
Sumber gambar : pinterest
Dua hari berselang, ketika aku hampir melupakan kejadian kaos basah saat makan rujak, lagi-lagi celanaku harus dibuat sesak.
Sore pukul 15.27, saat matahari masih bersinar cukup terik, aku yang kepanasan mencoba duduk di lantai luar berharap bisa sedikit mendingan.
"Hah ... anginnya lumayan." Kutatap langit biru dan warna jingga dari sang surya, indah sekali.
Keringatku perlahan kering seiring berjalannya waktu. Selama itu kusibukkan diri dengan main game kesukaan, Mobile League. Game moba satu ini memang kesukaanku, walau sering kalah dan dapat tim kurang asik, tetap saja aku suka.
Sepertinya sore itu sedang sial, dari tiga pertandingan aku hanya menang satu. Itu juga sudah jam 4 hampir jam 5. Aku memutuskan untuk berhenti dan hendak mandi.
Namun saat akan berdiri, pintu samping rumah pemilik kos terbuka. Beberapa saat kemudian keluarlah Bu Alvi dengan baju rajut dan celana training. Di tangan kanannya memegang gunting taman besar.
Ia tersenyum menyapaku, aku balas tersenyum.
Dia berjalan menuju sudut halaman paving yang terdapat rumput-rumput tebal. Bu Alvi jongkok di sana dan ... WADIDAW.
Tubuh jongkok itu memamerkan bentuk bulat sempurna dari bokong aduhai dan pinggul seksi. Baju rajut itu tertarik sedikit ke atas, memperlihatkan sedikit celana dalam warna merah muda.
"Gini amat, dapet kos-kosan punyanya tante seksi." Aku lagi-lagi bergumam.
Bu Alvi bekerja membersihkan taman membelakangiku, seolah tak tahu kalau sejak tadi aku terus terpaku padanya.
Aku memang ingin mandi, tapi entah kenapa ada rasa tak enak kepada Bu Alvi. Seperti ada sesuatu dalam diri yang mengharuskanku membantunya. Juga, sepertinya aku jadi ingin dekat-dekat dengan Bu Alvi.
Aku berinisiatif untuk membantu. Kuhampiri wanita itu, setelah tiba persis di belakangnya bau harum semerbak menerpa hidungku.
"Bu, saya bantu, ya?"
Bu Alvi menoleh sedikit. "Eh, Nolan, gak ngerepotin?"
"Gak, kok, Bu. Lagian saya belum mandi, itung-itung olahraga, hehe."
Bu Alvi kelihatan senang, aku pun senang liat ekspresinya. "Oh boleh, deh. Tapi saya cuma punya satu gunting taman."
"Gak apa-apa, Bu." Aku berjongkok di sebelahnya dan langsung mencabut rumput-rumput tebal itu langsung dengan tangan. "Pake tangan langsung aja, hahaha."
Tiba-tiba, Bu Alvi menarik tanganku. Wajahnya kelihatan agak cemberut. "Kalo kamu kena ulat gimana? Terus kalo kena duri gimana? Ini rumput-rumput yang bikin gatel sama ada durinya lho. Tuh liat."
Aku melihat rumput yang ditunjuk Bu Alvi, memang banyak durinya. Juga beberapa daun, jenis rumput lain, tampak berambut. Yang seperti itu biasanya memang bikin gatal.
"Ini, pake sarung tangan saya." Bu Alvi melrpss sepasang sarung tangan yang tadi dikenakannya.
"M-makasih, Bu."
Kami melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Selama proses pembersihan rumput-rumput gemuk ini, kami saling diam tanpa bicara, fokus pada rumput masing-masing.
Rasanya sudah lumayan lama aku berjongkok sampai punggungku nyeri. Aku berdiri untuk sedikit peregangan tubuh. Saat itulah, ketika aku berdiri, tanpa sengaja tatapanku jatuh pada suatu tempat tepat di bawah dagu Bu Alvi.
