
Sumber gambar : pinterest
Dua hari kemudian, masih terbayang jelas di pikiranku tentang keseksian dan keaduhaian tubuh molek setengah telanjang milik Bu Alvi.
Aku tahu ini salah, tapi selama dua hari ini aku selalu crot banyak ketika coli sendiri sambil membayangkan sosok indahnya. Aku membayangkan Bu Alvi bersimpuh di depanku, mengulum kontolku sambil melirik-lirikku dengan manja. Atau kadang aku membayangkan Bu Alvi duduk di atas tubuhku, bergoyang, terkekeh menggoda, mendesah kenikmatan, dan kami muncrat bersamaan.
Semuanya hanya sebatas mimpi di siang bolong, aku tahu.
Pagi hari itu, aku melihat mobil Pak Wan—panggilan untuk suami Bu Alvi yang kutahu dari masyarakat sekitar—keluar dari halaman depan.
Itu keseharian seperti biasa, tak ada yang spesial.
Aku memutuskan untuk mencari sarapan di Burjo Langgeng. Kemarin jam segini sudah buka. Dari kemarin, aku seolah sudah jadi langganan Burjo Langgeng. Sudah bosan selama seminggu ini tiap sarapan cuma nasi uduk dan makan siang serta malam makan ramesan yang jualan di depan kos.
Ketika lewat samping, aku berpapasan dengan Bu Alvi yang baru keluar dari pintu.
"Eh, Nolan, mau ke mana nih pagi-pagi?"
Aku merasa kaget, gugup, dan malu tentu saja. Tubuh Bu Alvi kini terbalut daster merah maroon motif bunga, tampak aura keibuannya yang memancar dahsyat. Tapi dalam benakku, yang ada hanya goyangan dan desahan nikmat.
"Ehm ... mau cari sarapan, Bu."
"Oh ... ini saya masak sayur asem sama tempe, kamu mau?"
"Eh, gak usah, Bu." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku ingin cepat pergi dari kecanggungan ini.
Kulihat sikap Bu Alvi tidak menunjukkan perubahan apa pun. Dia masih ramah dan murah senyum seperti biasa. Padahal aku yakin sekali dua hari lalu dia melihatku yang mengintip di jendela. Dan sudah dua hari pula aku menghindari Bu Alvi sebisa mungkin.
"Yaudah, saya permisi, Bu." Aku buru-buru pergi tanpa menunggu jawabannya.
Sedikit tidak sopan, tapi jauh lebih tidak sopan saat aku membayangkan kemesuman ibu kosku sendiri.
__________
Kurang lebih jam 8 malam, aku masih asik nonton film ketika pintu kamar diketuk.
Saat kubuka, ternyata Bu Alvi berdiri di sana. "Oh, Bu." Aku mengangguk sedikit sambil mengulum senyum. "Ada apa, ya?"
Bu Alvi tersenyum lebar. "Saya mau ngomong sesuatu."
Tentu saja aku bingung. Sedetik kemudian jantungku berdegup kencang, apakah soal malam itu.
"Sini duduk." Bu Alvi duduk di lantai depan kamar dan mengisyaratkanku untuk duduk pula.
Aku menurut.
"Saya langsung aja, ya, gak perlu basa-basi." Sebelah tangannya menutup mulut saat terdengar suara terkekeh. "Waktu itu kamu ngintip jendela kamar saya, kan?"
Jantungku rasanya berhenti untuk beberapa saat. Benar saja sesuai dugaan, Bu Alvi mengungkit masalah itu.
Untuk beberapa aku bingung harus menjawab apa. Mau bohong tak mungkin karena Bu Alvi sendiri sudah lihat, mau jujur pun malu sekali.
Beruntung Bu Alvi tidak mendesakku dan melanjutkan ucapannya. "Nggak apa-apa, kok, nggak apa-apa. Saya nggak marah." Ia tersenyum penuh pengertian menatapku.
"S-saya minta maaf, Bu." Aku menunduk dalam, hampir bersujud. Rasa malu dan bersalah membuat suaraku gemetar hebat. "Saya nggak tahu, Bu, dan saya lancang banget berani ngintip. Harusnya saya langsung pergi."
"Hush, jangan gitu. Saya, kan sudah bilang saya nggak marah." Dia mengelus kepalaku perlahan-lahan. "Nggak usah merasa bersalah gitu."
Aku masih diam, rasanya malu sekali untuk mengangkat muka dan saling tatap.
Sampai kurang lebih satu menit, Bu Alvi masih terus mengelus kepalaku. Sambil terus mengelus, dia berkata. "Harusnya kamu tahu, kalau saya nggak terima dan memang marah, harusnya saya udah bilang suami saya buat usir kamu malam itu. Bahkan kamu tahu, kan, kalau waktu itu saya sadar kamu ngintip?"
