
******
Bab 1 :
Coco dan Hydrangea Biru
******
125Please respect copyright.PENANABd6asihmQ4
ZAVIE punya seekor kucing. Kucing itu adalah kucing tabby berwarna coklat yang tubuhnya gemuk, tetapi belum dewasa. Kucing itu bernama Coco.
Coco baru berusia sekitar tiga bulan. Bulunya lembut, pendek, dan terawat. Tubuhnya yang gembul itu terasa sungguh nyaman saat dipeluk. Ukurannya pas sekali di dalam pelukan Zavie yang masih berusia empat tahun.
Zavier Alastair—yang biasa dipanggil Adek atau Zavie—adalah anak bungsu laki-laki dari Keluarga Alastair. Keluarga Pak Haryo Alastair tinggal di sebuah rumah yang terletak di permukiman yang tidak terlalu padat. Mereka tidak tinggal di kawasan perumahan elit. Di belakang rumah Keluarga Alastair terdapat taman bunga yang tidak luas, tetapi sangat cantik. Di dekat taman itu terdapat sebuah jembatan kayu kecil yang menghubungkan antara taman bunga dengan lapangan sepak bola. Lapangan sepak bola itu biasa ramai digunakan oleh para lelaki di sekitar pemukiman tersebut untuk bermain bola di sore hari. Jika rumah Zavie berada di sebelah timur lapangan itu, maka di sebelah utara lapangan tersebut juga ada beberapa rumah yang berjajar (tetapi bukan bedeng). Permukiman tempat Keluarga Pak Haryo tinggal adalah permukiman yang tanah kosongnya masih cukup luas meski berada di kota. Mereka tidak tinggal di depan jalan raya; orang-orang di sekitar permukiman itu saling mengenal dan akrab. Kekeluargaannya terjaga dengan baik karena lingkungan yang masih luas seolah-olah berada di desa, tetapi tidak, itu bukan desa. Pak Haryo Alastair benar-benar beruntung mendapatkan tempat tinggal yang daerahnya masih luas seperti itu. Untuk bernapas juga sepertinya lebih lega karena jarak antarrumah tidak terlalu dekat. Rumah-rumahnya tidak saling berdempetan. Orang-orang masih bisa menanam sesuatu di halaman depan ataupun di halaman belakang mereka; mereka bisa memelihara ayam atau bebek di belakang rumah, bisa juga menghabiskan waktu bersama, contohnya bermain bola di sore hari.
Rumah beton milik Pak Haryo Alastair tidak terlihat begitu besar, tetapi enak dipandang. Rumahnya ber-style modern dan memiliki satu lantai, tetapi ruang tamunya sangat besar. Sebenarnya, bagian dalamnya luas meski kalau dari luar rumah itu tidak terlihat begitu besar. Rumah itu adalah tipe rumah panggung, jadi Zavie sering duduk-duduk di teras belakang dengan kaki yang menjuntai seraya memakan buah semangka dari Pak Kumis. Pak Kumis tinggal di salah satu rumah yang berada di sebelah utara lapangan sepak bola; beliau memiliki sebuah kebun semangka di belakang rumahnya. Keluarga Alastair rajin membeli semangka yang beliau tanam karena Zavie hobi makan semangka.
Selain makan semangka, biasanya Zavie juga duduk-duduk di teras belakang sembari melihat kucingnya yang suka bermain di taman bunga yang ada di belakang rumahnya itu. Bunga yang ditanam di sana adalah bunga hydrangea biru. Kucing Zavie—Coco—suka sekali berlari-lari di sana, terutama karena di sana juga sering ada bebek-bebek milik tetangga. Ada seekor bebek betina yang rajin sekali bermain ke taman bunga belakang rumah Zavie seraya membawa anak-anaknya.
Jadi, berhubung Coco hobi bermain di belakang rumah—di antara bunga-bunga hydrangea berwarna biru itu—Zavie jadi curiga ketika dia menyadari bahwa kucingnya tidak ada di dalam rumah sore itu. Hari ini sedang hujan dan hujannya cukup lebat. Gemuruh dari langit sesekali terdengar, tetapi batang hidung Coco yang pesek itu tak kunjung kelihatan di dalam rumah.