Kulit yang putih bersih dan terawat, dari atas sini terlihat jelas. Kemudian mataku menyusur terus ke bawah, bertemu dengab belahan menggoda yang bentuknya seperti jurang dalam. Bh warna merah tuanya sedikit kelihatan, tapi masih tertutup dengan baju rajut itu.
Sepertinya Bu Alvi merasa heran karena aku berdiri terlalu lama. Wanita itu melirikku dan bertanya. "Kenapa?" Aku memang telat mengalihkan mata, dia sepertinya sadar aku memandang belahan indahnya. Bu Alvi menarik sedikit baju rajut bagian dada. "Udah capek, ya?" Dia tersenyum.
Ya, dia tersenyum. Mungkin merasa geli karena aku mudah lelah.
Aku menggeleng cepat. "Belum, kok, Bu.'
Aku kembali jongkok dan melanjutkan pekerjaan itu.
__________
Pukul 17.45 baru selesai. Aku lekas mandi tepat setelah keringatku mengering. Tak lama berselang, terdengar suara mobil datang dan parkir di halaman depan. Itu adalah mobil suami Bu Alvi.
Karena bingung, mau ngapain, aku memutuskan untuk berkeliling daerah sini. Selama tinggal di sini, aku belum sempat pergi ke mana-mana, hanya berdiam di kos dan bertukar kabar dengan ibu atau ayah di rumah.
Aku mengenakan jaket hitam dan celana hitam saat keluar dari kamar kos. Setelah mengunci kamar, aku berjalan melalui samping rumah. Ketika tiba di halaman depan, ternyata suami Bu Alvi sedang merokok ditemani secangkir kopi di teras.
Lelaki itu mungkin seumuran dengan Bu Alvi, tiga puluhan tahun. Ia bertubuh tinggi juga sedikit gemuk. Ketika aku lewat, lelaki itu tersenyum.
"Nolan, mau ke mana, nih jam segini?" tanyanya.
Aku memang sudah lima hari menginap di kosannya, tapi belum pernah bertegur sapa sama sekali. Dia tahu namaku pasti diberirahu Bu Alvi.
"Mau jalan-jalan, Pak."
"Oh ... hati-hati, ya." Ia mengisap rokoknya. "Kalau mau cari makan, di Burjo Langgeng yang tempatnya habis turunan, tuh. Enak di sana, harga murah, ada wifi kenceng pula."
Wah, info bagus.
"Iya, Pak. Makasih."
Lelaki itu mengangguk-angguk.
Aku pergi meninggalkan kos Bu Alvi menuju Burjo Langgeng. Aku tahu yang dimaksud lelaki itu dengan "turunan". Tentu saja turunan setelah jembatan di sisi timur. Setelah jalan kurang lebih seratus meter, di sana ada jembatan dan jalan menurun. Dari jauh saja sudah terlihat satu tempat ramai dan terang.
"Pasti itu Burjo Langgeng," batinku.
Aku menghabiskan waktu di sana untuk makan nasi goreng dan secangkir kopi susu. Setelah itu, sampai malam aku ada di sana main game Mobile League.
Beberapa pemuda ada yang menghampiriku dan mengajak main bersama, dengan senang hati kuturuti walau aku tak kenal siapa mereka. Karena ini, aku baru kembali ke kos jam 9 lebih.
Saat sampai di depan rumah, kulihat gerbang sudah ditutup, tapi tak dikunci. Aku dengan mudah masuk.
Ketika lewat jalan samping, telingaku mendengar sesuatu.
"Ah ... ah ... ah ...."
Itu suara Bu Alvi, terdengar samar-samar.
Aku tahu itu privasi, tapi celanaku jadi sesak ketika berfantasi liar tentang Bu Alvi yang sedang bercinta.
Aku menempelkan telinga di tembok rumah, berjalan perlahan mencari sumber suara yang paling keras.
Langkahku sampai di belakang rumah, tepat di samping jendela ketika aku melihat Bu Alvi sedang menyisir rambut. Di sini terdengar jelas sekali suara itu. Aku yakin sekali di sini kamar Bu Alvi!
