Kyai Hanafi mulai mengarahkan tangannya untuk membelai pipi Zara, seperti hendak merasakan kelembutan dari wajah cantik perempuan muda tersebut. Setelah itu, ia mulai mengelus lengan Zara yang masih tertutup kemeja lengan panjang, serta mengusap-usap kepala perempuan tersebut yang masih berbalut jilbab.
“Kyai? He-hentikan…” Ujar Zara.
“Ini su-sudah terlalu… berlebihan….”
Meski menolak, tubuh perempuan cantik tersebut justru kaku dan tidak bertenaga untuk menghindar dari sentuhan sang pria tua yang merupakan pemimpin tertinggi di tempat ia menimba ilmu. Dalam hati, ia ingin segera pergi atau berteriak agar Kyai Hanafi benar-benar menghentikan aksinya. Namun urat sarafnya seperti terputus dan tidak bisa mengirimkan sinyal yang tepat ke otot motoriknya.
“Kyai Ja-jangan… Ini salah…” Ujar Zara, mencoba mengingatkan sang Kyai yang seperti sudah kehilangan akal sehatnya itu.
Tidak ada jawaban yang terdengar dari mulut Kyai Hanafi. Hanya hembusan napasnya saja yang terasa begitu menderu, dan berkali-kali menyentuh tubuh Zara. Sang Kyai bahkan dengan berani menyibakkan jilbab yang dikenakan Zara, hingga lehernya yang jenjang nan mulus terbuka di hadapannya.
“Kyai… saya mohon… ja… Jangan, Kyai,” ujar Zara lirih.
“Sa-saya akan teriak…”
Perempuan muda tersebut kini mulai memejamkan mata, seperti tidak ingin melihat apa yang selanjutnya akan dilakukan sang Kyai terhadapnya. Kedua tangannya kini tengah meremas kedua tangannya sendiri, berusaha menahan rasa geli dan hangat yang bertahap meresapi tubuhnya.
Dalam kondisi mata yang masih tertutup, Zara bisa merasakan bibir Kyai Hanafi yang kasar mulai mengecup lehernya. Tak hanya itu, pria tua tersebut bahkan mulai mengeluarkan lidahnya untuk menjilati keringat yang menempel di lehernya. Ini jelas pertama kalinya perempuan muda tersebut diperlakukan seperti itu oleh seorang pria.
Apalagi yang melakukannya adalah seorang Kyai, yang sesaat sebelumnya betul-betul ia hormati kedudukannya. Kombinasi hal tersebut membuat birahi Zara mulai naik, meski ia jelas tidak mau menunjukkannya secara terang-terangan.
“Jangan berontak Zara, nikmati saja.”
“Sa-Saya belum pernah melakukannya. Saya mohon Kyai…” Kyai Hanafi menghentikan aksi cabulnya, pria tua itu mengalihkan pandangannya pada wajah Zara yang ketakutan.
“Maksudmu, kamu masih perawan?” Tanya Kyai Hanafi dengan raut wajah penasaran. Zara mengangguk lemah.
Padahal, di dalam hatinya ia tengah berteriak senang karena bisa mendapatkan korban baru yang masih belum terjamah oleh siapapun sebelumnya. Zara Maharani santri wanita tercantik di Ponpes Al-Falah ternyata masih perawan dan dia yang akan pertama kali menikmatinya! Kyai Hanafi bagai mendapatkan durian runtuh!
“Saya ingin mempertahankan itu sampai saya menikah dengan Mas Hadi. Ka-kalau boleh, saya ingin Kyai tidak mengambil keperawanan saya. Namun sebagai gantinya, saya akan melakukan segala hal yang Kyai inginkan. Bagaimana?”
Sang Kyai pun berpikir sejenak. Hal ini memang tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan, karena lelaki mana yang bisa bertahan untuk tidak menyetubuhi perempuan cantik seperti Zara apabila diberi kesempatan? Namun Kyai Hanafi juga melihat peluang lain, karena sang perempuan muda tersebut menawarkan penyerahan diri secara seutuhnya padanya.
“Oke, karena kamu memberikan penawaran, aku juga akan memberikan syarat, bagaimana?”
“Boleh, Kyai” ujar Zara yang tampak sedikit lega karena penawaran yang dia berikan berhasil mencegah Kyai Hanafi dari melakukan pelecehan terhadapnya, setidaknya untuk saat ini.
