#42479Please respect copyright.PENANAChXds1iYa5
Burung Baru
2479Please respect copyright.PENANAf2yadYLfGr
Hari ini adalah sekolah terakhir bagi anak-anak. Mereka akan liburan panjang setelah kenaikan kelas. Sekolah Febrian cukup jauh. Ia harus naik sepeda angin sejauh 7 kilometer di desa sebelah. Di desanya tidak ada lembaga sekolah.
Febrian naik ke kelas 5 SD. Sesuai rencana orangtuanya, ia akan dikhitan saat liburan kenaikan kelas.
“Besok kamu khitan, bangun pagi-pagi, kita berangkat,” ucap Sugeng pada Febrian yang baru saja tiba di rumah.
“Emang kenapa harus dikhitan sih pak anak laki-laki?” tanya Febrian polos.
“Sakit gak?” tanyanya lagi.
“Itu kewajiban bagi laki-laki. Tenang ajak gak akan sakit,” ucap Sugeng menenangkan anaknya.
“Emang nantinya bedanya apa setelah disunat?” tanya Febrian lagi.
Sugeng kebingungan mau menjelaskan.
“Nanti ujungnya akan berubah seperti punya bapak,” jawab Sugeng secara spontan.
“Emang punya bapak seperti apa?” tanya Febrian.
Meskipun ia pernah melihat bapak dan ibunya telanjang ketika berhubungan, namun saat itu kondisinya pencahayaan kamar kurang jelas. Sehingga ia tidak begitu jelas melihat penis bapaknya.
“Nanti akan berubah seperti ini ujungnya. Gak ada kulupnya lagi,” jawab Sugeng kesal sambil menunjukkan penis hitamnya ke anaknya secara sekilas saja.
“Nanti jadi hitam gak punyaku seperti punya bapak?” tanya Febrian.
“Udah jangan tanya-tanya lagi, kamu lihat sendiri aja,” jawab bapaknya dengan kesal.
Keesokan harinya, mantri sunat mendatangi rumah Sugeng. Proses sunat dilakukan dengan cepat dan lancar. Febrian sempat menangis ketika disuntik bius di penisnya.
Setelah sunat itu, Sugeng menggelar tasyakuran secara sederhana dengan mengundang para tetangga di sekitarnya.
Proses penyembuhan usai sunat tidak berlangsung lama. Sudah 4 hari, bekas jahitan di penis Febrian sudah kering. Sejak hari pertama sunat, Febrian masih belum mandi. Ia tidak mau mandi, takut, meskipun sudah dipaksa sama bapak dan ibunya.
Baru ketika bekas jahitannya sudah mengering dan ia merasa tidak ada sakit pada penisnya, Febrian akhirnya mau untuk mandi. Itu juga harus dipaksa sama ibunya.
Namun Febrian, minta untuk dimandikan oleh ibunya. Santi mau tak mau akhirnya menuruti kemauan Febrian, daripada anaknya tak mau mandi.
Febrian sendiri dari kecil selalu dimanja oleh bapak dan ibunya. Ia jarang dimarahi. Keinginannya selalu dituruti. Karena bagaimanapun, Febrian satu-satunya darah daging dari Sugeng dan Santi. Namun perlakuannya ke Rani, anak angkatnya, juga tidak jauh beda.
Febrian akhirnya mau pergi ke kamar mandi, di belakangnya ada Santi yang membuntuti. Keduanya langsung masuk ke kamar mandi. Santi membantu melepas baju anaknya. Kemudian juga melepas sarung yang dipakai oleh Febrian.
“Sudah gak sakit kan burungnya?” tanya Santi sambil memegang penis Febrian, untuk memastikan sudah sembuh.
“Jangan dipegang, bu!!!” kata Febrian, ketakutan saat penisnya dipegang.
“Masih sakit ta?” tanya ibunya lagi, sambil terus memperhatikan kondisi penis anaknya.
“Sudah gak ternyata,” ucap Febrian. Ia merasakan tangan halus ibunya memegangi penisnya.
“Sudah sembuh berarti. Tapi obatnya tetap diminum,” kata Santi, kemudian melepas tangannya dari penis anaknya.
“Bentuknya sudah kayak punya bapak ya bu. Tapi punya bapak besar,” jawab Febrian bikin Santi.
“Ha, kamu tahu punya bapak?” tanya Santi.
“Iya, aku pernah tanya bapak, kenapa harus disunat. Lalu bapak menunjukkan perbedaannya,” jawab Febrian.
“Payah memang bapakmu ini,” jawab Santi.
“‘Nanti bisa besar kayak punya bapak ya bu?” tanya Febrian lagi.
“Bisa,” jawab Santi singkat.
Santi kemudian mengguyur penis anaknya dengan air. “Gimana, benar-benar gak sakit kan?” tanyanya.
Febrian menggelengkan kepala.
“Ya sudah, jangan takut mandi lagi berarti,” kata Santi.
Santi pun langsung mengguyur tubuh anaknya dengan air. Kemudian mulai menyabuni anaknya.
“Ibu gak dilepas bajunya? nanti basah?” tanya Febrian, mengingatkan ibunya.
Santi pun tanpa berpikir panjang melepas dasternya. Sebagai ibu, tentu ia tak pernah punya pikiran kotor pada anaknya sendiri. Ternyata Santi tidak memakai BH. Tapi ia tetap memakai CD. Payudaranya yang terlihat masih kencang kini di hadapan anaknya.
Febrian memandangi payudara ibunya.
“Ibu dulu aku suka pegang tetek ibu ya?” kata Febrian.
“Iya pas kamu kecil, pegang sambil netek ke ibu,” jawa ibunya.
“Sekarang boleh pegang gak bu?” tanya Febrian.
“Ya gak boleh nak, kamu udah besar,” jawab ibunya.
“Sekali aja ya bu, ini yang terakhir kalinya,” pinta Febrian.
“Iya udah, cepat pegang. Setelah ini udah gak boleh lagi. Kamu udah gede,” kata Santi dengan sabar pada anaknya.
Mendapat izin dari ibunya, tangan Febrian pun langsung memegangi kedua payudara ibunya. Ia juga memegangi puting ibunya. Santi sedikit geli dan risih.
“Udah ya,” kata Santi sambil terus menyabuni tubuh anaknya.
“Bu, boleh aku netek ke ibu? Terakhir kali ya bu,” pinta Febrian lagi.
“Ya udah, cepetan, pokoknya setelah ini gak boleh ya. Setelah sunat, artinya kamu udah besar. Bukan anak-anak lagi,” kata Santi.
Kembali mendapat izin dari ibunya, Febrian langsung mentek ke ibunya seperti ketika ia bayi. Lidahnya mengenyot puting ibunya. Namun tidak ada air susu yang keluar.
Santi kembali merasa geli dan sedikit risih ketika Febrian netek. Karena ia sudah menganggap Febrian sudah besar dan seharusnya tak melakukan itu lagi padanya.
“Sudah, ayo lanjut mandinya,” Santi mendorong kepala anaknya. Febrian pun melepas mulutnya dari puting ibunya.
Santi kemudian memberikan sampo di kepala anaknya. Ia keramasi rambut Febrian.
“Ini terakhir kalinya kamu mandi dengan ibu. Setelah ini gak boleh lagi. Kamu harus mandi sendiri. Kamu juga harus malu pada siapapun jika telangjang. Termasuk ke ibu, mbak, dan bapak,” ujar Santi.
Febrian menganggukan kepalanya. ***
2479Please respect copyright.PENANA451ZmTl4hw