Tanpa menunggu jawaban, Delon berbalik dan melangkah keluar dari halaman kos. Arifah menghela napas panjang, seluruh tubuhnya terasa gemetar akibat ketegangan yang baru saja terjadi.
Setelah Delon pergi, Thomas berbalik menghadap Arifah. Sorot tajam di matanya tadi menghilang, berganti dengan tatapan yang lebih lembut dan prihatin. “Lo nggak apa-apa?”
Arifah menunduk, berusaha menenangkan diri. “Iya... terima kasih. Gue nggak tahu kalau lo nggak ikut campur tadi…”
Thomas mengangguk pelan, menyilangkan kedua lengannya di dada. “Lo nggak perlu takut. Kalau dia atau siapa pun datang lagi, lo kasih tahu gue. Kita di sini saling jagain, Arifah. Jangan segan buat minta bantuan.”
Arifah hanya bisa tersenyum tipis, rasa syukur memenuhi hatinya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya—dan lebih dari itu, siap melindunginya dari Delon, Bayu, dan Andre.
“Sekali lagi, terima kasih, Thomas,” ujar Arifah, suaranya mulai stabil meski dalam hatinya masih berdebar.
Thomas tersenyum simpul, kemudian mengangguk singkat. “Sama-sama. Kalau ada apa-apa, gue ada di kamar sebelah.” Dengan itu, Thomas melangkah pergi, meninggalkan Arifah yang masih berdiri di depan kamarnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Dalam heningnya malam itu, Arifah tahu satu hal pasti—dia tidak lagi sendirian dalam menghadapi tekanan ini.
Sejak kejadian malam itu, hubungan Arifah dan Thomas perlahan menjadi lebih dekat. Setiap kali mereka bertemu di lorong atau halaman kos, Thomas selalu menyapanya dengan senyum hangat, membuat Arifah merasa lebih tenang di tempat yang awalnya begitu asing dan keras. Ketenangan yang dibawa Thomas membuat Arifah mulai merasa aman, meskipun dunia di luar sana masih penuh dengan bayang-bayang Delon, Bayu, dan Andre yang terus mencoba mendekatinya lewat pesan-pesan di ponselnya.
Suatu sore, ketika Arifah baru pulang kerja, ia melihat Thomas duduk di depan kamar sambil memainkan gitar. Suaranya lembut, mengalun bersama suara petikan gitar yang menghiasi udara sore. Arifah berhenti sejenak, menikmati momen itu dari kejauhan, sampai akhirnya Thomas menyadari kehadirannya.
“Arifah, lo udah pulang?” Thomas menyapanya dengan senyum ramah, menurunkan gitarnya ke pangkuan.
“Udah,” jawab Arifah sambil berjalan mendekat, merasa ragu apakah harus bergabung atau tidak. Tapi Thomas menggeser sedikit duduknya, memberi isyarat agar Arifah ikut duduk di sebelahnya.
Mereka duduk berdua di sana, berbicara tentang hal-hal kecil—pekerjaan, hidup di Jakarta, dan cerita-cerita ringan tentang kampung halaman masing-masing. Arifah merasa nyaman, meski di benaknya, selalu ada ingatan tentang kenyataan bahwa Thomas memiliki kekasih. Kekasihnya, Cheril, kadang datang menginap di kos-kosan ini. Arifah sering melihat mereka berdua menghabiskan waktu bersama, dan meski dia tak ingin mencampuri urusan pribadi Thomas, rasa cemburu halus terkadang muncul tanpa disadari.
“Lo nggak balik bareng pacar lo, Cheril?” tanya Arifah suatu hari, setengah bercanda, setengah serius. Saat itu, mereka sedang berbincang di depan kamar lagi, setelah sebuah obrolan ringan berubah menjadi lebih akrab.
Thomas tersenyum kecil, lalu menatap langit sore yang mulai gelap. “Cheril lagi sibuk. Dia sering kerja lembur sekarang, jadi jarang nongkrong bareng gue.”
