
Sudah seminggu berlalu setelah permainan entot-entotan itu. Selama tiga hari kepergian Pak Wan, kami selalu bertemu tiap malam dan melakukan "olahraga". Kini, Bu Alvi bahkan seolah menunjukkan rasa kasih sayang yang lebih besar kepadaku.
Menyebut dirinya sendiri tidak lagi dengan sebutan "saya" melainkan, "Ibu". Lalu ketika memanggilku, kini dia menyebutku, "Nak" atau ketika sepi memanggilku "Sayang". Aura keibuannya kuat sekali.
Biasanya orang-orang menyebut yang seperti ini sebagai MILF. Entah Bu Alvi termasuk ke dalamnya atau tidak, tapi aku akan menganggapnya seperti itu. Dia memang hot luar biasa.
Selama seminggu ini, kuliahku hanya berisi tentang ospek selama tiga hari kemudian dilanjut pelajaran biasa. Aku mengambil jurusan managemen. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka berhitung, aku awalnya ingin masuk teknik mesin, tapi tidak lolos. Terpaksa, pindah haluan.
Tadi jam setengah lima pagi, Pak Wan sudah berangkat karena panggilan mendadak. Aku yang saat itu sudah bangun entah ksrena apa, tiba-tiba berharap akan sesuatu yang baik.
Benar saja, tak lama berselang Bu Alvi datang hanya mengenakan daster panjang. Aku sudah membuka pintu bahkan sebelum ia sampai. Kemudian dia berlari kecil, memelukku, menciumku, dan kami pun kembali tenggelam dalam nafsu.
Ini sudah satu jam.
"Aaahhh ... aaahhhhh ...!!!"
Bu Alvi bergoyang di atasku, meliuk-liukkan tubuhnya. Keringat menyiprat dari ujung puting ke mulutku yang terbuka. Rasa asin keringat Bu Alvi membuatku tambah sange.
"Bu ... aku pengen coba."
"Eh?" goyangan Bu Alvi melambat. "Coba apa, Nak?"
Ahhh ... senyumnya itu, senyumnya sungguh membuatku candu.
"Saya pengen cobain genjot Ibu."
Goyangannya benar-benar berhenti.
"Eh?" Senyumnya hilang, sesaat kemudian terbit kembali. "Tapi kamu belum pernah ngentot selain sama Ibu, kan?"
"Tapi saya penasaran."
Ya, walau sudah ngentot dengan Bu Alvi berkali-kali, selama ini lebih tepatnya aku yang dientot. Aku selalu pasrah ketika Bu Alvi bergoyang panas. Aku sama sekali belum tahu cara ngentot. Aku ingin ngentotin Bu Alvi, bukan dientotin!
"Uummm ... gitu yaaaa ...." Dia mencubit pipiku dengan gemas. "Tapi, hihihi ... Eemmhhh!"
Tubuhnya diangkat dan dibanting tiba-tiba. Aku tersentak. "Aakhhh!"
"Ibu belum masak, Eemhhh!" Dia membanting lagi. "Belum nyuci, aaahhh!!" Lagi. "Dan kamu ... harus ... kuliah ... aahhh!"
Goyangannya makin cepat dan ganas.
"Kita kehabisan waktu, Nak ... ahhh ... ahhh ... ahhh!!" Kepalanya mendongak. "Lain kali aja, Nak ... aahhhh ... buat Ibu croott yang ketiga kali, Naakkkk!!! Aahh ... ah ... ahhh!""
"Ooohhh Ibuuu!!!" Aku memegang pinggangnya kuat-kuat.
Gigitan di memeknya semakin kuat. Gerakannya pun semakin luat biasa, kadang atas bawah, kadang maju mundur. Tapi, perubahan-perubahan ini membuat tubuh indah Bu Alvi seolah sedang menari. Dia menunggangiku dengan seksi.
"Aaaaaahhhhh!!!!" jeritnya panjang.
Kurasakan air mengalir dari kedalaman memeknya, merembus keluar membasahi bolaku. Namun, aku heran karena setelah crot Bu Alvi tidak menghentikan gerakan.u Justru dengan tubuh yang masih kejang, dia semakin mengganas.
