Kisah ini hanyalah hasil imajinasi penulis semata.
Jika ada kemiripan karakter ataupun kejadian maka itu adalah takdir.
Selamat datang di dunia imajinasi!
186Please respect copyright.PENANA5KWZAyVcRp
Kakek tua yang sedang menunggui kiosnya itu menguap lebar. Sudah hampir sore, dan mangga jualannya masih belum habis juga. Bulan-bulan ini memang sedang musim mangga, lebih dari separuh penjual buah di pasar rakyat itu menjual berbagai jenis mangga. Tingkat persaingan cukup tinggi, siapa yang menang di pemasaran, ia yang akan meraup keuntungan.
Kakek itu tidak merasa perlu menjajakan dagangannya dengan berteriak atau memasang iklan di depan tokonya. Ia meyakini bahwa tiap orang punya rezekinya masing-masing. Pernah ada yang bilang padanya, bahwa sepanjang ia berdagang dengan jujur, menjaga kebersihan tokonya, ramah kepada pengunjung dan penjual lain, ia akan hidup dengan sejahtera dan terjamin.
Kalau pun ada hal yang mengganggu pikirannya, mungkin hanya satu. Para penarik pajak yang entah kenapa makin hari makin kasar. Dua pekan yang lalu malah teman berdagangnya dipukul sampai memar. Ia juga bingung, apa iya penarik pajak utusan kerajaan boleh berbuat seperti itu? Tapi jangankan melawan, yang ada ia kena pukul juga.
Memang aneh. Namanya penarik pajak, tapi entah kenapa rasanya pajak itu ditarik terlalu sering. Keuntungan dia berkurang banyak akibat pajak itu. Jumlah pajaknya juga tidak masuk akal. Masa iya disamakan antara pedagang biasa sepertinya dan pedagang besar seperti pemilik butik besar di seberang tokonya?
BRAK!
Rasa kantuk yang baru saja mereda kakek itu hilang segera ketika pintu tokonya dibuka lebar, seorang pedagang lain, tetangganya di toko sebelah, masuk dengan wajah merah dan nafas terengah. Wajahnya yang coklat terbakar matahari itu makin gelap karena ekspresi antara panik dan takut.
"Ada apa, Kin?" Tanya kakek tua itu, segera mendekat meraih temannya.
"Mereka datang lagi!" Serunya seraya duduk di salah satu kursi kayu di dalam kios.
"Mereka siapa?" Tanya kakek itu. Wajahnya mengernyit, berusaha mengingat apakah ada jadwal kunjungan rutin hari ini.
"Penarik pajak dari kerajaan!" Serunya serak.
Kontan wajah kakek itu menggelap. "Kenapa mereka datang lagi? Bukankah mereka baru saja menarik pajak dua pekan kemarin?"
"Aku tidak tahu, mereka pasti sudah tiba di tokoku sekarang. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak punya uang lagi untuk dibayarkan. Ini tidak manusiawi."
"Kenapa kau tinggalkan tokomu? Mereka akan memporak-porandakan semua sudut tokomu sampai habis!"
"Aku tidak punya pilihan lain, Rom."
"Ayo kita lihat!"
Rom menarik Kin agar keluar dari kios buah-buahannya. Terlihat di luar, segerombolan pria bertubuh kekar dengan seragam merah sedang melingkari sesuatu tepat di depan toko milik Kin.
"Ada apa itu? Tokomu tampak baik-baik saja."
"Tidak tahu. Ayo kita ke sana."
Kedua kakek tua itu bergabung ke lingkaran manusia yang menonton segerombolan pria itu. Di depan para pria berseragam merah itu, ada seorang wanita berdiri teguh. Di belakang wanita itu, ada seorang pria bertubuh besar dan seorang wanita muda yang tampak lembut. Dilihat dari mana pun, ketiga orang itu tampak seperti berada di tempat yang salah dan waktu yang salah. Apalagi kalau melihat kostum mereka yang terlalu bagus untuk dipakai ke pasar rakyat.