Lampu menyala terang, aku berindap-indap menghampiri jendela dan mencoba melihat. Walau jendela itu tertutup tirai merah jambu, tapi jika aku melihat dekat, mataku bisa melihat menembus tirai yang tak terlalu tebal.
Aku meneguk ludah.
"Astaga, Bu Alvi ...."
Aku melihat Bu Alvi, seorang seorang wanita yang punya wajah lembut, senyum manis dan sinar mata penuh pengertian, kini sedang bergerak naik turun di atas tubuh suaminya.
Matanya agak sayu, mulutnya terbuka lebar memperdengarkan desahan cabul. Rambutnya terurai lepas, tapi Bu Alvi memeganginya di atas kepala. Pose seperti itu persis seperti di adegan film porno, ketika sang wanita mencoba menunjukkan keseksian dan kebinalan. Wanita duduk di atas, bergoyang, mengangkat tangannya, memperlihatkan lekuk lengkung indah sekaligus ketiak putih bersih tanpa noda, desahan mesum, tetes keringat, tetes air liur, itulah keadaan Bu Alvi saat ini.
Aku membuka mata lebar-lebar, berusaha melihat lebih jelas.
"Ah ... ah ... enak, nikmat ... ahhh ... punyamu emang gede, Mas ... aaawww!!"
Kulihat tangan lelaki itu meremas dada Bu Alvi dengan keras, membuat Bu Alvi mengeluarkan desah khas yang imut tapi menggairahkan.
Sebenarnya, aku sedikit kecewa karena Bu Alvi tidak benar-benar telanjang. Dia memakai bh seksi yang entah apa warnanya, juga celana dalam seksi.
Namun, pemandangan ini benar-benar membuatku ereksi penuh. Apalagi pantulan payudara itu, benar-benar seksi.
"Ah!" Aku terkejut saat mata Bu Alvi melihat ke jendela.
Sejenak, wanita itu tampak agak bingung. Namun hanya sesaat, dia kembali mendesah seperti tadi, bahkan kini lebih keras dan dibarengi senyum mesum.
"AHH ... AHH ... AHH ... OOUUHHH!"
Sesekali dia melirik ke arahku.
Kini tubuhnya meliuk ke belakang, tangan diletakkan di kedua lutut suami. Tubuh Bu Alvi benar-benar terekspos sempurna. Jika saja bh dan celana dalam itu dilepas, tak ada lagi bagian Bu Alvi yang tersembunyi.
Sekali lagi dia melirik ke jendela, tersenyum puas, lalu menggerakkan pinggul maju mundur.
"Mas ... Mas ... Mas ... aaahhhhh!" Dalam upayanya menggoda sang suami, berkali-kali Bu Alvi memanggilnya.
"Sayang kamu masih nakal seperti malam pertama, heheh ...." Suara lelaki itu tak terlalu terdengar karena tertutup desah nikmat Bu Alvi.
Di luar, tanpa sadar aku melihat pemandangan itu sambil terus menggosok selangkangan. Bu Alvi semakin sering melihatku, lalu aku baru sadar kalau dia sengaja menggodaku.
"Sial ...." Aku merasakan kontolku agak linu. "Akh ... mau crot ...."
Dengan terburu-buru, aku meninggalkan jendela kamar Bu Alvi untuk lari ke kamar mandi. Di sana aku menyelesaikan gairahku. Aku crot cukup banyak.
Saat kembali ke kamar, aku tak bisa tidur. Satu jam kemudian, terlihat kamar Bu Alvi masih bercahaya terang. Aku kembali teringat pemandangan tadi.
Ketika kupaksa tidur, kepalaku hanya berisi Bu Alvi, payudara Bu Alvi, goyangan Bu Alvi, dan desahan Bu Alvi.
Bu Alvi, ibu kosku saat ini, sudah memenuhi otakku.
ns 15.158.61.16da2