Zavie lari ke dapur, kaki kecilnya itu berlari agak kencang dan rambutnya memantul seakan-akan mampu menimbulkan sound effect berupa ‘tuing-tuing’ tatkala ia berlari. Ia memakai celana panjang berwarna krim dan jaket kebesaranberwarna biru muda. Saat sampai di dapur, Zavie mengambil payung kecilnya yang Mama letakkan di tempat penyimpanan payung berbentuk tabung. Tempat penyimpanan payung itu berdiri di samping rak sepatu. Setelah mengambil payungnya, Zavie mengambil sepatu kets berwarna putihnya yang terletak di barisan tengah rak sepatu besar milik keluarga. Zavie harus cari Coco, nih, soalnya nanti Coco sakit! Coco kalau sakit pasti ingusan!
Zavie harus cepat sebelum ketahuan Mama. Kalau Mama melihat dia keluar hujan-hujan begini, bisa-bisa dia kena marah Mama duluan sebelum bisa membawa Coco pulang. Zavie jadi agak paham, nih, bagaimana rasanya menjadi Mama dan Papa. Ternyata begini rasanya jadi orangtua yang sibuk mengurusi anak bayi, ya.
Zavie menenteng sepasang sepatu serta payung kecilnya ke teras belakang rumah panggung mereka. Ketika sudah sampai di teras belakang, Zavie pun memakai sepatu ketsnya tersebut dan jemari kecilnya sibuk memasang perekat sepatunya dengan mata yang membulat lucu. Setelah itu, Zavie lantas berdiri dan meraih payung kecilnya itu: payung kecil berwarna biru muda yang Papa belikan untuknya dari minimarket dua bulan yang lalu ketika mereka terjebak hujan saat jalan-jalan sore. Dia membuka payung tersebut, lalu berlari menuruni tangga rumah panggung mereka dan menuju ke taman bunga hydrangea yang ada di belakang rumah itu.
Langkah kakinya menimbulkan bunyi kecipak tatkala menginjak tanah yang sedang digenangi air. Namun, Zavie tidak memedulikan itu sama sekali. Si Kecil yang beraroma bedak bercampur minyak telon itu hanya ingin menjemput Coco pulang; dia sungguh heran dengan Coco karena kata Mama, kucing biasanya takut air. Nah, ini, kan, lagi hujan. Kok Cocoenggak takut kena air?
“Cocooo!” teriak Zavie di antara rintik hujan. “Cocooo, Coco di manaaaa?!”
Setelah sampai di taman bunga belakang rumah, Zavie langsung melihat Coco yang bersembunyi di antara bunga-bunga hydrangea biru itu. Kucing itu menatap majikan mungilnya—Zavie—dengan mata yang membulat polos, lalu mengeong. Seolah merespons panggilan Zavie.
Melihat itu, Zavie jadi menghela napas. Aduh, repot sekali, ya, ternyata, kalau punya anak kecil. Besok Zavie harus tanya-tanya Mama lagi, deh. Kayaknya Zavie perlu belajar bagaimana caranya menjadi orangtua yang lebih baik untuk Coco. Tidak bisa begini terus. Nanti Zavie gagal menjadi orangtua.
Zavie pun meraih Coco dan memeluk kucing itu, lalu duduk di antara bunga-bunga hydrangea tersebut. Iya, Coco benar-benar duduk di sana, padahal tanahnya sedang basah. Seraya memeluk dan memangku Coco di bawah payungnya, Zavie pun mengerutkan dahi. Dia terlihat agak kesal sekaligus khawatir dengan Coco.
“Coco ngapain, cih? Ini, kan, lagi hujan… Nanti kalau Coco cakit gimana?” tanya Zavie dengan kecewa. Coco yang mendengar itu hanya mengeong dan menatapnya dengan mata yang membulat polos, tidak mengerti sama sekali dengan apa yang majikan kecilnya itu ucapkan. Ya bagaimana, dong, majikan sama peliharaannya, kan…sama-sama masih mungil.
