Arifah duduk termenung di tepi ranjang kamar neneknya, matanya merah karena air mata yang terus mengalir sejak seminggu lalu. Kamar yang dulu selalu penuh dengan canda dan nasihat kini terasa kosong dan sunyi. Sejak kepergian nenek, dunia Arifah seolah runtuh. Satu-satunya keluarga yang ia miliki di kampung telah tiada. Hatinya terasa hampa.
5236Please respect copyright.PENANALjSwfczeSf
Namun, di antara kesedihan itu, ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan. Kakaknya, Anisa. Sudah lima tahun sejak Anisa pergi merantau ke Jakarta setelah lulus SMA. Mereka hanya sesekali bertukar kabar lewat telepon, dan Anisa selalu berjanji akan membawa Arifah bersamanya ke Jakarta setelah ia lulus. Kini, janji itu akan ditepati. Tepat setelah doa tujuh hari kepergian nenek, Anisa akan membawa Arifah ke ibu kota.
5236Please respect copyright.PENANAQYDuzvqqDx
Hari itu akhirnya tiba. Setelah doa tujuh hari, Anisa datang menjemput Arifah. Dengan senyum hangat yang mencoba menutupi keletihannya, Anisa memeluk adiknya erat. Arifah bisa merasakan kehangatan dari kakaknya, kehangatan yang sangat ia rindukan selama ini.
5236Please respect copyright.PENANAzaj0Toe7jf
“Kamu sudah siap, Arifah?” tanya Anisa lembut.
5236Please respect copyright.PENANAxjoo8o8HoJ
Arifah mengangguk pelan. “Iya, Kak. Aku sudah siap,” jawabnya, meskipun dalam hatinya masih ada rasa bimbang. Pergi ke Jakarta artinya meninggalkan kampung, meninggalkan semua kenangan bersama nenek, dan memulai kehidupan baru yang sama sekali asing baginya.. Dia merapikan Jilbabnya sambil mencoba tersenyum .
5236Please respect copyright.PENANAHm4dWdM1iJ
Dalam perjalanan menuju Jakarta, Arifah hanya diam. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran. Ia membayangkan seperti apa kehidupan di kota besar itu, apakah ia akan bisa beradaptasi? Bagaimana rasanya tinggal bersama Anisa yang sudah lama tak ia temui?
5236Please respect copyright.PENANADNcZb9Btqf
Sementara di sebelahnya, Anisa sesekali menatap Arifah dengan cemas. Ia tahu betapa sulitnya situasi ini untuk adiknya. Anisa sendiri merasa bersalah karena harus meninggalkan Arifah sendirian di kampung selama ini, tapi tak ada pilihan lain. Ia harus mencari nafkah di Jakarta, dan itu satu-satunya cara agar mereka bisa bertahan.
5236Please respect copyright.PENANAnu1uBSEXtd
Saat mereka tiba di Jakarta, mata Arifah membulat melihat keramaian dan hiruk pikuk kota. Bangunan tinggi menjulang, kendaraan berlalu-lalang tanpa henti, dan orang-orang yang berjalan cepat seolah semua berlomba dengan waktu. Ini sangat berbeda dari kehidupan tenang di kampung yang selama ini ia kenal.
5236Please respect copyright.PENANA1pKtUz7zpQ
“Kamu akan terbiasa, Arifah,” kata Anisa mencoba menenangkan. “Jakarta memang terasa menakutkan pada awalnya, tapi kamu akan menemukan sisi indahnya nanti.”
5236Please respect copyright.PENANAaL2ubbtmW2
Arifah hanya tersenyum tipis. Ia percaya pada Anisa. Kakaknya selalu tahu yang terbaik.
5236Please respect copyright.PENANAIiNVfNHf4o
Setibanya di rumah kontrakan Anisa, Arifah merasa suasana hangat yang menenangkan. Rumah kontrakan itu sangat sederhana, jauh dari bayangan glamor kota Jakarta yang baru saja ia lewati sepanjang perjalanan. Terdiri dari ruang tamu kecil, dapur sederhana, dan dua kamar tidur, rumah itu mungkin kecil, tapi ada aura keakraban yang langsung menyelimuti Arifah begitu ia masuk.
