2 bulan yang lalu5423Please respect copyright.PENANAxepZtja7Oh
-
-
Malam kelabu menyergap sandekala yang bertengger di ufuk barat. Langit sendu meneteskan rinainya setting demi setitik. Lalu dalam beberapa detik titik itu menjelma hujan yang amat lebat. Mengguyur tanah, rumah, dan hiruk-pikuk kota Jakarta.5423Please respect copyright.PENANA0HCjrwjeJT
Hujan datang dengan sengaja dan amat lama. Bahkan hingga pertengahan hari juga tidak kunjung reda. Bukan apa-apa, hanya saja ia selalu datang membawa dingin yang menggigit tulang. Belum lagi jika rinainya berlentikular dan menggenangkan khawatir. Mengalir tenang bagai banjir tanpa meander. Menghanyutkan senyum dan nyaman di hati setiap anak Adam. Khususnya mereka yang bermukim di daerah ibu kota.
Banjir benar-benar datang tanpa diundang sedangkan hari sudah hampir pertengahan malam. Meski banjir tidak sampai di rumah besar ini dan hujan tidak menembus dinding tetapi sang pemilik rumah tengah menggigil.
Seorang konglomerat dengan gelimang harta juga bisa merasa. Apa yang dirasakan oleh orang-orang kecil di pinggiran kota.
Laki-laki itu bernama Jovraro Tarigan. Seorang anak sulung dari tiga bersaudara keluarga Tarigan. Benar-benar dari keluarga kaya yang mulai dari masa kecilnya hingga sekarang tidak pernah tahu rasanya jadi manusia misqueen.
Lalu tahukah kalian mengapa tidak ada keluarga yang merawatnya ketika ia sakit? Karena ia tidak ingin mengakrabkan diri dengan keluarganya meski mamah dan papahnya sangat menyayanginya. Alasannya karena sebuah nama.
"Adine," panggil Jova beberapa kali dalam igauannya.
Ia masih menggigil sendirian di ranjang king size-nya. Jova beberapa kali meremas-remas selimutnya. Sesekali ia menempelkan punggung tangannya ke kening. Masih terasa penas. Laki-laki itu bangun dari tidurnya dengan susah payah. Ia hendak mencari selembar handuk dan semangkuk baskom untuk diisi dengan air. Ia lihat ruangan itu sunyi dan mulai bergetar. Mungkin Jova mulai berhalusinasi sebab suhu tubuhnya meningkat.
"Adine," panggil Jova lagi ketika ekor matanya melihat selembar kerudung merah jambu.
Semakin dekat kerudung itu, semakin tampak jelas wajah seorang perempuan. Ia menghampiri Jova sambil menempelkan punggung tangannya ke kening laki-laki di hadapannya. Ada senyum di wajah lai-laki itu. Ia memegang tangan perempuan itu dengan erat dan memeluknya.
"Sudah minum obat?" tanyanya dengan lembut. Laki-laki itu tersenyum dan menggeleng. Ia merasa bahagia karena hujan dan dingin tidak lagi menggigit tulang.
"Aku rela sakit demi bertemu dengan dirimu," ucapnya dengan setetes air mata di pipi.
"Aku yang tidak rela," jawabnya bersungut-sungut tidak suka.
"Kalau kamu sakit panggil dokter atau pulang ke rumahmu. Setidaknya di sana mamahmu akan merawatmu," Perempuan itu berkata sambil membuka tasnya. Matanya menyipit, ia mencari sesuatu di sana.
"Aku rela memilih kamu dari pada mereka. Sungguh. Maka dari itu pulanglah Din!" Jova tidur di pangkuan Adine. Laki-laki itu menangis seolah ingin berkata. Bahwa pertahanannya telah runtuh bersama hujan malam ini dan tentunya perempuan.
"Aku yang tidak rela Jov. Aku di sini selama hujan belum reda dan kamu masih menggigil. Tetapi jangan karenanya engkau jadi berdoa kepada Allah supaya hujan terus melebat. Kasihan mereka yang rumahnya menyongsong banjir." Adine berkata sambil melekatkan kontex fever di kening Jova.
"Baik apapun katamu akan aku turuti. Tetapi kamu jangan meninggalkan aku lagi. Tiga tahun bukan waktu yang sedikit untuk laki-laki seperti diriku Adine. Tetapi 3 tahun bukanlah apa-apa jika kau kembali kepadaku," ucap Jova memelas. Adine membelai rambut laki-laki di pangkuannya itu. Ia tersenyum sambil mengusap air mata di sudut mata Jova.
"Sepertinya percuma badanmu atletis jika masih cengeng begini. Jangan menangis Jov kau laki-laki. Lihat jilbabku, basah karena kau menangis."
"Aku tidak peduli dengan itu. Kamu perempuanku dan selamanya akan begitu."
Adin mengangguk-angguk mendengar ucapan laki-laki di pangkuannya. Jova melingkarkan tangannya pada Adine seolah ia adalah anak yang merengek pada ibunya. Laki-laki itu menangis sambil mengeratkan tangannya.
"Mengapa kamu masih baik pada mereka? Mengapa Din?"
Tidak ada jawaban dari Adine sebab perempuan itu juga mulai berkaca-kaca.
" Kamu bohong bila berkata bahwa pergi akan menyembuhkan luka. Aku tahu hatimu masih sakit sebab mereka telah membuat anak kita menutup mata sebelum melihat dunia. Anak kita yang malang."
"Cukup Jov. Jangan melantur lagi. Kamu perlu istirahat."
''Sungguh aku tahu kesalahan itu juga terletak pada diriku dan kamu menghukumku dengan pergi. Aku tahu Din, kamu lebih membenci diriku dan muak bertemu diriku daripada mereka, keluargaku. Tetapi kamu tetap diam tanpa mau menghardikku sama sekali dan itu membuatku merasa lebih bersalah hingga mencintimu saja aku malu. Sungguh lebih baik kamu mencaciku dan meluapkan sedihmu. Tetapi aku mohon padamu. Perihal kesalahanku, jangan terlalu lama menghukumku. Jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan aku Adine."
Jova mulai tertidur dan mengigau. Tangannya memegang erat perempuan di hadapannya. Adin melihat Jova yang tampak lebih kurus. Tampak kantung mata yang mulai menghitam, menandakan seberapa sulitnya laki-laki itu untuk tertidur. Meski demikian ia tetap tampan. Sama seperti foto pada majalah bisnis yang sering dibeli Adine. Ya majalah yang setidaknya mengobati rasa rindu Adine. Majalah, rindu, Jova, dan Adine manangis.5423Please respect copyright.PENANAJgDaCLguTS
Ea yang baru baca selamat datang ke watty-ku sobat.
Salam kenal salam hangat (y)
ns 15.158.2.213da2