“Coco, kan, bukan bebek. Coco ngapain hujan-hujanan? Coco nggak takut air? Kenapa nggak mau main di rumah aja? Kan ada Javi…” ujar Zavie, dia protes dengan nada ngambek-nya itu, sibuk menasihati kelakuan Coco yang sekarang suka kelayapan sendiri di belakang rumah. Masih kecil saja sudah hobi kelayapan, bagaimana nanti kalau sudah besar? Zavie takut Coco nanti jadi melakukan pergaulan bebas!
“Adek!! Zavie!!”
Belum sempat Zavie meneliti bagaimana respons Coco, tiba-tiba Zavie mendengar teriakan mamanya dari teras belakang rumah. Zavie kontan langsung mengangkat kepalanya, menoleh ke arah teras belakang rumah dan menemukan mamanya yang bertubuh sedikit gemuk itu berdiri di sana, sedikit memanjangkan leher demi melihat apakah Zavie benar-benar sedang duduk di tengah-tengah tanaman hydrangea itu. Mamanya lanjut berteriak, “Adek!! Balik!! Hujan ini!! Ngapain main ke luar?!!”
Zavie jadi panik. Dia langsung berdiri dan menggendong Coco, lalu berlari seraya membawa kucingnya itu kembali ke rumah. Mama yang melihat itu sontak jadi menganga; mata Mama melebar. “Astaga Adeeek!! Itu celana basah semua astagaaa!!!”
Waduh! Ketahuan Mama, deh! Gawat ini!
Zavie pun berlari naik tangga dan begitu dia sampai di teras belakang rumahnya, Mama langsung merunduk dan memeriksa celananya. Celana itu jelas basah semua, terutama bagian bokongnya. Mama langsung mengambil payung yang tengah Zavie pegang, lalu mulai melepas celana Zavie. “Ya ampun, Dek! Ngapain, sih, hujan-hujanan di belakang rumah? Kan basah semua ini jadinya! Nanti demam baru tau rasa!”
Zavie jadi mengerucutkan bibirnya karena sedih, tetapi matanya tetap membulat polos. “Javi lagi cari Coco, Ma, dia tadi nggak pulang. Dia main di deket bunga. Nanti dia cakit demam…”
Mamanya jadi menahan napas sejenak. Setelah itu, Mama pun menghela napasnya. “Ya udah, mandi sana. Langsung masuk ke kamar mandi. Takutnya ntar jadi demam.”
“Mau mandi cama Coco, Ma, boleh?” pinta Zavie dengan mata bulatnya. Mama sedang membuka jaket Zavie. “Boleh, ya, Ma?”
Mama langsung menggandeng Zavie—yang kini hanya memakai celana dalam itu—masuk ke dalam rumah. “Ya udah, tapi Zavie beneran mandi, ya? Jangan malah main air. Nggak boleh pakai bathtub juga. Nanti ada apa-apa. Mandi di lantai aja.”
Zavie yang masih menggendong Coco pun jadi sedikit melompat senang. Matanya yang jernih itu mulai berbinar. “Yeeeey!!”
Setelah itu, Mama pun mengantar Zavie dan Coco ke kamar mandi. Kamar mandi itu ada di dekat dapur. Setelah itu, Mama mengantarkan mainan bebek-bebekan ke dalam kamar mandi, memberikan mainan itu pada Zavie, lalu membiarkan Zavie mandi sendiri bersama Coco. Mama tidak menutup pintu kamar mandi itu supaya bisa mengawasi dua buntalan daging itu dari dapur. Kamar mandinya luas, jadi Zavie bisa duduk di lantainya seraya memandikan Coco.
125Please respect copyright.PENANAdmuqgcYQ2p
******
125Please respect copyright.PENANAqNqKMJcq1v
Di dalam kamar mandi, Zavie sibukmengomeli Coco. Tangan kecilnya menyabuni Coco dengan sabun khusus untuk kucing yang rutin dibelikan oleh orangtuanya. Sementara itu, kepala Zavie tampak berbusa sebab agaknya ia masih belum membilas sampo di kepalanya. Ada satu mainan bebek yang bertengger di kepalanya.
“Coco, biar Javi tanya cekali lagi,” kata Zavie serius. “Coco ngapain akhir-akhir ini ke taman bunga cendirian? Biacanya, kan, Coco main ke cana kalau ada Javi aja. Ngapain, cih?”
