
******
Bab 2 :
Teman Baru Coco
******
107Please respect copyright.PENANAgaLB2BFdGa
SELEPAS melihat adiknya yang membuka pintu kamarnya dengan bibir dan pipi yang celemotan, Atlas sedikit menaikkan kedua alisnya karena heran. Akan tetapi, akibat wajahnya yang acap kali terlihat tanpa ekspresi serta didukung oleh alisnya yang tebal, ekspresi herannya itu pun tak terlihat kentara. Dari meja belajarnya, Atlas dapat melihat Zavie dengan jelas meskipun kamarnya agak gelap. Buntalan berisi susu itu berdiri di sana, melihat Atlas dengan kedua mata bulatnya seraya memakai piama berwarna biru muda lengkap dengan aroma bedak bayi serta minyak telonnya.
Karena Atlas hanya diam, Zavie pun kembali memanggil kakaknya itu, “Ka…kak?”
Atlas mengerjap.
“Hm,” deham Atlas, merespons panggilan kedua dari adiknya itu. “Duluan aja.”
Namun, mendengar jawaban dari Atlas, mata Zavie jadi melebar. Mulutnya menganga, ia sedikit bingung dengan jawaban dari kakaknya itu. Zavie kurang mengerti kalau disuruh duluan. Kalau disuruh duluan begitu, nanti martabaknya keburu Zavie embat semua. “Na—nanti Javi habicin cemua maltabaknya, Kak.”
Ya kalau mau dihabisin kenapa ditawarin?
Menghela napas, Atlas pun menjawab, “Ya udah.”
Seperti biasa, jawaban Atlas selalu singkat, padat, dan jelas. Tingkatan sikap dinginnya sudah hampir sama dengan suhu freezer kulkas Mama yang biasa menyimpan bahan-bahan makanan mereka. Namun, Zavie sebenarnya sudah sering diperlakukan seperti itu oleh kakaknya. Maka dari itu, isi kepala bocah berwajah susu itu terkadang dihadapkan pada sebuah dilema, yaitu pasrah dan terbiasa dengan sifat kakaknya itu atau memberontak dengan cara mencari tahu penyebab mengapa kakaknya sedingin itu supaya dia bisa lebih disayang dan dimanja sama kakaknya.
Namun, karena saat ini Zavie sedang membahas soal martabak coklat, dia pun tak mau banyak berpikir. Mendengar jawaban kakaknya, Zavie lantas mengangguk dengan mantap dan matanya berbinar. Bentuk matanya itu hampir bulat sempurna, irisnya berwarna coklat kehitaman (hampir hitam) dan terlihat begitu jernih. Seluruh isi pikirannya, seluruh perasaannya, semuanya bisa terbaca melalui kedua matanya yang polos itu.
“Ung!!” sahut Zavie riang (menjawab kakaknya), lalu kaki kecilnya langsung berlari ke ruang tamu kembali, tempat di mana Mama dan Papa sedang duduk sembari mengobrol.
Ehehehee, Zavie jadi bisa makan jatah martabaknya Kak Atlas, deh!
107Please respect copyright.PENANAWSRUSwMWGi
******
107Please respect copyright.PENANA2Kxulz08Vb
Keesokan harinya, seperti yang sudah Zavie rencanakan dan tunggu-tunggu, dia pun mulai mencari tahu kebenaran tentang Coco yang mungkin memiliki teman baru. Zavie yang sudah kepo dari kemarin—bahkan sampai mengigau, ‘Cocooo... Temen balu Cocooo…’ waktu diangkat Papa pas ketiduran di depan TV—pun langsung memelesat ke halaman belakang ketika dia sudah bangun tidur, sarapan, dan mandi.
Zavie ke sana—ke halaman belakang, tepatnya di dekat taman bunga hydrangea biru itu—bersama dengan Coco selaku terdakwa. Dilihatnya Coco langsung berlari ke taman bunga hydrangea biru itu dan masuk ke tengah-tengah tanamannya melalui bagian bawah. Zavie pun ikut berlari supaya bisa cepat memergoki aktivitas terdakwa yang entah akan melakukan apa di tengah-tengah tanaman itu. Udah enggak sabar lagi soalnya. Kepo banget.
