namun dia tahu tidak ada gunanya melawan. Di matanya, Arkan melihat tubuhnya hanya sebagai alat, sesuatu yang bisa dipakai dan dibuang sesuka hati.
****
TBCCC GIMANA GIMANA WKWKKW BINGUNGGG IDE NEXT SCENE COBAA😄
1591Please respect copyright.PENANAoiblvSaFBD
1591Please respect copyright.PENANAcmajTYrspD
1591Please respect copyright.PENANAosLdjmxxNA
1591Please respect copyright.PENANAyOaZ5Bc1vE
1591Please respect copyright.PENANAwBtti6CEDu
1591Please respect copyright.PENANAkXkk2AWr2C