Seperti biasa, si gembul berbulu itu hanya mengeong. Zavie pun menghela napas. Zavie serius nanya, lho, ini. “Coco jawab dulu, kenapa beberapa hari ini Coco main ke citu cendiri terus ceharian, dari pagi campai core, campai malem kalau Javi nggak jemput. Liat, nih, badannya Coco jadi kotor cemua.”
Berhubung Coco hanya mengeong saja, Zavie jadi tidak puas. Besok Zavie harus cari tahu, nih! Coco memang hobi berlari-lari di taman bunga itu, tetapi biasanya Coco hanya ke sana kalau ada Zavie di sekitarnya atau minimal ada Zavie yang mengawasinya dari teras belakang rumah. Kalau tidak begitu, Coco tidak akan ke sana sendirian, apalagi kalau hari sedang hujan begini! Pasti Coco akhir-akhir ini rajin sekali ke taman sendirian karena ada sebabnya. Waktunya Zavie mencari tahu apa sebabnya.
“Zavieee!” panggil mamanya tiba-tiba. Zavie langsung menoleh ke pintu kamar mandi yang terbuka, lalu ia menemukan mamanya yang baru saja sampai di pintu itu, berdiri berpegangan dengan kosen pintu seraya menatap tubuh anaknya yang masih dipenuhi dengan busa. “Udah belum mandinya? Lama banget mandinya, Nak!”
Zavie hanya menatap mamanya dengan mata bulat polosnya itu. “Belum celecai, Mama.”
Mamanya pun jadi menepuk jidat. Setelah itu, Mama langsung masuk ke kamar mandi. Dia menghampiri anak bungsunya tersebut dan langsung berjongkok, kemudian mengangkat tubuh anaknya itu agar berdiri. “Hadeh. Udah, udah, Mama mandiin aja, deh. Bisa-bisa satu jam-an, nih, kalau Mama biarin.”
Mau tak mau, karena takut Mama mengamuk, Zavie pun hanya mengerucutkan bibirnnya dan mengangguk. Dia dan Coco ujung-ujungnya jadi dimandiin sama Mama. Tangan Mama memandikan mereka dengan gesit; Coco yang sudah terbiasa mandi pun hanya diam saat Mama memandikannya.
Setelah selesai mandi, Mama lantas membawa Zavie dan Coco keluar dari kamar mandi. Mama langsung mengambil handuk dan mengeringkan tubuh keduanya di depan kamar mandi. Coco langsung lari ke ruang tamu tatkala tubuhnya sudah dikeringkan dengan handuk oleh Mama; Coco berlari ke ruang tamu dan langsung sibuk menjilati bulu-bulunya sendiri. Sementara itu, Zavie yang masih dihanduki oleh Mama pun mendadak bertanya pada Mama dengan polosnya, “Mama, kira-kira kenapa, ya, Coco akhir-akhir ini main cendirian ke taman belakang terus?”
Astaga. Mama sudah tahu Zavie ini adalah anak yang suka kepo, tetapi ternyata kekepoannya separah ini. Kalau belum tahu jawabannya maka kekepoannya belum selesai. Jangan-jangan, dulu Mama salah merk waktu memilihkan susu untuk Zavie.
Mama pun mengernyitkan dahi, mencoba untuk sedikit berpikir. Dia harus merespons Zavie kalau tidak mau Zavie mengulang-ulang pertanyaannya sampai sepuluh kali. “Hm…mungkin sekarang dia rajin ke situ setiap hari karena…”
Zavie memiringkan kepalanya. “Karenaa?”
“…karena ada temennya di situ,” lanjut Mama.
Sontak mata Zavie berbinar. Teman? Wah, ada kucing baru, ya? Zavie harus cari tahu, nih! Zavie harus lihat teman Coco! Waaah, Zavie jadi tidak sabar. Mudah-mudahan hari esok segera tiba. Waktunya dia mencari tahu!