Begitu Zavie sampai di taman bunga hydrangea itu, Zavie pun langsung berjongkok dan mulai menyibak tanaman hydrangea itu agar bisa memberikannya jalan dan penglihatan yang baik. Seraya menyibak tanaman itu, Zavie pun mulai berjalan jongkok seraya melihat ke depan dengan mata bulatnya yang polos.
Betapa terkejutnya Zavie tatkala ia benar-benar sudah sampai di tengah-tengah taman bunga hydrangea itu. Tanamannya tersibak sehingga area penglihatan Zavie kini tentu jadi lebih terang dan lebih jelas.
Di sana, di depannya, Zavie melihat ada seekor kucing. Kucing itu berdiri menghadap ke arah Zavie, tetapi di sebelahnya sudah ada Coco yang sibuk menjilati kepalanya. Kucing itu kecil, ukurannya lebih kecil daripada Coco, dan bulunya berwarna putih. Matanya bulat dan berwarna biru. Dia memakai kalung berwarna putih dengan liontin yang berbentuk lingkaran.
Anehnya, walau melihat ada intrusi dari manusia kecil bercelana pendek yang tak diundang itu, kucing putih itu tetap bergeming. Dia hanya melihat Zavie dengan mata bulatnya yang berwarna biru itu, kaki pendeknya tetap berada di posisi yang sama. Sementara itu, Coco masih saja menjilati kepala kucing itu.
Mungkin, alih-alih berlari karena ketakutan, radar kucing itu justru mendeteksi bahwa makhluk bercelana pendek dan berkaus putih dengan gambar capybara itu adalah makhluk sejenis dia. Kucing juga. Cuma agak lebih besar saja.
Melihat kucing itu, mata Zavie kontan berbinar-binar. Ekspresinya langsung terlihat menyala, bercahaya. Mulutnya lantas terbuka lebar, kemudian dia tersenyum semringah. “Uwaaaa! Ada kuciiinggg!!!”
Sontak saja Zavie berjalan jongkok dengan cepat, dia langsung menghampiri kucing putih itu dan berhenti tepat di hadapannya. Kepala Zavie langsung tertunduk, melihat dengan fokus ke arah kucing itu, lalu Zavie mengelus kepala kucing itu. Bulunya lembut sekali. “Waaah, ternyata Coco emang punya temen baluuu! Ini, ya, temen balunyaa?”
Kucing yang sedang ditanya, Coco, malah tidak peduli sama sekali. Dia masih sibuk menjilati bulu kucing putih itu sambil menggigit-gigitnya sesekali.
Zavie lantas tersenyum manis—dia senang sekali—sampai-sampai kelopak matanya tertutup seolah ikut tersenyum. Bocah itu mulai mengelus-elus kepala kucing putih itu. “Kamu ciapa namanya? Udah lama, ya, main di cinii?”
Kucing putih itu hanya mendongak, memejamkan matanya, dan menikmati elusan dari tangan kecil Zavie.
“Eheheheee, ada kucing baluuu. Eh, tapi kamu punya kalung…berarti kamu ada yang punya, yaa?” tanya Zavie lagi. Kini dia mulai mengelus dagu kucing itu.
Karena tidak ada jawaban—yang ditanya malah sedang keenakan karena dagunya dielus—Zavie pun akhirnya menghela napas. “Ya udah, deh, ayo kita main dulu, yaaa! Cama Coco, cama bebek-bebek jugaa! Kita main dulu, okee? Sambil nunggu-nunggu kamu dijemput!” ajak Zavie dengan riang, dia mengulurkan kedua tangannya untuk mengelus dua ekor makhluk berbulu yang ada di hadapannya. Sebenarnya, Zavie juga pengin tahu siapa pemilik kucing putih itu soalnya kucingnya memakai sebuah kalung.