“Oh...” Arifah hanya menanggapi singkat, mencoba menutupi rasa canggung yang tiba-tiba menyusup. Sebenarnya, dia sudah terbiasa melihat banyak pasangan di kos-kosan ini yang hidup bersama meski tidak menikah, bahkan ada yang saling berganti pasangan dengan mudah. Arifah sudah mulai maklum dengan pergaulan bebas di Jakarta. Dia kini melihatnya bukan lagi sebagai hal yang aneh baginya, meski jauh di dalam hatinya, Arifah tetap memegang prinsipnya sendiri.
“Kamu kayaknya nggak terlalu suka kalau ada cowok-cowok deketin lo di sini,” kata Thomas tiba-tiba, membuat Arifah sedikit terkejut.
Arifah tertawa kecil, lalu mengangguk. “Ya... gimana ya? Gue cuma... nggak nyaman. Terutama kalau mereka udah punya pacar, kayak cowok kemaren itu. Dia pacarnya kakak aku.”
Thomas mengangguk, memahami situasinya. “Dia nggak tahu diri, sih. Lo udah nolak dia tapi dia masih ngotot.”
“Ya, tapi kadang... gue mikir, kayaknya dia nggak akan berhenti,” ujar Arifah dengan nada resah.”Emang cowok kayak gitu ya?”
Thomas menatap Arifah dalam diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Nggak semua cowok kayak gitu, Arifah. Ada juga yang masih tahu batas. Nggak semua cuma mikirin diri sendiri.”
Arifah terdiam, matanya bertemu dengan tatapan Thomas yang penuh arti. Ada sesuatu di balik kata-katanya, sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan ringan. Arifah merasakan kehangatan yang berbeda, sesuatu yang membuatnya sedikit ragu—ragu tentang perasaannya sendiri.
Namun, Arifah cepat mengingatkan dirinya tentang Cheril, kekasih Thomas. Mereka masih bersama, dan Cheril sering kali datang ke kos, meski belakangan jarang terlihat. Arifah tak ingin terlibat dalam situasi yang rumit atau menjadi orang ketiga dalam hubungan siapa pun. Meski perasaannya terhadap Thomas tumbuh tanpa ia sadari, Arifah tahu bahwa batas-batas itu tidak boleh dilanggar.
“Lo udah lama sama Cheril?” tanya Arifah dengan senyum tipis, mencoba mengalihkan suasana.
Thomas tersenyum samar, lalu mengangguk. “Udah lumayan lama. Tapi... yah, setiap hubungan ada naik-turunnya, kan? Kita nggak selalu ada di titik yang sama.”
Jawaban Thomas seolah menyiratkan lebih dari yang ia katakan. Arifah tidak berani bertanya lebih jauh, takut terjebak dalam perasaan yang tidak seharusnya ada. Tapi di dalam hatinya, ia mulai menyadari sesuatu—kedekatannya dengan Thomas tak lagi sekadar rasa nyaman sebagai teman. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang perlahan-lahan mulai tumbuh di antara mereka.
Hubungan Arifah dan Thomas semakin dekat seiring berjalannya waktu. Setiap sore sepulang kerja, Arifah sering kali duduk bersama Thomas di depan kamarnya, berbagi cerita tentang hari-hari mereka. Kedekatan mereka tidak lagi sekadar obrolan ringan di depan kos, kini Arifah bahkan tak ragu lagi untuk masuk ke kamar Thomas. Di sana, mereka sering kali hanya menonton TV bersama—hal sederhana yang membuat Arifah merasa nyaman di tengah kesibukan hidup di Jakarta.
Kamar Thomas meski masih sederhana, di sudut kamar itu ada sebuah TV ukuran 21 inchi yang jadi hiburan utama. Karena kamar Arifah tidak punya TV, Arifah numpang nonton sinetron di kamar Thomas. Tanpa disadari, kehadiran Arifah di kamar Thomas menjadi semacam rutinitas, sesuatu yang terasa wajar.
“Arifah, ada film bagus nih. Masuk aja kalau mau nonton,” kata Thomas suatu sore saat Arifah baru saja melepas sepatu di depan kamarnya.
Arifah, yang semula hendak masuk ke kamarnya sendiri, tersenyum kecil dan melangkah menuju kamar Thomas. “Oke, film apa nih?” tanyanya sambil duduk di lantai dekat kasur Thomas.