5236Please respect copyright.PENANAvOHmdUQ5cA
"Ini rumah kita, Arifah. Maaf kalau sederhana," kata Anisa dengan senyum lembut di wajahnya.
5236Please respect copyright.PENANAkJtsLYwmHd
Arifah tersenyum dan mengangguk, meskipun ia merasa gugup dengan kehidupan baru yang akan ia jalani di tempat asing ini. Ketika mereka masuk, dua orang perempuan yang sedang duduk di ruang tamu langsung berdiri dan menyambut mereka.
5236Please respect copyright.PENANAmIqNKoVoBR
“Kamu pasti Arifah, adiknya Anisa?” tanya salah satu dari mereka dengan senyum hangat di wajahnya. Perempuan itu tampak ramah, dengan rambut hitam panjang yang diikat ke belakang. “Aku Dewi. Senang akhirnya bisa ketemu kamu!”
5236Please respect copyright.PENANAFb8ekeir4s
Arifah merasa sedikit lebih nyaman. “Iya, aku Arifah. Senang bertemu denganmu juga, Kak Dewi,” jawabnya dengan sopan.
5236Please respect copyright.PENANAkOTt9KdXM5
“Kamu pasti capek banget setelah perjalanan jauh dari kampung, ya?” tanya perempuan yang satu lagi, yang tampak lebih ceria dengan senyum lebar di wajahnya. “Aku Intan, teman sekontrakan Anisa juga.”
5236Please respect copyright.PENANALQ3exJXFh6
Arifah hanya bisa tersenyum dan mengangguk. “Iya, capek sih, tapi aku senang bisa sampai di sini.”
5236Please respect copyright.PENANAXqn2hZINHH
Dewi melirik Anisa dan berkata dengan nada bercanda, “Akhirnya, adikmu bisa gabung sama kita di sini. Kami udah sering denger cerita tentang kamu dari Anisa. Katanya kamu pinter banget, ya?”
5236Please respect copyright.PENANALpKbYQKDmd
Arifah tertawa kecil dan sedikit malu, “Ah, nggak juga, Kak.”
5236Please respect copyright.PENANA77mrHBrIlF
Anisa menepuk pundak adiknya dengan lembut. “Arifah ini memang rajin belajar. Makanya dia lulus SMA dengan nilai bagus,” kata Anisa bangga.
5236Please respect copyright.PENANA5MRNDRLyJ2
“Aku yakin kamu bakal betah di sini, Arifah,” sambung Intan sambil menyiapkan teh manis di meja tamu. “Walaupun rumah ini kecil, tapi kita selalu bikin suasana jadi hangat. Apalagi ada Anisa yang selalu masak enak buat kita.”
5236Please respect copyright.PENANAyjgCK7QUKU
Dewi mengangguk setuju. “Iya, Anisa jago masak. Kalau nggak ada dia, mungkin kita semua udah kebanyakan makan mi instan!”
5236Please respect copyright.PENANAWZjUFGfvgI
Suasana mulai mencair. Arifah merasa disambut dengan hangat, dan rasa canggung yang tadi sempat ia rasakan perlahan menghilang. Rumah kontrakan ini mungkin sederhana, tapi ada kehangatan di dalamnya yang membuat Arifah merasa seperti berada di rumah.
5236Please respect copyright.PENANA53rGJyiVvE
Malam itu, mereka semua duduk bersama di ruang tamu kecil, mengobrol santai sambil menikmati teh dan camilan yang disiapkan oleh Intan. Arifah mulai bercerita tentang kehidupannya di kampung, tentang neneknya, dan tentang rencana kuliahnya di Jakarta. Dewi dan Intan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyisipkan candaan yang membuat Arifah tertawa. Dari obrolan itu Arifah jadi tahu bahwa Dewi dan Intan juga sama-sama bekerja sebagai karyawan minimarket.
5236Please respect copyright.PENANANKhPXCkRCa
“Pokoknya, Arifah,” kata Dewi sambil tersenyum, “Di sini, anggap aja kita ini keluarga. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat cerita, ya.”
5236Please respect copyright.PENANApArBfloKgq
Arifah mengangguk pelan, hatinya terasa lebih ringan. Ia tak pernah menyangka akan menemukan lingkungan sehangat ini di kota besar seperti Jakarta. Kini, ia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi kehidupan barunya, ditemani kakaknya dan dua teman serumah yang begitu baik.
