Pagi itu, aku baru saja tiba di kantor, seperti biasa mengenakan cadar yang sudah jadi bagian dari identitasku selama lima tahun terakhir. Sejak aku menikah dengan Bimo. Suamiku itu seorang Ustadz di sebuah madrasah swasta, sedang pekerjaanku adalah sebagai PNS. Ketika aku sedang memeriksa berkas-berkas di meja kerja, tiba-tiba ada suara asing yang memanggil namaku dengan nada penuh canda, "Nana?"
Namaku Dayana dan tak banyak yang memanggilku dengan sapaan Nana. Aku menoleh, terkejut. Di hadapanku berdiri seorang pria tinggi, berkulit agak gelap, dengan senyum yang tak pernah berubah. Matanya berbinar mengingatkan aku pada masa kecil.
"Hendrik?!" Tanyaku, nyaris tak percaya.
"Iya, aku. Nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini?" jawabnya sambil tersenyum lebar. Senyumnya yang sama seperti dulu, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Dia tampak lebih dewasa, lebih matang.
Aku mengangguk pelan, masih dalam keadaan setengah syok. "Kamu… di sini?Jadi Hendrik Imanuel itu kamu? Astaga" .
"Yep. Baru aja selesai lapor. Aku mikir Dayana yang kulihat di daftar pegawai itu mungkin kamu tapi hanya nebak-nebak gak tahunya emang kamu!" Hendrik tertawa kecil, dan suaranya membawa kenangan masa kecil yang selama ini kusimpan rapi di sudut ingatan.
Aku tersenyum di balik cadarku.
"Kamu kok bisa ngenalin aku padahal aku pakai cadar loh?" tanyaku, entah kenapa ada perasaan hangat yang tiba-tiba menyelimutiku.
"Ya iyalah! Masa aku lupa si Nana kecil tetangga aku. Meski kamu pakai cadar aku tetap kenal mata kamu yang indah ini," jawabnya sambil menunjuk ke arahku dengan ekspresi bangga.
Aku tertawa pelan. "Kamu bisa aja. Tapi kamu juga berubah. Hendrik. Udah lama banget, ya."
Hendrik mengangguk. “Btw, kamu sekarang gimana? Kamu udah nikah?"
Aku mengangguk pelan. "Iya, udah lima tahun. Suamiku seorang guru di madrasah. Kalau kamu gimana udah nikah belum?"
"Aku mah belum." katanya sambil mengangkat bahu. "Eh iya aku kan baru di sini. Ini hari pertama aku di sini, kamu harus temeni aku tour kantor!"
Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku tak pernah menyangka akan bertemu dengan Hendrik lagi setelah sekian lama. Nama lengkapnya Hendrik Imanuel, tetanggaku sejak kecil yang dulu selalu memanggilku Nana. Rasanya seperti mimpi. Kami dulu sekelas dari TK sampai SD, begitu dekat meskipun kami berbeda agama. Dia yang selalu melindungiku dari para pembully saat aku masih kecil. Aku memang baca di grup WA kantor akan masuk CPNS dengan nama Hendrik Imanuel. Aku tidak berpikir itu adalah Hendrik sahabat masa kecilku.
Aku tersenyum lagi. Meskipun dalam hati, aku merasa sedikit aneh. Hendrik. Siapa sangka dia bakal muncul lagi dalam hidupku? Rasanya seperti membuka kotak kenangan masa kecil.
Aku masih terkejut, sejujurnya, bagaimana Hendrik bisa mengenaliku padahal aku sekarang bercadar. Sudah bertahun-tahun kami tak bertemu, dan hidupku sudah sangat berbeda dari masa kecil dulu. Tapi, di saat itu, berdiri di hadapanku, Hendrik tetap sama seperti dulu—dengan candaannya yang khas, selalu bisa mencairkan suasana.
“Aku masih kepikiran kok kamu bisa tahu ini aku, padahal aku pake cadar loh?” tanyaku, suaraku penuh keheranan.
Hendrik tertawa pelan. “Ya ampun, Nana. Kamu kira aku bakal lupa? Setelah lihat nama kamu di meja kerja itu. Dan lihat mata kamu semuanya masih Dayana yang dulu.”
Aku tersenyum malu di balik cadar. Bagaimana mungkin dia bisa begitu yakin? Aku sekarang berbeda jauh. Aku bukan lagi Dayana kecil yang selalu dia belain dari anak-anak nakal di sekolah dulu. Aku berbeda dengan penampilanku yang memakai cadar. Tapi Hendrik? Dia seolah tak berubah, masih sama dengan caranya yang mudah membuatku nyaman.
“Gimana caranya kamu bisa yakin kalau itu aku?” tanyaku sambil mencoba meredam senyum di balik cadar.
“Aku baca-baca web site kantor ini dulu sebelum masuk sini,” jawabnya sambil menyeringai kecil. “Aku lihat-lihat nama pegawai di kantor ini, dan ketika aku nemu ada nama ‘Dayana Purwaningsih,’ aku langsung tahu. Aku yakin itu pasti kamu.”
