Shafira berjalan melintasi halaman belakang rumahnya yang luas, menikmati keheningan sore itu. Di sudut taman, Jefry, tukang kebun di rumahnya sedang sibuk merapikan tanaman hias. Shafira berhenti sejenak, memperhatikannya bekerja dengan cekatan.
Jefry, dengan kulit kecokelatan khas orang dari belahan timur Indonesia. Dia berasal dari Flores, orangnya sederhana, tidak banyak bicara, tapi setiap gerak-geriknya menunjukkan ketegasan dan rasa percaya diri yang jarang ditemui oleh Shafira dari orang-orang di lingkungannya. Dia masih seumuran dengan Shafira. Mungkin lebih tua setahun atau dua tahunan.
"Jefry," panggil Shafira.
Jefry berhenti bekerja dan menoleh, menatap Shafira dengan mata yang tenang.
"Ada apa?" tanya tukang kebun itu singkat, tanpa rasa canggung.
Shafira sempat terdiam sejenak. Dia sudah terbiasa dengan cara Jefry berbicara padanya. Tidak ada kata-kata penghormatan seperti yang biasa ia terima dari pekerja lain di rumahnya ini. Hanya sebuah pertanyaan langsung tanpa basa basi, seakan Shafira bukanlah anak dari majikannya. Kalau pekerja keluarganya yang lain kalau bicara sering didahuli kata maaf dan menyapa dia dengan non atau neng. Demikian juga terhadap ayah dan ibunya Shafira para pekerja di rumah baik itu, sopir, satpam, ART memanggil kedua orang tua Shafira dengan sebutan tuan dan nyonya. Berbeda dengan Jefry dia memanggil kedua orang tua Shafira cukup dengan sapaan bapak dan ibu.
’Besok aku mau undang teman-teman ke rumah. Kamu bisa siapin tamannya biar kelihatan lebih rapi?"
Jefry menghentikan pekerjaannya sejenak, menoleh ke arah Shafira dan menatapnya dengan tenang. Tidak ada ekspresi gentar atau segan seperti yang biasa Shafira lihat dari pekerja lain. "Bisa. Mau gimana tamannya?" tanyanya dengan nada yang lugas.
Shafira terdiam sesaat, terkejut dengan pertanyaan itu. Biasanya, pekerja lain hanya akan menjawab dengan cepat dan langsung melaksanakan apa yang diperintahkan tanpa mempertanyakan detailnya. Namun, Jefry selalu berbeda. Dia selalu memastikan bahwa segala sesuatunya jelas sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Shafira mencoba menyembunyikan rasa terkesannya dan menjawab.
"Terserah mau gimana yang penting bersih dan rapi. Pokoknya nggak ada yang berantakan, ya."
Jefry mengangguk sekali, lalu tanpa berkata lagi, kembali fokus pada ranting yang ada di depannya. Tidak ada basa-basi, tidak ada rasa takut. Hanya kerja keras dan ketegasan yang terpancar dari setiap gerakannya.
Shafira menatap Jefry untuk beberapa detik lagi sebelum akhirnya melangkah pergi. Sifat lugas dan tegas Jefry selalu membuat Shafira yang selalu angkuh dan dihormati merasa menemukan sesuatu yang berbeda dalam diri Jefry. Di satu sisi, dia merasa sedikit terganggu karena tidak mendapatkan perlakuan istimewa seperti yang biasa ia terima dari orang lain. Namun, di sisi lain, ada rasa kagum yang perlahan tumbuh di dalam hatinya—kagum pada kesederhanaan dan ketegasan yang ditunjukkan Jefry tanpa harus mengorbankan harga dirinya.
Saat berjalan dari taman menuju kedalam rumah pikiran Shafira terus dipenuhi oleh bayangan Jefry. Meskipun ia enggan mengakuinya, ada sesuatu dalam diri Jefry yang berbeda, sesuatu yang membuat Shafira merasa tertantang dan terpesona.
