Di sudut koridor kampus, Shafira Othman melangkah dengan percaya diri. Hijabnya selalu elegan, senada dengan pakaian yang dikenakannya—paduan warna pastel dan aksesoris minimalis, memberi kesan anggun tanpa terlihat berlebihan. Langkah kakinya teratur, seolah dunia berputar mengikuti ritmenya. Mahasiswa-mahasiswa yang duduk di pinggir jalan kampus mendadak terdiam saat melihatnya.
“Eh, itu Shafira, kan?” bisik seorang cewek kepada temannya, tak berani menatap terlalu lama.
“Iya, si ratu es,” jawab temannya sambil tersenyum tipis. “Tapi hijabnya keren banget, ya? Bener-bener selalu modis.”
Di sisi lain, beberapa cowok hanya saling pandang dengan ekspresi ragu-ragu. Seorang di antara mereka, Iqbal, memberanikan diri bersandar pada tiang di dekat Shafira.
“Assalamu'alaikum, Shafira,” sapa Iqbal dengan nada sedikit gugup tapi berusaha tetap tenang.
Shafira hanya melirik sekilas tanpa berhenti, bibirnya mengulas senyum tipis—sama sekali tidak menandakan keramahan. “Wa'alaikumsalam,” jawabnya singkat, dingin, tanpa niat untuk berhenti atau melanjutkan percakapan.
Iqbal menatap punggungnya yang semakin menjauh. “Gila, dia dingin banget. Beneran deh, nggak ngerti kenapa banyak orang suka sama dia,” keluhnya pada temannya, Akmal.
Akmal mengangguk. “Dia cantik, Bal. Dan mungkin itu alasan banyak yang cuma bisa naksir dari jauh.”
Di sisi lain kampus, di dalam ruangan kelas, Shafira duduk di barisan depan. Seperti biasa, dia tak banyak bicara. Hanya fokus pada materi yang diberikan dosen. Namun, di saat jeda, salah satu teman sekelasnya, Rina, mencoba mendekati.
"Fira, boleh pinjam catatan yang kemarin nggak? Aku ketinggalan pas dosen nerangin," tanya Rina dengan senyum yang dibuat sehangat mungkin, meskipun dia sendiri merasa canggung.
Shafira menatap Rina sejenak, ekspresi wajahnya tetap datar. “Tinggal fotokopi aja, nanti kasih tahu aja mau kapan,” jawabnya tanpa banyak basa-basi, sambil mengetik sesuatu di ponselnya.
Rina sedikit tersenyum kikuk. “Oke, makasih ya,” katanya dengan nada ragu, merasa suasana tetap dingin meski telah mencoba membuka percakapan.
Begitulah Shafira di mata semua orang. Penampilannya sempurna, namun kepribadiannya terasa jauh, seolah ada dinding tak kasatmata yang memisahkan dirinya dari orang lain.
3594Please respect copyright.PENANArADOPDeGTY
Shafira Othman nama lengkapnya gadis cantik berhijab adalah anak tunggal dari Ustadz Farid Othman, seorang ustadz selebriti yang juga sukses sebagai pengusaha Muslim. Ibunya, Senaiya Hafidz, dulu dikenal sebagai bintang sinetron terkenal sebelum memutuskan berhijrah dan fokus mendampingi suaminya. Sebagai anak dari dua publik figur yang ternama, Shafira tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri, namun sayangnya juga angkuh dan sulit didekati.
Di kampus, Shafira dikenal sebagai sosok yang dingin bahkan terkadang arogan. Penampilannya yang selalu modis dengan hijab elegan dan tatapan dingin membuat banyak cowok ciut nyali hanya dengan melihatnya dari kejauhan. Bahkan, teman-teman ceweknya pun sering merasa segan.
Namun, di balik kesemuanya itu, Shafira punya sisi lain. Ia merasa kesepian. Kerap kali ia melihat teman-temannya bercanda dan tertawa bersama pasangan mereka, dan ada rasa iri yang pelan-pelan tumbuh di hatinya. Namun, gengsinya yang besar selalu berhasil menutupi perasaan itu.
