Chapter 2
Seiring Frans berjalan pulang, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Syifa dan kehangatan yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Mungkin, hidupnya akan berubah setelah pertemuan-pertemuan ini. Dan mungkin, Syifa juga merasakan hal yang sama.
Sudah beberapa kali Frans bertandang ke rumah Syifa, tentu saja saat suaminya tidak ada dan setiap kali itu pula ada sesuatu yang tak bisa dia abaikan. Syifa selalu menyambutnya dengan ramah, bahkan lebih dari itu—dia merasa Syifa memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Setiap kali Syifa membuka pintu, dia selalu mengenakan pakaian yang sederhana dan santai, membuat Frans merasa kagum pada Syifa sekaligus bangga pada dirinya sendiri karena melihat Syifa tanpa cadar adalah hal yang tak semua orang bisa dapatkan.
Hari ini, Frans memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang sudah lama berputar di kepalanya. Dia perlu jawaban, meski hatinya berdebar keras membayangkan apa yang akan Syifa katakan. Setelah mengetuk pintu, Syifa muncul di hadapannya, kali ini mengenakan kaos lembut berwarna biru muda dan celana pendek yang sama santainya. Seperti biasa, senyum lembutnya menyambut Frans.
"Frans, masuklah," ucap Syifa dengan suara hangat, sambil mundur ke belakang untuk mempersilakannya masuk.
Frans mengangguk dan melangkah masuk, menatap Syifa dengan mata penuh pertanyaan yang belum terucap. Setelah mereka duduk di ruang tamu, keheningan terasa sedikit berat. Syifa, yang menyadari kegelisahan di mata Frans, menatapnya dengan lembut.
"Kamu kelihatan gelisah, Frans. Ada apa?" tanya Syifa dengan nada penuh perhatian.
Frans menunduk sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Syifa… ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu. Tapi aku harap kamu tidak tersinggung."
Syifa tersenyum, menggenggam tangan Frans dengan lembut. "Kamu boleh bertanya apa saja, Frans. Aku tidak akan tersinggung."
Frans mengangkat pandangannya, menatap mata Syifa yang penuh ketulusan. "Aku hanya… aku perhatikan setiap kali aku datang, kamu selalu menyambutku dengan pakaian yang terbuka, bahkan bisa dibilang sangat sexy. Tapi aku melihatmu beberapa kali ketika ada tamu lain, kamu selalu memakai cadar dan berpakaian muslimah. Apakah ada alasan khusus?"
Syifa terdiam sejenak, bibirnya sedikit terbuka seolah mencari kata-kata yang tepat. Perlahan, dia menarik napas panjang dan berkata, "Frans, aku akan jujur padamu."
Frans menahan napas, menunggu dengan penuh perhatian.
Syifa melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, namun tetap tegas, "Sebenarnya, hanya dengan kamu aku merasa nyaman untuk berpakaian seperti ini. Dengan tamu lain, aku selalu merasa perlu menjaga jarak dan mematuhi norma-norma yang ada. Tapi dengan kamu… entah kenapa, aku merasa aman, merasa seperti aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa perlu khawatir tentang penilaian orang lain."
Frans terkejut mendengar pengakuan Syifa. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Syifa merasakan hal semacam itu. "Syifa… tapi kenapa? Maksudku, kenapa aku?"
Syifa tersenyum, namun kali ini ada sedikit rasa malu yang terpancar di wajahnya. "Frans, kamu adalah orang yang berbeda. Kamu selalu menghormatiku, memperlakukanku dengan sopan, dan tidak pernah membuatku merasa tidak nyaman. Dengan kamu, aku tidak merasa perlu menyembunyikan apa pun atau menjadi seseorang yang bukan diriku. Aku merasa bisa mempercayaimu."
Kata-kata itu meresap ke dalam hati Frans, membuatnya merasakan kehangatan yang luar biasa. Dia menatap Syifa, dan untuk pertama kalinya, dia benar-benar menyadari betapa istimewanya hubungan mereka.
"Syifa, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku merasa terhormat dengan kepercayaanmu. Dan aku juga merasa nyaman berada di dekatmu."
Syifa tersenyum lagi, dan kali ini senyum itu diiringi dengan tatapan yang lebih dalam. "Aku senang mendengarnya, Frans. Kamu adalah orang yang istimewa bagiku. Mungkin ini terdengar aneh, tapi setiap kali kamu datang, aku merasa hari-hariku menjadi lebih berwarna."
