7 November 2004, hari itu Ibu Ari dibawa ke rumah sakit. Ari masih 30 minggu dalam kandungan. Ini sudah yang kedua kali. 2 tahun lalu Ibu Ari harus kehilangan janinnya. Kelainan kehamilan membuat dia harus merelakan bayinya demi keselamatannya. Tapi kali ini dia ingin bayinya selamat.
“Mas, selamatkan anak kita,” pinta ibu Ari di tengah kesakitannya pada suaminya. Dia di atas pembaringan. 2 orang suster tergopoh mendorongnya menuju ruang tindakan.
“Kamu tenang, di sini dokternya bagus,” sambil berlari kecil, bapak Ari mencoba menenangkan istrinya. Tapi suaranya menyimpan sebersit keputusasaan.
Hari menjelang gelap. Hujan deras dari tadi tidak kunjung reda. Dokter menyuruh bapak Ari menunggu di luar.
“Dokter selamatkan istri dan anak saya,” suara ayah Ari terbata.
“Kami akan usahan sebaiknya,” kata dokter menenangkan sebelum menutup pintu ruangan.
Sendirian bapak Ari duduk cemas di lorong rumah sakit. Petir terlihat menyambar di jendela. Dari sudut penglihatannya, sekilas terlihat laki-laki tua berdiri di tengah lorong. Saat dia alihkan pandangannya ke sana, tiba-tiba lampu padam. Tak sampai beberapa detik lampu menyala tanda genset dinyalakan. Lorong itu terlihat kosong, laki-laki tadi tidak ada. Belum sempat bapak Ari mencari, dokter sudah memanggilnya. Dengan suara berat, dokter memberikan pilihan yang tidak bisa ditawar, janinnya harus dimatikan.
“Tidak ada pilihan lain. Ini demi keselamatan istri bapak,” pelan dokter menjelaskan. Dia menunggu persetujuan bapak Ari.
Bapak Ari mengangguk pelan.
Di dalam ruangan, dengan sisa kesadarannya, berulangkali ibu Ari meracau agar anaknya diselamatkan.
“Tolong selamatkan anak saya, matikan saya saja, jangan anak saya,” suara ibu Ari parau. Di atas pembaringan dia ingin berontak, tapi badannya sudah terlalu lemah.
Seorang suster berusaha menenangkan ibu Ari. Yang lain sibuk melakukan preparasi. Sampai akhirnya ibu Ari tidak sadarkan diri. Sementara di luar petir masih menggelegar bersahutan. Hampir 2 jam janin itu diangkat. Ukurannya sangat kecil. Seonggok daging itu diam diletakkan di atas meja, karena kini ibu Ari harus diselamatkan. Kondisinya kritis. Sementara yang lain sibuk menangani ibu Ari, seorang suster tergesa mengambil perkakas. Saat melewati janin di atas meja, langkahnya tertahan, seperti tak percaya dia lekatkan pandangannya ke arah janin. Mahluk kecil itu bergerak. Bibirnya menganga. Dua jarinya bergerak lagi. Sontak suster itu berteriak.
“Dokter, bayinya masih hidup!”
ns 15.158.61.6da2