5236Please respect copyright.PENANAgCwwqDgVDB
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, Arifah tidur dengan perasaan tenang. Meski banyak hal baru yang harus dihadapinya, ia tahu bahwa di rumah kontrakan kecil ini, ia tak akan sendiri.
5236Please respect copyright.PENANAaIMYwUgRRb
Setelah beristirahat sejenak, Anisa mengajak Arifah duduk di teras rumah. Dengan suara pelan namun serius, ia mulai berbicara. "Rifah, aku tahu ini mungkin terasa aneh buat kamu, tapi kehidupan di Jakarta sangat berbeda dari kampung. Di sini, orang-orang lebih bebas dan mungkin melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kita."
5236Please respect copyright.PENANAAdD9Am78D3
Arifah mendengarkan dengan seksama, alisnya berkerut sedikit. "Maksud Kak Anisa?"
5236Please respect copyright.PENANAP8Q8ay5XKY
Anisa menarik nafas panjang sebelum melanjutkan. "Yang aku maksud, kamu harus siap menghadapi hal-hal yang mungkin bertentangan dengan apa yang selama ini kita anggap benar. Di sini, kamu akan melihat banyak hal yang mungkin membuat kamu terkejut atau bahkan tidak nyaman."
5236Please respect copyright.PENANAxhySB7ZrsD
Arifah mengangguk, meski hatinya berdegup kencang. "Aku mengerti, Kak. Aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri."
5236Please respect copyright.PENANAXsWvJogMFC
Anisa tersenyum, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa ia sembunyikan. "Ada satu hal lagi, Rifah. Tolong, jangan ceritakan semua yang kamu lihat atau alami di sini kepada kerabat dan orang-orang di kampung kita. Mereka mungkin tidak akan mengerti, dan aku tidak ingin mereka khawatir."
5236Please respect copyright.PENANA5X1SjRkXWS
Arifah terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan kakaknya. Ia tahu bahwa menjaga rahasia dari orang tua bukanlah hal yang mudah baginya. "Baiklah, Kak. Aku akan berusaha."
5236Please respect copyright.PENANAp1XxJdc7u7
Hari-hari pertama Arifah di Jakarta terasa seperti lembaran baru yang benar-benar berbeda dari apa yang ia kenal di kampung. Sejak bangun tidur hingga malam tiba, hidup di ibu kota memiliki ritme yang jauh lebih cepat dan lebih ramai daripada kehidupan tenang bersama neneknya di kampung. Jalanan yang tak pernah sepi, suara klakson kendaraan yang saling bersahutan, serta gedung-gedung tinggi yang menghiasi langit Jakarta—semuanya tampak begitu kontras dengan kehidupan sederhananya dulu.
5236Please respect copyright.PENANAN48kKr0Fm4
Dewi dan Intan, dua teman serumah kakaknya, sering mengajak Arifah keluar di akhir pekan. Mereka mengenalkannya pada berbagai tempat menarik yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ada kafe-kafe modern dengan lampu redup dan musik lembut yang mengundang orang-orang untuk bersantai. Di sisi lain, pusat perbelanjaan megah dengan toko-toko mewah seolah menegaskan gemerlapnya kehidupan kota.
5236Please respect copyright.PENANA4ESs6mDan5
Suatu malam, Dewi dan Intan mengajak Arifah ke sebuah kafe di bilangan Kemang. Kafe itu ramai dipenuhi anak-anak muda yang tertawa sambil menikmati musik live. Di satu sudut, beberapa orang sedang sibuk dengan laptop mereka, sementara di sisi lain, sekelompok teman berbincang dengan santai. Meskipun suasananya menyenangkan, Arifah merasa sedikit canggung. Dunia ini terasa begitu jauh dari kebiasaannya yang sederhana.
5236Please respect copyright.PENANAttvSTpWQiR
"Kamu kelihatan gugup, Arifah," kata Intan sambil tertawa kecil, menyadari bahwa Arifah belum sepenuhnya merasa nyaman di tempat seperti ini. "Santai aja. Ini tempat nongkrong biasa kok, nggak perlu terlalu formal."
