Bimo tak pernah memaksa dengan keras, tapi dia selalu membuatku merasa bahwa ini adalah pilihan yang harus aku ambil, demi kebaikan rumah tangga kami. Aku menuruti, karena aku tahu itu kewajibanku sebagai istri—untuk patuh, untuk mengikuti arahan suami.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku menyadari sesuatu yang pahit. Perasaan antara aku dan Bimo tidak pernah berkembang menjadi apa yang kuharapkan. Hubungan kami terasa lebih seperti kewajiban daripada cinta yang tumbuh alami. Kami menjalani hari-hari bersama, tapi entah mengapa, rasanya ada jarak yang tak bisa kujelaskan.
Setiap kali kami berbicara soal memiliki anak, Bimo akan tersenyum tenang, berkata, "Kita hanya perlu sabar. Allah pasti akan memberi di waktu yang tepat." Tapi kesabaran itu terasa berat bagiku. Aku ingin lebih dari sekadar menunggu. Aku ingin merasakan keintiman, kehangatan, yang selama ini hanya hadir dalam imajinasi.
Namun, Bimo terlalu kaku, terlalu fanatik dengan caranya menjalani agama. Semua harus sesuai aturan, tak ada ruang untuk spontanitas, apalagi untuk romansa yang mungkin aku dambakan. Aku selalu berusaha menerima, berusaha meyakinkan diriku bahwa inilah takdirku sebagai istri yang sholehah.
“Mah malam jumat.” Seperti biasa hanya begitu saja cara Bimo mengajak aku berhubungan intim.
“Oh iya pah.”
Kemudian dia mulai mencium keningku, mencium bibir. Meraba-raba terus menelanjangi aku dan dirinya sendiri. Habis itu dia memainkan memek aku dengan jarinya sampai dirasa basah baru dia memasukan kontolnya yang ukurannya hanya 11 cm saja.
Aku mulai merasa terangsang saat kontol Bimo menggesek makin cepat di dalam sana dan seperti membesar tapi habis itu crottttt… kontolnya menyemprotkan sperma dan habis itu dia akan tertidur lelap.
***
Aku menarik napas dalam-dalam, menatap jam dinding yang seolah berjalan sangat lambat. Hari Minggu lagi, dan itu artinya satu hal: kunjungan wajib ke rumah mertua. Bukan karena aku tidak menyayangi mereka, sama sekali tidak. Mama dan Papa mertua orangnya baik sekali. Masalahnya adalah suasana kumpul keluarga yang selalu membuatku sedikit... gugup.
Setiap kali berkunjung, aku selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang sama: kapan punya anak, bagaimana cara mengurus rumah tangga, dan berbagai gosip tetangga yang kadang membuatku ingin menghilang. Aku berusaha tersenyum dan menjawab dengan sopan, tapi jujur saja, aku merasa seperti sedang menjalani interogasi.
Aku ingat sekali waktu, saat sedang mengobrol dengan Tante Lina, adik dari mertua perempuan aku. Dia mulai membandingkan aku dengan menantu perempuannya yang lain. "Kamu harus lebih sering masak makanan tradisional, Sayang. Suamimu kan orang Jawa, harusnya kamu sudah tahu dong." Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kecut. Dalam hati, aku berteriak, "Aku kan bukan anak indigo, Tante! Masa langsung tahu semua resep masakan Jawa?"
Aku tahu, ini adalah hal yang wajar dalam sebuah keluarga besar. Tapi, aku merasa seperti tidak pernah bisa memenuhi ekspektasi mereka. Aku selalu merasa ada yang kurang dari diriku.
Tapi bukan hal itu yang membuat aku tidak suka dengan acara kumpul-kumpul di rumah mertua. Semua hal yang aku sebutkan tadi masih bisa aku atasi dan hadapi. Tapi ada satu soal yang sangat sulit aku terima dan belum menemukan solusi yang tepat tentang itu.
Kakak perempuan Bimo namanya Nurain, aku biasa memanggilnya mbak Ain. Dia sangat baik padaku tapi yang jadi masalah adalah suaminya. Mas Dirga nama suaminya itulah masalah utama yang membuat aku sangat tidak suka dengan kegiatan mengunjungi rumah mertua setiap minggu. Bertemu dengan lelaki itu sebuah masalah yang sangat memusingkan kepalaku.
