So, I've been writing again lately. Thanks to the holidays. But school starts again tomorrow. My 4th semester in college. God please spare me from this living hell of a college.
Also, please leave a like if you liked it, a comment if there's something you want to talk about, and a review if there's something missing from this story. All comments and criticism is appreciated.
Ok bye.
Hari itu hujan turun. Turun sederas mungkin. Udara dingin yang basah menusuk kulitku dengan tiada ampun. Aku berteduh di sebuah halte bis yang terdampar. Tanganku yang dingin terasa hampa. Namun seketika muncul kehangatan orang di tanganku itu. Seorang gadis yang turut duduk di sebelahku menggenggam tanganku seerat mungkin, seakan tidak menginginkan kepergianku dari hidupnya. Kulihat gadis itu. Seseorang yang awalnya kukira tidak akan melakukan hal ini. Seseorang yang kukira tidak akan berada dalam situasi yang sama seperti ini denganku. Seseorang yang membuat hatiku melompat tinggi. Kana.
Ya, sudah beberapa bulan Kana bersama Aku. Hubungan kita lebih baik dari yang aku impikan. Terkadang aku merasa takut untuk tiba-tiba bangun dan mengetahui bahwa ini semua sebuah mimpi. Lelucon gelap yang Tuhan lakukan kepadaku, seorang manusia tak berdaya. Tetapi hal itu masih belum terjadi, dan aku percaya bahwa hal itu tak akan terjadi. Karena bagiku Tuhan sangatlah baik dan aku percaya kepada sebuah kalimat yang membicarakan-Nya. “Tuhan adalah apa yang kamu pikirkan,” dimana apabila kita berfikir buruk maka buruklah yang akan terjadi, dan sebaliknya pula. Aneh, aku tidak pernah menganggap diriku sebagai orang yang sangat beriman namun aku selalu percaya akan kalimat itu.
“Hah…. Kapan sih ini hujannya mau reda?” keluh Kana.
Ku hanya bersenyum dan menatap matanya, “Biarlah, nanti juga reda. Kita duduk aja dulu berdua, toh gak bakal ada yang ganggu kan?”
Aku mengarahkan tanganku kepada sebuah bangku yang tak terhuni. Pipa-pipa besi itu basah kuyup, namun kita tak peduli karena kita pun sudah bersatu dengan hujan. Kita duduk, bahu menyentuh bahu, jari-jari kami terkunci satu sama lain. Kana mulai bersandar di bahuku. Rambutnya yang basah terasa geli tetapi aku menahannya. Justru, aku malah merasa senang dia tidak mencoba untuk menutupi kekurangannya saat ini. Kana mengayunkan kakinya kedepan dan kebelakang, seperti seorang anak kecil. Ku hanya dapat tersenyum dengan gerak-geriknya. Tetapi ku merasa ada suatu hal yang salah.
“Hujannya boleh turun sepuasnya, aku gak ngeluh kalo misalkan kita tetap begini,” ucapnya dengan senyum manis.
“Lho, tadi ngeluh, gimana sih kamu,” ku goda dia dengan tawa kecil.
“Ih apaansih kamu.”
“Aduh!” tak kusangka ia mencubit lenganku dengan keras. Ku mengusap tangan yang telah jatuh korban. Tetapi aku tetap tenang, karena itu memang sudah menjadi suatu hal yang biasa diantara kita berdua.
“Aku gamau ini berakhir,” Ucapnya tiba-tiba. Pandangan Kana tetap lurus kedepan. Dari itu aku dapat berfikir bahwa apa yang dia katakan adalah tulus.
“Aku juga,” ujarku menyetujuinya. Ku harap yang telah ku utarakan setulus yang telah ia katakan. Tetapi hatiku berat. Seberat bumi saat mengatakannya. Maafkan aku tetapi daritadi selalu saja terdapat suatu muka yang melewati pikiranku. Suatu muka yang tak kusangka akan mengganggu momen indah ini. Dea. Hatiku tak kuat untuk menahan rasa bersalah ini. Rasanya seperti aku telah membunuh orang tua Kana di depannya persis. Mungkin saja, rasa salah ini lebih besar dari membunuh orang tuanya. Walau aku tak pernah kontak lagi dengan si Dea, tetapi dia tetap membuatku merasa bersalah. Aku rindu akan masa-masa ku dan dia membicarakan apa yang kita sukai, membicarakan fantasi-fantasi apa yang kita inginkan bersama mereka. Tetapi sekarang kita sudah bersama mereka. Aku dan Kana, Dead an Biang.
Tak lama setelah aku berhasil mendapatkan Kana, Dea pun juga telah menjadi milik Biang. Terdapat suatu waktu saat kita ber-empat kencan bersama. Mungkin disana saat aku mulai memutarbalik duniaku. Seperti orang biasa, kita bertemu. Aku berangkat bersama Kana dan Dea berangkat bersama Biang. Saat ditempat, aku menatap Dea. Pertama, tidak terdapat apapun di hatiku. Mungkin karena aku sudah sangat bahagia dengan Kana, gadis idamanku. Tetapi saat Biang mendekat aku mulai merasa tidak enak. Lalu, hatiku terjun bebas.
“Halo, nama gue Dea,” ucap dia.
Aku sangat kaget. Tetapi aku langsung mengingat peraturan pertama kami. Haram hukumnya bagi kita untuk berinteraksi di luar layar kaca. Bukan suatu hal yang aneh apabila kita tidak mengenal satu sama lain. Kita tidak pernah berbincang tatap muka. Tetapi sangat aneh rasanya saat aku harus berkenalan lagi dengan seseorang yang sudah ku kenal sangat dekat. Lalu kusingkirkan perasaan-perasaan busuk itu. Aku sudah memiliki Kana, gadis idamanku. Apa gunanya aku untuk memikirkan Dea, seorang gadis yang baru ku kenal. Saatnya ku kembali ke realita.
“Kamu mikirin apa sih?” saut Kana. Aku tidak sadar bahwa selama ini aku telah menatap ke kekosongan di depan. Aku menggelengkan kepala, seakan terdapat serangga di depanku.
“Engga, gamikirin apa-apa, cuman bengong aja.”
Ku genggam tangan Kana seerat mungkin. Walau tangannya mungil ku tidak mencoba menahannya. Ku tetap menggenggam tangannya dengan keras, supaya Kana tidak dapat pergi kemana-mana. Untuk memastikan kepada ku bahwa Kana yang disebelahku adalah orang asli dan bukanlah sebuah imajinasi belaka. Bukanlah sebuah mimpi. Bahwa kejadian ini sekarang, merupakan realita. Lalu Kana membalas genggamanku dan mulai bersandar lagi di pundakku yang telah tercap dengan kepala dia sebelumnya. Hatiku mulai menenang. Tetapi tetap terdapat rasa pahit didalam mulutku, rasa menusuk dihatiku. Mengapa?
Mengapa yang di tanganku adalah Kana tetapi yang di fikiranku adalah Dea?
ns 15.158.61.8da2