Chapter 1
Frans masih merasa kesal diminta adiknya Franda buat nyari kucing angoranya yang kabur entah kemana. Sambil membawa tali pengikat dan mainan kucing, dia berjalan dengan langkah cepat menuju rumah Syifa, tetangga barunya. Meskipun mereka tinggal bersebelahan, Frans jarang melihat Syifa keluar rumah. Dia tahu bahwa Syifa adalah istri seorang pejabat. Usianya masih sangat muda 23 tahun terpaut jauh dengan suaminya yang sudah 40an tahun. Dia belum punya anak dan sering kali sendirian karena suaminya terkadang bepergian untuk urusan kantornya. Syifa dalam kesehariannya kalau keluar rumah memakai cadar.
Saat tiba di depan pintu rumah Syifa, Frans menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, nampaklah sosok anggun bercadar menyambutnya. Meski wajahnya tertutup cadar dan hanya mata saja yang terlihat dari wajahnya Frans yakin Syifa adalah seorang wanita berwajah cantik. Binar matanya menunjukan itu.
"Maaf mbak Syifa... maaf, aku tidak bermaksud mengganggu," kata Frans dengan nada ragu. Pandangannya cepat-cepat beralih ke arah lain untuk menjaga sopan santun agar tidak bertemu pandang dengan wanita bercadar itu.
"Oh, kamu Frans kan yang rumah sebelah. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Syifa dengan suara lembut.
"Eh, anu... kucing adikku... Dia kabur dan aku rasa dia lari ke sini. Aku pengen nanya apa mbak melihatnya?" jawab Frans sedikit gugup, tangannya gemetar saat memegang tali pengikat kucingnya.
Syifa tertawa kecil dan melangkah mundur, mempersilakan Frans masuk. "Oh, kucing angora ya? Iya, dia ada di sini. Dia sangat lucu. Masuk saja, Frans."
Frans ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya masuk. Matanya cepat memindai ruangan, dan benar saja, kucing kesayangan adiknya sedang bermain di karpet ruang tamu.
"Terima kasih," ujar Frans sambil berjalan menghampiri kucing angora itu. Ketika dia mengangkat kucingnya, Syifa duduk di sofa dan mengamati Frans dengan tatapan yang lembut. Dia cukup ramah, tidak seperti perkiraannya bahwa wanita itu tertutup dan sulit diajak ngobrol.
"Adik kamu suka kucing, Frans?" tanya Syifa dengan nada yang lembut, seolah mencoba memecah keheningan.
Frans mengangguk sambil mengelus punggung kucing angora itu. "Iya, dia sudah memelihara kucing ini sejak dia kecil. Dia seperti keluarga bagi adikku."
Syifa tersenyum, dan kali ini senyumnya terlihat lebih tulus. "Aku bisa mengerti perasaan adik kamu. Memiliki hewan peliharaan itu seperti memiliki sahabat yang selalu ada."
Frans tersenyum kembali, tetapi pandangannya tetap tertuju pada kucing angora milik adiknya, berusaha menghindari tatapan langsung ke arah Syifa. Namun, rasa penasaran mulai muncul di benaknya. Seperti apa wajahnya dibalik cadar yang selalu dipakainya itu. Frans menepis pikiran tersebut dari kepalanya.
"Oke aku permisi ya. Aku mau bawa kucing ini pulang sekarang. Terima kasih, mbak Syifa. Aku benar-benar berterima kasih."
“Oh iya senang ngobrol sama kamu. Kapan-kapan bisa main-main lagi kesini ngobrol-ngobrol sama aku.” Ucap Syifa.
Setelah berpamitan, Frans berjalan kembali ke rumahnya dengan kucing angora kesayangan adiknya dalam pelukan. Pikirannya masih memutar kejadian tadi. Pertemuan yang tidak terduga itu membuatnya bertanya-tanya tentang Syifa dan kehidupannya. Dia tidak melihat suami Syifa yang bernama Pak Burhan padahal ini sabtu sore kantor pasti libur. Frans melupakan pikiran soal suami Syifa. Tetapi satu hal yang pasti, Syifa bukanlah seperti yang dia bayangkan selama ini.Wanita tertutup yang dingin. Ternyata Syifa ramah dan mau diajak ngobrol. Bahkan dia menawarkan Frans untuk mampir lagi kapan-kapan.
Sementara di rumahnya, Syifa duduk kembali di sofa dengan senyum di wajahnya, merasa ada yang berbeda sejak pertemuan itu. Mungkin, pertemuan yang tak terduga itu akan membuka babak baru dalam hubungan mereka.