Frans merasa hatinya berdebar lebih cepat, merasakan ikatan yang semakin erat antara mereka. "Syifa, aku juga merasakan hal yang sama. Setiap kali kita berbicara, aku merasa ada sesuatu yang berbeda… sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi sangat nyata."
Mereka duduk dalam keheningan, tetapi kali ini keheningan itu dipenuhi dengan perasaan yang tak terucap. Frans tahu, hubungan mereka telah melampaui batasan-batasan yang ada sebelumnya. Ada rasa saling memahami, saling menghargai, dan mungkin, sebuah rasa yang perlahan tumbuh menjadi lebih dari sekadar persahabatan.
Syifa memecah keheningan dengan lembut, "Frans, aku harap kamu tidak merasa terbebani dengan pengakuanku ini. Aku hanya ingin jujur tentang bagaimana perasaanku."
Frans menggeleng, senyum tipis muncul di bibirnya. "Tidak, Syifa. Aku justru bersyukur kamu terbuka padaku. Aku merasa lebih dekat denganmu, dan aku ingin kita terus seperti ini—terbuka dan saling percaya."
Syifa menatap Frans dengan tatapan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Frans. Aku juga ingin kita tetap seperti ini."
Mereka berdua tahu bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang akan membawa mereka pada petualangan baru dalam kehidupan mereka—petualangan yang mungkin belum mereka pahami sepenuhnya, tetapi yang pasti, mereka siap untuk menjalaninya bersama-sama.
8528Please respect copyright.PENANA4TWRCDGjA2
******
Hari itu hujan turun dengan deras. Frans berdiri di depan rumah Syifa, berusaha melindungi dirinya dengan segera memasuki teras rumah Syifa. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan tak ada jawaban, dia mulai berpikir untuk kembali ke rumah. Namun, sebelum sempat melangkah pergi, terdengar suara Syifa dari dalam rumah.
"Masuk saja pintu tidak dikunci, Frans!" teriak Syifa dengan nada ramah, meskipun terdengar agak tergesa-gesa.
Frans mengangguk meskipun Syifa tak bisa melihatnya, lalu memutar gagang pintu dan masuk ke dalam rumah. Hawa hangat langsung menyambutnya, kontras dengan dinginnya hujan di luar. Saat dia melangkah masuk lebih dalam, dia menyadari bahwa rumah itu sepi. Tidak ada suara langkah kaki yang biasanya mendekat ketika Syifa menyambutnya.
"Syifa?" panggil Frans, sedikit ragu. Tak ada jawaban, hanya suara gemericik air yang masih menetes di luar. Dia berjalan lebih jauh ke dalam rumah, hingga tiba di ruang keluarga.
Kemudian, dia melihatnya. Pintu kamar Syifa tidak tertutup rapat. Ada celah yang cukup lebar, dan dari sudut itu, Frans bisa melihat Syifa dengan jelas. Syifa baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah, air menetes perlahan di kulitnya yang bercahaya. Dia mengenakan handuk yang melilit tubuhnya dengan longgar, memperlihatkan bahunya yang telanjang. Sebagian besar punggungnya juga kaki dan sebagian paha terlihat jelas. Syifa berdiri di depan cermin, dengan satu tangan memegang handuk di dadanya, sementara tangan lainnya menyisir rambutnya yang hitam dan panjang.
Frans tertegun. Dia tahu bahwa dia seharusnya berpaling, bahwa dia seharusnya tidak melihat apa yang tidak boleh untuk dilihat. Namun, keindahan Syifa begitu memikat, begitu alami, sehingga untuk beberapa detik yang panjang, dia tidak bisa memalingkan matanya.
Syifa, yang sedang asyik dengan pikirannya sendiri, tidak menyadari bahwa Frans melihatnya. Dia tampak begitu tenang dan anggun, tanpa kesadaran bahwa ada seseorang yang menyaksikan momen pribadinya. Frans merasakan detak jantungnya semakin cepat, campuran rasa kagum dan bersalah menguasai dirinya. Syifa melepas handuknya yang meluncur turun ke bawah mengakibatkan dia telanjang bulat. Frans menelan ludah karena ketelanjangan Syifa begitu merangsangnya. Meski hanya terlihat bagian sampingnya saja tapi putting susu itu terlihat.