“Pertama, saya tidak akan melakukan penetrasi ke dalam vaginamu, dan mengambil keperawananmu. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk melakukan itu. Tapi …”
Jantung Zara bagaikan sedang didera oleh tumbukan bertubi. Ia tegang sekali. Di satu sisi ia senang karena rencananya berhasil, di sisi lain dia masih merasa terancam dengan si bandot tua ini.
“Tapi apa, Kyai?”
“Tapi itu selama kamu tidak menginginkannya. Namun jika kamu menginginkannya, itu artinya kamu sudah mengizinkanku untuk menyetubuhimu untuk pertama kali, dan seterusnya. Bagaimana?”
Zara langsung menganalisis permintaan tersebut. Ini artinya, keputusan terakhir berada di tangannya sendiri apakah dia ingin mempertahankan keperawanannya atau tidak. Sepertinya itu terdengar adil. Itu artinya seks antara mereka berdua hanya dimungkinkan secara konsensual, tanpa paksaan.
“Baik, Kyai. Saya setuju,” jawab Zara, yang disambut dengan senyuman penuh arti dari Kyai Hanafi.
“Kedua, kamu mau melakukan apa saja yang aku perintahkan, tentu saja kecuali hubungan seksual secara langsung seperti poin pertama tadi. Setuju?”
“Setuju, Kyai.”
“Lalu yang ketiga…” Zara tampak mendengarkan baik-baik. Ia ingin tahu apa lagi yang diinginkan sang pria tua itu dari dirinya.
“Ketiga, mulai saat ini, kamu adalah gundik, kekasih, sekaligus istriku. Karena itu, kamu harus bersikap mesra dan romantis terhadapku, baik saat bertemu langsung atau berkirim pesan. Apabila kamu gagal dalam hal ini, maka poin pertama tadi tidak akan berlaku.”
Gundik, kekasih, dan istri? Apa-apaan? Zara geram sekali, tapi ia tak mungkin melawan, ia ingat posisinya. Dengan menekan emosinya sebisa mungkin, gadis cantik itu bertanya,
“Ma-Maksudnya bagaimana Kyai?”
“Ya kita akan bersikap layaknya pasangan. Kamu harus mau kalau saya menggandeng tanganmu saat berjalan di luar, dan membalas pesan saya dengan kata-kata yang mesra. Tentu saja hal ini tidak berlaku saat kita berdua sedang berada di lingkungan pesantren.”
Zara tampak merutuki nasib buruknya. Ia baru saja lepas dari ancaman pemerkosaan. Namun kini ia justru harus menjadi pacar bagi pria tua bernama Kyai Hanafi. Namun hal ini tampaknya masih bisa ia tangani, setidaknya hingga ia menikah dengan Hadi dan sang Kyai tidak punya pengaruh apa-apa lagi di hidupnya. Keperawanannya masih akan tetap aman, dia masih punya harapan.
“Ba-Baik, Kyai. Saya setuju.”
“Nah, gitu dong.”
“Kalau begitu saya pamit karena sudah sore dan….”
“Apa maksudmu pamit? Ya kita mulai dari sekarang lah,” ujar Kyai Hanafi yang geli melihat kepanikan Zara.
Pria tua tersebut pun langsung merangkul sang dara jelita, dan mendekatkan bibirnya ke bibir ranum sang betina muda. Saat bibir keduanya bersentuhan, Kyai Hanafi merasakan sedikit penolakan dari perempuan berjilbab tersebut.
“Ingat, Zara. Mulai sekarang kamu adalah gundikku. Karena itu, jangan pernah berpikir untuk menolak permintaanku, mengerti?” Zara memejamkan mata dan hanya mengangguk. Ada garis air mata menetes di pipinya.
Kyai Hanafi kembali coba mengecup bibir Zara, dan kali ini tidak mendapat penolakan. Dengan mudah, pria tua itu bisa menjelajahi rongga mulut Zara yang begitu hangat, dan memulasnya dengan lidahnya yang kasar. Hidung keduanya tampak bersentuhan, seperti menambah hangat suasana senja tersebut. Zara berciuman dengan Kyai Hanafi.
“Bagaimana? Suka?” Tanya Kyai Hanafi. Ia puas sekali berhasil mencium bibir ranum sang dewi pujaan, sang kembang pesantren. Zara hanya terdiam. Dia harus menjawab apa?