Di dalam rumah besar keluarga Othman, Shafira bisa menikmati kebebasan yang tidak ia rasakan di luar. Di sini, ia bisa melepaskan hijabnya dan berpakaian lebih santai—sebuah kebiasaan yang wajar mengingat ini adalah ruang pribadinya. Namun, meskipun berada di dalam rumah, Shafira tidak sepenuhnya merasa nyaman.
Setiap kali berjalan melintasi ruang tamu atau menuju taman belakang, ia sering berpapasan dengan pekerja-pekerja di rumah itu. Ada Alex, sopir keluarga yang sudah lama bekerja di sana, dan Noel, satpam yang bertugas menjaga keamanan rumah. Keduanya selalu bersikap sangat sopan, bahkan cenderung berlebihan dalam memperlakukan Shafira. Ada juga dua ART perempuan yakni Norma dan Erni.
"Maaf, Non Shafira," begitu biasanya mereka memulai percakapan, sambil menundukkan kepala dan menunjukkan rasa hormat yang berlebihan. "Ada yang bisa kami bantu, Non?"
Mereka selalu memanggilnya "non," sebuah panggilan yang menunjukkan rasa hormat, namun entah kenapa membuat Shafira merasa terasing. Ada sesuatu dalam pandangan mereka yang membuatnya tidak nyaman. Mata mereka sering terlihat seperti menelanjangi, membuat Shafira kadang risih.
Shafira sering kali merasa gerah dengan pandangan itu, meskipun tidak pernah diucapkan secara langsung. Ada sesuatu yang meresahkan dalam cara mereka melihatnya, membuat Shafira ingin segera berlalu setiap kali berada dekat dengan mereka.
Berbeda dengan Jefry, yang sering berpapasan dengannya di taman atau di sekitar rumah, tidak pernah menunjukkan sikap yang sama. Dia tidak pernah menundukkan kepala secara berlebihan atau berbicara dengan nada yang dibuat-buat. Pandangan Jefry selalu lurus dan tegas, tanpa ada tanda-tanda penghormatan berlebihan pada majikan atau rasa segan yang kurang pada tempatnya.
Hal ini membuat Shafira merasa lebih nyaman saat berhadapan dengan Jefry, meskipun ia tidak pernah menunjukkan hal itu secara langsung. Mungkin itulah alasan kenapa setiap kali Jefry ada di dekatnya, Shafira merasa lebih aman, lebih menjadi dirinya sendiri.
Namun, ketika bersama Alex dan Noel, perasaan itu berubah menjadi kegelisahan. Mereka selalu sopan dan segan, tetapi ada batas tipis antara rasa hormat dan ketidaknyamanan yang sering mereka lewati. Shafira tahu, di balik kata-kata sopan mereka, seolah ada hasrat yang mereka coba sembunyikan. Tapi Shafira mencoba tidak peduli. Selama mereka tidak menyenggol dia maka dia akan bersikap dingin saja terhadap mereka.
Sore itu, ketika Shafira kembali berjalan menuju taman belakang, dia melihat Jefry sedang bekerja seperti biasa. Hatinya sedikit tenang melihat kehadirannya, meskipun ia masih merasakan kegelisahan akibat pandangan orang-orang lain di rumah itu. Tanpa disadari, Shafira mulai lebih sering mencari alasan untuk berada di taman, di tempat di mana dia tahu Jefry ada di sana. Di sana, dia merasa aman dari pandangan-pandangan yang membuatnya risih, dan entah bagaimana, keberadaan Jefry menjadi sebuah kenyamanan tersendiri yang tidak ia dapatkan di tempat lain.
Selain kehadiran Jerfri, Alex dan Noel, di rumah keluarga Shafira juga ada ART bernama Erni dan Norma, dua asisten rumah tangga yang sudah lebih lama bekerja di sana. Erni terkenal teliti dalam mengurus kebutuhan keluarga, mulai dari menyiapkan makanan hingga menjaga kebersihan rumah. Sedangkan Norma, yang lebih muda dan ceria, sering membantu di dapur dan melayani kebutuhan sehari-hari Shafira.