"Keluarin, Naaakk ... muncratin sayaaaangg!!" Tangannya meremas kedua toket besarnya, menggodaku.
Air liur menetes dari ujung lidah yang dikeluarkan. Bu Alvi menggila!!
"Aaahh ... ahhh ... aahhhhh!!!" Senyumnya terbit, ia seakan merasa puas sekali melihat wajahku susah payah menahan sperma agar tidak crot di dalam.
"Bu ... Ibu ... saya mau crroooott ... cabut, Bu!"
"Ah?" Dia pura-pura tak dengar. "Hahah ... ahhh ... ahhh ... mau crot? Iya, Nak?" Dia mempercepat goyangannya, mengencangkan otot pinggul dengan sengaja, membuatku semakin tersiksa.
"Aaahhh Ibuuu!!"
"Crotin sayaaangg!"
Bu Alvi mengangkat tubuh, bertepatan dengan itu, sperma menyembur keras. Karena kontolku menghadap ke atas, lebih tepatnya ke perutku, maka sperma itu membasahi tubuhku.
"Hihihi ... puas, Nak?" Bu Alvi menunduk, menjilati perutku, membersihkan sperma itu. "Lain kali, kamu genjot Ibu, ya?" katanya di sela-sela proses pembersihan dengan lidah itu.
"Uuhh, Bu Alvi ...." Tanpa sadar, aku mengulurkan tangan.
Bu Alvi menangkapnya lalu memasukkannya ke dalam mulut. Dia menjilati jari-jariku.
Itu hari senin pagi, dimulai dengan pesta panas antara aku dan Ibu kos penggoda ini.
__________
Selama seminggu kuliah, aku baru punya satu teman yang bisa dibilang teman dekat. Namanya Vino. Sejak masa ospek kemarin, aku sudah kenal dengannya karena kami sama-sama bingung.
Instruksi yang kurang jelas dari kakak tingkat sempat membuat para maba sedikit kacau. Pada saat itulah aku mengenal Vino dalam rangka pemrotesan atas ketidakbecusan para kating itu untuk mempersiapkan acara ini.
"Hitung-hitungan susah," kata Vino sembari meletakkan bibir vape ke bibirnya. Beberapa saat kemudian, embusan napas darinya berbau mangga. "Lo paham, Lan?"
"Keajaiban dunia kalau paham." Aku mengedikkan bahuku. "Mana Bu Yati ngajarnya kayak gitu pula."
"Tapi gue suka Bu Yati, bro."
"Apa?" Mataku melotot. "Lo suka yang seumuran dia?"
"Ya nggaklah!" sergahnya. "Maksud gue, gue suka cara ngajarnya yang santai, nggak killer kayak guru matematika di sekolah."
"Iya, santai, tapi kita nggak paham." Aku berdiri untuk memesan makanan. Tak enak rasanya jika di kantin hanya duduk tanpa membeli apa pun.
Saat aku kembali, di samping Vino sudah ada gadis seumuran yang cantik manis. Rambutnya panjang dengan bagian dahi yang membelah ke kanan kiri. Alisnya tipis, matanya sedikit sendu, hidung mancung dan dagu lancip.
Ia memakai pakaian kemeja kotak-kotak warna merah dan celana jeans hitam ketat. Di pinggangnya terdapat jaket hitam pula yang dililitkan.
Namun, bukan itu yang menarik perhatianku.
"Loh, Widya?"
Gadis itu menoleh dan tampak terkejut pula. "Loh, Nolan? Lo di sini juga?"
Iya, dia adalah sosok yang sudah kukenal. Namanya Widya Putriani dengan nama panggilan Widya. Kami pernah satu kelas ketika kami SMA, lalu saat kelas dua dia pindah sekolah karena orang tuanya pindah ke kota lain. Sebelum itu pun, kami pernah enam tahun bersama saat masih di bangku Sekolah Dasar. Tak kusangka sekarang kami bertemu di sini!
Vino memandang kami bergantian. "Kalian udah saling kenal?"
Widya yang menjawab. "Kami sekelas waktu SMA." Kembali dia memandangku dan tersenyum lebar. "Nggak nyangka, lho, bisa ketemu elo di sini."