***
Frans tidak bisa mengusir bayangan pertemuan pertamanya dengan Syifa dari pikirannya. Ada sesuatu yang berbeda tentang Syifa. Terutama sifat ramahnya, senyum lembutnya, dan caranya memperlakukan Frans seolah mereka sudah lama berteman. Hari ini, Frans memutuskan untuk kembali berkunjung. Bukan untuk mencari kucing kali ini, tetapi sengaja hanya untuk berbicara dengan Syifa. Apalagi sore ini dia merasaa gabut di rumah dan malas kemana-mana. Makanya Frans memutuskan untuk ke rumah Syifa. Sapa tau ada Pak Burhan suaminya sekalian kenalan supaya bisa akrab dengan tetangganya itu.
“Selamat sore.”
“Sore juga masuk aja pintu gak ditutup.”
Frans tertegun saat membuka pintu. Syifa berdiri di hadapannya, tidak seperti yang biasa dilihatnya mengenakan cadar dan pakaian sangat tertutup. Kali ini, Syifa mengenakan tank top hitam yang memperlihatkan bahu dan lengannya, serta celana pendek yang hampir tidak menutupi pahanya. Wajahnya sangat cantik lebih dari yang dia bayangkan. Saat sebelumnya melihat mata Syifa yang berbinar di balik cadarnya Frans sudah menduga pasti wajah Syifa sangat cantik. Tapi yang dilihatnya jauh lebih dari yang dia bayangkan. Semula dia berpikir pasti ini wanita lain yang ada di rumah Syifa. Tapi mendengar suara dan melihat matanya Frans memastikan wanita bepakaian tank top dan celana pendek itu Syifa adanya.
Biasanya wanita Muslimah bahkan yang memakai Hijab saja akan terlihat risih bila kedapatan hanya memakai pakaian minim di rumah oleh tamunya. Kalau ada tamu datang mereka akan segera memakai pakaian yang tertutup sebelum membuka pintu. Tapi Syifa terlihat tenang dengan tank top dan celana super pendeknya. Justru Frans yang jadi salah tingkah.
"Maaf, mbak Syifa... aku tidak bermaksud lancang, tapi aku sedikit terkejut melihat mbak... seperti ini. Biasanya mbak selalu memakai cadar dan pakaian tertutup."
Syifa tertawa ringan, sedikit menutupi mulutnya. "Oh, ya, aku hanya merasa lebih nyaman seperti ini di rumah. Lagi pula, aku tidak mengira bakal ada tamu, jadi tidak perlu berpakaian formal, kan?"
Frans tertawa kecil, merasa sedikit lebih santai. "Iya, aku mengerti. Maaf kalau aku sedikit kaget."
"Tidak apa-apa, Frans. Terkadang kita memang perlu melonggarkan sedikit aturan di rumah sendiri. Bukankah begitu?" jawab Syifa sambil menatap Frans dengan mata yang penuh arti.
“Oh iya pak Burhannya mana mbak?”
“Oh dia lagi di luar daerah lagi dinas, maklumlah!”
Frans hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Kemudian mereka mengobrol berbagai hal dan terasa nyambung.
****
Hari berikutnya Frans merasa ada dorongan untuk pergi lagi menemui Syifa karena dia menyukai wajah Syifa yang sudah bisa dilihatnya dari dekat. Aneh memang perasaan Frans terhadap Syifa yang jelas-jelas telah bersuami.
Dengan hati yang berdebar, Frans melangkah ke arah rumah Syifa. Dia mengetuk pintu dengan lembut, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Frans menahan napas sejenak. Syifa berdiri di hadapannya, mengenakan kaos putih tipis yang menempel sempurna di tubuhnya. Frans tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan bahwa sepertinya Syifa tidak mengenakan apa pun di balik kaos itu. Kaos itu panjangnya sampai setengah paha Syifa. Rasa gugup dan canggung mulai menyerangnya, namun Syifa justru tersenyum hangat seperti biasa.
"Frans! Senang melihatmu lagi," ucap Syifa dengan nada ramah. Dia membuka pintu lebih lebar, mengundang Frans masuk. "Masuklah, ada lagi yang bisa saya bantu?"
Frans menelan ludah dan berusaha menguasai dirinya. "Eh, baik. Terima kasih. Aku hanya ingin mampir sebentar… kalau tidak mengganggumu."
