Zara baru saja selesai menyiapkan makan malam, menata piring-piring di meja makan dengan teliti. Udara sore itu sedikit lebih sejuk, dan sinar matahari yang mulai redup memantulkan cahaya ke jendela ruang tamu. Dia duduk sejenak, menikmati aroma masakan yang menguar. Setahun terakhir dia tinggal di rumah ini, sebuah rumah kecil dengan dua kamar tidur dan ruang tamu minimalis pemberian Kyai Hanafi tepat setelah ijab qabul pernikahannya dengan Hadi berlangsung.
Sama seperti Hadi, Zara juga alumnus dari Ponpes Al-Falah. Jika Hadi mengisi kesehariannya dengan mengajar di Ponpes Al-Falah, Zara sejak enam bulan terakhir fokus menjadi Ibu rumah tangga. Sebelumnya Zara adalah bendahara umum di ponpes tersebut, namun karena sebuah permasalahan keuangan yang membelitnya, Zara memutuskan untuk melepas pekerjaan itu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Suaminya, Hadi, memasuki rumah dengan langkah pelan. Zara langsung merasakan ada yang berbeda dari diri suaminya itu. Wajah Hadi yang biasanya tenang kini tampak muram, ekspresinya kosong, seolah-olah dunia luar sedang menekan keras pundaknya. Zara yang sudah mengenalnya cukup lama bisa merasakan setiap perasaan yang tak terucapkan hanya dari raut wajah Hadi.
“Ada apa Mas? Kok keliatannya capek banget?” Inayah mencium punggung tangan Hadi sebagaimana yang dia lakukan sejak awal menikah dulu.
Hadi hanya menghela napas panjang. Dia meletakkan peci di meja, kemudian duduk tanpa menjawab. Zara merasa khawatir. Diperhatikannya Hadi yang duduk di sofa dengan tubuh tertunduk, seolah ingin melupakan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dengan hati-hati, Zara duduk di sampingnya, menarik napas dalam-dalam, mencoba memberikan kenyamanan.
"Sayang, kalau ada masalah, aku ada di sini. Kamu bisa cerita." Hadi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menatap Zara dengan mata yang agak kosong.
"Kyai Hanafi, aku semakin nggak mengerti dengan jalan pikirannya." ujarnya perlahan. Suaranya terasa berat, penuh dengan ketegangan yang tak bisa dia lepaskan begitu saja.
Mendengar nama itu terucap dari bibir suaminya membuat raut wajah Zara berubah. Ada ketakutan serta trauma di sana, namun wanita cantik itu berusaha untuk menutupinya dari Hadi. Zara menggenggam tangan Hadi, menggenggamnya erat, berharap bisa memberikan ketenangan.
"Ada apa sebenarnya Mas? Kamu habis dimarahin Kyai Hanafi?"
Hadi menunduk, mulutnya terkatup rapat seolah mencari kata-kata yang tepat. Zara tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban instan, namun yang penting sekarang adalah memberi suaminya ruang untuk merasa aman, untuk terbuka.
Hadi memandang Zara dengan tatapan kosong, seolah mencoba menemukan kekuatan dalam diri untuk menceritakan apa yang mengganggunya. Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya dia mulai membuka suara, suaranya terdengar serak, penuh keraguan.
"Sudah tiga kali aku disuruh meninggalkan santri wanita di ruangan kerjanya. Mereka hanya berdua saja di sana, dan aku tidak tau apa yang sedang terjadi.” Zara terdiam sejenak, merasa setiap kata yang keluar dari mulut Hadi membawa beban yang sangat berat.
"Belum lagi akhir-akhir ini muncul desas desus kalau Kyai Hanafi bertindak melampaui batas pada beberapa santri wanita.” Lanjut Hadi.
“Astagfirullah…kamu serius Mas?” Zara tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Hadi hanya menggeleng lemah.