“Yeeeeeeyyy! Ayo mainnn!!” teriak Zavie antusias, bocah itu pun langsung menggendong dua kucing tersebut, memeluk mereka dengan kedua lengannya. Zavie langsung berlari sedikit menjauh dari taman bunga hydrangea itu dan menuju ke kanan. Sekitar beberapa meter dari sana, di sebelah kanan, ada sebuah genangan air yang biasa disinggahi oleh bebek-bebek kompleks. Bukan semua bebek kompleks juga, sih, tetapi ada satu bebek betina yang biasa membawa anak-anaknya main ke sana. Mereka biasa bermain di genangan air yang ada di belakang rumah Zavie, tak jauh dari taman bunga hydrangea.
Sesampainya Zavie di genangan air itu, benar saja, ada bebek-bebek pengunjung setia yang sudah berenang-renang dan minum di sana. Genangan air itu sebenarnya agak lebar, soalnya di sana ada bagian tanah yang agak menjorok ke bawah. Entah bekas galian atau bagaimana, tetapi akibat permukaannya yang agak turun, air jadi mudah mengalir ke sana. Waktu itu Papa pernah mau menimbun tanah di daerah itu, tetapi Zavie menolak dengan keras. Bocah itu demo, mogok minum susu dan memberengut pada Papa, memaksa Papa untuk membatalkan rencananya. Dia bahkan sempat mengancam untuk membawa sendal Papa buat bermain lumpur serta menyuruh Coco untuk eek di sepatu Papa saja kalau Papa masih bersikeras. Akhirnya, karena tak mau lama-lama bermasalah dengan bocah itu, Papa pun mengalah. Gawat juga kalau sepatu kerjanya kena eek, pikir Papa waktu itu.
“Bebeeeek!” panggil Zavie. Tatkala mendengar suara Zavie, bebek-bebek itu lantas menoleh kepadanya secara bersamaan. Induk dari anak-anak bebek itu hanya mengeluarkan satu suara ‘Wek’ sebagai respons untuk Zavie. Mereka juga sudah biasa melihat Zavie berkeliaran di sekitar mereka dan ikut campur urusan mereka. Untung saja Zavie itu cuma sekadar intruder biasa, bukan impostor.
Kekepoan Zavie itu sudah tersebar luas bukan hanya pada warga kompleks, tetapi pada hewan-hewan juga.
Zavie menurunkan kedua kucingnya di pinggir genangan air itu. Kedua kucing itu pun lantas berlari-lari, berkejar-kejaran di pinggiran genangan air itu. Zavie dengan santainya langsung masuk ke dalam genangan air itu, langsung mengejar bebek-bebek itu, bolak-balik sambil tertawa kencang sampai bebek-bebek itu jadi panik dan berenang terpisah-pisah. Bebek-bebek itu berenang dengan gancang sembari berteriak, ‘Wek! Wek wek wek!! Wek wek!!’, tetapi Zavie justru terlihat semakin gembira. Bocah itu agak sadis soalnya. Kucing-kucing yang tadinya berlari-lari di pinggir genangan air itu pun jadi duduk diam dan memperhatikan betapa kacaunya keadaan itu. Coco mau kabur, tetapi bocah yang ada di depan sana adalah majikannya. Jadi, Coco tak punya pilihan lain selain menonton dengan sabar. Namun, karena sudah hafal dengan kelakuan Zavie, beberapa dari anak-anak bebek itu pun lantas berenang ke tepian dan hal ini jadi mengundang para kucing untuk mendekat juga ke bebek-bebek itu.
Kucing-kucing itu menempelkan hidungnya ke tubuh bebek-bebek yang sedang menepi. Setelah itu, bebek-bebek itu pun membalas para kucing itu dengan menempelkan paruh mereka ke hidung dua kucing tersebut. Zavie melihat adegan itu dan kegirangan sendiri. Inilah yang membuat Zavie suka sekali dengan bebek dan kucing. Mereka itu imutnya minta ampun!
Zavie terus bermain bersama bebek-bebek serta kedua kucing itu selama beberapa waktu. Terkadang dia masuk ke genangan air—yang kalau ketahuan Mama, pasti kena oceh habis-habisan—dan terkadang dia berlarian di tanah halaman belakang rumah, dikejar atau mengejar kucing-kucing itu. Dia juga sempat singgah ke taman bunga hydrangea untuk bermain tangkap-tangkapan kupu-kupu bersama Coco dan kucing putih yang ia temukan tadi.
