Kisah ini hanyalah hasil imajinasi penulis semata.
Jika ada kemiripan karakter ataupun kejadian maka itu adalah takdir.
Selamat datang di dunia imajinasi!
56Please respect copyright.PENANA6QzsPlr8bm
Wilayah istana negara ada tiga bagian. Bagian terdepan adalah kantor kerajaan, tempat semua kegiatan dan pekerjaan yang berkaitan dengan negara berjalan. Bangunannya besar dan pengawalannya ketat, tapi itu adalah satu-satunya bangunan dalam wilayah istana yang bisa dimasuki orang biasa.
Bagian kedua adalah bangunan para pelayan, karyawan, prajurit, dokter istana, dan semua karyawan serta pekerja yang bekerja di dalam istana. Di sana mereka tinggal selama 24 jam perhari. Bangunannya tidak sebesar bangunan pertama, tapi lebih dari cukup.
Bagian ketiga, bagian paling belakang, adalah bagian tempat tinggal para anggota kerajaan inti. Terhitung, ada Raja, kedua putrinya, dan tiga orang putra. Mereka tinggal di bangunan besar nan megah itu dengan fasilitas yang terlalu lengkap dengan jumlah karyawan dan pelayan yang tidak bisa dihitung dengan jari kaki dan tangan.
Bangunan ketiga itu memang terletak di paling belakang, paling terlindungi dan paling privasi. Hanya berbilang orang yang bisa masuk ke sana, kecuali di beberapa acara tertentu seperti ulang tahun salah satu anggota kerajaan, atau ulang tahun negara.
Bagian itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian terdepan tentunya untuk sang Raja. Terbesar, termewah, termegah, dan ter-ter lainnya. Di bagian kiri, wilayah para pangeran dan di bagian kanan, adalah wilayah khusus untuk kedua putri raja. Di sanalah terletak kamar dan ruang kerja Putri Chrysan.
Wanita muda itu berjalan cepat di sepanjang koridor yang luas dengan lampu di setiap sisinya. Wajahnya tidak sedatar biasanya, lebih ke masam. Ia melangkah cepat ke salah satu ruangan. Ia punya janji dengan kakaknya.
"Putri Lavender?" Sapanya seraya membuka pintu ruangan tempat mereka biasa minum teh. Ruangan tertutup dengan interior mewah. Di pinggir jendela, ada sebuah meja kecil dengan dua buah kursi. Salah satu kursi itu sudah terisi.
"Masuklah. Aku sudah menunggumu," kata wanita yang duduk di sana. Wajahnya tersenyum dan tatapannya hangat.
"Kukira masih ada Ramia di sini." Putri Chrysan masuk, menutup pintu dan duduk di depan Putri Lavender. Seketika wajahnya merileks ketika melihat penganan yang ada di atas meja.
"Tentu saja tidak. Ramia kuminta menyiapkan makan malam. Di mana kau meninggalkan Hanna?" Tanya Putri Lavender. Ramia adalah nama pelayan pribadi Putri Lavender sedangkan Hanna adalah pelayan pribadi Putri Chrysan.
"Aku minta Hanna memeriksa suatu data."
Putri Lavender menuangkan teh ke dalam cangkir. Aroma teh yang wangi meruap ke udara. "Sesuatu apa? Apa ada yang terjadi?"
"Permasalahan pasar, biasa." Putri Chrysan mengangkat bahunya.
"Kamu selalu bilang biasa, untuk di kemudian hari datang mengadu kepadaku, bilang ini terlalu berat untuk perempuan muda sepertiku." Kata Putri Lavender terkekeh. Ia menyodorkan cangkir teh ke depan Putri Chrysan.
"Iiih, jangan mengingatkanku, itu terjadi ketika aku masih di awal masa jabatan, tentu saja berat. Sekarang aku sudah besar," sergah Putri Chrysan.
Putri Lavender tersenyum, "Iya, kau sudah semakin dewasa, aku bisa merasakannya."
Putri Chrysan menyesap tehnya dan memejamkan mata menikmati rasa rileks yang ia dapatkan. Hanya di depan kakaknya ia bisa menjadi dirinya sendiri. Di depan keluarganya yang lain, bahkan ayahnya sekali pun, ia terlalu segan untuk sekadar mencandai.
"Berani sekali ia mengundangku untuk makan bersamanya," Putri Chrysan menggembungkan pipinya.