Setelah selesai mengelap tubuh Zavie dengan handuk, Mama pun membawa Zavie ke ruang tamu. Di ruang tamu itu ada sofa, meja, TV, dan rak majalah. Mama menyuruh Zavie untuk menunggu di dekat sofa, lalu Mama mengambil baju Zavie dari dalam kamar. Begitu Mama datang mendekati Zavie kembali, Mama terlihat membawa sepasang piama garis-garis milik Zavie yang berwarna biru muda. Biru muda adalah warna favorit Zavie.
Mama pun memakaikan pakaian Zavie. Mama mengoleskan minyak telon di perut dan punggung Zavie terlebih dahulu, menaburkan bedak juga di sana, lalu mulai memakaikan pakaian anak bungsunya itu. Mulai dari celana dalamnya, kaus dalam, hingga celana panjang dan baju panjangnya. Zavie menurut saja; kedua tangan kecilnya berpegangan pada bahu Mama tatkala Mama memakaikannya baju.
Tak lama kemudian, Zavie mendengar pintu depan rumah mereka terbuka. Zavie langsung menoleh dan dia menemukan Papa yang baru saja pulang dari kantor. Seragam Papa tidak basah, mungkin karena Papa naik mobil. Melihat kepulangan Papa, Zavie pun langsung senang bukan main. Matanya berbinar; dia langsung excited. Menyadari anaknya yang excited, Mama pun mempercepat gerakan tangannya; Mama langsung menyisir rambut Zavie dan memberikan bedak pada wajah Zavie dengan cepat. Alhasil, bedak di wajah Zavie jadi berantakan.
“Papaaa!!” teriak Zavie senang, dia langsung berlari ke arah papanya yang juga terlihat senang melihat anak laki-laki bungsunya. Papa tampak sedikit membungkuk dan merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk menyambut dan memeluk Zavie yang tengah berlari ke arahnya.
“Zavieeee!” teriak papanya balik. Papa kelihatan sedang membawa dua buah bungkus plastik berwarna hitam. Papa lalu melanjutkan, “Papa bawa martabak coklat, Dek!!”
Zavie lalu memeluk papanya. Tatkala mendengar Papa sedang membawa martabak, Zavie pun melompat kegirangan di pelukan papanya dan berteriak, “Yeeeeeyyy!! Maltabaaak!!”
Papa pun langsung menggandeng tangan mungil Zavie dan membawa Zavie ke sofa yang ada di ruang tamu. Mama masih ada di sana, sedang menunggu seraya tersenyum. Sebetulnya, Papa agak heran, anaknya itu bisa menyebutkan ‘r’, tetapi terkadang ada masa-masanya di mana huruf ‘r’ itu berubah menjadi ‘l’.
“Papa bawa makanan untuk Coco juga,” ujar Papa kemudian. “Makanan Coco habis, ‘kan, kata Mama.”
“Iya, Papa, makanannya abis!” jelas Zavie dengan antusias, dia tahu juga kalau makanan kucingnya habis. “Makacih, Papa!!”
“Okeeee!” Papa pun mengusap kepala Zavie dan tertawa. Kelihatan benar-benar jadi bucin untuk gumpalan lemak yang berwujudkan anak bungsunya itu. Lucunya bukan main, rasanya pengin cubit pipinya dan peluk badannya kuat-kuat. Gemas sekali rasanya. Papa meletakkan bungkusan-bungkusan itu ke atas meja, lalu ia membuka salah satu bungkusan yang berisi martabak. Setelah bungkusnya terbuka, Papa lantas membuka kotak martabak itu dan Zavie mulai ngiler tatkala memperhatikan kotak martabak yang perlahan-lahan terbuka. Mata Zavie membulat dan berbinar-binar. Begitu kotak itu terbuka dan memperlihatkan martabak coklat yang ada di dalamnya, Zavie langsung mengambil sepotong martabak yang ada di sana dan langsung memasukkan martabak itu ke mulutnya. Gigitan pertama sukses membuat Zavie serasa bagai di surga. Zavie sibuk memakan martabak itu sampai-sampai ia lupa pada Mama dan Papa yang kini tengah mengobrol di samping kanan dan kirinya, Zavie tak tahu mereka sedang mengobrol tentang apa, yang jelas martabaknya enak sekali. Mulut Zavie dan tangan Zavie sampai celemotan karena dipenuhi dengan coklat.