Hatiku berdebar mendengar penjelasannya. “Tapi, kan, Dayana itu banyak, Hendrik. Kenapa kamu langsung yakin kalau itu aku?”
Dia memandangku dengan tatapan yang sulit kujelaskan, ada kehangatan di sana. “Nggak tahu, ya. Feeling aja. Kamu tahu kan, kita dari kecil selalu bareng. Aku selalu bisa ngerasain kalau ada sesuatu yang berkaitan sama kamu. Makanya, begitu lihat nama itu, aku langsung yakin. Dan bener, kan?”
Aku tak bisa menahan senyum yang lebih lebar sekarang. Ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuatku merasa seperti kembali ke masa kecil, ketika semua terasa sederhana dan penuh tawa. Tapi di saat yang sama, ada perasaan yang tak kukenal sebelumnya. Mungkin karena kami berdua sudah dewasa, sudah menjalani hidup masing-masing, tapi entah kenapa percakapan ini terasa begitu akrab, begitu nyaman.
“Lucu, ya. Kita ketemu lagi di tempat yang nggak pernah aku duga,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri.
Hendrik tersenyum, kali ini lebih lembut. “Kita memang selalu punya cara buat ketemu lagi, Na.”
Aku terdiam sejenak. Kata-katanya menggema dalam pikiranku. Mungkin benar. Mungkin ini bukan kebetulan. Tapi apa artinya, aku belum tahu. Yang jelas, ada sesuatu yang menggetarkan hatiku sejak dia muncul lagi di hadapanku pagi ini.
“Ayo, aku beneran perlu tur kantor ini,” kata Hendrik sambil terkekeh. “Siapa tahu aku butuh kamu buat belain aku sekarang, gantian.”
“Hahahhaha… Iya bener di sini tukang bully semua. Tapi kamu jangan khawatir. Aku bakal jaga kamu.”
Aku tertawa kecil, merasa semakin cair ngobrol dengan Hendrik. Tapi dalam hati, aku yang justru merasa seperti kembali menjadi Dayana kecil yang butuh perlindungan. Meski sekarang sudah berbeda, kehadiran Hendrik membuatku merasa terlindungi lagi—sama seperti dulu.
"Baiklah, selamat datang di kantor, Hendrik. Ayo, kita keliling."
Saat kami mulai berjalan berkeliling, aku tak bisa menahan rasa nostalgia yang perlahan menyelinap. Hendrik, teman kecilku yang selalu membela aku dari gangguan anak-anak bandel, kini kembali hadir di kehidupanku.Jadi teman sekantor tidak pernah aku bayangkan.
Kami berdua berjalan perlahan di koridor kantor setelah aku selesai memberikan tur singkat untuk Hendrik. Suasana terasa lebih santai sekarang, seolah-olah jarak waktu dan kehidupan yang memisahkan kami selama bertahun-tahun mulai memudar. Saat itu, Hendrik tiba-tiba tertawa kecil dan melirikku.
"Kamu tahu nggak, Na?" katanya dengan nada bercanda yang khas. "Aku dari tadi tuh kangen pengen lihat wajahmu sekarang."
Aku tersenyum di balik cadar, agak merasa geli tapi juga sedikit canggung mendengar ucapannya. "Ah, Hendrik, kamu ada-ada aja," jawabku sambil berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang mulai muncul.
"Nggak beneran, loh," lanjutnya, masih dengan nada ringan. "Dari dulu kamu kan sudah cantik. Sejak TK aja kamu itu sudah jadi rebutan anak-anak cowok. Semua suka sama Dayana yang imut dan manis."
Aku terdiam sejenak, mengingat masa-masa itu. Ya, Hendrik memang selalu jadi pelindungku. Ketika ada yang berusaha menggoda atau mengejek, dia akan selalu ada di sana, berdiri di depanku dengan sikap gagahnya, seolah-olah siap membela aku kapan saja. Tapi waktu itu, aku tidak pernah berpikir bahwa kecantikan atau perhatian dari orang lain adalah hal yang penting. Aku hanya menikmati kehadiran Hendrik yang selalu membuatku merasa aman.
Sekarang, mendengar pujiannya lagi setelah bertahun-tahun, ada perasaan aneh yang menyelinap di hatiku. Sesuatu yang pernah terkubur lama, tiba-tiba muncul kembali.
"Tapi, ya..." Hendrik melanjutkan, memandangku dengan senyum menggoda, "Sekarang pasti kamu jauh lebih cantik. Apalagi udah dewasa."
Aku tertawa kecil, sedikit tersipu di balik cadar. "Hendrik, aku kan sekarang sudah pakai cadar. Hanya suamiku yang bisa lihat wajahku."