Mas Dirga sebenarnya sangat baik dalam hal lain. Dia yang menolong suamiku Bimo bisa dapat pekerjaan menjadi guru di Madrasah Swasta itu. Sebelumnya Bimo sempat bekerja di sebuah Bank Syariah yang karena sesuatu hal melakukan perampingan karyawan. Bimo menjadi bagian pegawai yang kehilangan perkerjaannya. Dia sempat jadi ojek online selama hampir setahun sebelum akhirnya jadi guru di Madrasah Aliyah swasta itu berkat pertolongan Mas Dirga. Karena Bimo lulusan IAIN jurusan Tarbiyah menjadi guru sangat sesuai dengan pendidkan dia.
Mas Dirga begitu dihormati oleh keluarga mertuaku. Dia orangnya terkesan agamis, dia juga kerja sebagai PNS di Departemen Agama dengan jabatan lumayan di kantornya. Makanya dia bisa mencarikan pekerjaan buat suamiku di Madrasah Aliyah karena itu masih ruang lingkup Departemen Agama. Selain mencarikan pekerjaan buat Bimo dia juga banyak membantu masalah keuangan aku dan Bimo saat masa-mas sulit.
Tapi sikap dia kepadaku jauh dari kesan agamis. Bahkan sangat bertolak belakang. Bagaimana tidak, mas Dirga matanya sering jelalatan melihat bentuk tubuh aku. Melihat pingguku yang katanya bahenol. Sebenarnya hal itu masih bisa ditoleril. Tapi mas Dirga bukan hanya melihat dengan pandangan mesum tubuh aku tapi dia melakukan hal lain yang membuat aku kesal. Saat berpapasan dia dengan sengaja menyentuhkan tangannnya ke pantat aku. Awalnya sekedar menyentuh tapi lama-kelamaan sentuhan dia makin liar bahkan sudah mulai berani meremas.
Hingga saat ini aku tak tahu dengan cara apa aku mengatasi masalah dengan mas Dirga. Karena ini menyangkut keutuhan rumah tangga kakak ipar perempuanku mbak Ain.
Aku menghembuskan napas panjang, menatap cermin di sudut kamar. Pikiranku kembali pada kejadian terakhir saat kami bertemu di acara keluarga. Ketika aku baru saja melangkah masuk, di tengah kerumunan yang bising, dia sudah ada di sana, seperti biasa menatapku dengan tatapan penuh hasrat. Tatapan yang tak pernah bisa kusamarkan sebagai ramah atau sekadar sopan. Itu lebih dari sekadar menatap—itu seolah tatapan menelanjangi tubuhku.
"Mbak, sini duduk sama kita," suara Mbak Ain yang hangat menarikku kembali ke kenyataan. Senyumku merekah tipis, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang terus menggelayuti pikiran. Aku bergabung dengan mereka di ruang tamu, mencoba fokus pada obrolan yang penuh canda tawa tentang keluarga dan pekerjaan. Tapi aku tahu, kehadiran Mas Dirga selalu membayangi.
Waktu itu, di lorong menuju dapur, saat aku mau mengambil minuman, aku berpapasan dengannya. Aku berusaha menghindar, tapi dia malah semakin mendekat. Sentuhan itu terasa lagi—di pinggulku. "Maaf," bisiknya, dengan senyum yang membuatku mual. Bukan sentuhan yang tak disengaja, bukan kebetulan. Ini seperti ritual yang dia lakukan setiap kali kami berada dalam jarak dekat.
Awalnya aku berpikir mungkin hanya kebetulan, tapi seiring waktu, intensitasnya meningkat. Bukan hanya sentuhan biasa, tapi dia mulai meremas pinggulku dengan perlahan namun pasti, saat orang-orang tak memperhatikan.