"Siapa mereka?" Tanya Kin dengan suara yang terlampau keras.
Rom menjewer telinganya. "Dasar bodoh! Itu orang kerajaan, dan lebih dari itu, lihat situasi sekarang. Kurasa dia tidak memihak para penarik pajak itu."
Rom tidak salah. Situasi di dalam lingkaran tampak panas dan sengit. Wanita yang ia sebut orang kerajaan itu berbicara dengan seseorang dari gerombolan berseragam merah dengan suara yang rendah. Meskipun sudah berusaha mendekat, Rom tidak bisa mendengar apa yang ia katakan.
Tiba-tiba wanita itu membalikkan badannya. Kin terkejut melihat wajahnya yang masih sangat muda. Mungkin seumuran dengan cucu pertamanya. Wajah itu tidak tersenyum, garis bibirnya cenderung datar dan tatapan matanya setenang air danau. Ia bertanya ke kerumunan,
"Siapa wali pasar ini?" Tanyanya. Seorang pria, tidak sesepuh Rom dan Kin, keluar dari kerumuman seraya mendekat.
"Kumpulkan semua orang, sekarang." Perintahnya. Pria itu mengangguk patuh, segera pergi ke tengah pasar dan memencet bel panjang, tanda bahwa semua orang harus berkumpul di sana. Rom menarik Kin agar ikut berkumpul. Secara sengaja ia berjalan melewati orang kerajaan itu. Saat itu, ia mendengar wanita itu berkata, "Aku tidak akan tinggal diam."
**
Ada sekitar 300 orang di pasar rakyat itu, termasuk para penjual, pembeli, pengunjung, dan para penarik pajak. Di tengah pasar itu ada panggung kecil, ke sanalah wanita itu naik.
Ia mengedarkan matanya ke penghuni pasar rakyat itu, di antaranya adalah Rom dan Kin. Dari caranya memandang, tampak keangkuhan yang alami sekaligus simpati yang entah dari mana terasa. Aura berwibawa keluar dari tubuhnya. Rom merasa takjub, seorang wanita muda sepertinya bisa sekeren itu. Ia berharap perbuatannya juga bisa sekeren auranya.
"Para penjual, pembeli, dan pengunjung pasar rakyat sekalian, saya Putri Chrysan Fomalhaut. Seperti yang kalian ketahui, saya adalah pemegang tampuk ekonomi rakyat di negara kita, itu adalah keputusan Yang Mulia Raja Raven sejak empat tahun yang lalu. Maka dari itu, pasar rakyat kalian ada di bawah kekuasaan saya."
"Saya selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk Anda semua, dan salah satu caranya adalah dengan melakukan inpeksi rutin setiap dua bulan. Agar tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan terlalu lama."
"Tapi yang saya temukan hari ini benar-benar di luar perkiraan saya. Penarikan pajak liar? Sejak kapan dan kenapa tidak ada satu pun laporan yang sampai ke meja saya?"
Kerumunan itu meriuh ketika mendengarkan perkataan Putri Chrysan. Bagaimana orang kerajaan tidak tahu? Sementara setiap kali penarikan pajak, para pria berseragam merah itu selalu membawa nama kerajaan.
Seorang pedagang muda mengacungkan tangannya, "Mohon maaf, Tuan Putri. Apakah Anda baru saja bilang bahwa hal ini bukan dari keputusan kerajaan?"
Putri itu menggeleng tegas, "Saya beritahukan kepada kalian semua. Keputusan tentang penarikan pajak memang benar adanya. Tapi hal itu diberlakukan untuk beberapa pedagang dengan kualifikasi tertentu, bukan semuanya. Pajak akan diambil sebanyak 30 persen dari keuntungan selama enam bulan. Apakah ini bisa dipahami?"
Sekali lagi, kerumunan itu meriuh. Apa yang ia katakan benar-benar berbeda dengan kenyataan yang mereka dapatkan.
"Apa yang kalian hadapi di sini merupakan tindakan pelanggaran hak kalian, kenapa tidak pernah ada yang memberitahu saya ketika saya melakukan inpeksi?"