Aku mengepalkan tangan, masih terus diam.
"Suami saya nggak tahu, kok. Rahasiamu aman." Bu Alvi terkekeh, menghentikan elusannya. "Wajar, kok, anak muda seumuranmu penasaran sama yang begituan. Kamu udah punya pacar?"
Aku menggeleng.
"Berarti berhubungan kayak gitu juga belum?"
Lagi-lagi aku menggelng. Dalam hati aku berpikir, kalau punya pacar pun sepertinya tak sampai berhubungan seperti itu.
Aku masih menunduk ketika tiba-tiba kurasakan sebuah tangan hangat melingkari leherku. "Jangan sedih gitu, dong," kata Bu Alvi. "Saya nggak marah, kok. Coba angkat kepala kamu, lihatin orang yang lagi bicara sama kamu," tegurnya kemudian.
Aku mengangkat muka perlahan dan kaget sekali. Wajah Bu Alvi sudah amat dekat dneganku. Bahkan napasnya sampai bisa kurasakan.
"Kamu penasaran, kan?" Dia berbisik. "Kamu penasaran gimana rasanya, hm?"
Tentu saja aku gelagapan. "Bu Alvi, saya—" aku mencoba menarik diri, tapi lingkaran tangan Bu Alvi semakin erat.
"Ssttt ... jawab aja jujur, Nolan. Kamu penasaran?" Bu Alvi berbisik lembut. Kini tubuhnya bahkan ikut mendekat.
Dari atas sini, aku mampu melihat sepasang gunung besar yang berada di balik kaos hitamnya.
"I-ibu bilang sendiri, katanya wajar." Aku gugup.
"Memang wajar, kok." Dia masih terus mendekatkan wajahnya padaku, tidak menjauh sedikit pun. "Jadi?"
"Jadi?"
Alis Bu Alvi terangkat sebelah.
Aku menjadi makin bingung. "Jadi apa, Bu?"
"Gimana kalau saya bantu kamu jawab rasa penasaran itu? Kamu keberatan?"
Mataku pasti sudah sebesar bola kasti sekarang. "A-Apa?"
"Saya bantu jawab, ya?" bisik Bu Alvi sambil terus mendekat.
Awalnya dia hanya merangkul dengan tangan kanan, tapi kini tangan kirinya menjadi lebih berani pula. Perlahan tapi pasti, seperti ular, tangan kirinya merayap menyusuri perut dan dadaku.
"Eh, Nolan, kenapa diem? Kayak patung aja. Jawab saya, dong, hihihi. Saya bantu, ya?" Bu Alvi terus berbisik dan tangannya terus bergerak.
Ludahku kuteguk susah payah. Seluruh syaraf tubuhku kaku. Dengan terbata-bata, aku menjawab. "B-b-bantu ... g-gimana ... Bu?"
Oh sial, senyum Bu Alvi sekarang berubah. Masih ada keramahan dan kelembutan di sana, tapi juga keseksian yang menggoda. Aku belum pernah melihat wajah Bu Alvi yang seperti ini.
"Saya bantu ...." Wajahnya semakin dekat. "Seperti ini ...."
Napasnya yang panas menerpa wajahku, bibirnya makin dekat, semakin dekat, dan ....
Cup
Bibir kami bertemu!
Aku terbelalak. Jantung ini berdetak jauh lebih keras. Napasku tertahan, tubuhku terpaku, pikiranku kosong.
Bu Alvi perlahan memejamkan mata dan menikmati.
Kami awalnya hanya saling beradu bibir, tapi lama kelamaan bibir Bu Alvi melakukan pergerakan. Bibirnya membuka, lalu aku merasa sedikit perih pada bibir bawah. Ternyata Bu Alvi menggigit bibirku dalam tujuannya membuka paksa mulutku.
Karena rasa bingung, malu dan tegang bercampur aduk, aku jadi kehilangan kendali atas diri sendiri. Mulutku terbuka tanpa sadar menuruti permainan Bu Alvi.
"Ahhmm ... sllrpp ... sllrrpp ...."
Suaranya cabul sekali saat Bu Alvi memasukkan paksa lidahnya ke mulutku. Air liur kami beradu, kurasakan rasa manis dari bibir Bu Alvi yang menimbulkan rasa candu.
Wanita itu terus menekanku, bahkan kini memegang tengkukku dengan tangan kanan, memaksaku untuk terus melekat pada bibirnya.
"Mmff ... mmm ...." Aku kewalahan dan mulai kehabisan napas.