Kalau boleh jujur, ia sebenarnya tidak suka cara sang Kyai mencium bibirnya yang terlalu liar. Dia ingin dicium dengan lembut dan penuh rasa sayang, bukan diserang seperti seekor binatang yang buas dan penuh nafsu. Namun tentu saja perempuan tersebut tidak bisa mengatakannya secara langsung. Demi amannya, Zara mengangguk. Melihat hal tersebut, Kyai Hanafi tampak tidak senang. Ia pun kembali mengangkat dagu Zara agar menatap ke arahnya.
“Seperti itukah yang biasa kamu lakukan dengan Hadi? Ingat ya, Zara. Aku tidak segan-segan untuk melanggar aturan pertama hubungan kita, apabila kamu juga tidak sungguh-sungguh dalam melakukan aturan ketiga.”
Jantung Zara seperti hampir copot mendengar ucapan sang Kyai. Itu artinya dia sudah jatuh ke dalam kesepakatan yang menjebak. Itu artinya, Kyai Hanafi mengancam akan memaksa Zara untuk menyerahkan keperawanannya, jika dia tidak mau menuruti permintaan untuk bersikap mesra di hadapannya.
Mendengar itu, Zara yang gemetar berusaha menguasai dirinya sendiri, ia berusaha menahan air matanya yang sewaktu-waktu siap untuk tumpah. Dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya, Zara mengikuti permintaan sang Kyai.
“Aku suka sekali ciumanmu Kyai. Zara ingin terus dicium nggak berhenti-berhenti,” ujar Zara dengan suara gemetar.
“Kalau suka, kok nggak langsung cium aja?” Tantang Kyai Hanafi.
Dalam hati, Zara merasa kesal dengan tingkah sang pria tua yang terus menggoda dirinya dengan permintaan-permintaan aneh. Namun Kyai Hanafi telah berjanji untuk menjaga keperawanannya. Karena itu, perempuan tersebut harus menuruti semua permainan sang pria, seaneh apa pun itu.
Zara pun menyentuh pipi Kyai Hanafi dengan tangannya yang halus, lalu mendekatkan kepalanya ke arah sang Kyai. Dengan lembut, perempuan tersebut langsung mengecup bibir pria tua tersebut yang sudah keriput. Ia bahkan memainkan lidahnya di bibir sang pria, seperti yang pernah ia lihat dalam beberapa serial romatis favoritnya. Dan tentu saja, Kyai Hanafi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk beradu lidah dengan salah satu santri wanitanya tersebut.
“Hmmppphh… Hmmmpphh…” Desah Zara di sela-sela kecupan mereka.
Perempuan cantik itu tampak tengah memejamkan mata demi tidak melihat raut wajah Kyai Hanafi yang sudah begitu terangsang. Kyai Hanafi mulai menyelipkan tangannya ke balik kemeja yang dikenakan Zara. Ia kini bisa merasakan betapa halusnya kulit perut sang perempuan muda, yang selama ini tertutup oleh busana sopan di area pesantren.
“Halus sekali kulit perutmu, Zara. Nenenmu pasti lebih lembut lagi ya, hehehehe!” kekeh Kyai Hanafi.
Merasakan tangan yang kasar mengelus-elus tubuhnya, tanpa sadar birahi Zara pun mulai naik. Dengusan nafasnya mulai tidak beraturan, dan terasa ada sesuatu yang gatal di selangkangannya. Perempuan tersebut pun berusaha bertahan agar ia tidak menikmati rangsangan yang diberikan sang Kyai.
Dalam hati, Zara merasa menyesal atas keputusannya melanjutkan pendidikan ke ponpes Al-Falah. Padahal, ia sudah berkali-kali diingatkan oleh keluarganya, bahwa menjaga diri bukanlah sebuah hal yang mudah. Dan kali ini, ia pun merasakan sendiri akibatnya.
“Aku mau menyentuh payudaramu, boleh tidak?” Tanya Kyai Hanafi dengan nada suara yang dibuat-buat.
“Boleh, Kyai Hanafi. Hnggghhh…”
“Apa, Zara? Aku tidak dengar?” Tanya sang Kyai lagi, seakan kembali mengingatkan bahwa kata-kata Zara masih kurang mesra, dan tidak sesuai dengan perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya.
“Tolong sentuh payudara saya, Kyai Hanafi. Saya mohon sentuh payudara saya…”
“Hmm, mengapa kamu mau saya melakukan tindakan tercela ini, Zara? Bukankah kamu merupakansantri teladan, dan anak dari orang tua yang terhormat pula? Tentu tidak pantas kan disentuh tubuhnya oleh pria tua sepertiku?” Zara pun berusaha memilih kata-kata yang tepat, agar ia tidak kembali dianggap salah di mata sang Kyai.