Shafira, yang masih mengenakan kaos longgar dan celana jeans sobek-sobek khas anak kuliahan, duduk santai di ruang tamu rumahnya. Buku-buku kuliah berserakan di meja. Sore itu, dia baru saja selesai mengerjakan tugas makalah. Di dapur, suara sendok beradu dengan piring terdengar jelas, menandakan bahwa seseorang sedang sibuk bekerja.
“Non, kue bolunya udah jadi, nih,” suara Erni yang tenang terdengar dari arah dapur. Erni, seperti biasa, sigap menyiapkan semuanya dengan rapi dan sempurna.
Shafira melonggarkan ikat rambutnya sambil menoleh ke arah Erni yang datang membawa sepiring bolu cokelat. "Wah, Mbak Erni, kue lagi? Ini kesekian kalinya minggu ini," ucapnya setengah bercanda.
Erni tersenyum kecil, meletakkan kue di meja. "Non Shafira kan suka kue. Lagian kalau Mbak nggak masak, Mbak bingung mau ngapain lagi."
Norma, yang lebih muda dan ceria, muncul sambil membawa jus jeruk, langkahnya ringan seperti biasa. "Bener tuh, Mbak Erni kalau nggak sibuk bersih-bersih atau masak, langsung kayak orang bingung," goda Norma sambil duduk di sofa.
Shafira tertawa pelan, menatap kedua asisten rumah tangganya yang sudah seperti kakak dan adik baginya. "Mbak Erni memang nggak bisa diem, ya. Tapi makasih banget loh, kalian selalu bikin rumah ini terasa nyaman."
Norma, dengan gayanya yang santai, menyandarkan tubuhnya di sofa. "Ya ampun, Non. Kita juga seneng kok kerja sama Nona yang santai kayak gini. Kuliahnya gimana, Non? Masih pusing sama tugas-tugas?"
Shafira menghela napas panjang, menatap buku-buku yang berantakan. "Pusing banget, Norm. Untung ada kalian, jadi urusan rumah nggak bikin tambah stres."
Erni, yang selalu serius dalam bekerja, hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. "Yang penting Non fokus sama kuliah. Urusan rumah biar kami yang urus."
Norma menimpali, "Iya, Non. Mbak Erni aja sampai ketelatenan banget ngurusin rumah ini. Liat deh, sampai nggak ada debu sebiji pun."
Shafira tersenyum lebar. "Kalian berdua memang andalan. Aku nggak tahu deh, gimana jadinya kalau nggak ada kalian."
Norma menyikut pelan lengan Erni sambil berbisik, "Liat tuh, Mbak, kita dibutuhin banget sama Non Shafira. Jadi jangan serius-serius amat, Mbak."
Erni hanya menggeleng sambil tertawa pelan. "Udah kebiasaan, Neng."
Mereka bertiga tertawa bersama, sore yang ringan dengan obrolan yang hangat.
Shafira lumayan akrab juga dengan dua ART perempuan di rumahnya. Beda dengan Alex dan Noel di hati mereka ada perasaan segan dan takut terhadap putri majikan mereka Shafira, yang mereka anggap terlalu menjaga jarak, terutama dengan para pekerja pria di rumahnya.
2889Please respect copyright.PENANAuQogM3m2Yh
****
Hari itu, rumah besar keluarga Othman terlihat lebih ramai dari biasanya. Ada beberapa teman kuliah Shafira datang dan mengerjakan tugas kelompok di rumahnya. Meski Shafira jarang mengundang orang ke rumah, kali ini ia tidak punya pilihan karena tugas yang diberikan dosen mewajibkan dia sebagai ketua kelompok dan membuatnya memutuskan untuk mengerjakan di rumahnya daripada di tempat lain.