Namun, Bu Alvi terus menjamah dalam mulutku dengan lidahnya. Lidah kami saling belit, lebih tepatnya lidah Bu Alvi yang terus menerkam lidahku yang bergerak canggung.
"Mmmfff!!" Setelah beberapa waktu, aku benar-benar kehabisan napas.
Bu Alvi mengendurkan ciumannya, menarik kepalanya, membuka kembali matanya.
"Gimana?" tanyanya dengan senyum tipis yang manis. "Manis, kan?"
Aku ingin mengusap sisa air liur kami di mulut, tapi aku merasa kalau hal itu sedikit tak sopan. Aku merasa jika melakukan itu, aku menolak perlakuan Bu Alvi yang tak bisa kupungkiri memang menyenangkan dan rasanya manis.
Tapi karena ini baru pertama kali, aku jadi gugup luar biasa. Pertanyaan tadi hanya menggantung tanpa jawaban.
"Ihh ... ternyata kamu orangnya pemalu, ya." Dengan bibirnya yang masih berkilat basah, kembali dia menyerangku.
Kini lebih kasar, bibirnya langsung menerkam mulutku tanpa ampun. Menjilatinya, menggigitnya, mengisapnya.
Tangan kirinya pun kini jadi lebih liar. Dia menggosok-gosok perutku, masuk ke dalam kaosku, memijit-mijit putingku. Kemudian tanpa kusadari, aku sudah ereksi.
Aku sedikit memberontak dalam penyerangan kedua ini, tapi Bu Alvi ternyata memang jago. Dia mampu menundukkanku dengan cara mendorong paksa tubuhku. Aku akhirnya berbaring di lantai depan kamar, Bu Alvi menindihku.
"Jangan malu-malu sama saya." Dia melirik selangkanganku yang sudah membesar lalu terkekeh geli. "Adikmu aja semangat banget, tuh."
"Bu ... Bu Alvi, jangan ...." Aku mencoba menutup selangkangan dengan tangan, tapi Bu Alvi segera menahannya, usahaku gagal. "Saya ... saya ...."
"Kamu kenapa, hm?" Bu Alvi kembali merabaku, kini dengan dua tangan. "Kamu keenakan? Ihh seneng banget saya lho. Kamu lucu, deh."
"Nggak, saya—ah, Bu Alvi!"
Tiba-tiba saja Bu Alvi sudah menarik paksa celanaku beserta celana dalamnya pula. Aku yang terkejut itu tak sempat menahannya.
Kini terpampang jelaslah kontolku. Panjang dan sedikit melengkung. Aku memang cukup percaya diri soal ukurannya. Tapi kalau langsung dilihat oleh wanita umur tiga puluhan seperti Bu Alvi, apalagi dilakukan secara tiba-tiba, tentu saja aku malu luar biasa.
Panjang kontolku sampai ke pusar bahkan lebih jauh lagi. Cukup panjang, bukan?
Hal ini pula agaknya yang membuat Bu Alvi membuka mulut lebar-lebar sambil membelalakkan mata. Sikap cabul dan genitnya menghilang untuk beberapa saat, yang tampak hanya kebingungan.
Dia meneguk ludah. "Nolan ... kamu ... ini ... i-ini ... besar banget ...," ucap Bu Alvi.
Aku memalingkan wajah. Mau bersikap bagaimana? Kupikir aku hanya bisa menyerah sekarang.
Tubuhku tersentak saat kurasakan kontolku disentuh perlahan. Ternyata tangan Bu Alvi yang berjari lentik serta halus itu sudah mengusap-usap ujung kontolku. Tatapannya penuh kagum, penuh gairah.
"Ahh ... Nolan ...." Senyum Bu Alvi perlahan terbit. Namun, matanya terpaku pada kontolku. "Punyamu hampir sama panjang seperti punya suami saya, tapi punyamu lebih besar dan macho. Pasti muasin banget, deh."
"Eh ... Bu? Bu Alvi?" Aku semakin tak mengerti ketika Bu Alvi menunduk perlahan, mendekatkan bibirnya ke kontolku. "Bu Alvi? Ahh ... Bu ... Ahhhh!"
Tubuhku menggeliat tak karuan saat lidah Bu Alvi mengelus batang kontolku. Rasa dingin dari ludahnya membuat seluruh tubuhku merinding.
"Hihihi ... kamu beneran masih perjaka, ya?" Bu Alvi mengangkat kepalanya. "Yaudah, saya izin ambil boleh, kan?"
Aku belum menjawab saat tiba-tiba Bu Alvi membuka mulut lebar-lebar dan ....
"Aaahhhmmmm ...."
"Buuuu!!!"
Seluruh batang kontolku tenggelam dalam mulutnya.
ns 15.158.61.37da2