“Aku tidak tau karena sejak dulu kabar miring selalu menimpa Kyai Hanafi. Pernikahannya dengan Umi Inayah, kaburnya Gus Salman, dan sekarang desas desus seperti ini. Semua itu menguap begitu saja tanpa ada penjelasan lebih lanjut.” Zara memperhatikan Hadi dengan seksama, mencoba menyerap setiap kata yang keluar.
“Kalau ada yang mengganjal di hatimu, kenapa tidak langsung menanyakannya pada Kyai Hanafi Mas? Setidaknya itu akan membuatmu lebih tenang kan?” Hadi menghela napas, matanya seolah mencoba meresapi perasaan yang sulit diungkapkan.
Zara merasakan kekhawatiran yang begitu mendalam dari Hadi. Dia tahu betul bagaimana Hadi sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya, apalagi dengan santri-santri di pondok pesantren.
“Aku tidak berani, apalagi mentabayunkan desas-desus seperti itu. Aku ini santrinya, sama seperti dirimu. Pantaskah seorang santri menanyakan perihal kabar miring gurunya?”
Zara terdiam, dia tau betul apa yang sedang mengganggu pikiran suaminya saat ini. Dilematis antara rasa hormat pada Kyai Hanafi yang begitu berjasa pada kehidupannya dengan nurani yang mengatakan ada kesalahan fatal pada perilaku pemimpin ponpes Al-Falah tersebut. Zara pernah berada di posisi itu, bahkan jauh lebih parah.
4571Please respect copyright.PENANA4uDjCSWBu0
***
8 BULAN LALU
“Assalamualaikum.” sapa Zara begitu dia masuk ke dalam ruangan Kyai Hanafi yang memang tidak pernah dikunci. Perempuan cantik yang hari ini tampak anggun dengan jilbab berwarna putih itu memenuhi permintaan sang Kyai untuk datang, tepat di waktu yang ditentukan setelah jam makan siang.
“Waalaikumsalam, silahkan masuk Zara.” ujar Kyai Hanafi yang langsung berdiri menyambut Zara.
Pria tua itu kemudian mengarahkan sang perempuan berparas manis itu untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruangan tersebut. Zara pun menurut. Namun begitu Kyai Hanafi ikut duduk di sampingnya, dengan posisi yang cukup dekat dengan dirinya, perempuan itu pun sedikit mengubah posisi agar sedikit menjauh dari tempat duduk sang Kyai. Untungnya, gerakan tersebut begitu halus, sehingga Kyai Hanafi seperti tidak menyadarinya.
Di atas meja, Kyai Hanafi meletakkan dua buah dokumen yang dari sampulnya saja Zara sudah bisa mengetahui apa isinya, karena dia sendiri yang menyusun kedua dokumen tersebut. Dokumen pertama adalah proposal untuk acara SantriFest yang ia buat sebelum acara, sedangkan yang kedua adalah laporan pertanggungjawaban yang ia susun setelahnya.
“Aku menyuruhmu datang ke sini untuk membahas masalah SantriFest.” ujar Kyai Hanafi memulai diskusi, sambil menunjuk ke salah satu dokumen.
Dalam diam, Zara berusaha memperhatikan wajah Kyai Hanafi yang mendadak jadi lebih serius.
“Iya, Kyai. Kalau saya tidak salah dengar, Kyai bilang ada kesalahan di laporan pertanggungjawaban saya. Boleh dijelaskan lebih lanjut kesalahan apa yang dimaksud, agar saya bisa lekas mengoreksinya,” ujar Zara langsung pada topik yang ingin ia bahas.
Ia sendiri merasa ngeri kalau harus terlalu lama berduaan saja dengan Kyai Hanafi di ruangan ini. Karena itu, ia ingin segera mendapat penjelasan, agar bisa segera melakukan perubahan terhadap laporan tersebut, sebelum menyerahkannya kembali. Ia yakin kesalahan yang dimaksud Kyai Hanafi adalah sesuatu yang sepele dan mudah untuk dibenahi.