Rom menghela nafas, ia bisa mengerti apa yang terjadi. Mungkin jajaran orang kerajaan memang sudah baik kinerjanya, tapi cabang-cabang lainnya mungkin tidak bekerja dengan baik. Entah bagaimana masalah ini akan selesai.
Mendapat keberanian dari mana, wali pasar mengangkat tangannya, "Maaf, Tuan Putri, itu adalah salah saya, saya menyembunyikan masalah ini dari kantor pusat. Semua kertas aduan yang tiba ke meja saya selalu saya buang ke tempat pembakaran sampah."
Kerumunan kembali meriuh. sebuah pengakuan mengejutkan dari wali pasar yang dikenal baik selama ini.
Putri itu mengangguk, "Apa alasanmu?"
"Mereka memberi saya uang tutup mulut yang terlalu besar untuk saya tolak. Uang itu bahkan tidak menyamai keuntungan saya berdagang selama satu tahun."
"Saya ingin bicara denganmu setelah ini," kata Putri tersebut. Wali pasar mengangguk patuh. Entah apa yang membuatnya berani mengaku. Putri itu kembali mengedarkan pandangannya ke kerumunan, "Pertemuan ini sudah selesai. Silakan melanjutkan aktifitas masing-masing, saya akan berusaha agar masalah ini bisa diselesaikan dengan segera."
Kerumunan itu bubar. Masing-masing membawa spekulasi dalam pikirannya. Ada yang bilang itu hanya sekadar pencitraan dari kerajaan, dan wali pasar sudah disuap sebelumnya agar mengatakan hal seperti itu. Ada yang bilang bahwa itu asli, dan wali pasar akan dihukum berat. Rom dan Kin kembali ke kios mereka. Orang-orang berseragam merah itu sudah tidak terlihat di mana pun.
"Bagaimana menurutmu?" Tanya Kin.
"Apa?" Tanya Rom.
"Apakah itu sungguhan Putri Chrysan?" Tanya Kin.
"Tentu saja, Bodoh. Kamu tidak pernah melihatnya ketika ia melakukan inpeksi?"
"Maksudku, apa yang dia katakan itu jujur? Dia sungguhan tidak tahu soal penarikan pajak ini?"
Rom mengangkat bahunya, "Entahlah. Setidaknya menurutku, ia dididik agar tidak mengatakan kebohongan."
"Kamu terlalu naif, Rom. Tidak kamu lihat di film, biasanya tokoh kerajaan selalu dipoles agar terlihat baik di mata rakyatnya, tapi di belakang itu, mereka semua busuk."
"Tidak semua, 'kan?"
"Kamu memercayai perkataannya?"
"Kenapa tidak?"
"Aku tidak."
"Kenapa?"
"Tidak tahu."
Rom menepuk dahinya. "Kau tahu, Kin. Tabiatmu yang satu inilah yang membuat istrimu pergi dua puluh tahun yang lalu."
"Eh, kenapa pula kau mengungkit masa lalu. Lagipula, istriku itu pergi bukan akibat muak karena tabiatku. Kamu memang pernah bertemu dengannya?"
"Tidak pernah. Tapi kau sendiri yang bilang begitu padaku."
"Sudahlah. Pembicaraan kita tidak akan ada habisnya. Lihat itu, Putri Chrysan sedang berbicara empat mata dengan wali pasar itu."
"Biarlah. Rasakan itu. Sudah sepantasnya ia dihukum. Aku tidak suka melihat tokonya baik-baik saja sedangkan kita diperas uangnya."
Rom kembali ke tokonya. Ia melirik jendela di sebelahnya. Tampak suasana di dalam sangat intens dan tegang. Putri Chrysan duduk di salah satu kursi, dan di belakangnya ada kedua pengawal pribadinya. Di depan mereka duduklah wali pasar, kepalanya tertunduk dan wajahnya terlipat.
Rom tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Ia hanya ingin yang terbaik untuk pasarnya, dagangannya, dan toko buahnya.