Suatu hari di kafe kampus, Shafira sedang duduk sendirian, menikmati secangkir kopi hitam sambil membaca buku. Tak lama kemudian, seorang cowok dari fakultas teknik bernama Arman, yang sudah lama memendam rasa pada Shafira, memberanikan diri untuk mendekatinya.
"Eh, Shafira," sapanya dengan suara bergetar, namun mencoba terlihat percaya diri. "Boleh duduk di sini?"
Shafira mengangkat alis, menatap Arman dari atas hingga bawah dengan tatapan sinis. "Kenapa? Ada yang mau kamu omongin?" jawabnya dingin.
Arman menelan ludah, merasa gugup. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang. "Aku... Aku cuma mau bilang, kamu cantik banget hari ini."
Shafira tersenyum tipis, namun senyum itu jauh dari ramah. "Cantik? Itu saja? Terus, abis itu kamu mau bilang suka ama aku gitu? modal apa yang kamu punya buat naksir aku? Modal tampang kayak gitu? Atau cuma modal duit orangtua?"
Arman tergagap, tak siap dengan serangan balik dari Shafira. "Aku... Aku cuma pengen kenal lebih dekat aja," jawabnya pelan, suaranya mulai goyah.
Shafira menatapnya tajam, lalu berkata, "Dengar ya, aku nggak butuh cowok yang cuma modal nekat. Kalau cuma berani ngomong gitu doang, mendingan kamu mundur sebelum aku bikin kamu malu di depan semua orang di sini."
Arman akhirnya menyerah. Dengan langkah lesu, ia pergi meninggalkan Shafira yang kembali tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya. Di balik halaman-halaman buku itu, Shafira merasakan kekosongan yang semakin dalam. Namun, ia menolak untuk mengakui bahwa di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai bergolak.
3594Please respect copyright.PENANAdLvsfG6wcH
Keesokan harinya, Shafira kembali menjalani rutinitasnya di kampus dengan wajah datar dan dingin. Ia merasa puas telah menyingkirkan satu lagi cowok yang mencoba mendekatinya. Ada rasa puas di dalam hatinya.
Di hari itu, Shafira terlambat datang ke kelas dan terpaksa duduk di bangku belakang yang hanya menyisakan satu tempat kosong di samping seorang cowok yang tidak pernah ia perhatikan sebelumnya. Cowok itu tampak berbeda dari yang lain, dengan penampilan sederhana namun bersih, dan senyumnya yang ramah.
"Eh, boleh aku duduk di sini?" Shafira bertanya, agak tidak biasa karena harus meminta izin.
Cowok itu mengangguk sambil tersenyum. "Tentu, silakan. Nama kamu Shafira, kan?"
Shafira mengernyit. "Iya, dari mana kamu tahu?"
Cowok itu hanya tersenyum lagi. "Siapa yang nggak kenal Shafira Othman? Anak ustadz Farid Othman, kan? Aku Rizky, baru pindah ke kampus ini."
Shafira tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil membuka buku catatannya. Seperti biasa Shafira tidak peduli.
***
Di balik semua sikap dinginnya di kampus, ketika Shafira berada di rumah, suasana sangat berbeda. Rumah Shafira yang megah, dengan interior modern dan sentuhan tradisional Islami, selalu terasa hangat dengan kehadiran kedua orang tua Shafira Ustadz Farid Othman dan Senaiya Hafidz. Jarang-jarang mereka berkumpul lengkap seperti hari ini.
"Assalamu'alaikum, Ummi," sapa Shafira sambil tersenyum, kali ini senyum yang benar-benar tulus.
“Wa'alaikumsalam, Shafira sayang. Gimana kuliahnya hari ini?” tanya Senaiya lembut, sambil menyodorkan secangkir teh kepada putri tunggalnya itu.