“Mungkin lo bakal suka. Film romantis, tapi ada sedikit twist komedi,” jawab Thomas sambil menyalakan TV.
Mereka duduk berdampingan di atas kasur, ruang sempit kamar kos itu terasa lebih hangat dengan kehadiran mereka berdua. Suara TV mengisi keheningan di antara mereka, tapi terkadang, Arifah merasa jantungnya berdebar setiap kali tangan Thomas bergerak terlalu dekat dengannya. Meskipun semuanya masih dalam batas yang wajar, ada perasaan yang tak bisa dihindari. Kedekatan ini terasa intim, bahkan lebih dari sekadar teman.
Namun, di balik kenyamanan itu, Arifah selalu ingat pada Cheril, kekasih Thomas. Meski akhir-akhir ini Cheril jarang datang ke kos, Arifah tetap merasa ada batasan yang tak boleh ia lewati. Cheril masih bagian dari hidup Thomas, dan meskipun Thomas tidak pernah membicarakan banyak soal hubungannya, Arifah tahu mereka masih bersama.
“Gue kadang mikir, ya. Jakarta ini keras banget, tapi ada aja momen-momen kayak gini yang bikin kita bisa napas sebentar,” ujar Arifah di tengah-tengah Film, mencoba membuka pembicaraan.
Thomas mengangguk setuju. “Iya, kadang kita butuh waktu buat lepasin penat. Di tengah semua hiruk pikuk ini, yang penting kita bisa nemuin tempat yang bikin nyaman, kan?”
Arifah tersenyum. “Dan gue rasa, gue nemuin itu di sini.”
Thomas menoleh ke arah Arifah, menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum simpul. “Gue juga.”
Momen itu terasa begitu intim, seakan hanya ada mereka berdua di dunia kecil itu. Arifah merasakan ada sesuatu yang berubah di antara mereka—sebuah kedekatan yang lebih dari sekadar teman kos. Tapi, perasaan itu bercampur dengan kebingungan. Ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang lebih rumit, terutama dengan kehadiran Cheril di latar belakang kehidupan Thomas.
Malam itu, setelah Film selesai, Arifah kembali ke kamarnya dengan pikiran yang penuh. Hubungannya dengan Thomas memang membuatnya merasa nyaman, tapi di balik kenyamanan itu, ada sebuah perasaan yang tak bisa diabaikan. Perasaan yang tumbuh, meski ia tahu batasannya.
Esok harinya, seperti biasa, Arifah kembali masuk ke kamar Thomas. Kamar itu sudah seperti ruang pelarian bagi keduanya, tempat di mana mereka bisa melepaskan beban setelah seharian bekerja. Tapi, di setiap kebersamaan, Arifah selalu diingatkan oleh kenyataan bahwa Thomas adalah milik orang lain.
Hingga suatu hari, pertanyaan yang selama ini ditahan akhirnya keluar dari mulut Arifah.
“Tom... lo masih sama Cheril, kan?”
Thomas terdiam sejenak, tatapannya berubah serius. “Iya, kita masih bareng. Tapi... nggak seintim dulu.”
Jawaban itu menggantung di udara, membuat suasana di antara mereka menjadi lebih berat. Arifah tahu, inilah momen di mana ia harus memutuskan—apakah dia akan terus membiarkan perasaannya tumbuh, atau mundur sebelum semuanya menjadi terlalu rumit.
Namun, semakin sering ia berada di kamar Thomas, semakin sulit baginya untuk berpura-pura bahwa perasaan itu tidak ada. Kedekatan mereka semakin tak terhindarkan, dan setiap momen bersama membuat Arifah semakin terikat pada sosok pria itu, meskipun ia tahu risikonya.
****
Malam ini, suasana terasa berbeda. Entah karena udara yang lebih hangat dari biasanya, atau karena percakapan mereka yang semakin mendalam. Arifah dan Thomas duduk bersebelahan di atas kasur, seperti biasa, menonton TV yang menayangkan Film komedi romantis. Namun, malam ini terasa ada sesuatu yang tidak terucap, sebuah ketegangan yang menggantung di udara.