Teman-temannya datang dengan perasaan campur aduk—antara senang karena bisa melihat rumah mewah Shafira, dan cemas karena tahu betapa angkuhnya dia. Begitu mereka tiba, Shafira menyambut mereka di ruang tamu yang luas, dengan tatapan dingin dan senyum tipis yang tak pernah benar-benar hangat.
"Silakan duduk, kita bisa mulai sekarang," kata Shafira, suaranya tegas dan tanpa basa-basi.
Semua teman-temannya duduk dengan sedikit kaku. Ruang tamu yang megah dan penuh dengan perabotan mahal membuat mereka merasa seperti tamu yang tidak diundang. Mereka mulai membuka laptop dan mengeluarkan catatan, berusaha fokus pada tugas yang harus diselesaikan.
"Jadi, siapa yang sudah mengerjakan bagian pendahuluan?" tanya Shafira, tatapannya menyapu semua orang di ruangan itu.
Salah satu teman, Rani, dengan hati-hati mengangkat tangan. "Aku sudah buat drafnya, tapi belum lengkap. Mungkin bisa kita diskusikan dulu."
Shafira mengambil kertas yang diberikan Rani, membaca sekilas, lalu tanpa ragu berkata, "Ini terlalu dangkal. Kalau kamu mau lulus dengan nilai bagus, kita harus lebih serius. Ini nggak bisa diterima."
Rani menundukkan kepala, merasa terintimidasi. "Iya, maaf. Aku akan perbaiki lagi."
"Jangan minta maaf, perbaiki saja," balas Shafira, nada suaranya tegas, hampir seperti perintah.
Teman-teman lainnya saling pandang, merasa semakin tidak nyaman. Mereka tahu Shafira perfeksionis dan selalu ingin segala sesuatunya sempurna, tapi sikapnya yang keras membuat suasana semakin tegang. Tak ada seorang pun yang berani membantah atau memberikan pendapat, takut menjadi target berikutnya dari kritik Shafira.
Selama beberapa jam berikutnya, mereka bekerja dalam diam, hanya berbicara jika benar-benar perlu. Shafira terus memantau pekerjaan mereka dengan teliti, tidak segan-segan mengkritik jika ada yang menurutnya tidak sesuai standar.
Saat salah satu temannya, Indra, mencoba memberikan ide yang sedikit berbeda dari yang direncanakan, Shafira langsung memotongnya. "Kita nggak punya waktu untuk coba-coba, Indra. Ikuti rencana awal, itu sudah paling efisien."
Indra terdiam, merasa malu dan frustrasi. Ide yang dia pikirkan tadi langsung dipendam, tidak ada gunanya berbicara lebih banyak lagi jika hanya akan mendapatkan kritik tajam dari Shafira.
Ketika jam sudah menunjukkan hampir pukul enam sore, Shafira akhirnya berkata, "Baik, cukup untuk hari ini. Aku harap kalian bisa perbaiki semua yang masih kurang sebelum kita lanjutkan besok."
Mereka semua mengangguk, merasa lega tugas kelompok itu akhirnya selesai untuk hari itu. Ketika mereka bersiap-siap untuk pulang, Shafira tidak menunjukkan tanda-tanda keramahan atau kehangatan seperti biasanya tuan rumah pada tamunya.
"Terima kasih sudah datang," katanya singkat, sebelum meninggalkan mereka menuju ke lantai atas tanpa banyak kata lagi.
Di perjalanan pulang, teman-temannya saling berbicara tentang pengalaman mereka. "Shafira benar-benar kaku banget, ya," kata Rani sambil menghela napas.
"Ya, aku merasa nggak nyaman sama sekali," tambah Indra. "Aku tahu dia pintar, tapi caranya bikin kita semua merasa bodoh."
Mereka semua sepakat bahwa meski Shafira adalah orang yang cerdas, sikap angkuhnya membuat mereka enggan untuk lebih dekat dengannya. Di balik pintu rumah besar itu, Shafira tetap seorang gadis yang sulit didekati, dengan tembok tebal yang dia bangun sendiri untuk menjaga jarak dari orang lain. Namun, sedikit yang tahu bahwa di balik tembok itu, ada perasaan kesepian yang perlahan-lahan mulai menggerogoti hatinya.