Shafira duduk di kursi makan, menyeruput teh hangat itu perlahan. “Biasa aja, Mi. Banyak tugas, dosennya seperti biasa, ngasih soal yang aneh-aneh.” Dia menghela napas, menunjukkan sedikit keluhan, sesuatu yang jarang terlihat di luar rumah.
Senaiya tersenyum lembut. “Namanya juga kuliah. Kamu harus sabar dan fokus. Tapi Ummi bangga sama kamu. Kamu berhasil menjalani semuanya dengan baik.”
Shafira mengangguk. “Iya, Mi. Aku cuma... kadang capek. Orang-orang di kampus sering kali menyebalkan.”
Sebelum percakapan mereka berlanjut, suara pintu depan terdengar terbuka. Ustadz Farid Othman, dengan jubah putihnya yang khas, masuk ke dalam rumah sambil tersenyum lebar.
“Assalamu’alaikum …..,” sapa Ustadz Farid dengan nada ceria.
“Wa’alaikumsalam, Abi!” Shafira bangkit dari kursinya dan menghampiri ayahnya untuk mencium tangannya.
“Bagaimana kuliah hari ini, Shafira?” tanya Ustadz Farid sambil menepuk punggung putrinya dengan lembut. Suaranya selalu tenang, penuh kewibawaan namun sekaligus penuh kasih sayang.
“Alhamdulillah, lancar, Bi. Cuma tugasnya banyak,” jawab Shafira sambil duduk kembali.
Ustadz Farid mengangguk dan tersenyum. “Tugas itu latihan untuk kesabaran. Kamu pasti bisa melewatinya.”
Saat mereka bertiga duduk di meja makan, obrolan pun berlanjut. Di rumah, Shafira lebih banyak bicara. Ia tidak lagi dingin atau kaku seperti di luar. Di hadapan orang tuanya, dia menunjukkan sisi lembut dan perhatian yang jarang orang lain lihat.
"Abi, ada acara ceramah lagi malam ini?" tanya Shafira sambil mengaduk tehnya.
“Iya, di TV malam ini. Tapi tenang, nggak akan lama. Setelah itu kita bisa makan malam bareng,” jawab Ustadz Farid sambil menatap Shafira penuh kasih.
Senaiya, yang selama ini mendengarkan, ikut tersenyum melihat keakraban suami dan anaknya. "Kamu istirahat dulu ya, Fira. Ummi masakin makanan favoritmu buat malam ini," katanya dengan hangat.
***
Malam sudah larut ketika Shafira Othman, dengan wajah menggemaskan dan senyum manisnya, memasuki kamar orang tuanya. Abi dan Uminya, Farid Othman dan Senaiya Hafidz, tengah bersantai di tempat tidur. Senaiya membaca buku, sementara Farid sedang menonton tayangan berita.
Shafira berbaring di ujung kasur, memandang mereka dengan tatapan yang tidak bisa ditolak.
"Abi, Umi... Boleh nggak malam ini Shafira tidur di sini?" tanyanya dengan suara lembut, seraya memeluk guling di depannya.
Farid menoleh ke arah putrinya dan mengangkat alis, menahan tawa. "Hah? Shafira udah kuliah masih minta tidur sama Abi sama Umi? Apa nggak malu tuh?"
Senaiya menutup bukunya, tersenyum lembut ke arah anak gadisnya. "Aduh, Shafira. Udah gede kok masih manja gini? Nanti temen-temenmu denger, bisa diketawain, lho!"
Shafira hanya menggembungkan pipinya, mencoba terlihat marah tapi justru terlihat makin menggemaskan. "Ih, Umi! Kan Shafira cuma kangen... Lagi nggak bisa tidur di kamar sendiri," ujarnya, kali ini dengan nada memelas.
Farid tertawa pelan, sambil menggelengkan kepala. "Kangen apaan, sih? Udah, sini... Tapi jangan kebanyakan bergerak. Abi mau nonton berita."