"Hahaha." Kugaruk belakang kepala dengan kikuk. "Jadi orang tuamu itu pindah ke sini?"
Widya mengangguk. "Iya, makanya aku pindah."
Sepertinya Vino masih belum bisa mengikuti alur pembicaraan kami. "Yaudah, duduk sini, Wid." Vino mengambil kursi dari meja lain, lalu meletakkan kursi itu di sebelahnya.
Ketika Widya sudah duduk, kembali Vino berkata. "Dia pacar gue, bro." Senyum Vino tampak bangga. "Walau lo udah kenal dia sejak SMA, awas kalau macem-macem."
Widya tertawa, aku membalasnya dengan tertawa pula. Vino pun terkekeh. Dia hanya bercanda.
"Nggaklah, Vin, gue juga bisa cari cewek," kataku sedikit membusungkan dada.
Dalam pikiranku, terbayang wajah Bu Alvi dan tubuh telanjangnya. Oh sial!
"Heh, mana cewek lo?" tuntut Vino.
Aku menghentikan pose membusungkan dada tadi. "Sekarang, sih belum ada."
"Aelah."
Kami kembali tertawa.
Dari obrolan setelah itu, kuketahui bahwa Widya ambil fakultas teknik, lebih tepatnya teknik mesin! Jurusan yang tak dapat kumasuki. Aku agak terkejut mendengar itu. Namun, keterkejutanku agak reda kalau teringat diri Widya yang agak tomboi.
"Memangnya kenapa kalau teknik?" katanya setengah cemberut. "Nggak boleh, ya, cewek masuk teknik?"
Aku membalasnya dengan kekehan ringan.
"Bentar, ya, gue mau ke toilet." Vino tiba-tiba berdiri. "Lo temenin cewek gue ngobrol dulu."
"Lah." Seringaiku timbul. "Kalau gue macem-macem gimana?"
"Abis lo!" Vino melotot. Kemudian, ia menatap Widya. "Lo juga bakal ngelawan, kan?"
"Lah, di tempat rame gini mau macem-macem gimana?" balas Widya.
"Seandainya di tempat sepi?"
"Lihat sikon, lah."
"Anjing!" Vino menjambak sedikit rambut Widya.
Aku tak berusaha menghentikannya karena kutahu mereka hanya bercanda. Keduanya tertawa setelah itu.
"Bentar ya, bro."
"Iya sono."
Kantin semakin ramai saat itu, walau tidak padat. Akan tetapi, kami tetap setia duduk di tempat. Aku juga tak merasa terganggu karena mahasiswa-mahasiswa yang datang memilih untuk duduk di bangku yang agak jauh.
Rasanya agak canggung memang kalau tak ada Vino sebagai penengah. Kami memang teman sekolah, bahkan sejak SD sudah saling kenal, tapi karena terpisah cukup lama sehingga seolah ada dinding besar di antara kami. Yah, perasaan yang wajar untuk timbul terhadap teman lama yang jarang bertemu.
Aku sejak tadi pura-pura main HP, menggeser sana-sini tidak jelas. Widya pun sibuk dengan layar HP nya, entah pura-pura atau serius.
Tiba-tiba dia meletakkan HP dengan sedikit dibanting. Spontan, aku mengangkat wajah.
"Lan," panggilnya.
Wajahnya serius kali ini. "Hm, kenapa?"
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum mengembuskannya.
Alisku terangkat ketika menunggu jawaban yang tak kunjung tiba.
"Nolan, lo temen gue, kan?"
"Iya." Aku mengangguk.
"Kalo gue butuh bantuan, lo mau bantuin nggak? Contoh aja, deh, kalo misal gue butuh barang pas nggak bawa duit, lo mau bayarin dulu, kan?"
Aku menatap curiga. "Ya kalo lo janji bakal ganti."
"Ya iyalah!" Tatapannya agak sewot. Sesaat kemudian, Widya kembali serius. "Jadi, lo mau bantu gue?"
Kuletakkan HP ke atas meja. "Emang lo mau beli apa? Kenapa nggak minta sama Vino aja? Dia kan pacar—"
"Lan, entot gue."
ns 15.158.61.16da2