"Siapa?" Tanya Putri Lavender.
"Si paling merasa berkuasa itu, siapa lagi?"
"Ah, itu, siapa namanya? Tuan Newton?"
"Nolto, Kak."
"Ah, iya, itu maksudku. Dia mengundangmu makan bersamanya?"
"Iya, padahal dia sudah beristri dan beranak, apa tidak malu?"
Putri Lavender mengangkat bahu, "Tentu baginya, itu sebuah kehormatan besar jika kamu memenuhi undangannya."
"Tidak akan terjadi." Putri Chrysan menggelengkan kepalanya kuat, lalu meraih salah satu kue di atas piringan dan memakannya dalam sekali suapan.
"Jangan makan seperti itu di tempat lain," kata Putri Lavender.
Kunyahan Putri Chrysan terhenti sebentar, "Tentu saja, kakak bisa memercayaiku." Katanya seraya melanjutkan kunyahannya.
Putri Lavender menghela nafasnya pelan, "Aku sudah besar, kau bilang begitu tadi." Katanya. "Hati-hati, selalu ada mata yang mengawasimu di luar tembok istana kita, mereka akan memperhatikanmu apapun yang kamu lakukan, tidak peduli dengan kondisimu, dan mereka berusaha mencari keuntungan dari hal itu."
Putri Chrysan meletakkan cangkir tehnya. "Kakak dapat kasus tentang wartawan lagi?" Tebaknya.
Putri Lavender menyenderkan punggungnya. "Tepat sekali, seorang bangsawan wanita, mengeluh padaku dan memintaku mengangkat urusannya ke meja hakim, katanya ia diikuti dan ia merasa dilecehkan karenanya. Padahal ia tidak punya bukti, dan meminta aku pula yang mencari buktinya. Dasar."
Putri Chrysan tersenyum, "Kenapa tidak ditolak saja?"
"Tidak mungkin, keluarganya punya hubungan dekat dengan ayah. Aku lebih memilih merepotkan diri mencarikannya bukti daripada namaku dikeluhkan ke ayah."
"Nah, pemikiran kakak yang seperti ini yang membuatmu cepat capek. Apa-apa sendiri. Padahal anak buah banyak, kenapa sih tidak suruh salah satu?"
"Mungkin, tapi aku tidak percaya mereka untuk urusan ini."
"Sepertinya ayah salah pilih ketika kakak ditunjuk untuk jabatan ini."
"Sepertinya begitu."
Keduanya tertawa. Sejenak, beban tanggung jawab yang mereka bawa di bahu itu terasa ringan. Hanya di waktu tertentu mereka bisa bersama menghabiskan waktu berdua, meminum teh dan mengobrol ringan sembari menghabiskan kudapan manis.
Putri Lavender merupakan putri pertama dari Raja Raven, jarak antara dirinya dan Putri Chrysan adalah empat tahun. Kendati demikian, mereka berdua sangat dekat dan akur. Mungkin, karena hanya mereka anak perempuan di kerajaan itu.
Jika dilihat dari penampilan, perbedaan mereka cukup mencolok. Putri Lavender mewarisi karakteristik dari ibu mereka lebih banyak daripada Putri Chrysan. Tetapi jika dilihat dari watak, mereka berdua sangat mirip. Dingin di luar, hangat di dalam. Seakan-akan ada topeng keangkuhan yang harus mereka pakai setiap keluar dari wilayah istana yang megah itu.
"Ini cangkir terakhir," kata Putri Lavender meletakkan cangkir teh Putri Chrysan di depannya, "dan aku punya kabar terakhir, kabar paling penting."
"Apa itu?"
Putri Lavender menyesap teh yang mulai berkurang suhunya. "Aku menerima salah satu lamaran." Katanya seraya meletakkan cangkirnya. "Aku akan menikah." Ucapnya seraya menatap manik mata Putri Chrysan.
Reaksi Putri Chrysan sedikit di luar dugaan. Matanya menatap gamang, lalu mata itu berkilau. Ada air yang hendak keluar dari sana. "Hah?" Racaunya.
"Kenapa kau menangis?" Tanya Putri Lavender seraya tersenyum geli.
Putri Chrysan menggelengkan kepalanya berusaha mengusir emosi yang muncul. "Dengan siapa?" Tanyanya.
"Mmm, siapa ya, pokoknya orang militer. Dia punya banyak bintang medali di usia muda."
"Dia maju sendiri atau diajukan orang lain?"