Zavie bermain bersama hewan-hewan itu sambil menunggu si Kucing Putih dijemput oleh pemiliknya. Namun, entah mengapa, ditunggu punya tunggu, pemiliknya tak kunjung datang.
Sampai akhirnya, jam makan siang pun tiba. Zavie sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menahan rasa laparnya selama beberapa saat supaya bisa tahu siapa pemilik kucing putih itu. Akan tetapi, wujud pemilik kucing itu belum tampak juga.
Karena sudah lapar, Zavie pun mengangkat kedua kucing itu—Coco dan si Kucing Putih—lalu mulai membuat sebuah keputusan yang sangat berat, yaitu meletakkan dan meninggalkan si Kucing Putih itu di taman bunga hydrangea terlebih dahulu, untuk saat ini. Dulu Papa pernah bilang sama Zavie kalau setiap keputusan pasti ada risikonya. Papa waktu itu habis nonton film motivasi, makanya Papa sok-sokan menasihati Zavie yang juga kepoan orangnya. Kata Papa, dalam hidup ini Zavie harus berani mengambil keputusan walaupun itu berat. Zavie tak paham apa itu risiko, tetapi mungkin inilah yang Papa maksud. Soalnya memang berat banget.
Setelah meletakkan kucing putih itu ke taman bunga hydrangea, Zavie pun berjongkok dan mengelus kepala kucing putih itu. “Di cini dulu, ya. Tunggu campai pemilik kamu datang, oke?” Mendadak Zavie jadi sedih tatkala mengatakan itu. Bagian sudut bibirnya terlihat melengkung ke bawah, kayak lagi ngambek. “Tunggu, ya, Kucing Putih. Javi pulang dulu, ya?”
Setelah mengatakan itu, meskipun dengan berat hati—dan dengan perut yang keroncongan—Zavie pun akhirnya berdiri. Coco masih berada di gendongannya.
“Bye bye, nanti Javi liat kamu lagi, ya!” ucap Zavie, dia melambaikan tangannya pada kucing putih itu, lalu berbalik dan berlari ke rumahnya. Hati Zavie rasanya nyes banget karena harus meninggalkan kucing putih itu di sana sendirian meskipun Zavie tahu kalau dia pasti bakal ke sana lagi. Zavie harus tanya Mama, nih! Zavie harus minta saran dari Mama!
Ketika baru saja sampai di dekat pintu belakang rumah, Mama yang kebetulan lagi mau ke belakang rumah—karena mau meneriaki Zavie supaya pulang—itu kontan terperanjat. Mata Mama langsung memelotot tatkala melihat Zavie beserta pakaiannya yang sudah penuh dengan lumpur. Pakaiannya, kakinya, tangannya, semuanya terlihat basah dan berlumpur. Mama kontan berteriak kencang.
“ZAVIEEEEEEE!!!!!!! ASTAGA YA TUHAAANNN!!!”
107Please respect copyright.PENANAUXuoa0oMmn
******
107Please respect copyright.PENANAhr0dctgBUm
“Mamaaa…” panggil Zavie dengan nada sedihnya sembari memegangi celana Mama yang sedang mengambilkan nasi untuknya. Zavie kini sudah mandi, dia sudah bersih dan sudah berganti pakaian. Dia baru saja kena oceh sama Mama, ocehan Mama tadi lama dan lengkap banget, tetapi Zavie tidak menangis. Kalau Mama mengoceh, terima saja dengan telinga terbuka, kata Papa. Zavie tahu kok kalau dia bakal kena marah sama Mama. Namun, Zavie tadi memang pengin mengajak kucing putih itu bermain.
“Apa lagi?!” tanya Mama ketus.
“Tadii, tadii Javi, kan, maen sama Coco di belakang,” ucap Zavie, dia tak menggubris nada ketus mamanya dan mulai bercerita.
