.1.
-menyerah terasa salah, melangkah terasa berat dan lelah. Sedangkan diam di tempat tak mengubah apa-apa-22Please respect copyright.PENANA6UD8nW1k8T
22Please respect copyright.PENANACDgCjVi5zs
22Please respect copyright.PENANAwKjXGX7dqD
Wiltshire, Inggris 2024
Langit mulai berganti warna. Matahari yang mulai terbit pukul 5 perlahan menunjukkan eksistensinya. Cahaya yang menembus kaca jendela lebar membuat Everly mulai menyadarkan diri dari tidurnya. Ia menatap datar pada jendelanya dan menyadari bahwa tadi malam ia lupa untuk menutup tirai sebelum tidur. Everly menggeliat sebentar lalu beranjak dari kasurnya, merapikan selimut dan bantal lalu menuju dapur untuk melihat apakah masih ada yang bisa dimakan hari ini.
Everly menoleh ke jendela dapur setalah mendengar kicauan burung-burung yang bergantian datang menyerbu bird feeder yang ia gantung di bagian luar jendela dapurnya. - apakah kalian suka makanannya? batin Everly karena biji-bijian yang ia beli dari toko kelontong di kota perlahan mulai habis di makan oleh burung-burung yang tinggal di pepohonan rumah Everly atau mungkin mereka burung yang hanya lewat dan kebetulan ada manusia yang berbaik hati memberikan mereka makanan secara cuma-cuma.
Diawal musim panas ini, suhu udara masih terasa agak dingin. Ide untuk membuat teh dan memanggang baguette dengan mentega terlintas di kepala Everly. Ia mengeluarkan baguette dan mentega dari rak kemudian tak lupa merebus air untuk menyeduh tehnya. Setelah semua sudah siap, ia membawa secangkir teh dan sepiring roti panggangnya menuju tempat favoritnya dirumah ini. Tepat di samping jendela besar yang hanya ada meja bulat dengan ukuran tidak terlalu besar, satu kursi yang belakangnya terdapat rak empat tingkat tempat Everly menaruh buku-bukunya. Dari posisinya sekarang ini, ia bisa melihat halaman rumahnya yang menghijau oleh rumput dan rumah bangunan tua diseberang jalan milik nyonya Elizabeth - tentangganya.
Ditengah kesyahduan Everly menikmari paginya, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya. Siapa yang sepagi ini datang menemuinya batin Everly. Ia bergegas menuju pintu dan membukanya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Everly pada wanita di hadapannya.
“oh ya, perkenalkan aku Cathrine. Aku tinggal di rumah ujung jalan yang baru kutempati kemarin malam.”
Everly mengangguk, “aku Everly. kalau begitu silahkan masuk.” Ia membuka jalan dan mempersilahkan Cathrine.
“oh tidak terima kasih. Aku hanya mau menyapa dan memberikan sedikit buah-buahan untukmu.” kata Cathrine sambil menyerahkan tentengannya pada Everly
“Terima kasih, Cathrine. Aku akan menikmatinya. Lain kali kau bisa datang jika aku libur kerja.”
“Baiklah. Kalau boleh tahu dimana kau bekerja?”
“Aku bekerja di kota. Di coffee shop ujung pertigaan jalan.”
“ah seperti itu. Lain kali aku harap kita bisa berbincang lebih lama lagi. Aku pulang dulu. Sampai jumpa Everly.”
Everly melihat tetangga baru nya yang berjalan meninggalkan rumahnya. Wanita itu terlihat baik dan ramah. Jika boleh Everly menebak, usia wanita itu sekitar 40 tahunan. Tidak terlalu tua pikir Everly dan ia sedikit lega. Pasalnya, yang tinggal di sekitar rumah Everly kebanyakan adalah kakek nenek pensiunan yang sudah berumur diatas 60 tahun. Anak-anak muda lebih memilih tinggal dan bekerja di kota ketimbang harus menghabiskan hari-harinya di desa yang sepi ini.
Tidak banyak yang bisa dikerjakan di desa tempat Everly tinggal. Kebanyakan dari mereka hanya bercocok tanam sederhana untuk mengisi kesibukan dan biaya hidup mereka dapatkan dari uang pensiunan. Everly sengaja memilih Desa ini sebagai tempat untuk menjalani hidupnya setelah berbagai hal menyakitkan dan melelahkan ia lalui. Tak banyak yang ia inginkan karena pun menyerah terasa salah, melangkah terasa berat dan lelah. Sedangkan diam di tempat tak mengubah apa-apa.
22Please respect copyright.PENANAcA1eCGCTiw
Seoul, Korea Selatan 2024
“Pulanglah. Istirahat. Besok kau harus terbang ke London.” Ucap laki-laki bertubuh tegap dan tinggi, sambil membereskan sesuatu dengan cekatan. “Jam 10 kau sudah harus berangkat ke bandara."
“Apakah tidak bisa ditunda lusa? aku ingin pulang ke Daegu.” Jawab laki-laki yang duduk bersandar di sofa dengan mata terpejam lelah.
“Kurasa kau pun sudah tau jawabannya jika itu tidak mungkin bisa.”
Tidak ada jawaban lagi setelah itu. Laki-laki itu masih bersandar. Namun kini telapak tangannya terangkat ke kepala berharap bisa menutupi rasa pening yang tiba-tiba ia rasakan. Mungkin efek dari kelelahan setelah apa yang sudah ia kerjakan beberapa waktu yang lalu.
Di ruangan itu sebenarnya ia tidak sendiri. Ada beberapa orang yang mereka sebut sebagai staff sedang menjalankan tugas nya. Berlalu lalang kesana kemari. Suara-suara saling bersahutan. Kamera dan lampu-lampu yang belum padam yang malah menambahkan rasa mual di perutnya.
“Permisi Suga-ssi, mau aku bantu bersihkan make up mu atau kau yang akan melalukan sendiri?” tanya salah satu staff. Membuatnya mengerjap dan berujung dengan lambaian tangan yang berarti Ia tidak ingin disentuh.
Lelaki yang sedang mencoba berdamai dengan pening dan mual itu adalah Min Yoongi. Dengan nama panggung Suga. Ya, dia adalah seorang Idol terkenal di Korea bahkan di internasional dengan nama grup yang biasa disebut BTS. Menyanyi, menari, berpindah dari panggung satu ke panggung lain, melakukan pengambilan gambar dari studio satu ke studio lain, berjibaku dengan musik dan ide-ide briliannya untuk membuat lagu, itulah rutinitas yang ia lakukan.
Grup itu beranggotakan tujuh orang. Suga, RM, Jin, J Hope, Jimin, V dan Jung Kook. Banyak yang bermimpi menjadi seperti mereka. Ketenaran dan uang yang terus mengalir telah dianggap sebagai keberhasilan besar bagi semua orang. Tapi kini itu semua telah dianggap bias oleh Yoongi setelah ribuan perjuangan berdarah-darah ia lalui namun pijakan teratas yang kini ia duduki bagaikan ruang tak berpenghuni. Kosong. Hampa. Yoongi telah memulai apa yang belum bisa ia selesaikan. Karena ini bukan hanya tentang dirinya, namun tentang 6 member lainnya dan penggemarnya yang setia mendukungnya hingga bisa berada di titik ini.
._.
ns 15.158.61.8da2