"Dua-duanya."
"Bagaimana itu?"
"Pertama diajukan, lalu ditolak, lalu dia maju sendiri. Kekukuhannya menarik perhatianku."
"Kakak menyukainya?"
"Kubilang menarik perhatian, bukan suka. Lagipula memang tidak boleh aku suka?"
"Kakak!"
Putri Lavender tertawa. Mereka berdua sangat dekat, sebagai satu-satunya wanita anggota inti kerajaan dengan jarak umur yang dekat. Bagi mereka, sebuah pernikahan sungguh fatal, karena itu berarti perpisahan yang abadi.
"Aku tidak akan pergi secepat itu. Mungkin setengah tahun lagi, atau lebih. Ada banyak yang harus dilakukan sebelum pernikahan, kau tahu." Kata Putri Lavender.
"Maksudmu kencan dan kunjungan kerajaan seperti itu? Lelaki itu memangnya dari kerajaan lain?"
"Ya dan tidak. Ya untuk kencannya dan tidak untuk soal kedua. Dia murni orang militer. Sudah bergabung dengan satuan sedari muda. Kalau ada yang harus aku kunjungi, itu adalah markas tempatnya bernaung."
Tradisi mereka sebelum pernikahan adalah kunjungan kerajaan. Itu dilakukan ketika seorang putri menikah dengan pangeran dari kerajaan lain. Masing-masing akan mengunjungi kediamannya, mengenal rumah yang akan ditinggalinya dan berkenalan dengan anggota keluarga yang akan dimasukinya kelak. Di negara mereka, itu adalah salah satu tradisi kerajaan yang dijunjung tinggi dan tidak boleh dilewatkan.
"Kalau begitu, ini akan menjadi pernikahan pertama di kerajaan kita." Kata Putri Chrysan.
Putri Lavender mengangguk, "Aku merasa terhormat untuk menjadi pelopor pernikahan di generasi ini."
"Tentu saja, tidak mungkin aku melangkahi kakak."
"Ah ya, kau harus siap-siap juga."
"Untuk?"
"Menerima lamaran."
Tangan Putri Chrysan turun, kembali meletakkan cangkir teh yang tadi hendak disesapnya. "Hah?"
"Menikahi seorang putri kerajaan memang sangat menggiurkan, makanya, lamaran pernikahan selalu menumpuk, tapi tidak semua tiba di mejaku dengan selamat. Pihak istana sangat ketat dalam melakukan seleksi. Setelah aku mengumumkan soal pernikahan ini, semua lamaran itu akan berpindah kepadamu, putri kedua. Makanya kamu harus siap-siap."
"Memangnya apa yang harus aku siapkan? Kalau tidak mau, tinggal bilang tidak, 'kan?"
Putri Lavender tersenyum, "Tidak semudah itu, Adikku sayang."
"Kamu belum tahu seratus persen bagaimana pola pikir para pejabat kerajaan. Kebanyakan dari mereka tidak memikirkan pengaruhnya untukmu, mereka lebih mengutamakan keuntungan diri atau negara, dan sayangnya terkadang kita yang dikorbankan."
"Kenapa kedengarannya kita lemah sekali? Bukannya kuasa kita lebih besar?"
"Lebih besar, memang. Tapi begitulah fakta yang terjadi di lapangan. Makanya kubilang, kau harus kuat. Terutama hatimu."
"Ini wasiat?"
"Bisa dibilang begitu. Ingat baik-baik, ya."
Putri Chrysan tersenyum tipis, kembali menyesap tehnya. Ia melihat ke luar jendela. Pemandangan taman istana yang indah di awal musim semi. Warna hijau yang segar, bunga-bunga yang masih menguncup, serta daun-daun di pohon yang kembali tumbuh setelah musim dingin.
"Berapa jamuan teh lagi sampai kakak menikah?" Tanyanya dengan suara pelan. Seakan-akan ia berbicara sendiri.
"Tidak se-sedikit itu. Di malam terakhirku kelak, mari minum teh lagi. Perpisahan."
Putri Chrysan menatap manik mata kakaknya. Tersenyum sedikit terpaksa. Sebagai seorang putri, ia selalu dituntut untuk kuat menerima perubahan. Atau lebih tepatnya, dituntut untuk terlihat baik-baik saja di keadaan apapun.
"Baiklah." Katanya.
56Please respect copyright.PENANAjyI6f1RDhQ