“Jadi begini, Zara,” ujar Kyai Hanafi sambil membuka halaman yang berisi daftar pengeluaran, baik yang ada di dokumen proposal dan dokumen pertanggungjawaban.
“Coba kamu lihat, apa ada yang tidak sesuai di sana.”
Zara berusaha memperhatikan dengan seksama kedua dokumen tersebut. Namun baru sebentar saja, dia sudah bisa menemukan apa yang dimaksud oleh Kyai Hanafi. Ada selisih seratus juta antara anggaran yang ia ajukan di proposal, dengan uang yang akhirnya ia keluarkan dari rekening kas Ponpes untuk menyelenggarakan acara. Ia coba memeriksa lagi apakah ia salah lihat, tapi tetap saja angka di kedua dokumen tersebut tidak berubah.
“Hah? Kok bisa?” Zara bergumam pelan, sambil berusaha mencari alasan mengapa hal ini bisa terjadi.
Ia baru ingat bahwa seharusnya ada rencana anggaran yang tercantum di laporan pertanggungjawaban. Namun saat ia periksa, ternyata ia memang menggunakan angka yang salah di sana. Zara mulai panik, ia berusaha mencari alasan logis dari kejadian ini. Karena kalau benar terjadi kesalahan, maka ia sudah mengeluarkan uang kas sebanyak seratus juta lebih banyak dari yang seharusnya, dan hal semacam itu tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin.
Ia mencoba mengingat bagaimana proses penyusunan kedua dokumen tersebut, di mana ia menggunakan dokumen template yang dibuat oleh panitia acara SantriFest di tahun sebelumnya. Di tahun ini, acara tersebut memang dirancang dengan anggaran yang jauh lebih rendah, karena kondisi keuangan yang sedang tidak baik. Zara ingat bahwa hal itu sempat memicu polemik antara dirinya dan beberapa anggota panitia lainnya.
Namun sepertinya setelah proposal disetujui, Zara justru menggunakan dokumen template laporan pertanggungjawaban di tahun sebelumnya untuk menyusun anggaran, yang tentu berbeda dengan angka yang seharusnya. Ia sebenarnya sempat merasa gelisah mengapa acara yang seharusnya menjadi lebih sederhana, pada akhirnya terkesan cukup mewah juga dengan pembicara-pembicara populer yang tentu saja harus dibayar dengan dana yang tidak sedikit. Kini ia baru sadar di mana rasa kurang nyaman yang ia rasakan akhir-akhir ini. Ia menyesal karena seharusnya ia bisa mengetahui itu sejak awal.
“Bagaimana? Sudah ketemu di mana masalahnya?”
Pertanyaan dari Kyai Hanafi seperti menjadi bom yang meledakkan isi kepala Zara ke segala arah. Ia kini sadar bahwa kesalahan yang disebutkan Kyai Hanafi bukanlah sesuatu yang sederhana, melainkan masalah yang sangat besar.
“I… Iya, Kyai. Sudah ketemu,” ujar Zara sambil menganggukkan kepala. Dia bahkan tidak berani menatap mata Kyai Hanafi.
“Lalu, apa pendapatmu? Bagaimana masalah ini bisa terjadi, dan seperti apa solusinya?”
Raut wajah Kyai Hanafi tampak begitu datar. Tidak ada kemarahan dari nada suaranya, tetapi tidak ada pula senyum yang tampak. Zara jadi tidak bisa menerka dengan pasti apa isi hati dari sang Kyai tersebut.
“Hmm… sebelumnya saya minta maaf atas kesalahan ini. Tapi… tapi… sa-saya akan bertanggungjawab untuk semuanya, Kyai.”
“Maksudnya bagaimana? Kamu mau membayar selisih uangnya kepada Ponpes? Atau mau gajimu dipotong untuk membayar uang tersebut?”