***
Salah satu tempat favorit di rumah bagi Shafira adalah kolam renang. Shafira selalu merasa nyaman di kolam renang pribadinya. Di sana, dia bisa melupakan segala tekanan dan tuntutan yang datang dari kehidupan sehari-harinya. Air yang dingin dan segar selalu menjadi pelarian yang menenangkan setelah hari-hari yang melelahkan. Tidak ada yang mengganggunya di sini; area kolam renang ini adalah tempat pribadinya, di mana para pekerja tidak diizinkan masuk sembarangan kecuali untuk membersihkan dan mengganti air kolam. Atau jika dibutuhkan bantuan dari ART wanita mereka bisa diizinkan masuk ke area kolam.
Hari itu, seperti biasa, Shafira mengenakan bikini two-piece-nya yang minim dan menonjolkan lekuk liku tubuh indahnya yang mulai terbentuk di usia dia yang masuk 19 tahun. Shafira melompat ke dalam air dengan penuh semangat. Gelombang kecil tercipta saat tubuhnya menyentuh permukaan air, menciptakan riak yang tenang di sekelilingnya. Shafira merasa bebas, tanpa beban, tanpa harus berpikir tentang penampilan atau pandangan orang lain. Di sini, dia hanya menjadi dirinya sendiri, menikmati setiap detik ketenangan yang jarang dia dapatkan di tempat lain.
Namun, ada sesuatu yang Shafira tidak pernah tahu. Di balik dinding yang mengelilingi area kolam renang itu, ada dua pasang mata yang diam-diam memperhatikannya. Mengintip dia dengan tatapan birahi penuh hasrat birahi.
Alex dan Noel, pekerja rumahnya yang seharusnya menjaga keamanan dan kenyamanan di rumah itu, ternyata menyimpan niat yang jauh dari tugas mereka. Mereka sering kali berdiri di balik celah kecil di dinding, mengintip Shafira yang sedang berenang dengan penuh gairah. Bagi mereka, momen ini adalah kesempatan yang tak ternilai, meskipun tindakan itu jelas-jelas melanggar privasi majikannya.
"Hati-hati, jangan sampai ketahuan," bisik Alex pada Noel saat mereka mengintip melalui celah kecil di dinding.
Noel mengangguk, matanya tidak lepas dari sosok Shafira yang sedang berenang. "Tenang aja, nggak mungkin dia sadar. Lagian, siapa yang bakal curiga?"
Mereka terus mengamati, menikmati setiap gerakan Shafira di air. Sementara itu, Shafira sama sekali tidak menyadari bahwa setiap langkah dan gerakannya di kolam renang sedang diperhatikan dengan penuh perhatian dari balik dinding itu.
Setelah puas berenang, Shafira naik ke tepi kolam dan berbaring di kursi panjang untuk berjemur, membiarkan sinar matahari menyentuh kulitnya. Dia menutup mata, merasa benar-benar damai di bawah sinar matahari yang hangat. Tapi damai yang dirasakannya itu hanyalah sebuah ilusi, karena di balik kedamaian itu, ada mata-mata yang terus mengintip, mengawasi dengan niat yang tidak pernah ia duga.
Saat Shafira akhirnya memutuskan untuk selesai dan kembali ke dalam rumah, Alex dan Noel perlahan pergi dari tempat persembunyian mereka, membawa serta rahasia gelap yang hanya mereka ketahui.
“Aku jadi pengen coli liat body Shafira!” ucap Noel.
“Kalau aku bukan pengen coli bro, tapi pengen ngentotin dia!”Sahut Alex.
“Gila lo, emang berani?”
“Kalau ada kesempatan gua berani entotin memek perawan Shafira!”
Bersambung
ns 15.158.61.8da2