Dengan cepat, Frans memutuskan untuk melakukan hal yang benar. Dia memalingkan pandangannya, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba mengendalikan dirinya. Dia harus menghormati Syifa, meski pemandangan yang baru saja dilihatnya itu begitu indah dan mempesona.
Namun, sebelum dia bisa melangkah mundur, Syifa berbalik ke arah pintu, dan matanya bertemu dengan pandangan Frans. Wajahnya yang tadinya tenang langsung berubah menjadi merah padam. Dia tersentak kaget, menyadari apa yang terjadi.
"Frans!" seru Syifa dengan nada tinggi, namun bukan kemarahan yang terdengar, melainkan lebih kepada rasa malu yang mendalam. "Aku… aku tidak tahu kamu sudah masuk…"
Frans merasa darahnya mengalir cepat ke wajahnya, dia merasa sangat bersalah. "Maaf, Syifa… Aku benar-benar tidak bermaksud… Aku…"
Syifa terlihat tenang dan tidak terburu-buru dia memungut handuk dan memakaninya kemudian dengan perlahan dia menutup pintu kamar, menyisakan Frans di luar dengan perasaan bersalah yang mendalam.
Namun, sebelum pintu itu sepenuhnya tertutup, Frans sempat mendengar suara Syifa, lembut dan sedikit gemetar, "Tunggu sebentar, aku akan segera keluar."
Frans mengangguk, meskipun pintu sudah tertutup. Dia berjalan mundur, duduk di sofa ruang keluarga sambil mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal. Perasaan yang bercampur aduk memenuhi pikirannya rasa kagum, bersalah, dan juga perasaan horny, semua bercampur menjadi satu.
Beberapa menit kemudian, Syifa keluar dari kamarnya, kali ini sudah berpakaian lebih sopan, mengenakan pakaian longgar yang biasa dipakainya di rumah. Meski begitu, wajahnya masih memerah, tanda bahwa dia masih merasa malu atas kejadian barusan.
Frans berdiri dengan gugup, tidak tahu harus berkata apa. Namun, Syifa yang pertama kali berbicara, berusaha memecahkan suasana canggung yang menyelimuti mereka.
"Maafkan aku, Frans… Aku tidak tahu kamu akan datang hari ini. Aku seharusnya lebih berhati-hati," ucap Syifa dengan suara lembut, matanya sesekali menghindari pandangan Frans.
Frans menggeleng cepat, masih merasa bersalah. "Tidak, Syifa… Akulah yang seharusnya minta maaf. Aku tidak seharusnya melihat… aku tidak bermaksud…"
Syifa mengangkat tangannya, meminta Frans berhenti bicara. "Frans, kita sudah dewasa. Ini hanya kebetulan yang tidak disengaja. Aku tidak marah padamu. Hanya saja… mungkin kita perlu sedikit waktu untuk mencerna ini."
Frans menatap Syifa, dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, dia melihat sesuatu yang berbeda di mata Syifa. Ada kehangatan, penerimaan, dan mungkin… ada rasa yang tak terucap. Dia merasa, meskipun kejadian ini sangat memalukan, ada sesuatu yang baru tumbuh di antara mereka. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemanan atau tetangga.
"Terima kasih, Syifa, atas pengertianmu," ujar Frans dengan tulus, mencoba menenangkan perasaannya yang masih bergemuruh.
Syifa tersenyum kecil, kali ini lebih tenang. "Frans, apa pun yang terjadi, aku ingin kita tetap seperti ini—terbuka satu sama lain. Karena aku merasa, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari satu sama lain."
Frans mengangguk, merasakan hubungan mereka menjadi semakin erat meski dalam cara yang tak terduga. "Aku juga merasa begitu, Syifa. Aku ingin kita tetap bisa berbicara seperti ini, apa pun yang terjadi."
Dan dengan itu, mereka duduk kembali di sofa, melanjutkan obrolan mereka seperti biasa. Namun, kali ini ada pemahaman yang lebih dalam di antara mereka—bahwa apa yang mereka rasakan bukan lagi sekadar pertemanan biasa, tetapi sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang mulai tumbuh, dan mungkin, di masa depan, akan membawa mereka ke arah yang lebih indah.
8528Please respect copyright.PENANA5zNVQ1zdWF
Bersambung
ns 15.158.61.20da2