“Papa,” panggil Zavie di sela-sela acara makan martabaknya. “Coco kayaknya punya temen balu.”
Papa yang tadinya tengah mengobrol bersama Mama pun jadi menatap kepada Zavie. “Oh ya? Wah…siapa?”
“Nggak tau, Papa, becok Javi cali tau,” kata Zavie seraya menggigit potongan terakhir martabak yang ada di tangannya.
Saat Zavie masih mengunyah potongan terakhir itu, tiba-tiba Mama berteriak, “Atlas, ada martabak!!”
Zavie refleks menoleh ke arah Mama yang tengah berteriak; Mama berteriak seraya mengarahkan pandangannya ke kamar Kak Atlas, kakaknya Zavie.
Jadi, Zavie ini sebenarnya punya seorang kakak. Kak Atlas namanya; nama lengkapnya adalah Atlas Alastair. Kak Atlas adalah satu-satunya saudara Zavie. Anak Pak Haryo Alastair saat ini hanya ada dua, yaitu Atlas Alastair dan Zavier Alastair. Namun, perbedaan usia antara Atlas dan Zavie bisa dibilang sangat jauh; Atlas sudah SMA, sementara Zavie masih berusia empat tahun. Jika Zavie adalah tipe anak yang cerewet dan kepoan…maka Atlas adalah kebalikannya. Dia tipe cowok yang tidak banyak bicara; dia bicara seperlunya saja. Dia siswa andalan di sekolahnya; dia juara umum, dia kapten basket, dan dia juga saat ini sedang menjabat sebagai Ketua OSIS.
Mendengar Mama yang berteriak karena menawari Kak Atlas martabak, Zavie pun jadi berinisiatif.
“Mama, Mama,” panggil Zavie, membuat Mama jadi menoleh ke arahnya. Zavie pun lalu melanjutkan, “Javi aja yang panggil Kakak.”
Setelah itu, tanpa menunggu respons dari Mama, Zavie pun langsung berlari ke arah kamar Kak Atlas yang berada tak jauh dari ruang tamu. Suara langkah kaki kecilnya itu terdengar lumayan jelas karena ia berlari melewati ruang tamu terlebih dahulu sebelum akhirnya ia sampai di depan pintu kamar Kak Atlas yang berwarna coklat muda.
Tatkala sudah sampai di depan pintu kamar Kak Atlas, Zavie pun mulai berjinjit agar bisa meraih gagang pintu kamar itu. Zavie menggunakan sebelah tangan kirinya untuk memegang gagang pintu kamar itu, lalu setelah menekan gagang pintu itu ke bawah, Zavie pun mulai mendorong pintu tersebut ke dalam. Membukanya perlahan. Dia tak mau mengganggu Kak Atlas.
Saat pintu kamar itu sudah terbuka nyaris setengah, Zavie dapat melihat sosok Kak Atlas yang sedang belajar di meja belajarnya. Lampu yang ada di atas meja belajar itu hidup dan sinarnya berwarna krem. Namun, lampu kamar Kak Atlas belum dihidupkan—hanya lampu yang ada di meja belajarnya saja—mungkin karena malam belum tiba. Kamar Kak Atlas jadi terlihat agak gelap karena cuaca di luar masih hujan. Langit masih mendung, tentunya.
Atlas yang tengah fokus ke buku pelajaran itu pun mulai menoleh ke pintu kamarnya. Di sana sudah ada adiknya yang tengah berdiri seraya melihat ke arahnya dengan penuh keingintahuan. Sebelah tangan adiknya itu masih memegang gagang pintu dan kedua kaki adiknya itu tengah berjinjit. Mulut adiknya itu celemotan, dipenuhi dengan coklat.
Zavie menatap Kak Atlas dengan mata bulatnya yang melebar karena ingin tahu. Mata bulat Zavie itu tampak begitu jernih dan polos, seperti kelinci. Mereka berdua saling bertatapan untuk beberapa detik lamanya—tanpa bersuara—hingga kemudian Atlas menyaksikan mulut adiknya yang celemotan itu mulai berbicara,
“Kakaak… Ada maltabak.” []
125Please respect copyright.PENANASOgBRngGHz