Dia terdiam sesaat, senyumnya meredup sedikit, tapi masih ada kilatan canda di matanya. "Oh iya, ya. Aku lupa kamu sekarang sudah pakai cadar. Suamimu pasti orang yang beruntung banget."
Mendengar kata-katanya, ada sesuatu yang bergetar dalam hatiku. Aku tahu apa yang dia katakan hanya candaan, tapi entah kenapa, ada rasa yang sulit kuabaikan. Sejak menikah dengan Bimo, memang hanya dia yang bisa melihat wajahku, dan aku telah menerima itu sebagai bagian dari kewajibanku sebagai istri. Namun, mendengar Hendrik berkata seperti itu, tiba-tiba aku merasakan kerinduan yang tak terduga. Bukan hanya kerinduan pada masa lalu, tapi juga kerinduan pada kebebasan yang pernah kumiliki.
“Ya, begitulah,” jawabku pelan, berusaha menutup percakapan dengan senyum lembut di balik kain cadarku. “Sekarang hidupku sudah berbeda, Hendrik.”
Dia mengangguk, kali ini senyumnya lebih tenang. “Iya, aku ngerti, Daya. Tapi kamu tahu nggak, bagaimanapun caranya, aku masih bisa lihat Dayana yang dulu. Bukan dari wajahmu, tapi dari cara kamu bicara, dari gerakanmu. Kamu tetap Dayana yang aku kenal.”
Hatiku sedikit bergetar mendengar itu. Meskipun aku sekarang telah berubah, telah menjadi wanita yang berbeda dengan segala kewajiban dan tanggung jawab, kata-katanya mengingatkanku bahwa di dalam semua itu, masih ada Dayana yang dulu—Dayana yang bebas, yang penuh tawa dan kebahagiaan masa kecil.
“Terima kasih, Hendrik,” kataku pelan, merasa bahwa meskipun kami berjalan di jalur kehidupan yang berbeda, persahabatan kami masih tersisa di sana, di balik semua cadar, jarak, dan waktu.
***
Sejujurnya, lima tahun pernikahanku dengan Bimo terasa seperti berjalan di tempat. Hambar. Kehidupan kami terlalu datar, tanpa gairah yang dulu sempat kubayangkan akan hadir ketika aku akhirnya menikah. Rasanya, ada yang hilang. Mungkin juga karena kami belum dikaruniai anak, sesuatu yang sejak awal pernikahan selalu diharapkan oleh keluarga kami, dan terus-menerus menjadi bahan perbincangan di setiap pertemuan keluarga.
Bimo adalah suami yang baik, tetapi ia juga sangat berbeda dariku dalam hal keyakinan akan kehidupan berumah tangga. Ketika kami menikah, kami tidak melalui proses pacaran, melainkan taaruf. Proses itu berlangsung cepat—semuanya teratur, sesuai dengan apa yang diajarkan agama kami. Saat itu, aku merasa yakin bahwa ini adalah jalan yang benar, bahwa dengan menjaga jarak dan tidak terlibat dalam hubungan yang terlalu personal sebelum menikah, kami akan diberkati dengan rumah tangga yang damai dan penuh berkah.
Namun, seiring waktu berjalan, aku mulai merasa ada tembok yang tak kasat mata antara aku dan Bimo. Mungkin karena kami memulai semuanya terlalu terburu-buru. Atau mungkin karena sejak awal aku merasa bahwa ada sisi dalam diriku yang tertahan, tak mampu mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
Satu hal yang tak pernah kulupakan adalah saat Bimo memintaku mengenakan cadar setelah menikah. Itu terjadi beberapa minggu setelah kami resmi menjadi suami istri.
“Dayana, aku ingin kamu mulai pakai cadar,” kata Bimo dengan nada lembut tapi tegas suatu malam tak lama setelah kami menikah.
Aku menatapnya, sedikit terkejut. “Kenapa, Mas? Bukankah hijabku sudah cukup?”
Bimo tersenyum tipis, matanya serius namun lembut. “Ini bukan soal cukup atau tidak. Ini soal menjaga kehormatan, menjaga apa yang seharusnya menjadi milikku sebagai suamimu. Kamu pasti tahu, kan, betapa pentingnya menjaga aurat?”
Aku diam, tak ingin berdebat. Sebagai istri, aku merasa wajib mematuhinya. Itu kewajibanku. Aku harus mencintai suamiku Bimo, meski aku tahu cintaku belum tumbuh sedalam yang kuharapkan dalam lima tahun ini. Namun, aku tetap menghormatinya, menghormati peranannya sebagai suamiku.
Akhirnya, dengan berat hati, aku mengikuti keinginannya. Mulai saat itu, aku mengenakan cadar, meskipun di dalam hati, ada bagian kecil dari diriku yang merasa terperangkap. Bukan karena aku menolak ajaran agama atau merasa tertekan, tapi karena cadar yang kumulai kenakan membuatku merasa kehilangan sebagian dari identitasku sendiri.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2