Shafira langsung meloncat ke tengah kasur, membuat Senaiya ikut tertawa. "Ya ampun, kayak masih TK aja! Udah-udah, sini tidur. Tapi jangan minta didongengin ya."
Shafira memeluk Uminya, wajahnya berseri-seri. "Makasih, Umi, Abi! Janji nggak usil. Cuma mau deket-deket aja."
Senaiya mengusap kepala anaknya dengan sayang. "Iya, iya, dasar anak manja."
Malam itu, kehangatan keluarga memenuhi kamar, dengan canda dan tawa kecil, sementara Shafira merasa kembali menjadi anak kecil yang disayang oleh kedua orang tuanya.
***
Setelah beberapa saat, lampu kamar dipadamkan, menyisakan remang cahaya dari lampu meja di sudut ruangan. Suasana hening, hanya suara napas teratur Shafira yang sudah terlelap di antara mereka.
Senaiya, yang awalnya terlihat lelah, tiba-tiba menggeser sedikit posisi tubuhnya mendekati Farid. Tangannya perlahan menyentuh lengan suaminya dengan sentuhan lembut yang sudah dikenal baik oleh Farid. Ia menoleh ke arah istrinya, dan dalam keremangan, mata mereka bertemu. Ada senyum di wajah Senaiya, senyum yang sudah sering kali membuat jantung Farid berdegup.
"Abi..." bisik Senaiya, menggoda. "Umi pengen… gimana kalau main sebentar malam ini?"
Farid menahan tawa kecil, menoleh ke arah Shafira yang sudah tertidur di samping mereka. "Yakin, Mi? Ada Shafira, lho. Kalau dia kebangun gimana?"
Senaiya tersenyum jahil, mendekatkan wajahnya lebih dekat ke telinga Farid.
"Tenang aja... Dia sudah tidur, Abi. Lagipula, kita kan bisa pindah ke sofa," bisiknya sambil melirik ke arah sofa yang berada di sudut kamar mewah mereka.
Farid tertawa pelan, tapi masih ragu. "Nggak takut kalau Shafira bangun terus lihat kita?"
Senaiya tertawa lembut, jarinya kini bermain di dada Farid. "Ah, dia sudah dewasa. Pasti ngerti kalau ini ibadah suami-istri. Nggak usah khawatir, Abi."
Farid menatap istrinya yang wajahnya mirip Dina Lorenza saat usia artis itu 30an menjelang 40an, dengan perasaan hangat dan penuh cinta. Ia tahu betul betapa menggoda Senaiya saat seperti ini, dengan kelembutannya yang selalu bisa meluluhkan hati. Mata mereka bertemu sekali lagi, dan Farid tak bisa menahan senyum.
“Ya, ya… Tapi pelan-pelan, ya.”
Dengan berusaha untuk tidak menimbulkan suara, mereka berdua bangkit dari tempat tidur, berjalan pelan ke arah sofa yang berada di sisi ruangan. Sofa yang besar dan empuk itu seolah menyambut mereka dengan kehangatan. Farid duduk lebih dulu, dan Senaiya dengan gerakan anggun menyusul, duduk di pangkuannya. Tangan mereka saling menelanjangi dalam keheningan, dan cinta di antara mereka seakan kembali menyala dengan tenang namun intens.
"Mi... Kamu selalu tahu cara bikin Abi nggak bisa nolak," bisik Farid sambil menyentuh lembut wajah istrinya.
Senaiya tersenyum lembut, matanya penuh kasih. "Karena aku tahu, Abi juga nggak pernah mau jauh-jauh dari Umi."
Sentuhan Farid kemudian berpindah ke leher terus kepayudara istrinya yang masih kencang di usian 42 tahun ini. Senaiya juga mulai mengocok kontol Farid yang lumayan besar dan keras.
Dalam keheningan malam, cinta antara Farid dan Senaiya disatukan dalam persetubuhan yang halal. Mereka tenggelam dalam keintiman yang hanya dimengerti oleh pasangan yang telah lama bersama, di mana cinta dan kerinduan selalu menemukan cara untuk kembali hadir, sehangat malam itu. Keduanya mulai saling mengadu kelamin mereka. Kontol Farid memompa memek Senaiya membuat istrinya itu merintih perlahan.