"Tidak sama sekali. Aku senang kamu datang," jawab Syifa, menutup pintu di belakang Frans dan berjalan ke ruang tamu. Frans mengikuti di belakangnya, matanya sesekali melirik ke arah Syifa, berusaha memahami apa yang dia rasakan saat ini. Mungkinkah Syifa benar-benar tidak menyadari, ataukah dia begitu percaya diri hingga tak peduli?
Syifa duduk di sofa dan mempersilakan Frans duduk di sebelahnya. "Bagaimana kabar kucing angora adik kamu? Masih suka berkeliaran?"
Frans tersenyum kecil, berusaha mengalihkan pikirannya. "Kucing itu baik-baik saja. Dia masih suka berlarian, tapi adik aku sudah lebih berhati-hati sekarang."
"Baguslah," balas Syifa dengan lembut, matanya menatap Frans dengan penuh perhatian. "Aku sendiri sebenarnya suka kalau kucing itu mampir ke sini. Dia manis dan menggemaskan."
"Mbak Syifa," Frans memulai, sedikit ragu. "Hmmmmm… Gini…Aku ingin tahu lebih banyak tentang mbak, kalau boleh."
Setelah kalimat itu terucap Frans merasa tegang. Dia tahu itu pertanyaan yang sangat tidak sopan kepada seorang wanita yang sudah menjadi istri orang. Tapi dia sudah mengatakan dan pasrah dengan apa yang akan terjadi
Syifa mengangkat alisnya, tetapi senyumnya tetap tidak berubah. "Tentangku? Apa yang ingin kamu ketahui, Frans?"
Frans merasa lega mendengar reaksi Syifa. Tapi dia masih sedikit canggung, meski rasa penasaran yang telah mengganggunya sejak pertemuan pertama masih kuat. "Aku hanya… ya, aku jarang melihat mbak keluar rumah. Dan mbak berbeda dengan yang sering aku liat saat keluar rumah. Aku penasaran, seperti apa kehidupan mbak sebenarnya?"
Syifa terdiam sejenak, tatapannya berubah menjadi lebih serius. Kalau wanita lain tentu akan kesal dengan pertanyaan Frans yang bisa dibilang terlalu kepo dengan urusan orang. Namun, Syifa biasa saja menanggapi pertanyaan itu.
"Frans, aku ngerti kamu mungkin heran ngeliat aku yang bercadar di rumah kayak gini kan? hidup aku mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku memang bercadar saat keluar rumah, tetapi itu tidak berarti aku tidak boleh berpakaian lain. Ketika aku di rumah, aku ingin merasa bebas dan nyaman. Pakaian hanyalah sebagian kecil dari itu."
Frans terdiam, mencoba mencerna kata-kata Syifa. "Aku mengerti. Maaf jika aku terlalu ingin tahu."
Syifa tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Frans dengan lembut. "Tidak apa-apa, Frans. Kamu boleh bertanya apa saja. Aku senang kita bisa saling terbuka."
Sentuhan itu, meski singkat, membuat Frans merasakan sesuatu yang aneh—kombinasi antara ketertarikan dan kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia menatap Syifa, mencoba menangkap arti dari tatapan matanya yang dalam.
"Syifa, aku hanya ingin mbak tahu bahwa aku menghormati mbak. Apa pun pilihan mbak, aku tetap melihat mbak sebagai seseorang yang istimewa."
Syifa tersenyum lembut, tatapannya melembut. "Terima kasih, Frans. Aku juga merasa nyaman berbicara denganmu. Kamu berbeda dari orang lain. Eh tapi kita mungkin seumuran gak usah panggil mbak segala pangil nama saja, oke!”
“Eh iya Syifa!”
Mereka berdua duduk dalam keheningan sejenak, saling menatap tanpa kata-kata, seolah-olah mereka sudah saling memahami meski belum banyak yang terucap. Frans merasa, ada sesuatu yang baru terbentuk di antara mereka—sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertemuan tetangga biasa.
"Frans," panggil Syifa pelan, memecah keheningan. "Jangan ragu untuk datang lagi kapan pun kamu mau. Aku akan selalu menyambutmu dengan senang hati."
Frans tersenyum, hatinya terasa lebih ringan. "Aku pasti akan datang lagi, Syifa."
Ketika Frans akhirnya bangkit untuk pamit, Syifa mengantarnya sampai ke pintu. Saat dia melangkah keluar, Frans menoleh sekali lagi, dan melihat Syifa berdiri di sana, senyumnya yang lembut masih tersungging di bibirnya. Di dalam hati, Frans tahu, pertemuan ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan lebih mendalam di antara mereka.
7368Please respect copyright.PENANAR6ih2EdNs8
Bersambung
ns 15.158.61.6da2