So this is the first chapter of my short story, I haven't proof-read it and it's not finalized yet but I just wanna know what's wrong with it because truthfully I'm not really confident in it. Maybe because I'm not used to writing in Bahasa Indonesia. Oh if you aren't familiar with the language you can either learn it or google translate it (both options are a hassle imo, but one is more beneficial than the other.) but keep in mind that some parts may not be translatable since they're either slang or I'm too dumb to know my own language. Enjoy.
Ku lihat dia di depan kelas, berbincang dengan teman-temannya. Bercanda dan bersenang hura. Apakah terdapat waktu dimana ia tidak begitu mempesona. Ku tidak bermaksud untuk tidak sopan namun mengalihkan tatapanku darinya merupakan hal yang terasa berat. Tanpa kusadari, ia juga telah menatap ke arahku untuk beberapa saat. Mata kita bertemu, namun ku tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Tanpa adanya percikan hal lain ia pun yang terlebih dahulu menoleh kembali ke arah teman-temannya, menghiraukan keberadaanku. Perbuatannya selalu membuatku heran, heran akan apa yang ada di pikirannya itu.
“Ron, lo demen banget ngeliatin dia dah,” ucap teman sebangkuku, Fian.
“Hahaha… biarin lah si Roni, namanya juga cowo, ya nggak Ron?” bela lelaki yang duduk di atas bangku kami, Biang.
Ku tak bisa memberi balasan apapun. Hanya sebuah tawa palsu dan juga penyetujuan. Mungkin di dunia ini hal yang kulakukan dianggap tak biasa. Tetapi, apa salahnya untuk merasa penasaran dengan seorang lawan jenis.
“Lo kenal emangnya sama Dea, Ron?” tanya Fian saat ia sedang menyandarkan diri kepada kursi yang telah ia miringkan ke arahku, seakan ingin menginterogasi kehidupan pribadiku. Kedua tangan ia lipat di dada, diiringi dengan gerakan kaki mendorong kursi naik turun.
“Enggak, gw gapernah ngobrol sama Dea,” ku katakan, menghindari mengatakan yang sebenarnya, namun tidak juga mengeluarkan kebohongan. Memang aku dan dia tidak pernah berbincang, tetapi kita saling mengenal. Dengan dekat pula. Tetapi, kita tetap merupakan dua orang yang tinggal di dua gedung yang bersebelahan. Dekat namun terpisahkan. Hanya tersambungkan oleh jendela dunia yang kita selalu genggam. Ya memang dia sangat mempesona, namun bukanlah dia yang kuinginkan. Melainkan teman dekatnya yang tak kalah rupawan. Dan ku tahu dengan betul bahwa bukanlah aku yang dia pikirkan, melainkan Biang.
Suatu hal yang menarik yang mengikat kita berdua, Dea dan Aku. Sama-sama keinginan akan keperdulian seseorang yang tak pernah melirik ke arah kita. Mungkin untuk orang biasa hal ini merupakan sebuah tantangan yang sangat sulit dihadapi, cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, untuk kami berdua hal ini bukanlah tantangan. Karena kami dekat, sangat dekat. Lebih dekat dari orang lain. Aku mengetahui hal yang dia ketahui dan dia pun mengetahui hal yang ku ketahui. Kita saling memegang rahasia. Rahasia kita maupun rahasia orang yang kita inginkan. Sebuah simbiosis mutualisme yang telah kita perbuat. Saling memasoki persenjataan untuk menyerang target yang diinginkan. Tetapi terdapat satu perjanjian antara kita berdua. Haram hukumnya bagi kita untuk berinteraksi di luar layar kaca.
Seorang gadis masuk ke dalam kelas dan bergabung dengan kelompok Dea, Kana, teman dekat dari Dea. Lagi-lagi aku tidak bermaksud untuk tidak sopan tetapi apakah bisa aku memalingkan mata dari gadis idamanku ini? Mudah sekali jawabannya. Tentu, seorang awam sepertiku tidak sepatutnya dapat bertemu dengan gadis secantik dia di masa lalu. Apabila kita hidup di masa lalu, dia dapat diibaratkan sebagai putri seorang bangsawan, sedangkan aku hanyalah seorang prajurit kelas bawah. Memang kita tidak sepatutnya dipertemukan, melainkan bersatu. Namun aku memiliki rahasia. Rahasia yang kudapatkan dari Dea.
ns 18.68.41.175da2