“Ha. Terus maennya sampai berlumpur, gitu?” sambung Mama, langsung mencerocos tanpa rem. “Nggak usah cerita kamu, Mama udah tau.”
Ih, Mama, nih. Mengamuk terus.
Zavie jadi mengerucutkan bibirnya. “Bukan gitu, Mama.”
“Jadi, apa??!” ucap Mama lagi dengan ketus. Marahnya Mama memang susah redanya. Sekarang Mama lagi mengambilkan lauk untuk makan siang Zavie.
“Itu, Mama… Coco telnyata memang punya temen balu,” ungkap Zavie. “Temennya warna putih, Mama. Kecil, lucu, tapi pake kalung...”
Mama tak menjawab. Cuma diam sambil mengambil lauk untuk Zavie. Zavie dari tadi hanya memegangi celana Mama sambil mengikuti ke mana Mama pergi. Sekarang Mama sedang berjalan ke arah dispenser dan Zavie masih mengikuti seraya memegang celana Mama.
Ketika Mama sedang menampung segelas air dari dispenser, Mama pun akhirnya menghela napas. Melepaskan sedikit amarahnya ke udara.
“Ya kalau pake kalung, berarti ada pemiliknya,” jawab Mama.
“Tapi pemiliknya nggak dateng-dateng, Mama,” ucap Zavie lagi. Zavie mendongak dan berbicara pada mamanya dengan mata bulatnya yang memelas. “Javi takut, Mama, Javi takut dia nggak dijemput-jemput. Tadi Javi udah tungguin pemiliknya barengan Coco, tapi kucing putihnya nggak dijemput-jemput juga.”
Mama kembali menghela napas. Kini Mama pun berbalik dan berhadapan dengan Zavie. Dilihatnya anaknya yang sedang takut dan sedih itu, lalu perlahan-lahan kemarahannya pun jadi menghilang. Oh, jadi itu alasannya Zavie—bocah berpotongan rambut two block itu—main sampai celemotan karena terkena lumpur. Zavie ini ganteng, sebenarnya, tetapi kelakuannya kayak salah kasih susu.
“Ya sudah. Tunggu aja dulu. Mungkin pemiliknya agak telat karena sibuk.” Mama menenangkan.
“Ta—tapi, Ma, kalau dia nggak dijemput, gimana?” Zavie masih mendongak, kedua tangannya ada di sisi-sisi tubuhnya. Dia berdiri tegap, tetapi kepalanya mendongak supaya bisa melihat wajah Mama. Mata bulatnya mulai berkaca-kaca; dia menatap Mama dengan ekspresi sedih. Ekspresi kasihan. Ekspresi takut.
“Kita lihat dulu sampai besok pagi. Kalau besok pagi kamu lihat dia masih ada di situ, berarti dia memang nggak dijemput,” kata Mama. “Tunggu aja dulu. Nggak boleh sembarangan diambil kalau ada yang punya.”
Zavie terdiam selama beberapa saat; bocah itu tertunduk dengan wajah yang murung. Bibirnya sedikit terlipat dan bahunya turun.
Namun, akhirnya si kecil itu pun mengangguk perlahan.
“Hng,” jawabnya, mengiyakan mamanya. Setelah itu, dia pun mendongakkan kepalanya lagi dan menatap Mama dengan sendu. “tapi becok pagi-pagi Javi liat dia, ya, Ma. Javi mau liat dia pagi-pagi banget, Ma. Bangunin Javi, ya, Ma?”
Mama pun mengangguk. “Iya. Ayo, makan dulu.”
Zavie kembali mengangguk perlahan. Dia bersama Mama lantas mulai berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana, lalu makan siang sambil menonton TV.
Akan tetapi, nyatanya hari itu tidak berlalu semudah itu. Sampai sore, sampai Kak Atlas dan Papa pulang, sampai mandi sore, Zavie ternyata masih kelihatan risau. Sayangnya sore itu Mama memang melarang Zavie untuk keluar lagi sebab takut bocah itu kembali bermain lumpur. Jadi, Zavie tak bisa mengecek kucing itu saat sore harinya.