“Karena sa-saya gundik Kyai Hanafi.”
“Aku sudah tua lho, dan mungkin tidak bisa membuat kamu puas.”
Zara akhirnya terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya. Perempuan tersebut menarik wajah Kyai Hanafi, dan mulai mengecup-ngecup lehernya yang terbuka. Bekas lipstik Zara yang merah merona, tampak sedikit menempel di sana. Hal tersebut akhirnya berhasil membuat sang Kyai tidak tahan.
“Nggghhhh…Baiklah, Zara. Kalau itu maumu,” ujar Kyai Hanafi.
Pria tua itu akhirnya menaikkan tangannya dari perut ke arah buah dada Zara. Meski masih tertutup bra, jemari Kyai Hanafi tetap bisa menyentuh puting milik sang betina muda, yang terasa sudah menegang. Ia pun mulai memutar-mutar puting tersebut seperti tombol tuner radio, membuat Zara mengeluarkan desahan pertamanya.
“Aaaaahhh…Ggghhhh…Kyai, ahhhhh…”
Seandainya ada yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tersebut, mereka pasti akan merasa heran melihat seorang santri wanita yang tampak begitu cantik karena kini sedang mengecup-ngecup leher sang Kyai yang bertubuh gendut. Perempuan yang masih mengenakan pakaian lengkap tersebut bahkan tidak menolak ketika tangan sang pria tua yang duduk bersamanya di kursi, masuk ke sela-sela kemeja dan bermain-main dengan payudaranya.
“Kamu memang semuprna Zara, aku sudah menunggu waktu seperti ini dari dulu.”
Dalam hati, Zara merasa ada gejolak aneh di kemaluannya. Namun ia tidak tahu apakah ini karena kata-kata Kyai Hanafi barusan, remasan pria tersebut di payudaranya, atau keinginan terpendamnya untuk merasakan kepuasan seksual untuk pertama kalinya.
“Berhenti berkedut-kedut vagina sialan. Kita harus bertahan sampai waktunya tiba nanti,” batin Zara.
“Aroma tubuhmu sangat harum, Zara. Aku tidak sabar untuk segera menggagahi tubuhmu dan menikmati keperawananmu,” bisik Kyai Hanafi di telinga Zara. Kalimat tersebut selain membangkitkan libido Zara, tetapi juga membuat telinganya terasa geli.
“Seluruh tubuhku kini sudah jadi milik Kyai Hanafi. Ngghhh…” Jawab Zara masih berusaha menutupi birahinya yang mulai naik. Kyai Hanafi tiba-tiba menghentikan aksinya, tepat di saat Zara menginginkan rangsangan itu untuk terus berlanjut.
Perempuan tersebut tampak heran dan kebingungan, melihat Kyai Hanafi yang kemudian bangkit dari kursi, untuk menuju meja kerjanya. Ia membereskan beberapa barang dan memasukkannya ke dalam tas jinjing antik yang telah ia miliki sejak puluhan tahun lalu. Ia melakukannya dengan begitu cuek seakan-akan tidak terjadi apa-apa barusan.
“Kok kamu diam saja di situ?” Tanya Kyai Hanafi saat ia telah berjalan menuju pintu ruangan, sedangkan Zara masih tetap duduk di kursi.
“Sudah cukup untuk hari ini, kamu boleh pulang sekarang.”
Bagaikan sapi yang dicocok hidungnya, Zara pun menuruti perintah Kyai Hanafi, dan langsung membereskan pakaiannya yang sedikit berantakan, lalu menghampiri pria tua tersebut. Saat telah berada di samping sang Kyai, Zara secara reflek langsung menggamit lengan Kyai Hanafi untuk bergandengan. Kyai Hanafi pun tersenyum.
“Aku suka perempuan pintar seperti kamu, Zara. Tidak perlu diperintah terlalu banyak untuk bisa memuaskanku dengan cara yang luar biasa,” ujarnya.
Mendengar hal itu, Zara tampak bergidik ngeri. Ia mulai ragu akan kemampuannya untuk bertahan dari rangsangan birahi sang Kyai. Zara pun langsung melayang ke hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada dirinya.
3013Please respect copyright.PENANA1M3p6iyk01
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION , KLIK LINK DI BIO PROFIL UNTUK MEMBACA VERSI LENGKAPNYA3013Please respect copyright.PENANA91lF8pv3XV