5236Please respect copyright.PENANA3lgN8yyKsN
Arifah tersenyum malu dan mengangguk. "Iya, Kak Intan. Aku masih coba terbiasa dengan semuanya. Rasanya… agak berbeda dari yang aku bayangkan."
5236Please respect copyright.PENANANsYRB3jRMy
“Pasti kaget ya, Jakarta memang kayak gitu,” kata Dewi sambil menyeruput minumannya. “Tapi pelan-pelan aja. Nggak semua orang cocok langsung sama kehidupan kota besar. Aku dulu juga butuh waktu buat menyesuaikan diri.”
5236Please respect copyright.PENANA2fOhr07qXN
Meskipun Arifah senang karena Dewi dan Intan selalu berusaha membuatnya nyaman, perasaan canggung tetap tak bisa hilang begitu saja. Di tengah kegembiraan dan tawa teman-temannya, ia sering merasa terasing. Ada bagian dari dirinya yang merindukan suasana sunyi kampung, udara segar pagi hari, dan suara burung berkicau. Di Jakarta, semuanya terasa terburu-buru, seolah-olah setiap orang sedang mengejar sesuatu yang tak terlihat.
5236Please respect copyright.PENANAI7dRkOO6te
Namun, di balik rasa canggung itu, Arifah tetap ingin mencoba. Setiap kali Dewi atau Intan mengajaknya keluar, ia selalu mengiyakan, berharap dengan berjalannya waktu ia akan terbiasa dan mungkin, suatu hari nanti, bisa merasa benar-benar nyaman.
5236Please respect copyright.PENANAetikVXJkLI
Suatu malam, setelah seharian berkeliling mal bersama Dewi dan Intan, mereka duduk di balkon kontrakan kecil itu. Jakarta yang ramai terasa lebih tenang dari atas sana, dengan lampu-lampu kota yang berkilauan di kejauhan. Angin malam yang sepoi-sepoi membawa kehangatan yang berbeda dari siang hari yang panas dan penuh dengan kebisingan.
5236Please respect copyright.PENANATcZJu8AAFY
"Arifah," kata Dewi tiba-tiba, "Kamu kangen kampung ya?"
5236Please respect copyright.PENANAGEg7RQPaJZ
Arifah terdiam sejenak, menatap jauh ke lampu-lampu kota. "Iya, Kak. Kadang-kadang aku merasa Jakarta ini terlalu besar buatku. Tapi aku tahu, aku harus belajar menyesuaikan diri."
5236Please respect copyright.PENANAwPUo27q3Ry
Dewi tersenyum, lalu menepuk bahu Arifah. "Pelan-pelan aja. Nggak ada yang memaksamu untuk berubah cepat. Jakarta memang bisa membuat orang merasa kecil, tapi seiring waktu, kamu akan menemukan tempatmu di sini."
5236Please respect copyright.PENANAxG1SJBbUOH
Arifah menoleh, menatap wajah Dewi dan Intan yang selalu mendukungnya. Meski ada perasaan asing dan canggung, ia merasa bersyukur memiliki teman-teman yang baik seperti mereka. Dan meskipun Jakarta terasa seperti dunia yang berbeda, Arifah tahu bahwa selama ada Anisa, Dewi, dan Intan di sisinya, ia akan baik-baik saja. Di kota besar ini, ia akan belajar menemukan ritme dan kenyamanannya sendiri, sedikit demi sedikit.
5236Please respect copyright.PENANAlX8HUcB2HB
Di bawah terik matahari siang yang membakar, Arifah melangkah pelan-pelan di trotoar, mencoba meresapi hiruk-pikuk kota yang kini menjadi rumah barunya. Jakarta, dengan segala kebisingan dan gemerlapnya, membuatnya merasa terasing. Ia berharap menemukan secuil ketenangan di tengah kesibukan ini. Langkah-langkahnya terasa ringan, namun hatinya dipenuhi kegelisahan yang tak kunjung hilang sejak ia tiba di kota ini.
5236Please respect copyright.PENANAw4nWAIQHss
Setelah berjalan cukup jauh, Arifah tiba-tiba melihat sebuah masjid kecil di sudut jalan, tersembunyi di antara bangunan-bangunan tinggi yang mengelilinginya. Masjid itu tampak sepi, dengan hanya beberapa orang berlalu lalang di depannya. Tanpa ragu, Arifah memutuskan untuk masuk. Ia merasa masjid ini bisa memberinya kedamaian, setidaknya untuk sejenak.