***
Shafira terbangun dari tidurnya, mata perlahan membuka, mencoba menyesuaikan diri dengan remang cahaya kamar. Awalnya ia tidak terlalu peduli, namun suara bisikan halus dari arah sofa menarik perhatiannya. Di sana, samar-samar, ia melihat sosok abi dan uminya yang sedang berpelukan. Tapi yang mengagetkan Shafira mereka berdua dalam keadaan telanjang bulat. Mereka begitu dekat, lebih dari sekadar berpelukan tapi terlihat oleh Shafira Uminya bergerak turun naik dan dan sesekali memutar pinggulnya . Farid dan Senaiya, dalam keintiman yang lembut dan penuh kasih, terlihat saling menyentuh dengan cara yang Shafira belum pernah lihat sebelumnya.
Dia menatap tanpa suara, berusaha tidak membuat suara yang bisa menarik perhatian kedua orangtuanya itu. Dalam diamnya, Shafira merasa dadanya berdebar kencang. Adegan di depannya terasa asing namun menarik, dan berbagai pertanyaan mulai muncul di benaknya.
“Seperti inikah hubungan antara lelaki dan wanita dewasa? Inikah yang disebut cinta antara suami dan istri?” pikirnya.
Shafira menyaksikan bagaimana ayahnya Farid memposisikan ibunya Senaiya untuk menungging di atas sofa dan kembali memasukan kontolnya yang membuat Shafira membelalak. Itukan kemaluan lelaki yang terkadang membuat wanita tergila-gila, dan Shafira melihat bagaimana uminya merespons dengan penuh gairah dan nafsu. Tidak ada percakapan yang terdengar jelas, hanya gerakan pelan, tatapan penuh makna yang seakan berbicara lebih dari kata-kata. Suara yang terdengar adalah lenguhan, desahan dan rintihan.
Hatinya penuh tanda tanya. Apakah aku akan merasakan hal yang sama suatu hari nanti? pikirnya. Namun, bayangan itu terasa jauh. Shafira tahu betapa sulitnya dia membuka hati. Selama ini, lelaki selalu menjauh karena sikapnya yang dingin dan galak. Dia sering mendengar bisik-bisik tentang dirinya, tentang bagaimana mereka takut mendekatinya. Ia sadar akan hal itu, namun entah kenapa, tidak pernah ada keinginan kuat dalam dirinya untuk berubah.
Apa aku akan merasakan cinta seperti yang Abi dan Umi rasakan? Shafira membatin, menatap kedua orang tuanya yang sedang larut dalam cinta mereka. Ada kehangatan yang ia rasakan, namun juga kesadaran bahwa dirinya masih terkurung dalam sifat yang sudah mendarah daging. Terdengar jeritan tertahan uminya itu saat menerima sodokan kontol abinya.
Dalam heningnya malam, Shafira bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Perasaannya campur aduk antara keingintahuan dan keraguan. Apakah ia bisa merasakan keintiman seperti itu? Apakah ia bisa membuka diri, melepaskan kebekuan yang selama ini ia pertahankan?
Dia terus memperhatikan dari kejauhan, diam-diam terpesona oleh persengamaan yang tampak jelas di depan matanya. Namun jauh di dalam hatinya, Shafira tahu bahwa perjalanan menuju cinta seperti itu masih panjang dan mungkin penuh tantangan bagi dirinya.
Malam itu, Shafira terbaring lagi di kasurnya, pikirannya dipenuhi oleh bayangan yang baru saja dilihatnya. Ia tertidur dengan perasaan yang masih belum terdefinisi, bertanya-tanya kapan dan bagaimana hatinya akan mulai terbuka. Secara naluriah tangan kanannya bergerak meremas sendiri payudaranya dan tangan sebelah kiri menyentuh memeknya.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2