Zara tahu bahwa kedua solusi itu hampir mustahil baginya. Pertama, ia tidak mempunyai uang sebanyak itu karena tabungannya baru saja habis untuk membayar keperluan pendidikan kedua adiknya yang masuk SMP bebarengan. Mencicil uang sebanyak itu pun bukan pilihan yang baik, karena jumlah itu hampir sama dengan keseluruhan gajinya, sedangkan ia masih harus membantu kedua orang tuanya untuk membiayai kebutuhan rumah, sekaligus membayar berbagai cicilan.
Meminta tolong pada Hadi, calon suaminya, juga bukan hal yang mudah. Zara tau berapa besaran gaji Hadi tiap bulannya sebagai ustadz di Ponpes, jumlah uang sebanyak itu tentu jadi hal yang berat. Kedua solusi dari Kyai Hanafi bukan jalan keluar yang tepat untuk Zara.
“U-untuk bagaimananya apa boleh saya coba pikirkan dulu, Kyai? Saya janji akan mempertanggungjawabkan kesalahan saya ini,” ujar Zara yang sebenarnya sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Saat ini, ia hanya ingin pulang ke rumah dan mengasingkan diri dari semua orang, agar bisa merenungi masalah ini dengan tenang.
“Hmm, bagaimana ya…” Kyai Hanafi tampak ragu untuk memberi jawaban.
“Kalau memang harus bertanggungjawab, sebaiknya ya dihadapi.’’
“Saya mohon untuk percaya sama saya, Kyai. Saya janji tidak akan pergi ke mana-mana, dan akan bertanggung jawab akan hal ini,” Zara terus berusaha meyakinkan sang Kyai. Kali ini, ia mulai mendekatkan posisi duduknya ke arah Kyai Hanafi, demi menunjukkan kesungguhannya.
“Sebenarnya ada satu solusi lagi, tapi aku tidak yakin kamu bisa melakukannya.” Seperti ada secercah harapan baru, binar mata Zara seketika terlihat. Raut wajahnya yang cantik menggambarkan rasa antusiasme tinggi.
“Apa itu Kyai?”
Kyai Hanafi tersenyum penuh arti, matanya jalang memandangi tubuh Zara dari atas hingga ke bawah. Zara yang baru sadar dengan tingkah absurd sang Kyai menggeser tubuhnya agak menjauh, mendadak rasa tak nyaman itu muncul di dalam dirinya.
“Aku bisa menganggap kesalahanmu itu hilang sepenuhnya jika kamu mau tidur denganku.”
“Astagfirullah!”
Bak disambar petir di siang bolong, Zara sama sekali tak menyangka jika Kyai Hanafi, orang yang selama ini dia kenal sebagai ahli agama dan begitu bijaksana bisa melontarkan kalimat mesum nan bejat seperti itu. Zara makin menjaga jarak duduknya dari Kyai Hanafi.
“Kenapa reaksimu seperti itu Zara? Aku hanya ingin membantumu, tapi kalau kamu keberatan ya silahkan cari jalan lain. Tapi harus kamu ingat, dua hari lagi rapat anggaran yayasan akan dilaksanakan. Kamu harus mempertanggungjawabkan kesalahanmu di acara SantriFest di hadapan semua orang, bahkan tidak menutup kemungkinan jika kasus ini akan berlanjut ke ranah hukum.”
Zara merasakan dunianya runtuh detik ini juga, kata demi kata yang meluncur dari bibir Kyai Hanafi bak palu godam yang menghancurkan pengarapannya. Apalagi di akhir kalimat Kyai Hanafi mengintimidasinya dengan ancaman pidana. Zara lemah dan tak berkutik sama sekali.
“Jadi bagaimana Zara? Apa kamu masih mau aku bantu?” Kyai Hanafi mendekati Zara, wanita cantik itu menggigit bibirnya sendiri dan mengangguk lemah tanpa daya.
4571Please respect copyright.PENANACHuwu0QsPd
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION , KLIK LINK DI BIO PROFIL UNTUK MEMBACA VERSI LENGKAPNYA
ns 15.158.61.12da2