5236Please respect copyright.PENANAagXTrEQC8r
Di dalam, suasana begitu tenang. Dingin udara dari pendingin ruangan menyapu wajahnya yang gerah. Ia berjalan pelan ke arah saf depan, mencari tempat yang sepi. Setelah duduk, Arifah menutup matanya sejenak, meresapi ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Di masjid yang sunyi itu, dunia seolah melambat, jauh dari kesibukan dan kegaduhan yang baru saja ia tinggalkan di luar.
5236Please respect copyright.PENANAHj6FLB1NhF
Arifah melipat tangannya di pangkuan, lalu perlahan membuka matanya. Hatinya yang semula gelisah mulai tenang, namun ia masih merasakan beban dalam dirinya. Tanpa pikir panjang, Arifah menundukkan kepala dan memanjatkan doa. Dengan suara lembut yang hampir tak terdengar, ia berbicara dalam hatinya kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan dan keteguhan hati.
5236Please respect copyright.PENANAI3ssggdSKh
"Ya Allah," bisiknya lirih, "berikan aku petunjuk dan kekuatan untuk menjalani kehidupan ini di tempat yang baru. Aku tahu banyak hal yang berubah, dan aku merasa kecil di tengah kota yang begitu besar ini. Namun, aku ingin tetap teguh pada apa yang aku yakini. Aku ingin tetap menjadi diriku sendiri, meskipun dunia di sekitarku begitu berbeda."
5236Please respect copyright.PENANA2M7AzNOOQ1
Ia menghela napas dalam, merasakan perasaan hangat yang mulai mengalir dalam hatinya. Doanya adalah pelepasan, dan setiap kata yang ia ucapkan membawa rasa ringan. Arifah tahu bahwa ia harus menyesuaikan diri dengan hidup barunya di Jakarta, tapi ia juga tidak ingin kehilangan jati dirinya. Dalam doa itu, ia memohon agar bisa bertahan, agar apa yang ia yakini tetap menjadi bagian dari dirinya.
5236Please respect copyright.PENANAOX84fHO3oX
Setelah beberapa saat, Arifah membuka mata dan mengusap wajahnya dengan lembut. Di dalam masjid kecil itu, ia menemukan ketenangan yang telah lama ia rindukan. Jakarta mungkin penuh dengan hiruk-pikuk dan kesibukan, tapi di tempat ini, ia bisa merasakan sejuknya ketenangan, dan hatinya terasa lebih kuat untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.
5236Please respect copyright.PENANAH2Lqp0IGDg
Dengan langkah ringan, Arifah meninggalkan masjid kecil itu, namun ia tahu bahwa ia akan kembali lagi suatu hari nanti. Tempat ini menjadi pelipur lara, tempat di mana ia bisa kembali menemukan dirinya di tengah kebisingan kota besar.
5236Please respect copyright.PENANAgoNqbQgrnd
Arifah tertegun di ambang pintu, mencoba mencerna situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suasana rumah kontrakan yang biasanya tenang kini terasa berbeda, diwarnai dengan tawa akrab dan candaan antara Anisa dan pria. Suara ceria Anisa yang memanggilnya membuat Arifah merasa sedikit canggung.
5236Please respect copyright.PENANAFydgFADNZf
"Eh, Rifah," sapa Anisa dengan riang, "Ini Delon, pacarku."
5236Please respect copyright.PENANALcWgrmzrDF
Delon, pria yang duduk santai di sebelah kakaknya, tersenyum ramah sambil melambaikan tangan.
5236Please respect copyright.PENANAqtEsrXDOtg
“Hai, Arifah. Senang akhirnya bisa bertemu kamu. Kakakmu sering cerita tentang kamu.”
5236Please respect copyright.PENANAmKGIb7Xu65
Arifah, yang masih berdiri di pintu, mencoba membalas senyum itu meskipun hatinya dipenuhi kebingungan dan sedikit rasa tidak nyaman..
Bersambung5236Please respect copyright.PENANA9agVUMkawn