Arifah bisa merasakannya—jarak di antara mereka semakin sempit, dan entah kenapa, kata-kata yang biasanya mengalir begitu saja kini tergantikan dengan keheningan yang penuh makna. Tangannya tanpa sadar menggenggam ujung bantal, mencoba mengalihkan rasa canggung yang tiba-tiba hadir.
Thomas menoleh ke arahnya, mata mereka bertemu dalam sekejap yang terasa lama. Tatapan itu begitu dalam, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi tidak pernah terucap.
"Arifah..." suara Thomas rendah, hampir seperti bisikan.
Arifah menelan ludah, matanya tak bisa lepas dari Thomas. “Kenapa?”
Sekarang jarak mereka begitu dekat, dan Arifah bisa merasakan kehangatan tubuh Thomas di sisinya. Hatinya berdebar lebih kencang, perasaan yang selama ini coba ia pendam mulai muncul ke permukaan. Di dalam kamar yang sunyi, hanya ada suara televisi yang terdengar samar-samar. Dunia di luar seolah menghilang.
Tanpa berkata apa-apa, Thomas perlahan mengangkat tangannya, menyentuh pipi Arifah dengan lembut. Arifah seakan terdiam, tubuhnya kaku namun jantungnya berdegup kencang. Sentuhan itu terasa begitu intim, begitu berbeda dari apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Mata mereka tetap bertemu, penuh dengan rasa yang tak bisa mereka sembunyikan lagi. Thomas mendekatkan wajahnya ke arah Arifah, seolah menunggu isyarat terakhir sebelum melangkah lebih jauh. Arifah bisa merasakan napas Thomas di kulitnya, membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih.
“Ini nggak benar...” bisik Arifah, suaranya nyaris tak terdengar. Tapi kata-katanya tidak memiliki kekuatan. Hatinya terpecah antara logika dan perasaan, antara apa yang benar dan apa yang ia inginkan.
Thomas tak berkata apa-apa lagi. Dengan lembut, ia menurunkan kepalanya dan menyentuh bibir Arifah, memberikan sebuah ciuman yang penuh perasaan. Arifah terdiam sesaat, lalu tanpa sadar membalas ciuman itu. Dalam sekejap, seluruh keraguannya menghilang, tergantikan oleh dorongan hasrat yang sudah lama terpendam.
Mereka semakin mendekat, tubuh mereka kini tak lagi terpisah. Ciuman itu semakin dalam, semakin intens, seolah mereka tidak bisa lagi menahan perasaan yang selama ini mereka abaikan. Arifah bisa merasakan tangan Thomas yang perlahan menyentuh punggungnya, menariknya lebih dekat.
Di dalam hati kecilnya, Arifah tahu bahwa apa yang mereka lakukan tidak benar. Thomas masih memiliki Cheril, dan ini bukanlah sesuatu yang seharusnya terjadi. Namun, dalam momen itu, semua logika dan pertimbangan moral seakan tenggelam di bawah lautan perasaan yang terlalu kuat untuk diabaikan.
Kamar yang sebelumnya hanya tempat biasa untuk berbagi cerita dan tawa, kini menjadi tempat di mana batasan itu akhirnya dilanggar. Mereka larut dalam perasaan, tak lagi mampu menghindari godaan yang telah lama mereka rasakan namun tak pernah diakui.
Malam itu, Arifah dan Thomas menyerah pada perasaan mereka. Mereka membiarkan diri mereka terhanyut dalam keintiman yang selama ini terpendam, meski di lubuk hati Arifah, ada rasa bersalah yang mulai merayap, mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan akan membawa konsekuensi yang tak terhindarkan.
Tapi malam itu, semuanya terasa begitu jauh. Hanya ada mereka berdua, dalam kamar kecil itu, terperangkap dalam perasaan yang tak lagi bisa disangkal. Keduanya terlibat dalam ciuman mendalam dan saling meraba tubuh masing-masing ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar.
“Bang…. Cheril pacar lo udah di parkiran. Buruan bang!”
3042Please respect copyright.PENANA6qCQUKBnLl
Bersambung
ns 15.158.61.6da2