Keadaan itu bertahan sampai makan malam. Ketika akhirnya Mama mengantarkan Zavie ke kamarnya untuk tidur malam itu pun, Zavie masih terus kepikiran tentang kucing putih itu.
107Please respect copyright.PENANAirx3uXwAuC
******
107Please respect copyright.PENANAu1sxjY5VYb
Esoknya, pagi-pagi buta, ketika dibangunkan oleh Mama, kedua mata Zavie pun langsung terbuka lebar. Ia betul-betul langsung terjaga. Dia lantas bangkit dari tempat tidurnya dan memelesat—berlari—ke belakang. Atlas yang sedang memakai dasi SMA-nya saat itu pun kelihatan menyatukan alisnya—merasa heran—ketika melihat adiknya yang tumben bangun pagi hari ini, lalu malah berlari dengan secepat kilat ke pintu belakang rumah. Mama lantas berteriak, “Pelan-pelan, Dek!!!” seraya menyusul Zavie ke belakang, lalu membukakan pintu untuk anak bungsunya itu.
Untung Papa lagi mandi. Kalau tidak, pasti Papa juga akan sibuk menanyakan ada apa gerangan yang terjadi pada Zavie hari ini.
Ketika Mama sudah membukakan pintu belakang dan memberikan sepasang sendal crocs kecil bergambar astronot itu kepada Zavie, Zavie pun bergegas memakai sendal itu dan langsung berlari melewati teras belakang rumahnya, lalu turun ke bawah melalui tangga.
Setelah sampai di bawah—sudah menginjak tanah—Zavie pun lantas berlari lagi dengan cepat ke taman bunga hydrangea. Dalam waktu singkat, Zavie sudah berdiri di taman bunga itu dan dia langsung berjongkok, lalu menyibak tanaman bunga itu seperti kemarin agar memperjelas penglihatan serta memudahkan jalannya.
Setelah dia sampai di tengah-tengah tanaman bunga hydrangea itu, kedua mata Zavie kontan membulat. Zavie mendadak merasa dadanya jadi sakit. Dia terkejut dan tanpa sadar menahan napasnya. Seluruh rasa khawatir dan sedih yang sudah ia pendam sejak kemarin akhirnya menerobos ke luar.
Di sana, di depannya, Zavie melihat bahwa kucing itu masih ada di sana. Masih menunggu dan berlindung di dalam serumpun tanaman hydrangea itu. Kucing itu tertidur di sana, sendirian.
Tak ayal, jantung Zavie jadi berdegup kencang. Anak laki-laki itu kontan berdiri, dia langsung keluar dari taman bunga hydrangea itu dan langsung berlari dengan sangat cepat ke rumahnya. Dia naik tangga cepat-cepat, isakannya sudah hampir mau keluar. Dadanya rasanya sesak sekali.
Begitu melepas sendalnya dan masuk ke rumah melalui pintu belakang, Zavie pun langsung pergi ke dapur untuk mencari Mama di sana. Mama yang mendengar suara langkah kaki Zavie yang terburu-buru itu pun lantas menoleh, lalu ia mendapati anaknya yang tengah mendekatinya dengan ekspresi panik. Anaknya itu terlihat takut, sedih, kasihan, dan gusar. Semuanya bercampur menjadi satu. Wajahnya terlihat seperti sedang menahan tangis.
Mama lantas mendekati Zavie dan langsung merunduk, memegangi pipi Zavie hingga membuat anak itu mendongak. Sebelum Mama sempat bertanya ada apa, Zavie langsung berbicara kepada Mama.
“Ma—Mama…” panggil Zavie, suaranya terdengar agak bergetar. Seperti ada isakan yang sedang dia tahan. Matanya sudah berkaca-kaca. “Mama, Javi mau minta makanan kucing, ya, Ma. Javi minta makanan kucing sama air minum, ya, Ma.”
Mama yang mendengar permintaan Zavie saat itu kontan melebarkan mata. “Eh?”
Air mata Zavie kini sudah menggenang di kelopak matanya.
Setelah itu, Zavie pun melanjutkan, “Kucingnya ternyata belum dijemput, Ma.” []
107Please respect copyright.PENANAG6xLItlcea