Aku sering kali ingin melawan, ingin menghindar, tapi suaraku seperti tercekik di tenggorokan. Mas Dirga... dia dihormati oleh semua orang di keluarga ini. Lebih dari itu, dialah yang telah membantu suamiku, Bimo, mendapatkan pekerjaan setelah masa-masa sulit ketika dia di-PHK dari Bank Syariah. Semua ini membuatku terjebak dalam rasa takut dan bersalah yang membelenggu.
"Sayang, kok kelihatan melamun?" suara Bimo membuyarkan lamunanku. Aku menatap suamiku yang tampak berseri-seri. Bimo tak tahu apa yang terjadi, dan aku tak bisa—atau mungkin, tak berani—memberitahunya. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan hal itu? Mas Dirga adalah kakak iparnya, seorang yang dihormati sebagai figur agamis, seorang pejabat di Departemen Agama kota kami.
Aku menggigit bibir, menahan semua gejolak di dalam hati. Sesaat aku berkhayal melaporkan apa yang terjadi, tapi bayang-bayang kehormatan keluarga, posisi Mas Dirga yang tak tergoyahkan, dan rasa ketergantungan suamiku pada kebaikan Mas Dirga membuat semuanya terlalu rumit.
"Enggak, cuma capek aja, Mas," jawabku pelan, tersenyum hambar pada Bimo. Aku menunduk, menyembunyikan tatapan penuh kegelisahan di balik senyum yang tak tulus.
Bimo menggenggam tanganku dengan lembut, mungkin merasa aku sedang tidak enak badan. "Kalau capek, kita bisa pulang lebih cepat kok," ucapnya penuh perhatian.
Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, aku kuat kok. Lagian, keluarga pasti akan bertanya-tanya kalau kita cepat-cepat pergi."
Padahal, setiap detik yang kuhabiskan di rumah ini adalah pertempuran. Aku menunggu, bertahan, berharap Mas Dirga tidak akan melakukannya lagi—tapi aku tahu itu hanya harapan sia-sia. Mas Dirga selalu punya cara untuk memanfaatkan momen-momen yang tak terlihat oleh orang lain.
Aku menunduk lagi, menguatkan diri. Suatu hari nanti, aku akan menemukan jalan keluar dari rasa takut ini. Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa bertahan di antara kebohongan, ketidaknyamanan, dan kenyataan yang menyesakkan.
2973Please respect copyright.PENANAfVZRxDzUl5
*****
Aku jadi lebih menyukai suasana kantor akhir-akhir ini, apalagi Hendrik semakin sering muncul di depanku, selalu dengan senyum lebar dan candaan khasnya. Dia seolah menikmati menggoda aku, mencoba mencairkan suasana yang menurutnya mungkin terlalu kaku di antara kami. Setiap kali kami bertemu, kalimat yang sama akan keluar dari bibirnya.
"Nana, please, cuma sekejap aja, aku pengen bisa lihat wajah kamu. Aku penasaran banget kayak apa sekarang."
Aku hanya bisa tertawa kecil, meski di balik cadar, aku tahu senyumku tidak terlihat olehnya. "Hendrik, kamu ada-ada aja. Itu nggak mungkin," jawabku, tetap menjaga keteguhan hatiku.
"Tapi, Na... please sebentar aja," katanya suatu hari dengan nada yang hampir memelas, tapi tetap ada canda di matanya. "Aku kan cuma pengen tahu, apa kamu semakin cantic jauh lebih cantik dari yang aku ingat dulu. Nggak bakal lama kok, cuma satu detik aja."
Aku tertawa lagi. "Hendrik, kamu nggak berubah, ya? Dari dulu sampai sekarang, selalu aja bikin aku ketawa dengan rayuanmu."
Dia mengangkat bahu, seolah-olah tidak peduli dengan penolakanku. "Yah, siapa tahu aja ada keajaiban, kan? Mungkin kamu tiba-tiba kasihan sama aku dan mau kasih kesempatan lihat sebentar aja."
Aku menahan senyum di balik cadarku, merasa lucu dengan usahanya yang tak kenal lelah. "Hendrik, aku udah bilang, hanya suamiku yang boleh lihat wajahku. Lagipula, aku kan sekarang udah beda dari yang dulu."
Bersambung
ns 18.68.41.179da2